Bagian 35: Most Wanted

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayah Azka jatuh terduduk di dekat pintu. Ia mengesot mundur sementara tiga orang asing melangkah memasuki kamar. Orang paling depan bertubuh gempal, berkepala bulat telur, membawa tongkat, dan memakai berbagai perhiasan emas di tangannya serta mengenakan baju sutera keemasan. Dua pria di sampingnya bertubuh tinggi, kekar, dan berpakaian hitam-hitam. Yang satu berambut cepak, yang lain botak.

Pria bertubuh gempal memandangi seluk beluk kamar Mas Diaz sekilas, mengangkat tongkatnya, kemudian berkata, "Tuh! Lihat berapa banyak barang mahal di sini! You pikir I buta? Sita semuanya!"

Saat seorang bertubuh kekar hendak mengambil laptop, Azka berseru,

"Jangan! I-itu punya Mas Diaz."

"Anak kecil enggak usah ikut campur! Pergi!" Pria bertubuh gempal menyabetkan tongkatnya ke lengan Azka. Gadis itu pun meringis kesakitan.

"Setop!!! Jangan!!!"

Tanpa peduli dengan teriakan Azka, para penagih utang itu mengeluarkan barang-barang milik Mas Diaz. Azka dengan susah payah menarik tangan pria yang mengambil laptop Mas Diaz, tetapi sekali dorong, gadis itu jatuh tersungkur. Ayah Azka hanya duduk bersimpuh sambil memohon ampun, sementara Alin masih terdiam, tak seperti biasanya. Aku tak sanggup melihat pemandangan ini lebih lama.

Saat aku berdiri, si gempal meringis memamerkan gigi emasnya. Pandangannya mengarah pada Alin.

"Well, well, well," ucapnya sambil perlahan mendekati Alin. "Ini juga anak you? He. Hehe. Kalau I bawa anak you yang satu ini, I anggap utang you lun—"

Alin lebih dulu menghantam muka pria gempal itu sebelum pria itu sempat menyentuh rambutnya. Pria itu mundur terhuyung-huyung sambil memegangi hidung besarnya. Darah tampak mengucur dari sana.

"Mood-ku lagi jelek. Kalau mau ngelawak jangan di sini," ucap Alin dingin.

"Kurang ajar! Tangkap dia!" perintah si gempal pada kedua pengikutnya. Pria botak pun maju hendak menangkap Alin. Namun, gadis itu lebih dulu menangkap pergelangan tangannya. Alin memelintirnya hingga pria itu jatuh terduduk membelakangi dirinya.

Pria berambut cepak pun maju. Alin mendorong si botak kuat-kuat sehingga kepalanya menyeruduk perut pria cepak. Sebelum lawannya sempat bereaksi, Alin melayangkan tendangan memutar dengan kaki kanannya. Pinggang kiri pria itu terkena telak. Alin kembali memutar tubuhnya, lalu mengarahkan tendangan tumit ke arah wajah si pria cepak. Kali ini pria cepak berhasil menangkis tendangan Alin, tetapi dorongannya cukup membuat pria itu kehilangan keseimbangan. Ia membentur rak buku di sampingku. Komik-komik dan benda-benda koleksi Mas Diaz berjatuhan hingga hampir mengubur pria tersebut.

Tiba-tiba tongkat melayang ke arah Alin. Ia berhasil menangkapnya sebelum mengenai wajahnya.

"Jangan bergerak atau I bakal bunuh ini anak!"

Sialan. Aku terlalu fokus pada Alin sehingga tak sadar bahwa si gempal bergigi emas telah menyilangkan pisau di leher Azka.

Alin mengumpat. Ia meringis kesakitan sambil menggerak-gerakkan kaki kanannya. Kurasa dua tendangannya tadi membuka luka yang ia peroleh beberapa hari yang lalu. Pria botak kembali berdiri. Tanpa susah payah ia menangkap Alin yang sudah letih. Saat aku hendak menghunuskan pentungan dari tas pinggang, si pria cepak lebih dulu bangkit dan mengunciku dari belakang.

Mereka membawa kami keluar dengan paksa. Sepanjang jalan Alin menyeret-nyeret kakinya sambil mengaduh, memerintahkan si botak agar membawanya pelan-pelan. Namun, si botak tak menggubris. Sementara itu, pria yang membawaku begitu kuat. Ia sama sekali tak punya celah. Di sampingku, Azka yang biasanya paling diam di antara kami, kini jadi yang paling berisik. Ia meronta, memukul, menggigit, berteriak, dan menggunakan segala cara untuk lepas dari cengkeraman si gempal.

"Teriak sekali lagi I gorok you punya leher!" ancam si gempal.

Orang-orang di sekitar kami enggan membantu. Seorang tetangga membuka jendelanya sejenak, lalu saat aku memandangnya, ia kembali menutup jendela. Para wanita memanggil anaknya pulang lalu menutup pintu, sedangkan para pria hanya menonton kami seperti melihat pemandangan biasa.

"Ada apa ini?"

Seorang pria tinggi besar bersuara berat menghadang kami. Tinggi dan otot-ototnya mengalahkan kedua pria yang membawaku dan Alin. Ia hanya memakai kaus dalam hitam dan celana pendek, sementara bajunya ia ikatkan di kepalanya layaknya ikat kepala. Wajah, tangan, dan kakinya penuh noda oli bekas. Tangan kirinya membawa kotak perkakas, sedangkan tangan kanannya membawa obeng. Penampilannya mirip pegawai bengkel.

Pria gempal dan kedua ajudannya berhenti.

"Oh, Mr. Crack! Good afternoon!" sapa pria gempal bergigi emas.

"Om Deni, tol-"

Azka dibekap sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya.

"Saya mohon maaf atas kegaduhan ini," ucap si gempal sopan. Gaya bicaranya berubah. Ia lalu menjelaskan situasi saat itu dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kelihatannya pria tinggi besar di depan kami adalah orang berpengaruh di desa ini.

"Keberuntunganku benar-benar habis," kata Alin lemah.

"Kau tahu siapa dia?"

"Deni Dongkrak," jawabnya. "Mantan ketua geng Dinamo."

"Apa?"

Pandanganku kembali beralih ke pria besar. Ia menatap kami satu per satu. Ada kesan terganggu di ekspresinya. Sesekali kumis lebatnya berkedut-kedut, seolah menyiratkan agar kami tidak bertindak macam-macam. Bahkan pria berambut cepak yang memegangku pun gemetaran.

"Uh-huh. Jadi kalian mengambil mereka untuk menebus utang-utangnya?" tukas Deni Dongkrak. Ia maju perlahan hingga tubuh besarnya hanya berjarak sesenti dari tubuh si gempal.

"T-that's right, Mr. Crack!" jawab si gempal. "A-apa kami salah?"

"Aku setuju dengan kalian. Utang memang harus dilunasi."

Sambil berkata begitu, Deni menjatuhkan beban di kedua tangannya lalu mencengkeram kerah baju pria di depannya.

"K-k-kalau begitu, kenapa—"

"Ada aturan utama yang harus dipatuhi oleh penghuni desa ini." Deni menyeret pria gempal hingga Azka lepas dari genggamannya. "Jangan berurusan dengan polisi. Kalian tahu, 'kan?"

Si gempal mengangguk-angguk ketakutan.

"Terus kenapa dilanggar! Apa aturan desa ini cuma lawakan buat kalian?!"

"M-maaf sebelumnya, Mr. Crack. T-tapi kami sama sekali tidak melibatkan polisi dalam urusan ini."

"Tidak melibatkan polisi, huh?" Deni melirik ke arah Alin. "Lalu buat apa kalian menculik anak AKP Hendrik Suprapto? Apa urusannya dia di sini?"

Dia tahu Alin dan ayahnya?

"Hah?! C-cewek itu? D-dia ada di rumah Si Nur. S-saya kira dia anaknya—"

"Dasar tolol!" Deni mengangkat si gempal tinggi-tinggi. "Makanya kalau punya otak dipakai, goblok! Sekarang lepaskan mereka sebelum polisi datang dan menembak kepalamu!"

"Uh, yang kecil sama yang cowok juga dilepas, Bang?" tanya si botak.

"Lepas semuanya! Desa ini bisa kena masalah gara-gara ketololan kalian, tahu!?" bentak Deni.

Deni Dongkrak melemparkan si gempal tepat di depan kedua rekannya. Setelah itu, para penagih utang pun lari tunggang langgang.

Selang beberapa detik, Deni menatap kami bertiga tanpa berkata apa-apa, lalu pergi ke arah yang berlawanan.

"Om Deni!" seru Azka.

"Tunggu-ah!" Langkah Alin tertahan. Tampaknya kakinya masih kesakitan.

"Azka, tolong tuntun Alin ke rumahmu," pintaku.

Tanpa menunggu lama, kukejar pria yang menurut Alin merupakan mantan ketua geng Dinamo. Meski penampilannya sangar, kelihatannya ia cukup rasional.

Ia berhenti di depan bangunan dua tingkat bertuliskan BENGKEL MOTOR DINAMO, dengan gambar tengkorak di dalam gir. Tempatnya tak sebesar bengkel-bengkel di kota, tetapi pelatarannya cukup luas untuk perkampungan yang nyaris tanpa tanah kosong ini. Beberapa pria dengan ikat kepala merah berlambang tengkorak tampak sibuk mengotak-atik motor, sementara beberapa orang duduk di bangku-mungkin mereka pemilik motor yang menunggu motornya selesai diperbaiki.

Salah seorang pria berikat kepala merah menyambut kedatangan Deni Dongkrak dengan penuh hormat. Setelah berbasa-basi sejenak, ia memandangku yang berdiri beberapa meter di belakang Deni. Lalu Deni pun menoleh ke belakang.

"Mau apa kau ke sini?"

"Maaf sudah mengikuti Om sampai sini. Saya belum sempat bilang terima kasih tadi."

"Oh," balas Deni acuh tak acuh. "Cuma itu?"

"Om mantan ketua geng Dinamo, 'kan? Saya kenalan Mas Diaz. Om tahu dia?"

Hening. Beberapa pegawai bengkel menghentikan aktivitasnya dan memandang ke arahku. Mereka tampak tak senang.

"Kalau tidak ada urusan lain, pergilah. Kau mengganggu orang kerja."

"Tunggu," cegahku sebelum Deni memasuki bangunan. "Sebagai tanda terima kasih, saya punya info penting terkait geng Dinamo."

Deni berbalik dan menuding ke arah wajahku.

"Tidak ada geng Dinamo di sini. Jangan samakan aku dengan gerombolan bocah STM yang menganggap diri mereka anggota geng agar terlihat keren! Mengerti?!"

Aku menelan ludah. Melihatnya menjulang di hadapanku saja sudah membuat sekujur tubuhku gemetaran.

"Pergi," ucapnya, "dan bawa teman cewekmu pergi dari desa ini. Kalau sampai anak polisi itu kenapa-kenapa, desa ini yang bakal kena masalah."

Seorang pegawai bengkel mencengkeram tanganku dan hendak mengusirku.

"Om tidak mau desa ini berurusan dengan polisi, 'kan?" ujarku sambil berusaha melepaskan diri. "Kalau begitu suruh geng Dinamo pergi dari sini! Mas Diaz dibunuh. Polisi menganggap pelakunya adalah anggota geng Dinamo dan mereka akan menyerbu kemari sebentar lagi!"

Deni Dongkrak tampak terkejut mendengar ucapanku. Ia terdiam beberapa saat. Sementara itu, kini ada dua orang yang mencengkeram kedua tanganku. Mereka menyeretku ke tepi jalan hingga pada akhirnya Deni berkata,

"Lepaskan dia."

***

Deni mengajakku ke suatu ruangan di lantai dua bengkel Dinamo. Tak banyak barang di sini. Hanya ada kasur lantai, sebuah lemari pakaian, gantungan baju dan meja lesehan. Di atas lemari tampak sebuah pigura foto yang berisi beberapa orang berpakaian lusuh dengan latar bagian depan bengkel. Di tengah-tengahnya ada Deni Dongkrak berpose di atas motor gede, dengan seseorang yang fotonya dicoret-coret menggunakan spidol hitam.

Pria besar berkumis lebat itu melepas baju yang ia ikatkan di kepalanya, memperlihatkan rambutnya yang tipis. Ia memintaku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku pun menurutinya.

"Jadi, apa jaminannya kau tidak membohongiku?"

Deni menatapku tajam.

"Tidak ada untungnya saya menipu Om. Saya, Alin, dan Azka ada di TKP tadi siang. Kalau Om tidak percaya, tanya saja mereka."

Deni menghela napas. Ia terdiam beberapa saat.

"Diaz dibunuh, huh? Dasar bodoh. Sudah kubilang berhenti berurusan dengan Tomcat," gumamnya pada dirinya sendiri. "Siapa namamu?"

"Grey."

"Grey," panggilnya, "kau tahu siapa polisi yang menyelidiki kasus ini? Apa dia polisi yang bernama Isnan?"

"Ya."

Raut wajah Deni memucat. Ia buru-buru mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Halo? Waplo? Suruh anak-anak buat mengawasi jalanan. Kalau ada mobil polisi menuju ke arah desa, hubungi aku. Paham?"

Ia menutup ponselnya, lalu memakai baju dan jaket kulit hitam yang tergantung di gantungan baju. Ia mengeluarkan sapu tangan dari saku jaketnya, kemudian ia ikatkan ke mulutnya layaknya masker.

"Ada apa dengan Isnan?" tanyaku.

"Dia polisi yang menjebloskanku ke penjara pada kasus Ratna tahun lalu."

"Hah?"

"Hendrik Suprapto—ayah cewek tadi—membebaskanku setelah menemukan bukti bahwa aku tidak bersalah. Kalau bukan karena dia, aku pasti sudah dihukum mati."

"Jadi dari situ Om tahu Alin dan ayahnya?"

Deni mengangguk. "Isnan sering menjadikanku kambing hitam. Seperti tahun lalu. Dia takkan menyia-nyiakan kesempatan untuk menyerangku tak peduli aku salah atau tidak. Kalau ucapanmu benar, aku juga bakal jadi sasaran utamanya kali ini."

"Tapi ... kenapa?"

"Balas dendam."

Hanya itu jawaban yang Deni berikan. Setelah itu, ia menerima panggilan telepon.

"Halo .... Apa?! Polisi sudah sampai di jembatan? Kenapa baru bilang pas mereka sudah dekat?!"

Deni mengambil tas dan bergegas meninggalkan ruangan.

"Kau juga harus pergi," katanya padaku, sesaat sebelum bunyi sirene meraung-raung tak jauh dari bengkel. Lalu disusul suara tembakan. Ketika aku melongok ke jendela, sekitar lima sampai sepuluh polisi telah tiba di bagian depan bengkel sambil mengacungkan pistolnya.

"Di mana Deni Dongkrak?" tanya polisi yang berdiri terdepan.

"Tidak ada Deni Dongkrak! Pergi kalian!" usir seorang pria berikat kepala merah sambil mengacungkan kunci inggris. Ia melangkah maju diikuti yang lain.

Dor!!

Suara tembakan menghentikan langkah para pegawai bengkel. Tak lama kemudian, pria yang memegang kunci inggris terkapar di atas tanah. Ketegangan berubah menjadi teror di muka orang-orang berikat kepala merah.

Seorang polisi tertawa terbahak-bahak sambil memegangi pistolnya yang masih berasap.

***

A/N: And that is all! Gimana pendapat kalian tentang DMD sejauh ini? Silakan vomment kalau berkenan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro