Bagian 52: Bapak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pikirkan tawaranku baik-baik," kata Rendy. Setelah memungut kamera di atas meja rias, ia keluar kamar.

Kumasukkan foto-foto ke amplop cokelat lagi. Kupejamkan mata. Kutarik napas dalam-dalam lalu kusingkirkan tangan Poppy dari pinggangku.

"Bangun," perintahku.

Poppy mengucek-ucek matanya. Ia tersenyum dan berkata, "Pagi, Grey."

"Aku tahu kau cuma pura-pura tidur sejak tadi."

Ia memandangku iba. "Maaf."

Aku beranjak dari tempat tidur. Persetan dengan rasa sakit di tubuhku.

Poppy menarik bajuku. "Kamu mau ke mana?"

"Pulang."

"Tapi kamu belum selesai dirawat, Grey. Bentar lagi Papiku ke sini kok."

Aku tetap berjalan meski harus terseret-seret. Poppy masih belum melepaskan tangannya dari lenganku.

"Grey—"

"Berhenti mengganggu!"

Aku berbalik. Poppy terperanjat. Tangannya langsung lepas dan ia mundur selangkah.

"A-aku panggil sopirku dulu biar kamu bisa pulang."

Gadis itu tersenyum lemah. Matanya tak tampak main-main kali ini.

Poppy mengantarku menggunakan limosin hitam yang ia tumpangi tadi malam. Kami duduk di kursi paling belakang. Aku hanya memandang ke luar jendela sepanjang perjalanan. Aku tak peduli Poppy berusaha menghiburku ataupun sekadar mengajakku bicara. Ia hanyalah hantu dalam pikiranku saat ini.

Pintu rumah terbuka lebar saat aku tiba. Begitu aku keluar mobil, ibuku dan Roy muncul dari dalam rumah dan menyambutku di teras. Raut wajah Ibu tampak lebih tua lima tahun dari usianya sekarang. Rambutnya juga tampak kusut.

"Ya Allah, Grey! Kamu dari mana aja, Nak?" Ibu langsung memegangi kedua pundakku sesampainya aku di teras. "Haduh, kok kamu bisa babak belur begini? Kamu enggak kejebak kerusuhan tadi malam, 'kan? Ibu khawatir tahu!"

Roy berdiri di belakangnya, tanpa ekspresi.

Ibu memelukku. Sepertinya dia tak tahu kalau tubuhku kesakitan saat dipeluk, tetapi kubiarkan saja.

"Grey cuma jatuh kok, Tante," kata Poppy. "Tapi enggak apa-apa dia udah dirawat sama Papiku."

Ibu melepaskan pelukannya. "Eh, kamu anaknya dokter Chandra, 'kan? Poppy?"

"I-iya."

"Terima kasih ya. Ngomong-ngomong berapa biaya—"

"Enggak usah, Tante."

"Oh, gimana kalau masuk dulu?"

"Poppy ada urusan, Bu. Biarkan dia pergi," tegasku.

"Lho, tapi Nak—"

"Biarkan dia pergi." Aku melirik tajam ke arah Poppy.

"E-enggak apa-apa, Tante. S-saya emang ada urusan lain. Permisi. Dah, Grey."

Setelah kupastikan mobil mewah Poppy tak terlihat lagi, kukeluarkan amplop cokelat tadi dari tas pinggangku.

"Sekarang waktunya Om menjelaskan semua ini," ujarku sembari menyerahkan amplop itu pada Roy. Pria itu dengan santai membukanya. Lalu saat ia melihat foto-foto di dalam amplop, wajahnya jadi lebih serius.

"Kau dapat ini dari mana?" tanyanya.

"Apa itu benar?" ucapku mengabaikan pertanyaannya. "Apa benar Bapak dibunuh, bukan kecelakaan? Apa benar Om pernah jadi tersangka atas pembunuhan Bapak? Siapa sebenarnya Om? Kenapa Om punya banyak nama, paspor, dan KTP palsu? Jawab!"

"Grey!" bentak Ibu. "Udah keluyuran, datang marah-marah, sejak kapan anak Ibu jadi berandalan? Minta maaf!"

"Minta maaf? Untuk apa? Dia yang harusnya minta maaf karena sudah menipu kita!"

"Kamu yang enggak ngerti apa-apa! Kamu pikir berapa yang udah Om Roy korbankan untuk kita selama Bapak enggak ada?"

Aku tersentak.

"Jadi Ibu juga sudah tahu? Lalu kenapa Ibu tak pernah bilang padaku? Oh, jangan-jangan sejak awal kalian memang sudah bersekongkol. Mungkin Ibu senang Bapak pergi sehingga Ibu bisa balikan dengan gebetan Ibu sewaktu kuliah—"

Ibu menamparku.

Ini pertama kalinya Ibu menamparku. Jadi begini rasanya. Rasanya lain dengan tamparan Feli. Sakitnya bukan cuma di pipi, tetapi menusuk sampai ke hati. Seperti ada halilintar yang menyambar dari rongga dadaku sehingga membuatku lumpuh berdiri.

Kata Newton, gaya aksi sama besar dan berlawanan arah dengan gaya reaksi. Itu menjelaskan kenapa saat kau memukul tembok, tanganmu juga merasakan sakit. Mungkin itu pula sebabnya Ibu menangis, meski aku tak pernah membalas tamparannya sama sekali.

Aku masuk kamar dan mengunci pintu dari dalam. Menyedihkan. Lelah pasti membuat sekrup di otakku jadi longgar. Biasanya emosiku tak mudah goyah saat mendengar hal-hal yang belum tentu benar. Ibu dan Roy mungkin menyembunyikan sesuatu dariku, tetapi mereka pasti punya alasan yang logis. Alih-alih tenang dan mendengarkan penjelasan mereka, kubiarkan amarah menguasaiku dan meracau seperti bayi.

Sekarang semuanya terlambat. Kata-kata yang keluar tak mungkin dapat kutarik kembali.

Sialan.

Otakku memang sudah kacau sejak kemarin-kemarin, tetapi baru Rendy yang secara total meruntuhkan pertahananku. Ia menyerangku tepat di luka yang tak pernah sepenuhnya tertutupi. Kupikir aku sudah cukup ahli dalam memanfaatkan kelemahan orang lain tanpa menunjukkan kelemahanku sendiri. Ternyata aku salah. Sangat, sangat salah.

Aku bisa sabar menghadapi kekonyolan Klub Jurik. Aku bisa tabah meladeni Red yang emosional dan Alin yang paranoid. Aku bisa tahan melawan ancaman dari Tomcat meski harus dijahili, dirundung, hingga dipukuli. Aku bahkan pernah ditodong pistol, tetapi itu tak membuatku berhenti. Namun, saat kudengar Bapak disebut, rasanya sulit untuk berpikir jernih. Logika seakan tak punya arti untuk menjelaskan betapa bencinya aku ketika Bapak pergi.

Saat sedih, kadang kita mencoba memikirkan hal-hal yang menyenangkan agar tak jadi depresi. Namun, otak itu berengsek. Otak tak membiarkan kesedihan lenyap begitu saja. Otak akan kembali membuka kesalahan-kesalahan masa lalu, kenangan-kenangan pahit, dan luka-luka yang seharusnya sudah terobati. Bahkan kenangan yang indah pun berkhianat dan membuat dadaku perih. Mereka mengingatkanku bahwa pada akhirnya, keindahan itu hanya masa lalu yang takkan kembali lagi.

Bapak selalu muncul saat aku sedang putus asa. Sejak aku kecil, bahkan hingga kini setelah kami berpisah. Alasannya? Entahlah. Dia bukan orang yang pandai menghibur dan mengingatnya hanya membuatku mengingat kekonyolan-kekonyolan yang pernah ia buat.

Bapak memang aneh. Dia tipe orang yang memberiku nama Grey hanya karena terdengar keren, dan Ismaya karena itu adalah nama lain Semar, tokoh wayang kesukaannya. Dia pernah membuatku menggigil saat balita gara-gara tak membaca bahwa obat demam yang ia kasih adalah obat orang tua.

Seringkali orang-orang heran, kenapa salah satu lulusan terbaik jurusan akuntansi seperti Ibu mau menikah dengan Bapak yang cuma seorang sopir pribadi. Namun, aku tahu Bapak tidak bodoh. Bapak punya banyak koleksi buku sampai-sampai kamar kami yang dulu sudah seperti ruang arsip perpustakaan Smansa. Kini buku-buku Bapak yang tersisa ada di kamarku. Kebanyakan tentang novel detektif, kriminal, dan resep-resep masakan.

Meski hanya seorang sopir, beliaulah yang menyarankanku masuk sekolah internasional waktu SD. Bapak skeptis dengan sekolah negeri yang tak punya haluan dan sering gonta-ganti kebijakan. Dia kadang terlalu membanggakan anaknya, padahal belum tentu aku bisa bersaing dengan anak-anak lain di sekolah yang punya standar tinggi. Namun, karena itu pula aku tidak ingin mengecewakannya.

Terlepas dari semua kekurangannya, Bapak selalu menepati janji. Setiap aku berprestasi, beliau pasti memberiku hadiah yang ia janjikan. Sepedaku, Ranger, adalah hadiah saat aku dapat peringkat satu di kelas empat SD. Dia juga orang yang dermawan, saking dermawannya kadang dia sampai lupa bahwa kami lebih butuh sedekah daripada orang yang ia kasih. Dia juga tak pernah menerima imbalan dari orang-orang yang pernah ia beri bantuan. Aku sering kesal dibuatnya. Pernah dengan polosnya aku bertanya,

"Pak, kenapa kita harus menolong orang kalau kita sendiri rugi?"

"Kata siapa menolong bikin kita rugi?"

"Pas Bapak mengantar tetangga yang mau melahirkan, kenapa Bapak tidak terima uang mereka? Bapak juga hampir dipecat 'kan gara-gara telat?"

Orang dewasa lain sering kaget dan tak menyangka anak SD sepertiku menanyakan hal semacam itu, tetapi Bapak sudah biasa. Bapak juga tak pernah menyuruhku diam atau mengatakan jawaban yang ngawur agar aku diam.

"Menolong itu bukan cuma soal materi," katanya. "Dengan menolong secara tulus, kita bisa mendapat kepercayaan. Di masa depan, bisa saja orang-orang yang pernah kita tolong jadi penyelamat kita. Kita tak bisa hidup tanpa orang lain, Grey. Melalui tolong-menolong, kamu bisa mendapatkan kebahagiaan, sahabat, dan perlindungan yang takkan bisa kamu dapatkan kalau kamu egois. Ah, dan kamu juga bisa dapat cewek cantik—seperti ibumu."

Aku masih ingat Bapak sering menggodaku begitu sampai mukaku merah. Sekarang Ibu pun ikut ketularan. Benar-benar menyebalkan.

Saat aku kelas lima, rumah kami pernah kedatangan tamu asing. Mereka memberi Bapak koper yang penuh dengan uang. Bapak tak mau menerimanya, tetapi mereka bersikeras. Mereka meninggalkan uang itu di ruang tamu lalu pergi.

Aku kemudian tahu bahwa tamu misterius itu adalah rekan bos bapakku yang dikejar-kejar KPK karena terjerat kasus suap. Ia meminta bantuan Bapak untuk menghilangkan barang bukti dan menjanjikan keuntungan. Bapak menolak. Tamu itu pun mengancam akan mengatakan Bapak telah mencuri uang tersebut.

Namun, jebakannya berbalik. Bos Bapak percaya bahwa Bapak takkan pernah mencuri sehingga beliau memberikan perlindungan hukum pada Bapak. Bapak pun tampil sebagai saksi kunci. Akhirnya, tamu misterius itu terbukti bersalah dan mendekam dipenjara. Kasus ditutup.

Awalnya kupikir itu adalah bukti bahwa ucapan Bapak tentang tolong-menolong bukan omong kosong. Karena kepercayaan yang ia dapat, Bapak berhasil lolos dari tipu muslihat dan niat jahat. Namun, kenyataan tak sebaik itu. Bapak tak pernah pulang dari persidangan. Selesai sidang, bos Bapak datang dan bilang bahwa mobilnya jatuh ke jurang usai Bapak mengantarkannya pulang. Mobilnya meledak dan jasad Bapak pun hangus di dalamnya.

Sejak awal aku ragu bahwa itu hanya kecelakaan. Sayangnya, tak ada yang mendengar ucapan anak kecil sepertiku. Ibu hanya menangis sambil mendekapku, dan setiap aku mempertanyakan kematian Bapak, ia bakal marah dan mengatakan agar aku tak mengungkit-ungkit soal itu. Satu-satunya orang yang mau mendengarkanku adalah Bapak, tetapi kini beliau sudah pergi meninggalkanku.

Aneh. Padahal di luar cerah, tetapi entah kenapa mukaku terasa basah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro