Bagian 44: Kabar Buruk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku mendapat chat dari Poppy. Katanya Jerry bersedia menemuiku besok malam sekitar pukul tujuh sampai pukul sembilan. Kubilang padanya tempatnya aku yang tentukan.

Di sekolah, aku menemui Ivan di ruang klub Jurik. Ia sedang bercakap-cakap dengan Sinta, Citra, dan Nia—trio klub Drama yang pernah kutemui.

"Tuh, 'kan?! Dari awal aku udah curiga pasti jubahnya ilang satu!" bentak Ivan.

Di depan mereka ada koper hitam yang terbuka berisi kostum-kostum pementasan kemarin.

"Ya mana kita tahu. Salahin anak-anak perkap dong. Mereka yang make," ucap Sinta sambil memainkan kukunya.

"Ya udah mana? Suruh mereka ketemu aku sekarang!"

"Iya, iya. Cih, jubah dari sampah aja belagu."

"Hah? Ngomong apa ente? Dasar cabe!"

Sambil tertawa, ketiga gadis itu pergi meninggalkan Ivan yang masih marah-marah.

Aku menyapanya saat ia tengah mengunci pintu ruang klub.

"Apa?" ketusnya.

"Aku punya kabar baik dan kabar buruk."

"Lanjut."

"Kabar baiknya, aku berhasil mengajak Poppy untuk berunding besok. Kalau rencanaku sukses, Kakak tak perlu menunggu sampai Selasa untuk tahu siapa Mr. I. Kita hanya perlu menyewa tempat yang nyaman dan aman dari gangguan."

"Kabar buruknya?"

Kugesek-gesekkan kedua jariku.

"Jadi kau mau minta uang biar bisa kencan sama Poppy?"

"Jangan salah paham. Dia tokoh kunci untuk menjinakkan Kak Jerry. Dia juga dekat dengan Kak Rendy."

"Perjanjiannya beri aku informasi dulu, baru kukasih uang. Ke mana uang lima ratus ribu yang kukasih kemarin?"

Aku tak bisa menjawab.

"Pakai uangmu sendiri!"

Ivan menarik kopernya dan bergegas.

"Tunggu," cegahku,"bagaimana kalau Kakak pesankan tempat di kafenya Gita? Kakak pernah pesan di sana, 'kan?"

"Kenapa tidak pesan sendiri?"

"Aku yakin bakal langsung ditolak kalau mereka tahu aku mau mengutang. Kalau Kakak yang pesan mungkin lebih gampang."

Ivan memandangiku sambil memble.

"Aku tanya mamanya Gita dulu." Ivan mendekatkan ponselnya ke telinga. "Halo, Tante? Ini, aku mau booking tempat di kafe Tante lagi buat besok, bisa?" Ia menoleh padaku. "Jam berapa?"

"Jam tujuh sampai jam sembilan."

"Jam tujuh sampai jam sembilan .... Ada? Eh, tapi bayarnya telat enggak apa-apa, 'kan? Buat Gr—"

"Jangan sebut namaku."

"Tulis aja buat Ivan. Ayolah, boleh ya? Atau gini, kalau dia enggak bisa bayar suruh aja dia kerja di tempat Tante. Hahaha. Boleh? Makasih, Tan. Salam buat Gita."

Ivan mematikan ponselnya.

"Kau dapat tempat di belakang kafe. Gazebo paling pojok dekat kolam ikan. Puas? Mau minta apa lagi?"

"Sebenarnya ... aku butuh bodyguard. Kakak punya teman yang cukup kuat untuk menghadapi Kak Jerry?"

Ivan melotot dan menggeram pertanda aku harus pergi.

Aku tak berharap dia bakal mengabulkan semua permintaanku sih. Aku yang memulai, maka aku juga yang harus maju sendiri.

Lagi pula, aku belum kehabisan pilihan.

"Halo, Kak Feli?"

"Siapa ini?"

"Ini Grey, Kak."

"Gery?! Ngapain nelpon-nelpon?Cuma karena Ivan percaya sama kamu bukan berarti kamu bisa sok akrab sama aku!"

"Maaf kalau Kakak tersinggung. Kapan Kakak mau menyerang Tomcat?"

"Hah?"

"Tolong jangan berlama-lama. Aku tahu Kakak jadi ketua Pink Blazer lagi."

Ada jeda yang cukup panjang.

"D-dari mana kamu tahu?"

"Kakak tenang saja. Aku tidak akan bilang pada siapa-siapa kalau Kakak mau membantuku. Kita saling bantu, oke? Sama seperti Kakak, aku juga punya urusan dengan Tomcat."

"Heh. Emang kamu mau bilang sama siapa? Aku udah siap buat dikeluarin kok. Aku enggak butuh 'bantuan' dari pemeras kayak kamu."

Aku tersenyum. "Coba pikir lagi, Kak. Menurut Kakak apa yang bakal Tomcat lakukan pada tim penyusup Pink Blazer kalau rencana Kakak bocor?"

"Dasar berengsek!"

"Aku takkan sampai hati untuk melakukannya. Aku cuma minta Kakak menyuruh anggota Kakak untuk mengawasi kafe Re:Noir besok, mulai pukul setengah delapan malam. Pastikan kafe itu bersih dari geng Tomcat kecuali Jerry dan Poppy. Aku akan ke sana sekitar pukul sembilan. Kalau kalian melihat anak geng Tomcat lain, bunyikan klakson motor panjang-pendek-panjang-pendek."

Belum ada jawaban dari Feli.

"Kalau Kakak masih ragu denganku, anggap Kakak melakukannya demi Kak Ivan. Kakak juga mau membantunya, 'kan?"

"Oke, tapi kalau aku tahu kamu mengkhianati Ivan, aku enggak peduli meski kamu mati di tangan Tomcat."

Akhirnya. "Oh ya, aku juga perlu kalian untuk mengawasi Pak Seta juga."

"Pak Seta? Emang dia kenapa?"

"Buat jaga-jaga. Nanti kukontak lagi. Dah."

Aku mengakhiri sambungannya. Kuputar lagi rekaman CCTV yang kudapat dari polisi bernama Sugeng tadi.

Kurasa aku perlu menemui dia.

***

Pukul lima sore. Gardu poskamling di gang menuju desa Balongan lebih ramai daripada saat aku terakhir ke sini. Orang-orang dengan kain merah berlambang tengkorak bertambah jadi tujuh orang.

"Siapa?" tanya pria ceking bergigi ompong.

"Saya Grey. Kita pernah bertemu sebelumnya."

Pria ompong itu mengamatiku sambil menyipitkan matanya.

"Dia anak yang pernah masuk bengkel sama Bang Dongkrak," terang rekannya.

Si pria ompong masih skeptis.

"Kamu bukan anak Lor Pasar. Apa keperluanmu di sini?"

"Saya mau bertemu dengan Azka."

Sesaat kemudian, orang-orang di gardu yang tadinya sedang bermain kartu menghentikan aktivitasnya. Ada yang datang.

"Seharusnya kamu enggak ke sini, Mas," ucap Azka. Wajahnya tampak lesu. Di kedua tangannya terdapat bekas oli dan bubuk mesiu. Perangainya lebih suram daripada saat aku bertemu dengannya Rabu kemarin.

"Aku cuma mau menengokmu."

"Aku enggak apa-apa, Mas. Aku aman di sini."

"Udah ketemu, 'kan? Pergi, pergi!" bentak si ompong sambil mendorongku.

"Azka, bisa kita bicara sebentar?"

Azka menatapku sejenak. Matanya bengkak, kantung matanya mulai mirip almarhum kakaknya saat masih hidup.

"Jangan kelamaan di sini. Enggak semua orang senang sama pendatang."

Azka mengizinkanku masuk.

Menjelang malam, desa Balongan lebih ramai daripada saat siang. Toko-toko dan tempat hiburan mulai menyalakan lampunya dan orang-orang mulai melakukan aktivitasnya di sepanjang jalan. Mirip pasar malam. Pada setiap bar, losmen, dan toko yang kulewati selalu ada pria dengan kain merah yang menjaga di depan pintu masuk. Mereka menenteng berbagai macam senjata tajam dan tumpul, mulai dari golok sampai gir motor. Rumah-rumah warga juga tak luput dari penjagaan mereka. Termasuk rumah Azka.

"Saya ingatkan sekali lagi, saudara-saudara. Besok jam sepuluh kita harus sudah merapat di depan pasar loak. Ayo buktikan kalau perjuangan kita belum habis!"

Seruan-seruan bersemangat bergema bersamaan dengan bubarnya kerumunan di samping rumah Azka. Kelihatannya area bekas tambak di samping rumah Azka dibersihkan dan digunakan untuk orasi. Bagian depan rumah Azka pun ramai. Saat Azka lewat di depan mereka, satu per satu dari mereka menyalami, menepuk pundak, mengajak tos, dan memberi semangat pada gadis SMP itu. Lama kelamaan kerumunan di depan rumah Azka pun berkurang hingga menyisakan beberapa pria berikat kepala merah.

"Bagaimana keseharianmu sekarang?" tanyaku sesampainya di dalam.

"Enggak masalah. Anak-anak bengkel selalu ada kalau aku butuh apa-apa."

"Kau ternyata cukup akrab dengan mereka, ya."

"Enggak semuanya, sih. Cuma keluargaku dekat sama Om Deni."

"Bapakmu bagaimana?"

"Bapak ... masih harus bayar utang. Aku enggak tahu dia di mana."

Bagian dalam rumah Azka kini penuh dengan atribut-atribut unjuk rasa. Bendera, tongkat, papan-papan berisi tulisan-tulisan yang menolak penggusuran, serta tuntutan untuk menegakkan hukum dan HAM. Selain itu ada pula beberapa alat musik seperti drum, gong, dan gendang, serta alat-alat memasak dan ember rongsokan.

"Umm ... kau tidak apa-apa rumahmu dijadikan tempat penyimpanan barang?"

"Enggak."

"Oh, begitu."

"Mas, aku enggak punya banyak waktu."

Aku menelan ludah. Rasanya Azka yang sekarang di depanku lain dengan Azka beberapa hari yang lalu. Lidahku jadi kelu.

"Sebenarnya ... aku ke sini karena melihatmu di depan kantor polisi tadi siang. Atau mungkin itu bukan kau. Entahlah. A-aku cuma mau memastikan."

Azka menghela napas. Ia tampak tenang seolah sudah paham arah pembicaraanku. Ia beranjak dan mengajakku ke kamar kakaknya. Saat ia membuka pintu kamar, bau mesiu dan bahan kimia yang tak kuketahui langsung menusuk hidungku. Kamar itu kini terisi penuh oleh kardus-kardus berisi petasan, mulai dari mercon korek, kembang api, sampai mercon sebesar lengan—mirip dengan yang dilemparkan ke kantor polisi.

"Aku tahu yang Mas pikirkan. Enggak usah bilang apa-apa."

Aku bahkan tak tahu harus bilang apa.

"Petasan yang dilempar ke kantor polisi tadi berasal dari sini. Sejujurnya, aku juga enggak percaya mereka bakal benar-benar melakukannya."

"Dari mana semua ini?"

"Barang-barang ini udah lama dikubur di tanah bekas tambak di samping rumah."

"Punyamu? Atau ...."

"Ya, dulu saat kami masih di desa Tegalrandu, kami punya sawah. Habis dijual, uangnya buat usaha kembang api. Tapi kami tutup gara-gara ... Mas tahu kasus kebakaran panti?"

"Pondok Kamboja?"

Azka mengangguk. "Penyebab kebakaran itu adalah petasan yang kami jual. Pemilik panti menuntut Bapak buat ganti rugi. Bapak dilarang menjual dan membuat kembang api lagi. Sebagian besar bahannya disita karena dianggap berbahaya. Cuma ini yang tersisa."

'Cuma ini' katanya. Tapi tetap saja kalau ini semua digunakan sebagai senjata, kerusakannya bakal jauh lebih buruk daripada siang tadi.

"Eh, tapi ada juga yang bikinanku sendiri," katanya sambil mengajakku ke belakang rumah. Ia menunjukkan kaleng minuman bersoda yang bagian atasnya ditutup kertas karton. Ada sesuatu mirip kawat yang mencuat di atasnya, dan di ujungnya ada kunci jam beker. "Kita enggak perlu menyulut sumbunya dengan api. Cukup tarik kuncinya, terus lempar."

Azka menjelaskan sambil memeragakannya. Ia melemparkan kaleng itu di tanah kosong. Beberapa detik kemudian, kaleng itu meletup dan mengeluarkan asap berwarna biru yang makin lama makin pekat.

"Ini adalah eksperimen pertamaku yang sukses. Sebelumnya aku pernah coba bikin yang lain, tapi malah kena mukaku."

Jadi itu asal luka bakar di wajahnya.

"Aku menamainya 'Granat Koka Kola'," ujarnya bangga.

"Apa tidak masalah menamainya dengan nama merek minuman?"

Azka tertawa kecil mendengar pertanyaanku. Aku cukup takjub sejujurnya. Tak banyak anak SMP yang bisa membuat benda semacam itu dari bahan seadanya.

Akan tetapi, ada hal yang lebih penting untuk ditanyakan.

"Kau dan warga desa tidak berencana membawa semua bahan peledak itu saat demo besok, 'kan?"

Raut wajah Azka berubah sedih.

"Kalau aku bilang iya, apa Mas Grey mau melaporkanku?"

"Apa kalian mau bunuh diri? Aku tahu kau dan warga sini masih dendam, tapi untuk apa kalian berbuat sampai sejauh ini? Kalian boleh demo. Malah mungkin kalian bisa menang di pengadilan. Tapi setelah penyerangan tadi, sekarang polisi jadi punya alasan yang kuat untuk menghancurkan kalian."

"Pengadilan? Ah, ya. Orang-orang yang mengosongkan tanah kami. Katanya mereka bakal ngasih kami pekerjaan, tapi pada akhirnya perusahaan-perusahaan lebih suka mempekerjakan para pendatang. Yah, mau gimana lagi. Bapak ibuku enggak sekolah buat jadi karyawan pabrik. Kebanyakan orang sini cuma bisa kerja sebagai petani, peternak, dan pedagang. Saat kami mencoba merintis usaha pun, orang-orang di atas enggak memberi kami kesempatan. Mereka menyalahkan kami. Katanya tempat ini sarang maksiat, tapi apa kami punya pilihan? Warga sini lebih banyak dapat duit dari jualan ciu daripada jadi buruh pabrik."

Aku membuka mulut, tapi kata-kataku kutelan lagi. Aku sadar aku juga pendatang dan ibuku bekerja di perusahaan yang mengambil tanah keluarga Azka. Semakin banyak bicara, semakin aku merasa ucapanku bakal menyakitinya.

"Dan setelah menyerang kami, mereka seenaknya aja bilang mau menggusur tempat ini. Mereka pikir kami tikus yang bisa diusir sana-sini? Kami juga punya harga diri!"

Suaranya mulai serak. Lamat-lamat kulihat air menetes perlahan dari pipi ke dagunya.

"Makasih simpatinya, Mas. Tapi keputusanku udah bulat."

Demikianlah akhir percakapan kami. Aku merasa kehadiranku tak berguna di sini. Sejak awal apa yang kuharapkan dengan kembali ke tempat ini? Mengajak Azka ke tempatku? Merawatnya seperti adikku sendiri? Dia sudah menolakku sekali dan dari sikapnya jelas dia bakal menolakku dua kali. Atau aku ingin memberi tahu Azka bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja? Cuma pahlawan kesiangan yang bisa mengatakan hal semacam itu tanpa tahu cara mewujudkannya.

Dadaku sesak. Tanganku mengepal erat tanpa tahu harus memukul siapa. Aku ingin berteriak, tetapi aku masih berada di kawasan preman. Aku butuh uang, tenaga, dan mungkin juga asuransi jiwa. Namun, yang kupunya hanya pentungan, pistol air, dan tubuh payah dengan sedikit stamina. Apa aku bisa lebih bermanfaat daripada sekadar jadi samsak dan diinjak-injak?

Aku muak.

***

A/N: Terima kasih sudah membaca, vote, dan berkomentar! Wyatb!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro