Bagian 59: Mawar & Teratai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku dan Alin pun menoleh. Ia cewek dengan tinggi menjulang, mungkin sekitar sepuluh sentimeter lebih tinggi dariku. Rambut panjangnya dikucir kuda dengan masker hitam bermotif taring serigala, persis dengan foto yang kulihat di catatan Red tentang Tomcat. Tangannya membawa tongkat bisbol berhiaskan paku-paku berkarat.

"Kamu yang namanya Mawar?" tanya Alin.

"Pura-pura enggak tahu lagi," balasnya. "Udah setinggi apa ilmumu sampai bisa sombong begitu?"

Alin mengabaikan provokasinya.

"Kayaknya lebih enak kalau kita ngobrol di tempat yang lebih luas," ujar Mawar. Ia memimpin kami ke tempat yang penuh dengan serpihan dan potongan kayu. Para cewek dan cowok yang tadi bermain poker pun mengikuti kami dengan hati-hati. Mawar melarang mereka untuk mengganggu.

"Jadi kamu yang menyuruh orang buat nyulik aku?" tanya Alin.

"Mana buktinya? Yang ada kamu yang menghajar semua cowokku."

"Oh, maaf kalau gitu," ujar Alin dengan sarkastis.

"Enggak perlu. Malah aku bangga. Kukira kamu jadi lembek setelah masuk sekolah anak-anak cupu itu."

"Sok kenal. Emang kamu siapa?"

"Kamu beneran lupa sama aku?" Ia membuka maskernya. "Sekarang gimana?"

Awalnya kukira ia adalah seseorang yang kutahu. Ternyata tidak. Dia benar-benar asing. Tampangnya sih pasaran. Tipe yang biasa kulihat di ... uh, pasar. Kau bisa saja berpapasan dengannya tanpa pernah sadar. Kulitnya gelap eksotis, semanis anak tukang sate yang gemar mengoleskan arang ke muka.

"Lin, kau kenal dia?" tanyaku.

Alin mengangkat bahu.

Mawar mendesah. "Kayaknya kekalahanmu waktu SMP udah bikin kamu trauma. Otakmu aja menolak buat mengingatku."

"Oh, kamu yang menang Popda karena curang itu, ya?" tanya Alin.

"Itu namanya cerdik," tukas Mawar. "Tapi orang yang dibutakan aturan kayak kamu mana paham."

"Kenapa kamu bisa gabung Tomcat?"

"Aku cuma mengikuti orang-orang kuat."

"Jadi kamu enggak masalah meskipun mereka udah melecehkan kaum kita?"

"Mereka jadi begitu karena mereka lemah. Lihat aku, bukannya diperbudak, malah cowok-cowok yang jadi budakku."

"Omong kosong."

"Heh, kamu sejak dulu bikin aku muak, tahu? Emang kamu yang paling benar, hah? Cuma karena bapakmu polisi bukan berarti kamu otomatis jadi malaikat. Di dunia ini, cuma yang terkuat yang bisa memutuskan benar dan salah."

"Gitu, ya? Yah, aku juga udah sering melanggar aturan sih. Aku sendiri enggak tahu apa tindakanku sekarang benar atau salah," ucap Alin sambil menendang salah satu potongan kayu ke atas dan menangkapnya. "Dengan logikamu, kalau aku bisa membuktikan bahwa aku lebih kuat darimu, berarti kamu bakal menuruti perintahku?"

"Oh? Kebetulan. Udah lama aku pengen menghancurkanmu di luar turnamen."

Aku berbisik, "Apa tidak apa-apa, Lin? Dia pernah mengalahkanmu, 'kan?"

Alin tersenyum tipis. "Tenang aja. Aku udah cukup istirahat kok."

Tiba-tiba Mawar merangsek lalu mengayunkan tongkatnya ke badan Alin. Beruntung refleks Alin cukup bagus untuk menangkisnya. Saat mereka saling jual beli serangan, aku mundur beberapa langkah ke kerumunan. Kudengar cowok-cewek mantan pemain poker tadi membicarakan siapa yang bakal menang.

"Hei, kenapa kalian tidak melanjutkan taruhan tadi?" tanyaku. "Yang menang dapat tempat ini, yang kalah harus buka baju."

"Ide bagus! Kami pasang buat Bos Mawar!" kata para cowok.

"Lah? Masa kami harus bertaruh buat anak baru itu? Lihat, gitu aja udah kewalahan!" seru si cewek.

Alin masih bertahan menghadapi serbuan gencar dari Mawar. Rambut palsunya terlepas beserta ikat rambutnya. Kini ia harus bertarung dengan rambut panjang tergerai yang makin menyulitkan pandangannya.

"Biar kuberitahu," ucapku. "Anak baru itu tadi berhasil melumpuhkan tujuh orang hanya dengan satu gerakan."

"Serius?!" ucap mereka.

"T-tapi dia tadi emang bisa bikin Tono pingsan sih. Dan aku sampai sekarang enggak tahu di mana yang lain," ujar salah satu anak buah Mawar. Aku beruntung mereka semua anak SMP dan SMA. Kalau ada satu orang dewasa saja yang jadi tangan kanan Mawar, bisa lain ceritanya.

"Ayo, Kak! Jangan kalah sama Mawar!"

"Hajar si sombong itu, Kak!"

Alin mulai mendapat dukungan.

Pertarungan mereka masih seimbang. Alin mampu bertahan dan kini bahkan berbalik menyerang. Saat angin seolah berada di pihak Alin, tiba-tiba ....

"Ahk!"

Kayu di genggaman Alin patah saat beradu dengan tongkat milik Mawar. Mawar mengambil kesempatan itu dengan memukul perut Alin. Ia jatuh terjerembab di antara tumpukan kayu sambil memegangi perutnya.

"Bego," ejek Mawar. "Bisa-bisanya melawan tongkat keramatku cuma pakai kayu lapuk."

Ia menoleh padaku. Cowok-cowok di belakangku kegirangan dan menyuruh para cewek buka baju.

Mawar mengacungkan tongkat bisbolnya padaku. "Kamu penantangku berikutnya?"

Aku menelan ludah. Kulihat Alin telentang dengan tangan di pinggangnya. Ia mengedipkan mata kanannya padaku.

Aku mengangkat tangan. "Aku menyerah."

Mawar mengernyitkan dahi. "Kok suaramu kayak cowok?"

"Bos! Awas di belakang!"

Peringatan anak buah Mawar terlambat. Alin telah menyabetkan ruyung yang tersembunyi di balik jasnya ke tangan Mawar. Tongkat bisbol pun terlepas dari genggamannya. Kemudian Alin memiting leher Mawar dengan lengan kanannya sebelum gadis jangkung itu sempat bereaksi. Mawar memberontak. Namun, Alin menjatuhkan tubuh Mawar ke lantai dan melakukan kuncian yang lebih mirip teknik judo daripada silat.

Mawar tak berkutik. Ia memukul-mukul lantai dengan telapak tangannya tanda menyerah. Cewek-cewek di belakangku pun bersorak gembira.

"Woy!" Dua orang cowok langsung mencengkeram tanganku dan berseru, "Lepaskan bos kami atau temanmu akan—"

"Cukup!" bentak Mawar. "Jangan bertingkah kayak orang lemah!"

Kedua cowok itu pun melepaskanku seraya Alin melepaskan kunciannya dari tubuh Mawar. Tak lama kemudian, bala bantuan dari Rara dan Mona pun datang.

"Kami bawa anak-anak Pink Blazer dari kecamatan sebelah," kata Rara.

Mawar dan para anak buahnya berhasil ditaklukkan. Kedua tangan gadis itu pun diikat untuk diinterogasi.

"Kenapa kamu enggak memakai ruyung itu sejak awal?" tanya Mawar dengan napas masih terengah-engah. "Kenapa memilih senjata yang lebih lemah?"

"Kalau kita bertarung adil, selesainya bakal lebih lama," balas Alin.

"Jadi kamu sengaja mengecohku biar aku enggak sadar kamu punya senjata lain? Kamu berubah, Lin. Kamu tambah licik."

"Licik? Mungkin maksudmu, cerdik."

Mawar tersenyum sinis. Ia mengamati perut Alin. Ada sedikit robekan di kausnya akibat tergores paku. "Dan kamu pura-pura kesakitan, padahal cuma kena sedikit. Heh. Oke, aku mengaku kalah kali ini. Apa maumu?"

Alin melirikku. "Jawab aja pertanyaannya."

Mawar mengalihkan perhatiannya padaku. "Siapa namamu?"

"Grey."

"Grey?! Cowok Smansa yang menang berantem lawan Kak Jerry?"

Ia bahkan sudah mendengar rumor itu, huh.

"Kenapa pakaianmu begitu? Apa kamu lagi dalam penyamaran buat memburu sisa-sisa anggota Tomcat?"

"Yah, begitulah." Kubiarkan saja cewek itu berimajinasi.

"J-jangan salah paham," ujarnya gemetar. "Aku cuma pengikut Kak Jerry, bukan Tomcat. Sabtu malam, beberapa anak buahku diancam sama Darto buat nyulik Alin."

Jerry sungguh disegani. Bahkan cewek setangguh Mawar ketakutan mendengar gosip bahwa aku mengalahkannya.

"Bukan itu yang ingin kutahu," kataku.

"Terus?"

"Mia Rahma Insani," balasku. "Pernah dengar?"

Aku segera menyiapkan kamera Alin untuk merekam. Mawar terdiam selama beberapa saat.

"Heh. Udah lama aku enggak mendengar nama itu lagi," sahut Mawar.

"Kau kenal dengannya?"

"Aku cuma ingat kami pernah main bareng sekali, di Pondok Kamboja, sebelum kebakaran."

"Di mana dia sekarang?"

"Bukannya dia udah mati? Emang sih jasadnya enggak ketemu, tapi aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Dia terjebak di tengah-tengah api."

"Kalian dekat? Cukup dekat untuk membalas dendam demi dirinya?"

"Enggak sih, biasa aja. Lagian umurku masih lima tahun waktu itu. Yang kuingat cuma ada api besar, terus aku lari. Bodo amat sama anak-anak yang lain."

"Kau tidak sedih dengan kematian teman-temanmu?"

"Sedih? Kenapa? Mereka mati karena mereka lemah. Aku kuat. Makanya aku bisa bertahan." Meski ia bilang begitu, ekspresinya berkata sebaliknya. Suaranya pun makin lama makin lirih. "Kata pengasuhku—orang tuaku yang sekarang—aku anak yang kuat."

"Apa kau masih berhubungan dengan saudara-saudaramu yang selamat?"

Ia tampak kesal. "Kenapa sih mau tahu banget sama kehidupan pribadiku?"

"Jawab aja dia. Ini perintah," tegas Alin.

"Huh. Fine!" gerutu Mawar. "Yang paling sering ketemu sih si Jarot. Yang lain paling cuma chatting di internet. Pas aku masih SMP, ada yang ngadain reuni di Facebook khusus buat anak-anak mantan penghuni panti. Tapi orangnya aneh. Dia enggak pernah bilang nama aslinya dan cuma pakai inisial Mia."

"Maksudmu, Mr. I—eh, M-R-I?"

"Iya, itu. Gara-gara dia, makin banyak yang percaya kalau Mia masih hidup. Katanya dia bisa bikin orang mati membalaskan dendam kami. Ada yang bilang dia beneran bisa santet, ada yang ngaku pernah pakai jasanya pula. Makin lama anggotanya bukan cuma mantan anak panti, tapi orang-orang enggak jelas yang cuma mau dendamnya dibalas. Mereka semua sinting. Aku lama-lama enggak tahan terus keluar deh dari situ."

"Apa nama grupnya?"

"Phantom Club."

"Begitu ya," gumamku. "Lalu bagaimana dengan Jarot?"

"Ah, kalau Jarot sampai sekarang masih ada di grup si Mr. I itu."

"Kenapa dia di sana? Mau balas dendam juga?"

"Halah. Dia mah ikut grup itu cuma buat modusin gebetannya yang kerja di kafe."

"Oh." Kuhentikan rekamannya. "Begitu ya."

***

Kami kembali ke rumah Ivan. Alin sudah harus pulang. Setelah kupindahkan rekaman Mawar dari kamera Alin ke laptopku, Alin pun berpamitan.

"Lin, maaf artikelku terlambat," kataku. "Maaf juga karena kemungkinan besar bakal molor lagi."

"Enggak apa-apa. Aku tahu kamu capek."

"Thanks."

"Nanti tugas yang belum kelar kirim aja ke aku."

"Yeah."

"Jangan terlalu pusing mikirin Mr. I, Grey. Nanti kukasih tahu Ayah juga tentang Kak Feli."

"Yeah."

"Dah." Alin melambaikan tangan. "Semangat."

Untuk ketiga kalinya, aku hanya mengucapkan "Yeah" tanpa membalas lambaiannya. Baru beberapa langkah, tiba-tiba Alin berbalik dan kembali padaku.

"Oh, ya. Hapemu rusak, 'kan? K-kamu boleh kok pakai hapeku buat sementara," ucapnya sambil menyodorkan smartphone warna hitam padaku.

"Tunggu, kalau aku pakai punyamu, kau pakai apa?"

"I-itu hape lamaku kok. Kan sekarang aku pakai yang ini." Alin mengeluarkan ponsel berwarna putih dari sakunya. "Ih, udah terima aja!"

Ia memaksaku menengadahkan tangan dan menggenggam ponsel hitamnya.

"Deadline penerbitan udah mepet. Repot nanti kalau kamu enggak bisa dihubungi. Hmph!" Alin melirik Ivan. "Kakak juga. Awas ya kalau ngancem-ngancem Grey lagi. Kalau Grey kenapa-kenapa, Kakak yang bakal kusalahin duluan!"

Alin cepat-cepat memalingkan muka, lalu pergi menuju mobil yang sudah menantinya. Kali ini tanpa pamit.

Dia mirip ibuku saat pertama kali memasukkanku ke sekolah asrama.

Ivan menepuk pundakku. "Jadi siapa Mr. I?"

"Entahlah."

"Hei, mukamu kusut sejak keluar dari Gudang Balok. Apa yang terjadi?"

"Diamlah, Kak. Lebih penting mana, identitas Mr. I atau keselamatan Kak Feli?"

Ivan terdiam beberapa saat.

"Memangnya apa rencanamu untuk menyelamatkan Feli?"

Aku menghela napas. Jawabannya sudah jelas.

"Bawa aku ke tempat Azka lagi."

Kuminta Azka membuatkanku bom asap dari kaleng. Kubilang pada geng Dinamo dan Pink Blazer, Jerry adalah kunci untuk menyelamatkan Feli sekaligus menghancurkan Tomcat. Kemudian aku pulang.

Aku tak ingin melakukannya lagi, tetapi hanya itu yang bisa kulakukan. Tidak, aku harus melakukannya. Itu cara paling efisien untuk menyelamatkan Feli dengan kerusakan minimal.

Kuhubungi Rendy dengan ponsel milik Alin. Kukatakan padanya bahwa aku bersedia untuk ambil bagian pada rencana adu dombanya.

"Sudah kuduga kau tergiur dengan tawaranku," ujarnya. "Kita bicarakan detailnya di rumahku. Poppy akan menjemputmu sebentar lagi."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro