Bagian 43: Ledakan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jalan di depan kantor polisi Petanjungan Utara macet dipenuhi orang-orang. Api melahap mobil-mobil di tempat parkir dan bagian depan kantor polisi. Beberapa petugas pemadam kebakaran tampak sibuk menjinakkan api.

"Harap jangan dekat-dekat! Berbahaya!"

Beberapa polisi tampak sibuk menghalau orang-orang yang penasaran. Sepertinya selain pengunjung Pasar Wage, para pengguna jalan pun berhenti dan melihat. Beberapa dari mereka menggunakan ponsel untuk merekamnya.

Saat api sudah mulai padam, kerumunan pun berkurang. Yang tersisa tinggal para polisi, mobil ambulans, dan beberapa wartawan.

"Grey! Sini!"

Aku mendengar teriakan Red di seberang jalan. Ia melambaikan tangan ke arahku, sementara Alin berlari ke halaman kantor polisi sebelum dihentikan seorang petugas.

"Apa yang terjadi?"

"Ada orang melempar petasan ke dalam kantor polisi," kata Red.

"Minggir! Aku mau ketemu Ayah!"

Alin beradu mulut dengan seorang polisi muda berkacamata hitam.

"Maaf, Mbak Alin. Kita masih belum tahu kondisi di dalam. Bisa berbahaya kalau Deni Dongkrak lepas."

"Terus? Kalau kalian emang berani, cepat masuk dan selamatkan Ayah!"

Beberapa polisi bersiaga di depan pintu masuk kantor polisi. Tak lama kemudian, dua orang pria muncul menerobos kepulan asap. Seorang pria besar berkepala plontos tampak susah payah menuntun pria berbadan tegap dengan kumis dan jenggot yang menyatu rapi. Sekujur tubuh mereka kotor karena abu dan asap, tetapi kelihatannya keduanya tak mengalami luka yang serius.

Mereka adalah Deni Dongkrak dan ayah Alin, Hendrik Suprapto.

Alin berhasil melalui pria di depannya. Aku dan Red pun memanfaatkan kesempatan itu untuk memasuki halaman.

"Berhenti! Angkat tangan!" seru para anggota polisi sambil menodongkan pistolnya ke arah Deni.

"Turunkan senjata kalian!" perintah ayah Alin.

"Tapi, Pak. Dia bisa kabur."

"Kalau dia mau kabur, dia bisa melakukannya sejak tadi tanpa perlu menyelamatkanku."

Para anggota polisi itu pun diam dan menurut.

Petugas dari ambulans segera menghampiri kedua orang itu. Dengan terbatuk-batuk Om Hendrik meminta Deni Dongkrak untuk melepaskannya.

"Aku bisa jalan sendiri."

"Ayah!" teriak Alin. Saat tangannya dicengkeram oleh polisi muda tadi, ia langsung menepisnya. "Enggak usah pegang-pegang!"

Aku dan Red pun dihadang oleh dua orang petugas.

"Alin, sedang apa kamu di sini? Pulang!" bentak Om Hendrik sebelum memakai masker dengan tabung oksigen.

Alin cemberut.

"Aku cuma khawatir sama Ayah! Enggak usah ngegas napa."

"Kalau kamu punya waktu untuk khawatir, mending kamu belajar di rumah sana!"

"Bodo! Percuma aku capek-capek ke sini!" ujar Alin sambil melenggang pergi.

Padahal ayah dan anak ini sama-sama mencemaskan satu sama lain. Kenapa malah jadi berantem? Atau inikah cara keluarga Alin mengungkapkan rasa sayang? Aku bingung.

Deni kembali diborgol dan dimasukkan ke salah satu mobil polisi. Lalu muncul dua orang polisi menyeret seorang pria berpipi kempot dari arah jalanan. Kakinya berdarah. Sepertinya ia tertembak. Meski begitu, ia masih tampak mencoba melakukan perlawanan dengan berteriak dan meronta-ronta.

"Pak! Ini orang yang melempar petasan tadi!" lapor salah seorang polisi.

"Masukkan dia ke mobil," suruh ayah Alin.

Sebelum masuk ke mobil yang berbeda dengan Deni, pria kempot itu masih sempat mengancam.

"Kalau si Isnan keparat itu belum angkat kaki dari kepolisian, kalian bakal melihat pemandangan yang jauh lebih buruk daripada ini!"

Para wartawan merangsek, membuatku tenggelam di tengah orang-orang dengan kamera, sebelum akhirnya aku terlempar ke belakang. Nasib Red sama sepertiku, sementara Alin sudah lebih dulu tiba di depan pintu gerbang. Saat kami hendak mengejarnya, mobil sedan hitam masuk menghalangi jalan. Dari dalam mobil muncul sesosok pria bercodet kail pancing dengan rokok di sela-sela jarinya. Ia memakai jas hitam dan kemeja putih. Beberapa orang dengan pakaian yang sama juga mengikutinya di belakang.

"Buset. Aku keluar langsung disambut cewek cantik."

Isnan.

Alin sontak mundur sampai-sampai menginjak kakiku.

"Maaf," ucapnya.

Isnan meringis. "Kita main lain kali, ya? Om mau ngobrol dulu sama ayahmu."

Pria itu lalu berjalan santai ke tempat ayah Alin berada. Pengikut-pengikutnya mengusir kerumunan wartawan dan menyuruh mereka membuka jalan.

Kami bertiga berbalik arah mengikuti Isnan.

"Apa ini? Baru ditinggal sebentar sudah gosong semua," ucap Isnan lantang. Para wartawan yang tadinya gaduh jadi bungkam.

"Di mana mata kalian semua? Masa ada orang bawa peledak ke sini tidak ada yang lihat?" Isnan melirik ayah Alin. "Setahuku Pak Hendrik mantan polisi terbaik di kota ini."

Rasanya kalimat terakhir tak perlu diucapkan, apalagi di hadapan wartawan.

"Ini semua enggak akan terjadi kalau Om enggak menyerang warga desa!" seru Alin. Bahunya gemetar. Sepertinya ia sendiri juga tak percaya sudah mengatakannya.

Isnan tersenyum, lalu melembutkan ucapannya. "Mereka menghalangi penyelidikan kami. Itu tindakan yang wajar."

"Wajar? Menurut Om menembak orang tak bersenjata itu wajar?"

Para wartawan saling berbisik pada sesamanya usai mendengar perkataan Alin. Sementara itu, Isnan hanya senyum-senyum menahan kesal sambil melirik tajam ke arah Om Hendrik.

"Ayah! Ngomong dong! Ayah tahu kalau Deni Dongkrak enggak bersalah, 'kan? Ayah udah lihat rek—"

Aku cepat-cepat menyikut Alin.

"Hati-hati kalau bicara," bisikku.

"Sugeng," panggil ayah Alin pada polisi muda tadi, "antar Alin dan teman-temannya pulang."

"Siap, Pak!"

Polisi bernama Sugeng pun mengantar kami bertiga masuk ke jok belakang salah satu mobil patroli. Alin dan Red duduk di kedua sisi jendela, sedangkan aku di tengah. Pandangan Alin masih belum lepas dari kerumunan di depan kantor polisi. Ia bertopang dagu sambil menggerutu.

"Jelas-jelas dia yang salah. Ayah lagi, digituin malah diem aja!"

Aku takut menanggapinya malah membuatnya makin kesal.

"Om, tadi itu kenapa sih kok bisa sampai ada yang melempar petasan ke kantor polisi?" tanya Red pada Sugeng.

"Wah, saya juga kurang tahu. Kejadiannya pas jam makan siang, saya ada di warteg tadi. Tahu-tahu ada orang teriak kebakaran-kebakaran," jawab polisi itu sambil fokus menyetir. "Eh, manggilnya Mas aja. Umur saya enggak jauh-jauh amat kok dari kalian. Hehe."

"O-oh, gitu ya, Mas," ucap Red sambil tersenyum canggung.

"Kalian satu sekolah ya sama Mbak Alin?" tanya Sugeng.

"I-iya," balas Red.

"Saya juga lulusan Smansa."

Siapa yang tanya?

Red memicingkan matanya seolah-olah turut menggambarkan isi pikiranku.

Sambil menyetel musik dangdut, polisi itu pun bercerita tanpa kami suruh. Katanya dia lulus Smansa sepuluh tahun yang lalu, pernah jadi ketua OSIS, kemudian lanjut menceritakan pengalaman asmaranya di SMA. Entah kenapa tiba-tiba polisi muda ini jadi sok kenal sok dekat padahal tak ada yang menyimaknya. Alin terus memandangi jendela sementara aku hanya membuka dan menutup kunci layar ponselku. Red yang biasanya cerewet pun hanya meladeninya sesekali, itu pun cuma bilang ya dan ya.

"Kalian cita-citanya mau jadi apa? Kalau Mbak Alin pasti mau jadi polisi kayak bapaknya, ya?"

Tanpa diduga, Sugeng berhasil membuat Alin bicara.

"Ayah enggak mau aku jadi polisi."

"Tidak ada yang tanya kemauan ayahmu kok," celotehku.

Alin melotot padaku, lalu berpaling lagi.

Dengan kata lain, Alin mungkin akan mengikuti jejak ayahnya seandainya diperbolehkan. Melihat karakternya, aku bisa maklum. Seragam polwan pasti cocok untuknya. Bukan berarti aku ingin melihatnya sih. Tidak sekarang.

Kalau aku ... apa cita-citaku? Bisa bertahan hidup sampai besok, mungkin?

Sugeng tertawa kecil dan berkata, "Wajar kalau Pak Hendrik melarang. Jadi polisi sekarang serba salah. Keras sedikit, diprotes. Lembek sedikit, diinjak-injak. Apalagi polisi baru kayak saya. Baru diangkat, eh malah ditempatkan di Polsek Petanjungan Utara. Orangnya sangar-sangar. Premannya sangar, polisinya juga sangar. Kan imej saya jadi ikutan suram. Ke mana-mana orang jadi pada takut sama saya. Kadang saya sedih lihat polisi-polisi di kota lain, bisa masuk TV, bisa jadi pemes, lha saya di sini cuma jadi sasaran timpuk preman."

Setelah mendengar curhat polisi muda di depan kami, aku mulai mengerti. Ia bukannya sok kenal sok dekat. Ia hanya mencoba bersikap ramah dan tak ingin dianggap sebagai polisi yang kejam. Mungkin aku bisa lebih memahami kondisi di kepolisian saat ini lewat dia.

"Emm ... hubungan Mas dengan atasan bagaimana?"

Setelah dipikir-pikir, kenapa yang keluar dari mulutku lebih mirip pertanyaan konsultan karier ya?

"Atasan? Pak Hendrik maksudnya? Beliau baik kok orangnya. Agak kaku sih, tapi kalau enggak lagi tugas sering ngajak ngopi bareng. Beliau sering ngomel-ngomel soal Mbak Alin. Katanya makin gede makin susah diatur. Tapi kalau di kantor enggak bisa kerja kalau pigura foto Mbak Alin enggak ada di atas mejanya."

"Bisa kecilin nggak suaranya? Sampai mati kalau bisa," ucap Alin dingin.

"Mbak Alin nggak suka dangdut?"

"Bukan musiknya, tapi mulut Om!"

"Pfft."

Aku dan Red sontak menahan tawa. Ayah dan anak sama saja.

"Maaf, maksud saya Pak Isnan, bukan Pak Hendrik," koreksiku.

Ada jeda sejenak dalam percakapan kami. Pantulan mata Sugeng di spion mobil tampak gelisah.

"O-oh ... Pak Isnan. Beliau juga baik kok."

Nada bicaranya meragukan.

"Bagaimana Pak Isnan di kantor?"

"Maaf, seharusnya saya enggak bergosip soal atasan kayak begini."

Percuma. Aku takkan mendapatkan informasi lebih banyak dengan cara ini. Aku pun berbisik pada Red untuk menghasut Sugeng.

"Jadi gini, Mas," kata Red sambil menunjukkan kartu persnya ke jok depan sekilas, "saya Mahesa, ini teman saya Grey, kami dari ekskul jurnalistik Smansa. Bulan ini kami mau bikin majalah, tapi artikelnya masih kurang. Nah, kami jadi kepikiran nih, gimana kalau Mas bantu kami jadi narasumber, nanti sebagai imbalannya, foto Mas bakal dimuat di sampul majalah bulan ini. Kami pikir-pikir Mas lumayan ganteng dan kekinian, pas banget sama imej polisi ramah. Kan lumayan bisa pemes di kalangan anak sekolah."

"Oh, gitu toh." Sugeng mengelus-elus rambutnya. "Ya saya bukannya nolak sih. Tapi mau gimana lagi ya, kalau kalian maksa ya nggak papa."

Terlalu banyak kata 'ya'. Sisi positifnya, kami berhasil. Kuakui Red lebih jago membuat rayuan gombal daripada aku. Tampang salesman dan kemampuan meniru aksen lawan bicaranya tak bisa dipandang remeh.

Curhatan Sugeng pun mengalir lancar.

"Jujur saya enggak begitu suka sama Pak Isnan. Entah bagaimana caranya dia bisa jadi Kapolsek menggantikan Pak Hendrik, padahal Pak Hendrik lebih bagus kerjanya. Udah gitu dia itu kayak pilih-pilih sasaran. Kalau orang Lor Pasar yang jadi kriminal, wah, di kantor dia bakal jadi bulan-bulanan. Tapi kalau anak Selatan yang bikin ulah di sini, dibiarkan saja. Saya enggak tahan kalau di kantor ada dia, apalagi sejak Deni Dongkrak ditangkap. Pak Kapolres juga kesannya lepas tangan sama kelakuannya. Malahan, dengar-dengar Pak Isnan bakal diangkat jadi Kapolres kalau bisa membersihkan desa Balongan dari preman."

Red merekam sementara aku mencatat hal-hal yang penting. Polisi itu bilang setelah menangkap Deni Dongkrak, pemerintah kota berencana menggusur Desa Balongan untuk memperluas kawasan industri di sana. Warga desa dan tempat-tempat hiburan di sana bakal direlokasi ke Selatan, tepatnya di kompleks ruko Taman Indah yang sekarang jadi pusat hiburan malam. Sebenarnya rencana itu sudah dicanangkan sejak tahun lalu. Namun, warga desa menolak dipindahkan di dekat wilayah geng Tomcat, musuh mereka.

Sesampainya di rumah Alin, mobil pun berhenti, tetapi Sugeng masih berbicara.

"Saya dengar bakal ada demo besok, dan kalau ancaman orang dari geng Dinamo tadi jadi kenyataan, kemungkinan besar bakal ada kerusuhan kayak tahun lalu. Duh, bakal enggak tidur beneran saya nanti."

"Ah, ngomong-ngomong bisa Mas ceritakan kronologi pelemparan petasan tadi?" tanyaku.

"Daripada saya cerita, mending saya kirim rekaman CCTV-nya, gimana?"

"Wah, serius Mas boleh di-share?" tanya Red antusias.

"Ya paling-paling wartawan-wartawan tadi juga sudah dapat," ujar Sugeng santai.

Setelah kami mendapatkan rekamannya, Alin keluar dari mobil. Ia tak tampak peduli dengan percakapan kami dengan Sugeng.

"Grey, menurutmu Alin perlu dikirimi rekaman juga tidak?"

"Kenapa tadi kau tak tanya dia?"

"Umm ... sebenarnya aku belum bicara dengannya sejak Selasa kemarin."

"Kau masih canggung setelah sadar bahwa Alin masih menyukaimu?"

"Hah?! Bukan itu! Lagian, itu cuma kata-katamu, 'kan? Aku ragu dia masih ... ah, terserah! Kau saja yang ngirim ke dia!"

Red bersikap aneh. Ia buru-buru keluar mobil dan pulang ke rumahnya.

"Rumahmu di mana, Grey?" tanya Sugeng.

"Saya turun di sekolah saja," ucapku sambil memutar rekaman CCTV tentang aksi pelemparan petasan tadi. Ada dua orang pria. Salah satunya memasukkan benda berbentuk lonjong ke dalam tangki bahan bakar mobil yang diparkir di depan teras. Pria lainnya melemparkan benda lonjong lainnya ke dalam kantor hingga terdengar suara kaca pecah. Tak lama kemudian, mobil meledak. Serpihannya membakar teras, disertai ledakan lain dari dalam kantor. Pria yang meledakkan mobil langsung ditangkap, sementara pria lainnya berhasil kabur. Sepertinya ia yang kakinya ditembak tadi.

Akan tetapi, bukan cuma itu yang jadi fokus perhatianku. Jauh di dekat pagar halaman ada sesosok cewek dengan luka bakar di pipi kanannya, tengah memerhatikan kejadian itu dari kejauhan.

Sosok yang familiar.

***

A/N: Halo, thanks udah menunggu. Saya putuskan bakal apdet seminggu sekali kayak biasanya. Selamat buat E-Jazzy yang sudah berhasil memecahkan teka-teki yes or no sebelumnya, dan selamat juga sudah bertahan setahun di wattpad. Maaf gak ada teka-teki lagi karena saya lagi males wkwkwk.

Vote dan komentar kalian selalu kutunggu!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro