Bagian 47: Konfrontasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Usai menitipkan jaket Alin di tempat pencucian, aku pun pulang. Belum ada tanda-tanda pergerakan massa di utara. Sepertinya Deni Dongkrak cukup baik dalam melakukan pekerjaannya.

Akan tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Menjelang maghrib, media sosialku ramai oleh kabar tentang berkumpulnya para warga desa Balongan di sekitar pasar loak. Sejauh ini belum ada berita tentang pelemparan petasan atau tindakan anarkis lainnya. Meski begitu, aku tak merasa lega sedikit pun. Aku mulai kehabisan waktu.

"Halo, Red, di mana kau sekarang?" tanyaku lewat telepon.

"Di rumah, kenapa?"

"Malam ini tolong jangan ke mana-mana. Katakan itu pada Alin juga."

"Grey, aku sudah melakukan perintahmu sejak kemarin-kemarin, tapi apa yang sebenarnya kaurencanakan?"

"Kau akan segera tahu. Saat ini, kau cukup jaga Alin baik-baik. Apa itu sulit?"

"Bukan begitu, tapi—"

"Red, kita teman, 'kan?"

"...."

"Red?"

"Oke."

Kukatakan hal yang sama pada Alin. Lalu kusuruh Poppy menunggu di minimarket yang tak jauh dari kafe Re:Noir.

Setelah mandi, berganti baju, dan membawa beberapa perlengkapan, aku bertemu Poppy sekitar pukul setengah tujuh malam. Ia datang dengan diantarkan oleh limosin hitam. Setelah berpamitan dengan sopirnya, ia melambaikan tangan padaku dan berkata,

"Kenapa enggak nyuruh aku jemput kamu aja?"

"Aku suka jalan-jalan," balasku. Kuamati penampilannya dari atas ke bawah. Kedua kucirnya jatuh di kanan-kiri kepalanya mirip telinga kelinci yang sedang tiduran. Ia memakai baju hitam lengan panjang, rok mini sepuluh senti di atas lutut, dan kaus kaki hitam. Ada yang lain di wajahnya. Ia memakai kacamata. Aku tahu karena selain bingkainya besar, ia juga terus memain-mainkannya di depanku.

"Aku baru tahu kau rabun jauh," ucapku.

"Ya, biasanya aku pakai lensa kontak. Tapi aku lupa di mana naruhnya."

Oh, lensa kontak aneh yang membuat matanya berbeda warna ya?

"Gimana? Hmm?" tanya Poppy. Dari caranya mengedip-ngedipkan mata lentiknya, aku bisa mendengar pikirannya mengatakan, "Aku imut enggak?"

"Ah, ya, kau sangat imut. Semoga kau jadi anggota JKT48 dan pergi dari kota ini sehingga aku tak perlu melihatmu lagi."

"Ha? Ih, Grey jahat!"

Kubiarkan Poppy mencubit-cubit lenganku dan kutanya, "Di mana kakakmu?"

"Kak Rendy lagi party sama teman-temannya di gunung," ucapnya sok polos.

"Maksudku Kak Jerry."

"Kak Jerry masih ada kerjaan. Kan kata kamu janjinya jam tujuh."

Aku melirik ke arah beberapa cewek yang nongkrong di depan minimarket. Ada blazer merah muda di jok motor mereka. Feli bilang bakal ada anggotanya yang mangkal di sini dan beberapa titik lain di sekitar kafe. Tampaknya mereka sudah datang.

"Ayo pergi," ajakku.

Kami melewati gang gelap di samping minimarket. Kulalui sekitar delapan tikungan untuk sampai ke tempat tujuan kami. Setibanya di depan kafe, Poppy berkomentar.

"Kalau sejak awal aku tahu kamu bakal bawa aku ke sini, kita enggak perlu muter-muter kayak tadi."

"Kalau sejak awal kuberitahu kau lokasi pertemuannya, aku tak tahu perangkap apa yang bakal kausiapkan."

"Idih, segitunya kamu curiga sama aku?" Poppy cemberut, lalu sesaat kemudian tersenyum licik. "Oho ... jangan-jangan kamu mau jalan-jalan ya sama aku? Tinggal jujur aja apa susahnya sih, Grey."

Aku mengabaikannya dan bergegas masuk. Kudatangi meja resepsionis, lalu bilang kalau kami yang memesan tempat lewat Ivan. Ivan bilang tempatnya ada di belakang dekat kolam ikan. Sang resepsionis pun mempersilakan kami. Katanya kami bisa memesan sambil duduk. Rupanya di balik pintu belakang kafe masih ada area luar ruangan dengan beberapa gazebo, lampu taman, dan pepohonan. Kami duduk di salah satu gazebo yang diterangi oleh lampu petromak di langit-langit serta lilin beraroma wangi di atas meja.

"Permisi, Kak, mau pesan ap—eh, Grey sama Poppy??!"

Karina, dengan jilbab putih dan baju pelayannya yang hitam-putih, datang membawakan daftar menu dan catatan kecil. Ia menjatuhkan pulpen di tangannya, membuatku refleks berpaling memandangi kolam. Aku sudah menduga ini bakal terjadi, tapi tetap saja canggung.

"Hai, Rin!" sapa Poppy dengan santainya.

"Hai, anu, maaf, baru kali ini aku lihat kalian ... berdua."

"Grey yang ngajakin aku kencan. Ya 'kan, Grey?"

"Diamlah."

"Oh, gitu," ucap Karina lemah meski tetap tersenyum. Sialan. Tiba-tiba aku ingin pulang. "Kalian mau pesan apa?"

"Apa yang spesial hari ini?" tanya Poppy.

"Emm ... kami punya menu baru. Mau coba?" Karina menunjuk sebuah gambar es krim dalam daftar menu.

"Cold Knocker?" kataku tanpa sadar. Aku sampai harus mengucek-ngucek mataku. Memang benar, nama menunya Cold Knocker, es krim dengan campuran berbagai varian kopi.

"Kata Gita itu ide bagus jadi kami coba-coba bikin deh." Karina melirikku dan menahan tawa. Aku tak menyangka mereka menggunakan celetukan asalku sebagai inovasi baru. Sekarang aku bingung harus bangga atau malu.

"Kayaknya enak. Boleh, boleh," kata Poppy. "Grey juga mau?"

"Terserah."

Aku hanya ingin mengubur kepalaku di bawah bantal.

Setelah Karina pergi, Poppy memandangku sambil cengar-cengir jahil.

"Oh, jadi tipemu yang kayak gitu toh."

"Ya kebetulan aku suka es tung-tung."

Poppy cekikikan. "Emang apa sih yang menarik dari Karina?"

"Setidaknya dia tak seperti seorang bintang klub Drama yang suka mempermainkan cowok demi mencapai tujuannya."

"Oh." Senyuman Poppy menghilang. "Apa yang bikin kamu yakin kalau Karina lebih baik daripada aku? Kamu enggak tahu apa-apa tentang dia, Grey."

Aku tak membantah. Balasanku tadi bukan untuk memuji Karina, tetapi sekadar sindiran untuk Poppy. Jangan salah paham. Aku tak membenci Poppy karena dia pernah mempermainkan orang-orang terdekatku. Aku hanya kesal padanya karena ia mengingatkanku pada diriku sendiri.

Sama seperti Poppy, aku tak segan mengotori tangan dan mulutku untuk melindungi yang ingin kulindungi.

Kuawasi gazebo-gazebo lain di sekelilingku. Aku mendapat pesan bahwa beberapa orang dari geng Dinamo sudah datang kemari sesuai permintaanku. Orang-orang di sekitarku kelihatan sibuk sendiri, tetapi beberapa di antara mereka melirik tempatku lebih sering daripada pengunjung biasa. Jumlahnya sekitar delapan orang. Enam pria komplotan Deni, ditambah dengan dua orang cewek abg utusan Feli.

"Grey, lihat ke mana sih? Kan aku di sini."

Poppy bertopang dagu. Sok imut.

"Kapan Kak Jerry datang? Ini sudah lewat jam tujuh."

"Kenapa sih buru-buru amat? Mending kita ngobrol berdua biar makin dekat."

Deni juga belum datang. Aku tak yakin orang-orang itu bisa menghentikan Jerry kalau ada apa-apa.

"Ini kencan pertamamu sama cewek ya?"

"Aku sering jalan-jalan dengan ibuku."

"Pfft. Abis kamu kayaknya grogi banget sih," ucapnya sambil meletakkan tangannya di atas tanganku yang tanpa kusadari telah mengetuk-ngetuk meja sejak tadi.

Belum sempat bereaksi atas kelakuan Poppy, seseorang memegang belakang kepalaku dan menghantamkannya ke atas meja.

"Singkirkan tanganmu dari tangan Poppy atau—"

"Kak Jerry! Lepasin nggak!?" bentak Poppy. "Hobi banget sih ngajak orang berantem."

Perlahan-lahan tekanan di kepalaku berkurang. Jerry mendadak muncul dengan baju dilinting dan tangan berhiaskan keling. Astaga. Sama seperti saat di depan mading, aku tak bisa merasakan perubahan atmosfer ketika Jerry mendekat. Apa dia ninja?

Poppy menyuruhnya duduk. Mata orang-orang di sekitar kami kini benar-benar fokus mengawasi tempat ini. Hingga pesananku dan Poppy datang, Jerry dan aku hanya diam dan saling menatap. Aku masih melawan rasa takutku, sedangkan Jerry mungkin hanya ingin menghajarku dan pergi.

"Anu, K-Kakak mau pesan apa?" tanya Karina pada Jerry usai menyajikan pesananku. Semangat, Karina.

"Tidak usah."

Karina tersentak meski Jerry sudah menurunkan volume suaranya dibandingkan saat ia membentakku. Gadis itu lekas pergi pelan-pelan sambil memeluk nampan. Saat menuruni gazebo, nampannya jatuh, menghasilkan bunyi kelontang yang memecah keheningan. Kalau aku sendirian, mungkin aku akan membantunya. Namun, rasanya Jerry bakal menelanku bulat-bulat jika kuangkat sendok es krimku sesenti saja.

"Selamat malam, Kak," sapaku sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman.

Jerry hanya memandangi tanganku sembari menggaruk-garuk tato kucing mata tiga di otot bahunya. Tampangnya garang sekeras arca Batara Kala. Tampang singa saja tampak lebih ramah.

"Poppy bilang kau dijebak," ucapnya. "Katanya aku harus minta maaf padamu karena sudah memukulmu. Heh. Minta maaf! Aku tak pernah merasa serendah ini sejak Ayah menyuruhku minta maaf pada Ren—"

"Kak!" potong Poppy. "Enggak nyambung tahu!"

"Santai, Kak. Saya takkan menuntut Kakak minta maaf," ujarku usai mengumpulkan keberanian. "Saya adalah penggemar Kakak. Bagaimana rasanya jadi ketua geng setelah menghancurkannya sendirian?"

"Langsung saja ke intinya. Aku benci saat orang bicara seperti memberi soal matematika," balas Jerry. "Aku benci matematika. Saat ada soal yang sulit, aku selalu ingin merobeknya dan menghajar pembuat soalnya. Jangan buat aku menghajarmu."

Aku tersenyum. Kucoba mengabaikan ancamannya dan melanjutkan, "Kakak selalu cemberut, padahal Kakak adalah ketua geng terkuat di kota ini. Bukannya seharusnya Kakak senang? Apa yang membuat Kakak gelisah?"

Pupil mata Jerry melebar. Tangannya meremas-remas senjata kelingnya.

"Bagaimana hubungan Kakak dengan Kak Rendy?"

Jerry mengernyitkan dahi.

"Kakak takut Poppy kenapa-kenapa. Makanya Kakak menyerang Tomcat untuk memberi pelajaran pada orang-orang yang menyebarkan foto Poppy," ujarku. "Tapi bagaimana dengan Kak Rendy? Dia yang pertama menyebarkannya, 'kan?"

"Dari mana kau tahu?" tanya Jerry geram.

"I-itu beneran, Kak," timpal Poppy. "Aku mau bilang ke Kakak sejak lama, cuma aku takut Kak Rendy bakal—"

"Aku tahu!" Jerry menggebrak meja. "Sejak awal Rendy memang mau menghabisiku. Heh. Sayangnya dia meremehkan kekuatanku. Dia pikir aku bakal mati di tangan Tomcat? Lihat sekarang, mereka semua bertekuk lutut padaku."

"Benarkah?" tanyaku. "Sepengamatan saya, Kak Rendy berhasil menjebak Kakak di Tomcat dan Kakak bahkan tak mampu mengatur anggota Kakak sendiri."

Jerry memukul meja lagi.

"Jangan tersinggung, Kak. Kabar yang beredar bilang kalau Kakak cuma ketua numpang nama. Kakak juga tahu, 'kan? Siapa yang mengatur semua bisnis di balik nama Kakak? Kakak yakin mereka tak hanya menganggap Kakak sebagai kambing hitam?"

"Maksudmu?"

"Kakak bisa berdalih jadi ketua Tomcat demi Poppy. Kakak mungkin bersih dari catatan kriminal. Tapi, Kak, tidak semua anggota Tomcat adalah orang-orang seperti Kakak. Beberapa dari mereka adalah pembunuh, pedofil, pemerkosa, dan perampok. Mereka dengan senang hati bergabung dengan Tomcat karena mereka tahu, selama ada Kakak, mereka punya perisai yang kuat."

Jerry bergeming.

"Mereka bisa saja menyalahkan Kakak semata-mata karena Kakak ketuanya. Saat mereka pikir Kakak tak lagi berguna, mereka bakal berpaling. Siapa tahu, mungkin saja mereka sudah menjebak Kakak untuk membunuh seseorang. Mereka bisa saja memberikan informasi itu ke polisi untuk menyingkirkan Kakak. Kalau itu terjadi, Kakak tak lagi bisa melindungi Poppy dari tangan-tangan bajingan itu."

Aku penasaran apakah Jerry paham yang kusiratkan.

"Saya paham masalah Kakak. Kita sama-sama dalam posisi serba salah. Mungkin Kakak tetap mempertahankan Tomcat karena Kakak masih membutuhkan mereka untuk melindungi Poppy. Mungkin memang masih ada yang loyal pada Kakak. Kalau Kakak berkhianat, Kakak bakal kehilangan dukungan. Tapi apa itu sepadan dengan risiko kehilangan orang yang kakak sayangi?"

Jerry hanya melotot. Apa hasutanku tepat sasaran?

"Kak, hancurkan Tomcat sebelum mereka mengkhianati Kakak."

"Heh. Apa urusanmu dengan kami?"

"Grey juga mau menyelamatkan temannya dari Tomcat," tambah Poppy meski kupikir itu tak perlu.

"Jangankan saya, orang sekuat Kakak pun tak bisa bertarung sekaligus melindungi orang lain sendirian. Karena itu, saya harap kita bisa bekerja sama."

"Kerja sama? Apa untungnya aku kerja sama dengan cowok lemah sepertimu?"

"Tidak banyak sih, tapi ...," kurangkul pundak Poppy, "saya janji bakal melindungi Poppy meskipun nyawa taruhannya."

Jerry mendekat dan mencengkeram leher jaketku. "Jadi kau mau berduaan dengan Poppy selama aku tak ada? Itu maumu? Hah?! Jangan sok, bangsat!"

Sesuatu melesat melalui jarak di antara mukaku dan Jerry saat Jerry hendak memukulku. Sebuah benda menabrak salah satu tiang gazebo. Benda itu pecah dan mengeluarkan cairan serta bunyi mendesis. Kayu tiang yang ditabraknya langsung larut.

Kulirik ke samping. Semua utusan geng Dinamo berdiri sambil bersiap-siap dengan senjata masing-masing. Salah satunya memegang ketapel. Sepertinya ia yang menembakkan benda berisi zat asam barusan.

Kelihatannya mereka sudah tak sabar menunggu.

"Masih mau lanjut?" tanyaku. "Jangan salahkan saya kalau kulit mulus Poppy juga kena."

Jerry melepas jaketku sambil mendorongku. Beberapa saat kemudian, Deni Dongkrak datang dengan jaket kulit hitam dan masker motor yang belum ia tanggalkan.

"Maaf telat, apa yang kulewatkan?" ucap Deni.

"Om dari mana saja?" tanyaku sambil bersyukur dalam hati.

"Menurutmu? Aku kepergok mantan istriku dan nyaris tak diperbolehkan masuk. Kenapa pertemuannya harus di sini sih?"

Aku tersenyum kecut. "Maaf. Awalnya saya tak berencana mengundang Om ke sini."

"Grey, kok kamu enggak bilang apa-apa tentang ini?" bisik Poppy. Aku hanya merespons dengan mempererat rangkulanku.

"Jadi ini rencanamu?" tanya Jerry. "Kau sama saja dengan Rendy!"

"Duduklah, Kak," pintaku. "Mungkin Om Deni ingin bicara dengan Kakak."

***

A/N: Akhirnya kedua pimpinan geng bertemu! Apa yang akan terjadi selanjutnya? Semoga kalian puas dengan kehidupan hardboiled yang Grey jalani. Hwehehehe. Thanks untuk apresiasi, vote, dan komentarnya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro