Bagian 48: Sekak Mat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menyerahkan kursiku pada Deni dan berdiri di belakang Poppy. Lalu kuceritakan rangkuman pembicaraanku dengan Jerry.

"Heh. Sejak kapan bos besar Lor Pasar takluk di tangan cecunguk Smansa?" ejek Jerry.

"Aku sering mendengar reputasi mengerikan tentang ketua Tomcat yang baru, jadi aku datang karena penasaran," balas Deni. "Ternyata kau cuma anak manja."

Jerry beranjak dari tempat duduknya. Anak-anak geng Dinamo turut mendekati gazebo kami dan mengacungkan senjata ke arah Jerry.

"Tahan semuanya," perintahku. "Kak Jerry, Om Deni cuma mau menawarkan kerja sama. Tomcat memang musuh bebuyutan Dinamo, tapi sebenarnya Kakak sendiri juga membenci Tomcat, 'kan? Kalian sama-sama korban. Kenapa kalian malah saling bermusuhan?"

Jerry kembali duduk. Anggota geng Dinamo pun kembali menurunkan senjata mereka.

"Apa mau kalian?" tanya Jerry.

"Suruh anak buahmu agar jangan ganggu kami lagi," balas Deni.

"Cukup adil, 'kan? Tomcat punya segalanya, sementara warga desa Balongan sudah cukup menderita melawan pemerintah dan polisi," tambahku.

"Akan kucoba," kata Jerry.

"Kalau cuma bilang begitu anak TK juga bisa," tukas Deni. "Buktikan."

"Caranya?"

"Serahkan pembunuh Ratna dan Diaz pada kami."

Mata Jerry langsung melotot.

Aku cepat-cepat menyela, "Siapa pun dari Tomcat boleh, 'kan? Serahkan saja orang yang berpotensi mengkhianati Kakak sebagai kambing hitam. Darto, misalnya? Dengar-dengar dia juga mengincar Poppy. Dia mantan napi pemerkosaan, Kak. Kakak pikir itu lelucon?"

Aku beralih ke arah Deni dan para anggota geng Dinamo.

"Bagaimana menurut kalian? Apa itu cukup?"

Deni dan anggota geng Dinamo lainnya mengangguk.

"Tunggu," kata Jerry. "Kalian pikir Darto bakal dengan senang hati kudepak keluar tanpa perlawanan?"

"Lalu? Itu masalah buat Kakak? Bukannya Kakak orang paling ditakuti di Tomcat?" tantangku.

Jerry menggigit bibir. Seorang Jerry pun cemas mendengar nama Darto.

"Kalau Kakak takut Poppy kenapa-kenapa, jangan khawatir. Kami akan melindungi Poppy selama Kakak mau bekerja sama," kataku sembari membisiki Deni, "Poppy teman Gita, tolong jaga dia juga."

Deni membalasku dengan helaan napas panjang.

"Kenapa aku harus percaya kalian?" tanya Jerry.

"Mungkin kita bisa tanya Poppy langsung," ucapku sambil mengelus pundak Poppy. "Kau percaya padaku, 'kan?"

Kutatap matanya yang tampak makin besar gara-gara bingkai kacamatanya. Bibir tipisnya terbuka sedikit dan dahinya mengernyit. Tampaknya ia masih mencerna situasinya sekarang. Kalau sedang begini, dia benar-benar mirip anak SD yang sedang diculik sementara aku sibuk meminta uang tebusan.

Tolong jangan buat rasa bersalahku tambah besar, Poppy.

Poppy tersenyum, seolah membaca pikiranku. "Aku percaya kok."

"Begitu doang mana cukup!" keluh Jerry. "Apa buktinya kalian bakal melindungi Poppy? Apa bedanya kalian dengan pria mata keranjang seperti Darto? Mana mung—"

Deni memukul meja dengan telapak tangannya.

"Lihat posisimu, Nak. Memangnya kau punya hak untuk menawar?" tanya Deni. "Kalau kau tak mau menyerahkan Darto, berarti kau gantinya."

Suara parang bergesekan dari anggota geng Dinamo turut mengiringi ucapannya.

"Kita masih bisa bicarakan ini baik-baik," ucapku. "Kalau Kak Jerry was-was dengan kami, seharusnya Kakak jauh lebih was-was dengan orang-orang yang jelas-jelas mau menjual Poppy. Sekarang kita sama-sama ingin menghancurkan mereka. Setelah itu, aku tak peduli Kakak mau jadi kawan atau lawan kami."

Jerry diam dengan ekspresi tak puas.

"Satu lagi," ujar Deni, "khianati Isnan."

"Hah?!"

"Kau pasti tahu kelemahannya, 'kan? Beri tahu kami dan kami akan melindungi siapa pun yang ingin kaulindungi sampai mati."

"Berengsek!" umpat Jerry. "Isnan katamu? Apa Darto masih belum cukup?! Kalau aku mengkhianatinya, dia bakal memburuku dan menembakku di tempat!"

"Jadi? Kau mau mati di sini?"

"Mending mati di sini daripada berurusan dengan Isnan! Dia takkan cuma membunuhku, dia bakal menyiksaku sampai aku bunuh diri!" Jerry beranjak dan bersiap siaga dengan kuda-kuda petinju. "Itu yang kalian mau? Kalian mau mengadu domba Isnan denganku agar kalian bisa menguasai Tomcat? Keparat!"

Ini tidak bagus. Aku khawatir kami bakal diusir kalau pembicaraan ini berjalan lebih lama. Aku tak bisa membiarkan pertempuran terjadi di sini.

Kuambil kartu pelajar dari dompetku dan kuletakkan di atas meja.

"Ambillah," ucapku pada Jerry. "Ini jaminan kalau saya akan selalu bersama Kakak selama Isnan dan Tomcat saling menghancurkan. Saya juga akan merekam semua yang hadir di sini. Jika Isnan mengincar Kakak, kami akan membantu Kakak. Jika kita gagal, pilihannya antara Isnan yang mati, atau kita mati sama-sama."

Jerry butuh waktu agak lama untuk berpikir. Beruntung ia akhirnya menurut. Kusiapkan kamera Ivan untuk merekam mereka seraya Jerry memulai pengakuannya.

"Apa yang ingin kalian tahu?" tanyanya.

"Katakan apa hubungannya dengan kasus Ratna," jawab Deni.

Jerry menghela napas. Ia berkata lirih, "November tahun lalu, aku pernah memergoki antek-antek Darto membawa cewek mabuk ke Pondok Kamboja. Kudengar Darto menyuap Isnan untuk tutup mulut, dan Isnan sepakat selama dia dapat bagiannya juga. Mereka mengajakku, tapi aku menolak. Lalu aku disuruh jaga di luar selama mereka bersenang-senang. Selanjutnya yang kudengar cuma jeritan-jeritan. Aku sendiri tak berani mengintip ke dalam. Aku baru tahu kalau cewek itu adalah Ratna setelah kulihat mayatnya di kali Gandulan."

Warna merah mulai menghiasi wajah-wajah geram anggota geng Dinamo.

"Aku tak ikut-ikutan dengan apa pun yang mereka lakukan! Serang saja aku kalau kalian tak percaya!" Bukannya menantang, ucapan Jerry terdengar putus asa. "Mereka juga bakal melakukan hal yang sama pada Poppy kalau aku membocorkannya. Bangsat! Aku takkan memaafkan kalian kalau sampai Poppy kenapa-kenapa."

Hening sejenak. Setelah itu, kuminta mereka merangkum hasil perjanjian dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua pihak. Lalu kupotret saat Jerry dan Deni berjabat tangan.

Akhirnya semuanya berjalan lancar setelah menemui beberapa kendala. Aku bahkan mendapat kekuatan baru.

Akan tetapi, kurasa aku masih terlalu naif.

Saat kupikir pertemuan kami sudah selesai, terdengar tepukan tangan yang lambat dari balkon lantai dua kafe. Sesosok laki-laki berpakaian putih-putih tengah duduk sambil mengamati pemandangan di bawahnya.

"Marvelous, marvelous," ucapnya dari atas sana. "Setelah sekian lama, akhirnya Tomcat dan Dinamo bisa berdamai."

"Poppy," bisikku. "Kaubilang Kak Rendy sedang di gunung."

"A-aku juga enggak tahu."

"Rendy!" Jerry berteriak. "Turun kau, bangsat! Urusanku belum selesai denganmu!"

"Turun? No, no, no. Aku harus imunisasi lagi kalau aku bergaul dengan bibit penyakit seperti kalian."

Lima orang pria tegap berjas hitam muncul di hadapan kami. Dua di antaranya juga ada di kiri dan kanan Rendy.

Sandiwara apa lagi ini?

Rendy memandangku. "Kenapa kau tak mengudangku ke pestamu, Grey? Aku bisa bikin pestamu lebih menarik daripada semua figuran yang hadir di sini."

Aku terdiam. Tak ada tanda peringatan yang kudengar dari Pink Blazer. Kalau mereka tak berkhianat, berarti memang benar Rendy bukan anggota geng Tomcat. Jangan panik, Grey. Mungkin Pink Blazer hanya tak menganggapnya sebagai ancaman.

"Poppy, kemarilah," ajak Rendy. "Pemandangannya lebih bagus di sini."

Salah seorang pria berjas hitam menjemput Poppy dan menggenggam lengannya. Poppy meminta maaf padaku sambil beranjak. Matanya tampak berair dan ketakutan, tetapi tanganku tak berdaya untuk menahannya pergi.

Pria dengan ketapel mengambil ancang-ancang untuk membidik lagi. Namun, pria bersetelan hitam lainnya melompat, menepis ketapelnya, dan merobohkannya dengan satu pukulan. Poppy dibawa pergi tanpa permisi, sementara sisa pria bersetelan hitam menghalau anggota geng Dinamo menjauh dari Poppy.

Sepertinya mereka bodyguard profesional.

Saat anggota geng Dinamo hendak menghunuskan parang, Deni berseru, "Berhenti!" dan semuanya pun berhenti.

"Kenapa berhenti? Aku suka melihat manusia purba bertingkah seperti di habitat aslinya," ujar Rendy sambil bertelekan di pagar balkon. "Grey Ismaya. Kata Poppy, kau punya bakat untuk bergabung dengan klub Drama. Kebetulan kami kekurangan stuntman. Jadi ... bagaimana kalau kita tes?"

Ah, ini takkan menyenangkan.

"Bacot! Berhenti mencampuri urusanku!" bentak Jerry.

"Semua urusan anak Smansa adalah urusanku," sanggah Rendy. "Lagi pula kau yang pertama melanggar perjanjian kita. Kau sudah berjanji takkan menginjakkan kaki ke Smansa lagi, tapi kau malah membuat keributan dengan salah satu siswaku. Harusnya kau berterima kasih tidak kuumpankan pada Isnan."

Jerry bergeming sambil mengepalkan tangan erat-erat.

Rendy melanjutkan, "Kau selalu tolol dalam berunding, Jerry. Yang kaupunya cuma gumpalan otot. Pantas anggotamu tak menghormatimu." Cowok angkuh itu bertepuk tangan dua kali. "Amatilah cara kakakmu berbisnis."

Salah satu pria bersetelan hitam mendekati mejaku sambil menenteng tas kresek yang tampak tak asing. Saat dibuka, isinya adalah jaket parka milik Alin yang seharusnya ada di tempat pencucian.

"'Bagaimana kau mendapatkannya?' itukah yang ada di pikiranmu, Grey?" Rendy menebak pikiranku dengan tepat. "Jawabannya mudah kok. I just let my money talks."

Bulir-bulir keringat mulai bermunculan di wajahku.

"Ah, bukan cuma itu." Rendy bertepuk tangan lagi. Pengawalnya segera meletakkan amplop cokelat berisi foto-fotoku memakai wig dan jaket Alin selama dua hari belakangan. "Hobimu unik juga ya, Grey."

Dengan gemetar tanganku merogoh tas pinggangku, sementara Jerry pelan-pelan berdiri sampai bayangannya menghalangi cahaya lampu petromaks di atasku.

"Merasa familiar, Jer?" tanya Rendy. "Biar kuperjelas. Grey adalah perekam yang kaucari-cari. Dialah orang yang menjebakmu membunuh Diaz."

Jerry meremas-remas keling di ruas-ruas jarinya.

"Dialah Mr. I."

Tangan Jerry menyapu es krimku sampai jatuh dan membuat gelasnya pecah berkeping-keping.

"Itu semua omong kosong, Kak!" seruku. "Kak Rendy yang menjebak Kakak!"

"Berisik! Rendy dan kau bicara seperti guru matematika. Kau tahu betapa bencinya aku dengan matematika? Kalian pantas dihajar karena membuatku bingung, tapi karena kau yang kebetulan di depanku, kuhajar kau duluan!"

Ya, aku memang naif. Selama ini Jerry adalah pion milik Rendy. Bukan hal yang mengejutkan kalau dia paham betul cara mengendalikan Jerry. Aku terlalu naif telah berpikir bisa membuat Jerry berpihak padaku. Kata-kata tak lagi dapat menembus otaknya, meski kucoba menyesatkannya dengan cacat logika sekali pun.

Jerry mengangkatku, lalu membantingku ke lantai bak karung pasir. Saat Jerry menunduk hendak memukulku, Deni mencengkeram tangannya dan mendorongnya menjauh dariku. Anggota geng Dinamo sudah bersiap-siap untuk mengeroyok Jerry tepat sebelum Rendy berseru,

"Sebaiknya kau dan antek-antekmu tak mengganggu, Bang Deni. Kau pasti paham apa yang akan terjadi pada desa tercintamu kalau kalian ribut di sini."

Pada akhirnya, aku sudah disekak mat sejak awal.

***

A/N: Dan pada akhirnya, penderitaan Grey belum berakhir. I'd love to hear your opinion about what the hell is going on. :') xD

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro