Bagian 58: Operasi Gudang Balok

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Azka dan dua orang cewek memaki-maki Jerry tanpa henti. Salah satunya adalah cewek bersyal cokelat anggota Pink Blazer. Mereka memukul, menampar, dan mencambuk Jerry dengan ikat pinggang. Setiap menerima siksaan, tubuh Jerry berayun pelan di bawah tali yang mengikatnya. Cowok itu bergeming tanpa perlawanan.

"Kembalikan Mas Diaz!" bentak Azka.

"Di mana kalian menyembunyikan Kak Feli? Hah?!" seru syal cokelat.

"Dasar pembunuh!"

"Penculik!"

"Pemerkosa!"

Jerry tetap bungkam meskipun cewek-cewek itu terus memakinya. Saat Azka hendak mencambuknya lagi, aku segera menghentikannya.

"Lepas!" perintah Azka.

"Tidak akan," balasku.

"Aku udah bilang jangan ada yang boleh masuk selama aku menginterogasi bajingan ini!"

"Menginterogasi, katamu? Kalian cuma menggunakan Kak Jerry untuk melampiaskan amarah! Azka, kaupikir dengan menyiksanya Mas Diaz bakal kembali?" tanyaku.

"Emangnya kamu siapa berani bentak-bentak aku, hah?!"

"Oh, kau bahkan lupa dengan suaraku?" Kulepaskan rambut palsuku. Azka masih tampak bingung pada awalnya. Lama kelamaan, ia pun sadar.

"Mas ... Grey?" Suaranya melembut. Sempat kulihat senyum tipisnya, tetapi tiba-tiba ia membentak, "Pergi! Mas itu cuma pendatang. Masih aja ikut campur urusan kami!"

"Ya, aku memang pendatang. Terus kenapa? Apa membantu orang perlu melihat dari mana asalnya?"

"Membantu? Heh. Jangan sok akrab, Mas. Kalian orang Selatan cuma mau merampas tanah dan kekayaan kami."

"Menurutmu semua orang Selatan begitu? Kau bilang jangan sok akrab, tapi tak memberiku kesempatan agar kita bisa kenal lebih dekat. Lalu apa bedanya kau dengan Isnan?"

Azka terdiam. Perlahan air keluar dari matanya tatkala tubuhnya mendekatiku. Kupikir ia hendak memelukku. Ternyata ia malah mendorongku sekuat tenaga dan berlari keluar ruangan.

Aku memang penghibur yang payah.

Suasana menjadi hening. Mataku silih berganti mengamati wajah letih Jerry, ekspresi bingung kedua anggota Pink Blazer, dan raut muka syok sang putri polisi yang masih tampak kesulitan mencerna situasi yang baru saja terjadi.

"Bisakah kalian keluar sebentar?" pintaku. "Aku mau mengobrol berdua saja dengan Kak Jerry."

Mereka keluar tanpa banyak mengeluh. Setelah kukunci pintunya dengan grendel, aku kembali menghadap Jerry.

"Situasi kita berbalik, heh?"

Jerry yang pertama membuka suara. Pipinya tampak bengkak dan lebam. Kurasa cewek-cewek tadi tak mungkin membuat luka tonjok sebesar itu.

"Apa yang terjadi setelah aku kabur dari kafe?" tanyaku.

"Entahlah. Deni menghajarku sampai pingsan. Lalu tahu-tahu aku ada di sini."

"Begitu ya?" Aku beruntung Deni ada di pihakku waktu itu.

"Di mana pria besar itu sekarang?"

"Wafat. Polisi menembaknya."

"Oh. Padahal aku mau menantangnya lagi," ujarnya lemah. Sosok garang pemarah yang kulihat sebelumnya seolah sirna dari wajahnya. Ia tampak sendu. "Silakan tertawa. Kau ke sini untuk balas dendam, 'kan?"

"Aku tak punya waktu untuk omong kosong semacam itu," ucapku. "Aku mau tanya sesuatu yang mungkin Kakak tahu."

"Apa?"

Kuingat lagi tentang Mr. I, topeng, jubah hitam, keterangan Lilis, dan tengkorak yang kutemukan di saluran air Pondok Kamboja. Aku mengambil napas dan berkata, "Apa ada remaja yatim piatu yang jadi anggota Tomcat?"

Jerry mengernyitkan dahi. "Kenapa kau mau tahu soal itu?"

"Kakak yakin mau tahu alasannya? Kupikir Kakak benci hal-hal yang rumit."

"Heh. Kaukira berapa anggota Tomcat? Mana kutahu mereka punya orang tua atau tidak."

"Kuganti pertanyaannya. Kakak tahu kasus kebakaran Pondok Kamboja, 'kan?"

"Uh-huh."

"Apa ada korban selamat dari kebakaran itu yang sekarang jadi anggota Tomcat?"

Jerry membelalakkan mata. Ada jeda yang cukup panjang dari pertanyaanku dan jawabannya.

"Aku cuma kenal dua orang," katanya. "Mawar dan Unyil—maksudku Jarot. Mereka selalu mengikutiku sejak aku mengalahkan bos berandal di SMK TB. Terutama Jarot. Dia diasuh kenalan ayahku yang jadi pemilik kebun kopi."

Dua dari lima Mo-limo adalah mantan penghuni Pondok Kamboja. Ini informasi baru buatku.

Teka-teki pembunuhan Mas Diaz mulai terang. Namun, itu tak menjelaskan bagaimana jubah Ivan bisa dicuri.

"Kalau anak Smansa? Kakak tahu anak Smansa yang juga pernah tinggal di bekas panti asuhan itu?"

"Memangnya aku apa? Penjaga panti?" hardiknya. "Tapi tunggu, aku pernah dengar Jarot bilang dia punya gebetan di Smansa, temannya di panti asuhan waktu kecil. Akhir-akhir ini Jarot sering menemuinya di kafe yang kita kunjungi kemarin. Namanya Kirana, eh, rasanya bukan itu."

"Karina?"

"Ya, itu maksudku."

Aku menyandarkan punggungku pada dinding di samping Jerry dan jatuh terduduk. Aku tak tahu apa aku sudah siap dengan kebenaran yang ingin kuketahui. Aku sudah mendoktrin diriku sendiri untuk tak percaya siapa-siapa. Namun, kini aku tak tahu lagi.

"Terima kasih, Kak. Aku perlu istirahat sebentar."

Jerry tak membalas. Kami diam tanpa kata selama hampir setengah jam.

"Grey," panggilnya. "Apa Poppy baik-baik saja?"

"Jangan khawatir. Dia masuk sekolah tadi."

Jerry bernapas lega.

"Kau tahu, aku pernah masuk Smansa, tapi baru tiga bulan sudah dikeluarkan," tuturnya. "Aku masuk klub drama bersama Rendy dan Poppy. Guru pembimbingku selalu memaksaku memainkan peran jahat, jadi kutonjok dia. Heh. Kudengar sekarang pembimbingnya ganti ya?"

"Entahlah."

"Aku paling benci saat orang menilai cuma dari penampilan. Sejak kecil, Rendy selalu dianggap pahlawan hanya gara-gara dia tampan dan pandai bergaul. Berapa kali pun aku berbuat baik, aku selalu jadi monster, naga, penculik, itu semua cuma karena tampangku seram.

"Terus kenapa kalau aku jadi monster betulan? Mereka yang memulai, aku yang selalu kena getahnya. Heh. Heheh. Lihat aku sekarang. Hanya untuk melindungi satu orang, aku dicap sebagai pembunuh, penculik, dan pemerkosa. Dunia itu lucu."

"Jadi Kakak mau sesekali berperan jadi pahlawan?"

Jerry mendesah. "Aku bisa apa? Meskipun aku lolos dari sini, polisi pasti menangkapku dan aku akan dihukum berat atas semua kejahatan Tomcat."

"Itu tidak mustahil," kataku. "Kalau Kakak mau, aku bisa menyiapkan panggungnya."

Aku berkata begitu sambil berjalan keluar ruangan. Alin, Ivan, si ompong, dan dua anggota Pink Blazer langsung bertanya macam-macam. Aku hanya bilang bahwa Jerry tak bersalah, dan dia perlu diberi makan dan minum yang cukup.

"Dia bisa jadi sekutu yang tangguh kalau kalian memperlakukannya dengan baik," tambahku.

"Apa rencanamu sekarang?" tanya Ivan.

"Aku menemukan koneksi tentang siapa yang mungkin mengambil jubah Kakak. Pertama, Mawar. Kedua, Jarot. Keduanya anggota Tomcat. Kemudian ...."

"Kemudian?"

"Bukan apa-apa," ucapku. "Masalahnya, aku tidak tahu lokasi mereka sekarang."

"Mawar? Mawar Hitam?" timpal gadis bersyal dari Pink Blazer. "Aku dengar dari grup Pink Blazer kalau dia dan anak buahnya mengambil alih markas kami."

"Maaf, siapa namamu?" tanyaku.

"Mona," jawab gadis bersyal. Ia adalah cewek yang kurus. Benar-benar kurus, tak seperti Alin yang otot-ototnya terlatih meski ia selalu menyembunyikannya di balik bajunya yang kebesaran. Mona lebih terlihat seperti cewek-cewek di kelasku yang menghabiskan waktunya dengan merumpi dan main hape, sampai-sampai lupa bahwa makan adalah kebutuhan manusia yang paling dasar.

Rekannya yang lebih gemuk namanya Rara. Ia kebalikan dari Mona. Lebih banyak lemak yang tersimpan di tubuhnya daripada yang dibakar menjadi tenaga.

Mereka berdua tak tampak seperti petarung. Aku heran kenapa mereka bisa ada di geng keras seperti Pink Blazer.

"Di mana markas kalian?" tanyaku lagi.

"Gudang Balok," kata Mona. "Tapi enggak tahu sih apa dia masih di sana."

Ah ya. Tempat pertemuan akbar itu.

"Bisa kalian ikut kami?" pintaku.

Bersama Mona dan Rara, kami pun naik mobil menuju markas Pink Blazer. Mona bilang lokasinya hanya butuh sepuluh menit perjalanan dari tempat persembunyian geng Dinamo. Sayangnya aku tak bisa mengonfirmasi. Ivan tak mengizinkanku membuka penutup mata sepanjang perjalanan.

Ivan menyuruh sopirnya berhenti dalam jarak dua bangunan dari Gudang Balok. Ia masih enggan ikut campur.

"Aku tunggu di sini. Aku akan lapor polisi kalau ada apa-apa," katanya.

Aku, Alin, Mona, dan Rara pun jalan kaki. Saat Alin hendak berjalan lewat gerbang depan, aku segera mencegahnya.

"Kita belum tahu berapa banyak yang jaga," ujarku. "Mona, seandainya kau maling, di mana tempat paling aman untuk menyelinap ke gudang?"

Mona tampak gelagapan. Padahal aku tak benar-benar menuduhnya maling.

Akhirnya Rara yang menjawab, "Ada celah kecil di pagar belakang."

Kami melewati lorong sempit di samping gudang yang berada di antara got pembuangan limbah gergaji. Celah kecil yang Rara maksud adalah celah persegi tempat petugas kebersihan mengambil sampah. Hanya aku, Alin, dan Mona yang bisa muat.

"Maaf ya cuma bisa sampai sini," kata Rara. "Aku coba hubungi anak-anak yang lain deh."

Alin masuk celah lebih dulu, diikuti Mona dan aku. Kami masuk tempat sampah yang berbentuk kubus mirip bak mandi. Alin membuka penutupnya sedikit. Kulihat di depan kami ada beberapa kayu gelondongan yang ditumpuk-tumpuk. Di sela-selanya, tampak dua orang cowok berseragam SMA tengah berjaga di pintu belakang. Mereka sibuk merokok sambil menggoda dua orang cewek berjaket merah muda.

Mona menggigit-gigit kukunya. Ia tampak khawatir.

"Cewek-cewek itu temanmu?" tanyaku.

"Iya," kata Mona.

"Ah, aku tahu dua cowok itu. Mereka yang menyerangku pas malam Minggu," ujar Alin.

"Jadi kau bisa mengatasinya?"

"Tentu," sahutnya mantap. Matanya tampak lebih bersemangat kali ini.

"Hati-hati, Kak," pesan Mona. "Mawar cuma memimpin cowok-cowok SMA, tapi mereka cukup kuat."

Alin mengalungkan tas kameranya ke leherku. Lalu kami berdua mengendap-endap dari balok kayu yang satu ke balok kayu lainnya. Mona tak bergerak dari tempat sampah. Kusuruh ia mengawasi kami dari belakang.

Aku keluar duluan. Kusapa kedua cowok itu dengan suara falsetto, lalu berkata, "Mas-Mas di sini tahu di mana Kak Mawar?"

Aku takkan pernah menyukai peran ini.

Mereka tertawa. "Kenapa, Neng? Mau gabung sama kami juga?"

Salah satu dari mereka menyentuh pundakku. Mereka benar-benar mengira aku cewek, huh? Mungkin aku bisa masuk tanpa perlu kekerasan.

"Kalau saya gabung, saya boleh ketemu Kak Mawar?" tanyaku.

"Oh, pasti." Ia merangkulku, sedangkan yang lain mengelus bokongku. "Tapi sebelumnya, gimana kalau kita—"

Alin muncul, menggenggam tangan pria itu sebelum sempat menyentuh dadaku. Ia memutar pergelangan tangannya, membuat pria itu membalikkan badan dan bertekuk lutut. Pria kedua bereaksi dengan mengayunkan kepalanya ke arah Alin. Namun, Alin lebih dulu menendang tungkainya sehingga ia pun jatuh tersungkur.

Alin menjambak rambut kedua pria itu dan membuat mereka tengkurap. Tanpa basa-basi, ia bertanya, "Mana bos kalian? Jawab!"

"D-di dalam."

"Ada berapa orang di dalam?"

"S-sepuluh."

"Cuma segitu? Jangan bohong kalian!"

"A-ada cewek-cewek berjaket pink juga. Enggak tahu berapa."

"Apa benar begitu?" tanyaku pada kedua cewek yang tadi dirayu. Kali ini kupakai suara cowokku.

Mereka mengangguk cepat.

"Tenang. Kami takkan menyakiti kalian," ujarku. "Kalian bisa mengurus dua orang ini, 'kan?"

Mereka mengangguk cepat.

Alin kemudian membekap leher kedua cowok itu sampai pingsan. Kau ingat aku barusan bilang bisa masuk tanpa kekerasan? Lupakan saja.

Kuminta kedua cewek itu menyembunyikan tubuh para cowok ke tempat sampah. Kami berdua pun masuk. Aku masuk lewat pintu, Alin masuk lewat jendela. Skenarionya sama. Kuajak orang bercakap-cakap, mengalihkan perhatian mereka, lalu Alin tiba-tiba menyergap dari belakang dan membuat mereka pingsan. Tak terasa empat orang sudah ia lumpuhkan. Hingga kemudian kudengar suara orang ngakak-ngakak di bagian tengah gudang.

"Buka! Buka! Buka!"

Kuintip dari balik pintu. Di sekitar meja bundar dari akar pohon, ada empat orang cowok bermain strip poker dengan empat orang cewek anggota Pink Blazer. Tampak seorang cewek sudah tinggal memakai pakaian dalam dan roknya saja. Ia terlihat kebingungan memilih mana yang harus dilepas.

"Kalian curang!" kata salah seorang cewek.

"Kalian aja yang payah! Udah nyerah aja!"

"Enggak akan! Kami pasti menang dan merebut tempat ini kembali!"

Mata beberapa cewek itu tampak tak kuasa menahan tangis. Kurasa Pink Blazer sudah kehabisan petarung. Ditambah lagi, ketua mereka sekarang jadi tawanan.

"Hei!"

Seorang cowok menegur saat aku tengah mengintip. Ketika aku menoleh ke belakang, telapak tangan Alin sudah menghantam wajahnya. Gadis itu menyeretnya paksa sambil mendobrak pintu ruangan di depanku. Ia mendorong laki-laki itu ke atas meja sambil berseru, "Mana di antara kalian yang namanya Mawar?"

Seisi ruangan tampak syok.

"Alin, Teratai Hitam dari Smansa," ucap seorang cewek di belakangku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro