Bagian 51: Mabuk Darah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku bangun saat mendengar suara azan. Perasaan hangat dan nyaman menyelimuti badanku. Pandanganku silau oleh cahaya putih yang dikelilingi corak geometri dan sulur tanaman seperti yang biasa ditemui di langit-langit masjid.

Ruangan ini terlalu besar dan terlalu luas untuk menjadi kamarku. Aku tak punya kasur king size yang mungkin masih sisa tempat meski kedua orang tuaku ikut tidur bersamaku. Jendela di samping kiriku bahkan dua kali lebih besar daripada pintu depan rumahku, dan keluargaku tentu tak punya dana untuk mendekorasi kacanya dengan lukisan kubisme ala Pablo Picasso. Di samping kananku, ada sosok berbaju putih kemilau sedang duduk di depan meja rias. Cerminnya mirip cermin kerajaan di dongeng Putri Salju.

Ingatanku kembali. Terakhir aku sedang berlari menyusuri samping stadion usai berpisah dengan Deni Dongkrak. Lalu begitu tiba di belakang sekolah, aku terjatuh di pematang sawah dan tak ingat apa-apa lagi. Apa aku ada di surga sekarang? Heh. Teruslah berharap, Grey.

Ada pigura besar berlapiskan emas di dinding, dengan foto sepasang pengantin yang tampaknya baru melangsungkan pernikahan. Di latar belakangnya terdapat spanduk bertuliskan, "Selamat Atas Menikahnya dr. Chandra Wibowo & Agni Prakoso, S.E. Semoga Menjadi Keluarga yang Sakinah, Mawadah, Warahmah".

Tubuhku makin hangat seperti baru dipeluk seseorang. Parfum beraroma buah-buahan yang tak asing kembali mengaktifkan indera penciumanku. Lalu aku pun tersadar. Cepat-cepat kubuka selimut besar yang menutupiku. Di sebelahku, Poppy tertidur pulas sambil memeluk tubuhku.

Aku tersentak. Saat kuangkat tubuhku, rasa sakit menyengat sehingga aku mengerang dan kembali telentang. Pakaianku telah berganti menjadi piyama biru muda. Dahi, tangan, dan jemariku diperban. Reaksiku menarik perhatian sosok berbaju putih yang tadinya kupikir sosok malaikat. Ternyata ia cuma Rendy.

"Sudah bangun?" ucapnya sambil meletakkan kamera di tangannya ke atas meja.

Kuangkat tubuhku lagi dan bersandar di sandaran kasur. Aneh. Itu mirip kamera Alin.

"'Di mana aku?', 'Kenapa kau membawaku kemari?', mungkin kau akan bertanya begitu," ujar Rendy sebelum aku sempat bilang apa-apa. "Kita ada di kamar orang tua Poppy, tapi jangan khawatir. Orang tuanya jarang pulang, mereka juga jarang tidur di sini."

"Bagus. Setelah kabur dari Jerry, Darto, dan Isnan, aku masih harus jadi sandera anak orang kaya," kataku. "Kakak butuh tebusan apa? Pakaian Kakak bahkan lebih mahal daripada sewa kontrakanku."

Rendy tersenyum. Senyumannya manis seandainya ia seorang gadis seperti Karina.

"Jangan sinis begitu lah," ucapnya. Ia mendekat dan mengelus-elus rambut Poppy. "Berterimakasihlah pada Poppy saat ia bangun. Dia yang merengek memintaku untuk mencarimu."

Rendy tampak biasa saja meski Poppy masih menempel padaku. Seandainya Jerry yang ada di depanku, aku pasti sudah jadi bubur kertas.

"Aku juga berhutang padamu," lanjut Rendy. "Berkat kau, Deni, Isnan, dan Tomcat bisa saling bunuh. Kota ini sudah tak butuh makhluk kotor seperti mereka."

Jadi Deni memang sudah tewas.

"Makhluk kotor, huh? Lalu bagaimana dengan keluarga Kakak?" tanyaku.

"Well, kuakui Papaku yang pertama merekrut mereka," balasnya tanpa dosa. "Dulu Papa yang menyusun pondasi kota ini, tapi sekarang caranya sudah kuno. Papa terlalu memanjakan preman-preman itu sehingga mereka jadi besar kepala. Papa pikir dia yang mengendalikan mereka, padahal kenyataannya sebaliknya. Giliran ada kabar bahwa Mr. I juga tahu rahasianya, Papa jadi panik. Aku sih tak begitu peduli pada Mr. I, tapi sebagai penerusnya, mau tak mau aku harus membereskan kekacauan yang Papa buat sebelum mereka menghancurkan keluarga kami. Situasi kota ini makin buruk untuk bisnis. Aku lebih suka memakai cara yang halus, persuasif, dan bersih."

"Bersih." Aku nyaris tertawa. "Seperti cara Kakak mengirim foto Poppy agar Kak Jerry berseteru dengan Tomcat, atau cara Kakak menghasut Kak Jerry untuk menyerangku?"

Rendy tertawa. "Kau punya adik, Grey?"

"Tidak."

"Normal buat seorang kakak menjahili adiknya."

Aku tak tahu definisi normal dalam kamus Rendy.

"Jerry tak punya tempat di rumah. Aku cuma mau memaksimalkan potensinya di jalanan."

"Atau Kakak cuma ingin menyingkirkannya agar Kakak tak perlu menerima bogem mentahnya."

Rendy tertawa lagi.

"Kau masih kesal gara-gara kejadian di kafe tadi malam? Itu aneh. Bukannya memang itu tujuanmu? Pura-pura jadi Mr. I, pura-pura jadi perekam yang dicari-cari Tomcat agar mereka mengalihkan perhatian dari Alin? Aku cuma membantu memuluskan rencanamu, Grey."

"Oh, terima kasih banyak," ucapku tanpa rasa hormat.

"Kau bisa rileks. Alin baik-baik saja."

Aku tak membalas.

"Aku juga bakal marah kalau Alin kenapa-kenapa," tambahnya.

"Kakak punya banyak penggemar yang cantik-cantik. Kenapa Kakak mengincar Alin?"

"Kau pernah lihat tatapannya? Her eyes could kick any straight man into his wildest wet dream." Rendy tersenyum seolah membayangkan Alin ada di hadapannya. "Tak semua cewek punya karisma seperti dia. Takkan kubiarkan Tomcat menyentuhnya dengan tangan najis mereka."

"Apa kabar dengan mantan-mantan Kakak? Kudengar mereka banyak yang jadi pelacur di kelab-kelab milik Tomcat."

"That's unfortunate," ujar Rendy, "but as you know, itu tak sesimpel yang kaupikirkan. Kau mungkin sudah mendengar rumor bahwa aku membuang mantanku dan menjadikan mereka santapan Tomcat, bahkan ikut memerkosa mereka. Tapi itu semua salah. Itu cuma hoaks yang disebarkan oleh pendengki yang ingin menjatuhkanku. Beberapa dari mantanku punya keluarga yang bermasalah sehingga mereka harus menjual diri untuk melunasi utang. Ada juga yang melakukannya atas kehendaknya sendiri. Banyak yang tak bisa lepas dari kehidupan hedon yang kuberikan saat kami masih berpacaran. Sayangnya, mereka memakai jalan pintas untuk memuaskan hasrat."

Aku masih tak percaya. Lagi pula setelah semua yang kualami, siapa lagi yang bisa kupercaya?

"Sebagian memang kesalahanku," ungkapnya. "Aku orang yang mudah jatuh cinta. Saat aku jatuh cinta, selalu ada yang terluka. Padahal kuharap bisa memiliki mereka semua. Kuberi mereka cinta, uang, hadiah, ketenaran, tapi tak semua cewek bisa memahami keinginanku. Pada akhirnya, mereka tetap meninggalkanku."

"Jadi kesimpulannya, Kakak mempermainkan mantan-mantan Kakak sampai Kakak jatuh cinta pada cewek lain, membuat mereka patah hati, lalu bersikap masa bodoh saat mereka terjerat Tomcat? Itu yang Kakak sebut cinta?"

Rendy tertawa seolah ucapanku hanya gema tak bermakna. Bicara dengannya seperti memandang jurang gelap tanpa dasar yang turut berbalik memandangku. Membuatku merinding.

"Kupikir cuma Alin yang berpotensi melampauiku di Klub Jurik," tukas Rendy. "Tapi begitu kudengar cerita tentangmu, aku berubah pikiran. Kau berbakat jadi casanova sepertiku, Grey. Poppy yang sangat pilih-pilih saja tertarik padamu. Aku juga kagum kau bisa membuat Deni memihakmu, sesuatu yang gagal kulakukan selama bertahun-tahun. Jika kau bisa berguna untukku, kau bisa mendapatkan semua cewek yang kaumau."

"Apa mau Kakak?"

"Tugas kita belum selesai, Grey. Jerry menghilang bersama anggota geng Dinamo, sementara Darto dan Mr. I masih berkeliaran. Mereka adalah penghalang terakhir bisnis kami, dan kau satu-satunya orang yang kutahu punya koneksi dengan Dinamo. Jujur, aku suka caramu menghancurkan Isnan dan Deni. Ayo kita buat sampah-sampah itu saling bunuh lagi."

Tidak ada ekspresi benci atau takut di wajah Rendy. Hanya ada senyuman dan tatapan polos. Seakan-akan mengajakku mengadu domba seperti mengajakku menonton pertandingan sepak bola. Seakan-akan kematian orang lain hanyalah hiburan untuknya, dan aku adalah badut penghiburnya.

Lalu bagaimana denganku? Apa aku juga menikmati melihat orang lain mati?

Seandainya aku melakukannya lagi, mungkin aku sama mabuk darahnya dengan para perusuh tadi malam.

"Apa pentingnya peranku?" tanyaku. "Kalau Kakak mau main bersih, kupikir sekarang polisi sudah cukup 'bersih' untuk membantu Kakak."

"No, no, no. Darto harus dilenyapkan sebelum polisi menangkapnya. Jika tidak, Darto bakal menyeret keluarga kami."

"Memangnya aku peduli?"

"Kau harus peduli. Menurutmu apa yang akan terjadi jika perusahaan yang menjadi pusat pembangunan di kota ini hancur? Banyak yang akan di-PHK, pengangguran merajalela, orang-orang seperti Darto bakal makin banyak dan makin sulit dikendalikan, dan tentunya ... kau tak mau ibumu jadi orang pertama yang dipecat, 'kan?"

Heh. Tentu saja dia bakal mengungkit-ungkit ibuku.

"Ibuku tangguh. Lagi pula rezeki bukan cuma ada di tempat Kakak."

Rendy tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Ini, ini alasan orang seperti kalian tak pernah bisa sukses. Kalian tak punya visi. Yang kalian pikirkan cuma untuk hari ini dan besok. Pernahkah kau berpikir bahwa tindakanmu hari ini dapat berpengaruh dalam setahun, lima tahun, atau sepuluh tahun berikutnya? Pernahkah kau berpikir, dengan bekerja sama denganku, bukan cuma kau yang untung, tapi kau juga bakal menyelamatkan lebih banyak orang?"

"Visi, ya?" Aku tersenyum sinis. "Dalam pikiranku, membantu Kakak menyingkirkan Darto hanya menyingkirkan satu mafia untuk digantikan dengan mafia lainnya. Kakak boleh membual tentang menyelamatkan banyak orang, tapi apa bedanya Kakak dengan ayah Kakak? Apa visi Kakak?"

"Aku suka caramu berbicara. Seharusnya kita berteman sejak lama," ucapnya sambil membalas senyumku. "Grey, tidakkah kau merasa kota ini terlalu membosankan?"

"Kenapa? Sering ada tawuran di sini. Kupikir Kakak suka."

"Mungkin, tapi plot film yang awalnya populer pun lama-lama jadi klise, bukan?"

Aku tak membalas.

"Kota ini kurang sentuhan seni. Kita bahkan tak punya landmark," lanjutnya. "Papa telah membuat kota ini jadi kota industri yang tidak enak dipandang. Tempat hiburannya pun dikuasai preman. Kau pernah ke L.A.?"

"Belum."

"Ah ya, kau miskin."

Uh. Perlukah dia mengucapkannya?

"L.A. juga pernah dikuasai mafia, tapi kau tahu, sekarang kota itu jadi pusat industri hiburan dunia. Banyak perusahaan film terpopuler di dunia punya studio di sana, dengan puluhan film diproduksi setiap tahunnya. Tidakkah kau menginginkan Hollywood di sini, agar kaum miskin sepertimu bisa melihatnya tanpa harus jauh-jauh ke Amerika? Apa kau tak mau berkenalan dengan artis-artis terkemuka, atau bahkan jadi seperti mereka? Pernahkah kau bermimpi, suatu saat, kau tak hanya mengikuti tren populer, tetapi juga jadi pusat tren dunia? Setelah semua preman dan bibit penyakit lainnya dibersihkan, itu bukan cuma mimpi. Kau dan orang-orang yang kausayangi juga akan merasakan manfaatnya. Aku tahu kota ini punya banyak bakat dari pengalamanku di dunia teater dan drama. Aku bisa melihat kota ini sebagai The Next City of Angels, kota para malaikat. Kota tempat iblis harus mati ketika menginjakkan kakinya di sini."

"Mimpi yang indah," ucapku. "Tapi maaf, Kak, aku tidak hidup di fantasimu."

Untuk pertama kalinya, Rendy mengerutkan bibir.

"Kau lucu, Grey. Kau menolak bekerja sama denganku, penerus perusahaan yang sudah menghidupi keluargamu, tapi mau bekerja dengan pembunuh ayahmu."

Jantungku serasa jatuh ke rongga perut. "Apa maksud Kakak?"

"Oh, kau belum tahu?" Rendy mengambil amplop besar berwarna cokelat di atas meja rias dan melemparkannya di depanku. "Bukalah."

Dengan ragu kubuka isinya. Foto pertama memperlihatkan ibuku semasa muda, saat ia masih kuliah. Pria muda berambut panjang, gagah dan berkulit gelap menggandeng tangan ibuku dengan latar belakang senja di suatu pantai. Lalu terdapat foto ruang kamar yang familiar, foto beberapa paspor, KTP, serta surat-surat berharga lainnya atas nama Narayan Seta, Roy Narendra, Seto Royandi, dan nama-nama lainnya. Wajahnya memakai penyamaran yang berbeda-beda, tetapi fitur muka foto orang di kartu-kartu itu semuanya sama. Dia adalah guruku, pembimbing klub Jurik dan tetanggaku.

Ada catatan kepolisian yang menyebut pria berinisial R.R., dengan ciri-ciri seperti Roy, terlibat konspirasi pembunuhan di Yogyakarta yang membuat seorang sopir pejabat tewas setelah mobilnya masuk jurang. Polisi gagal menemukan bukti kuat sehingga kasus itu ditutup dan dianggap sebagai kecelakaan.

Sopir itu adalah bapakku.

***

A/N: Hola! Yang penasaran dengan masa lalu grey, bisa bersabar karena grey agak malu kalau cerita tentang masa lalunya. Tehe :P

Lanjut ke survei kedua: Selain Grey, kalian paling penasaran sama POV (sudut pandang) siapa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro