Bagian 61: Deal With The Devil

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hah?! Bang, jangan percaya omongannya!" seru Jarot. "Bukannya aneh? Grey banyak tahu soal pemukulan Diaz padahal dia tak di sana waktu itu. Mungkin dia pembunuh Diaz yang sebenarnya!"

"Aku mendapatkan info itu pertama kali dari Mas Diaz sendiri. Hari Minggu, aku dapat chat darinya sehabis Maghrib, waktu hujan baru turun. Dia memintaku menyelamatkan Alin—perekam itu. Aku cepat-cepat ke sana memakai sepeda. Aku juga berpapasan dengan Jerry dan Abang ini," ucapku sambil menunjuk Mat Kupluk. "Abang waktu itu bertanya pada seseorang yang memakai mantel biru, 'kan?"

"Jadi itu ente?" tanya Mat Kupluk.

Aku mengangguk. "Aku tak paham siapa yang kalian kejar waktu itu. Lalu di tengah jalan, aku bertemu Alin yang sedang bersembunyi. Aku bahkan tak sampai ke Pondok. Aku tahu sebagian besar peristiwa itu dari Alin."

"Waktu hujan. Berarti setelah kami berpencar meninggalkan Diaz," gumam Darto. Ia melirik ke arah Jarot. "Kupikir kau sudah menyita hape Diaz waktu itu."

"D-dia bohong, Bang!" bantah Jarot. "Mana buktinya kalau Diaz pernah men-chat dia?"

"Kebetulan aku masih menyimpan obrolan kami," ujarku sambil memperlihatkan aplikasi Lain di laptopku.

"Grey jujur. Waktunya pas," tukas Darto. "Sekarang apa pembelaanmu, Nyil?"

Sekujur tubuh Jarot mulai gemetar. "D-Diaz mengambil ponselnya dariku," katanya. "Tapi aku tak membunuhnya, Bang! Sumpah!"

"Sabtu kemarin, rumahku juga mau dibobol oleh anggota Tomcat bertubuh boncel yang mengaku sebagai utusan Mr. I. Tetanggaku menimpuk kepalanya pakai batu. Coba buka topinya. Mungkin ada luka di kepalanya," kataku.

Darto langsung membuka topi Jarot. "Grey benar lagi."

"Bohong! Bohong! Bohong! Kalian lebih percaya pembohong itu daripada aku?!"

Jarot tampak makin putus asa. Kuputar rekaman interogasiku dengan Mawar. Aku tak mau kehilangan momentum untuk memperbesar keraguan Darto terhadapnya.

"Ah, kalau Jarot sampai sekarang masih ada di grup si Mr. I itu."

Saat rekamanku sampai di kalimat itu, Jarot tiba-tiba mengeluarkan pisau lipat dari sakunya dan siap menghujamkannya padaku. Namun, dalam sekejap ia jatuh terjerembab. Darah muncrat dari lehernya. Ia menggelepar-gelepar di atas lantai seperti ikan yang dilempar ke minyak panas hidup-hidup.

Kualihkan pandanganku. Darto memutar-mutar kerambitnya yang berlumuran darah. Percikannya mengotori sekelilingnya, mulai dari taplak meja, boneka Poppy, hingga sedikit mengenai mukaku.

Darto menancapkan ujung pisaunya ke atas meja dan berkata, "Kau tahu kenapa kami dijuluki Mo-limo? Kami tidak hanya mabok dan madat, tetapi juga mengatur penjualan miras dan narkoba di kota ini. Kami tidak hanya main, tetapi juga bandar judi paling ditakuti. Kami tidak hanya madon, tetapi juga menguasai industri seks dan prostitusi. Setiap maling di kota ini wajib memberikan upeti pada kami, dan kami tak segan untuk mateni [*]."

[*mateni: membunuh]

Pandangannya berputar ke seluruh anggota Tomcat yang hadir. "Kalian paham?! Kalian sama busuknya denganku. Kalian pikir, dengan mengkhianatiku kalian bakal diampuni? Semua orang membenci kita. Polisi menembaki kita tanpa perlu merasa bersalah. Tapi lihat, saat kalian mematuhi perintahku, bahkan surga milik orang terkaya di kota ini bisa kalian dapat. Jadi pilih ikut denganku, atau mati konyol seperti si tolol ini?"

Teror meresap dari telinga ke saraf-sarafku begitu mendengar kata demi kata yang Darto ucapkan. Suara paraunya bagai bisikan setan, membuat semua orang kaku seperti patok kuburan.

"Kau juga sama, Grey," lanjutnya. "Bersihkan mayat itu. Anggap itu tugas pertamamu."

Darto dan Mat Kupluk beranjak sembari menghalau anggota yang lain keluar. Ia menyita laptop dan ponselku. Aku hanya boleh menggunakannya saat diperintahkan.

Rendy memaksa Poppy yang masih menangis untuk melepaskan diri dari tubuhku. Mereka pun keluar menyusul Darto dan yang lain.

Telapak tanganku tak berhenti mengeluarkan keringat. Sekujur tubuhku mulai dingin. Dengan gemetar kuperiksa tubuh cowok bertubuh pendek yang terkapar di atas lantai. Darah menggenang di sekitar kepalanya. Napasnya masih terasa.

Tiba-tiba ia berbicara sambil terbatuk-batuk, "Aku melihatnya ...."

"Apa yang kaulihat?" tanyaku.

"Aku hanya menjalankan persyaratanku ... dia yang menyelesaikan sisanya. Aku melihatnya mencekik ... dan ... raib. Kalian ... telah ... dikutuk."

"Siapa dia?"

"Mr. I ... utangku ... sudah ... lunas."

Jarot menyeringai padaku, sesaat sebelum mengembuskan napas terakhirnya.

Kuperiksa isi tasnya. Ada seplastik penuh biji kopi, sebuah dompet, catatan kecil, dan nota pembelian dari kafe tempat Karina bekerja.

"Cold Knocker."

Itu minuman yang ia pesan. Ia juga menulis resepnya. Mungkin ia juga ingin semuanya cepat berakhir agar bisa membuat resep itu di rumah. Atau agar ia bisa menikmatinya dengan gadis yang ia suka. Apa pun impiannya, aku sudah merenggut semua itu darinya.

Cukup. Aku sudah terlalu lama bermain-main. Lagi-lagi seseorang tewas menggantikanku. Tak perlu menunda-nunda lagi. Jika polisi maupun Jerry gagal menghancurkan Darto, aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri.

Kututup mata laki-laki malang itu. Kumasukkan pisau lipat miliknya ke saku celanaku.

***

Pondok Kamboja. Tengah malam. Jangan ada senjata, jangan ada polisi, jangan ada trik konyol apa pun lagi. Itu adalah tempat, waktu, dan persyaratan yang telah disepakati dalam pertukaran antara Feli dan Jerry.

Langit malam di halaman pondok tampak gelap tak berbintang. Angin tak bertiup. Pohon-pohon kamboja di pekarangan seolah ikut tegang menyaksikan dua kubu gangster paling ditakuti di kota ini saling berhadapan.

Mungkin ini malam terberat dalam hidupku. Darto menunjukku sebagai perantara pertukaran. Salah sedikit bisa berarti mati.

Perwakilan geng Dinamo dan Pink Blazer datang membawa Jerry sesuai perjanjian. Setidaknya Jerry tak lagi terlihat lemas. Wajahnya kembali penuh dengan energi dan amarah.

Masalahnya adalah Feli.

"Bagaimana pun keadaan Kak Feli, kalian tidak boleh menyerang," ucapku di depan perwakilan geng Dinamo dan Pink Blazer.

"A-ada apa dengan Kak Feli?" tanya Mona.

"Dia masih hidup. Hanya ...."

"Dia diapain aja sama Darto?" tanya Azka diiringi dengan suara-suara geram di belakangnya.

"Tolong mengertilah! Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan kekerasan," bentakku. "Jangan lupa, kalian juga masih buron. Jangan menarik perhatian polisi di sini."

Tubuhku sudah seperti bom waktu yang penghitung mundurnya tinggal satu digit. Namun, tak banyak yang bisa kulakukan dengan pisau melintang di tengkukku.

Feli dikeluarkan dari mobil milik Darto. Ia berjalan begitu pelan. Mungkin ia akan jatuh seandainya aku tak menuntunnya. Rambut yang biasanya dikucir ponytail kini tergerai dan tampak kusut, menutupi sebagian mukanya.

Melihatnya sekarang membuatku teringat saat bertemu dengannya pertama kali. Tatapan tajamnya yang sebelas dua belas dengan Alin, cara berjalannya yang membuatku salah fokus, hingga pidato bersemangatnya yang mempersatukan seluruh anggota Pink Blazer, semuanya sirna. Yang ada tinggal tubuh perempuan yang lebih mirip cangkang tak bertuan, sementara jiwanya sudah minggat entah ke mana.

Pada awalnya, aku hanya menganggap Feli sebagai kakak kelas jutek yang kebetulan punya tubuh seksi. Namun, apa dia pernah berbuat salah padaku? Apa yang membuatnya pantas kupermainkan layaknya pion sehingga jadi begini? Dia pernah menyelamatkanku, tetapi kali ini, aku ragu bahwa semua yang kulakukan benar-benar menyelamatkannya.

Feli kembali dengan disambut oleh pelukan dan tangisan rekan-rekannya. Mereka menepati janji untuk tidak menyerang. Mereka pergi dengan tertib, meninggalkan Jerry sendirian.

Jerry masuk ruang tamu pondok, menemui Darto dan anak-anak buahnya yang masih menyandera Poppy.

"Kembalikan Poppy," ucapnya menahan marah.

"Ambil sendiri," sahut Darto. Ia duduk di atas sofa bobrok sambil merangkul Poppy.

Jerry menggeram. Baru melangkah sekali, seseorang menghajar mukanya. Ia langsung membalas sehingga pria di depannya terjengkang.

"Aaa—!" Poppy memekik. Darto menyayat kain baju di bawah ketiak gadis itu.

"Kemarilah dengan tenang," ujar Darto. "Atau kau lebih suka melihat Poppy telanjang?"

Anak-anak buah Darto tertawa. Dua orang memukul dan menendang Jerry secara bersamaan.

"Kenapa mukamu masam, Bosku?" tanya Darto. "Itu salahmu sendiri karena sudah mengkhianati kami. Jangan membenci mereka. Mereka cuma mau balas dendam."

Seolah termotivasi dengan ucapan Darto, yang lain pun turut menghajar Jerry. Ada sekitar dua puluh orang di sini, ruangan yang sama dengan tempat Mas Diaz dipukuli. Bedanya, kali ini Jerry yang menjadi sasaran amuk rekan-rekannya.

Hanya dua orang anggota Tomcat yang tak ikut dalam aksi pengeroyokan. Darto dan Mat Kupluk. Tiga apabila menghitung Poppy, tetapi ia hanya sandera yang Darto gunakan untuk menyiksa Jerry. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menonton. Mat Kupluk mengawasiku dengan pisau di tangannya.

Jerry tetap bergeming kendati tubuhnya penuh memar dan hidungnya mengeluarkan darah. Ia berjalan terseok-seok dengan tangan teracung seolah ingin menggapai Poppy. Setiap maju lima langkah, kakinya dijegal dan ditarik kembali lalu diinjak-injak. Namun, ia tetap bangkit dan kembali melangkah.

Ia mencoba dan terus mencoba, meskipun matanya tak lagi fokus dan Poppy semakin jauh dari jangkauannya. Kerumunan mengurungnya hingga tinggal telapak tangan yang tampak. Jemarinya bergeser, masih berusaha mendekat.

Aku tak sanggup melihat lagi. Mungkin aku sudah mati kalau berada dalam posisinya. Kurasa ini yang sejak dulu kutakutkan. Aku tak tahu mana yang lebih buruk, menjadi sekarat atau melihat orang lain menderita tanpa sanggup melakukan apa-apa. Keduanya menyakitkan, tetapi setidaknya aku bisa masa bodoh dengan yang pertama. Atau jika orang itu memang pantas mendapatkannya.

"Cukup. Bawa dia ke sini!"

Para pengeroyok pun berhenti. Mereka menuruti perintah Darto untuk membawa Jerry ke hadapannya. Rambut pirangnya memerah, wajahnya sudah tak seperti Jerry yang kukenal. Poppy menjerit sehingga mulutnya disumpal dengan sobekan kain bajunya sendiri.

"Jilat sepatuku," perintah Darto.

Jerry membungkuk ke arah sepatunya. Alih-alih menjilat, ia justru meludahinya dengan air liur bercampur darah.

Jerry tertawa, memperlihatkan gigi-giginya yang merah. Darto membalas tawanya dan berkata, "Lucu ya? Lebih lucu mana dengan ini?"

Ia menendang Jerry dengan sepatu yang baru saja diludahi. Kepala Jerry sedikit miring, kemudian tegak kembali.

"Cuma segitu? Lemah," tantang Jerry.

Darto mendaratkan sebuah tendangan ke arah wajah. Lalu ia menyayat kaus Poppy dari leher ke perut. Kini tubuh bagian atasnya tinggal tertutup bra.

"Bangsat!" umpat Jerry seraya merangsek ke arah Darto. Namun, upayanya dihentikan oleh anak-anak buahnya.

"Rasanya sayang jika aku langsung membunuhmu," ucap Darto. "Kau adalah kambing hitam yang paling berharga. Karena itu, kuberikan peran spesial untukmu. Kau bakal jadi tokoh utama yang menggantikanku menerima hukuman mati. Bagaimana menurutmu? Oh, jangan cemas, akan kuperlakukan Poppy baik-baik ... di tempat tidurku."

Jerry melontarkan semua umpatan paling kasar dalam kamus Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Darto tertawa cekikikan. Satu per satu anggotanya tertular sampai semuanya ikut tertawa—kecuali Jerry, Poppy, dan aku.

Apa Jerry pantas menerima semua perlakuan itu? Mereka yang tertawalah yang lebih pantas. Terutama Darto. Ini pertama kalinya aku serius ingin membunuh orang. Bukan demi Poppy, Jerry, Feli, atau siapa saja. Juga bukan demi konsep murahan seperti cinta atau perdamaian dunia. Aku ingin membunuh murni karena aku ingin melihatnya mati. Aku ingin melihatnya tersiksa pelan-pelan sebelum maut menjemputnya. Aku ingin menusuk dan menyayat-nyayat kulitnya, mengeluarkan jeroannya, lalu membiarkannya mati kehabisan darah saat kusuruh anjing-anjing liar berebut memakannya.

Aku muak. Rasanya kegilaan makin meresap dan mulai mengendalikan tubuhku. Aku tinggal menantikan sedikit celah, agar aku bisa mengeluarkan pisau lipat di saku celana dan melumpuhkan pria di sampingku. Lalu kuambil boneka domba milik Poppy dari pelukannya, kulepaskan bom asap yang kudapat dari Azka, kemudian kubiarkan Jerry mengurus sisanya tatkala kutuntaskan hasrat membunuhku.

Lamunanku buyar. Terdengar teriakan seorang pria dari luar.

Pria itu masuk sambil tergopoh-gopoh. Lengannya putus satu. Darah berceceran di sepanjang langkahnya. Ia jatuh terjerembab tepat di depan Darto.

"Ada apa? Polisi?" tanya Darto.

Pria itu menggeleng.

"Lalu? Geng Dinamo?" tanya Darto lagi.

"B-Bukan," jawabnya sambil menggigil. "Orang ... orang gila. Sangat ... banyak."

"Di mana temanmu yang lain?"

Pria itu menggeleng lagi. "Mereka hilang—"

"Huwaaa! Panas! Panas!"

Pintu terbuka lebar, menampilkan pemandangan tak lazim. Tampak siluet seorang pria menari-nari dengan api membara di sekujur tubuhnya. Rekan-rekannya menahannya begitu sampai di dekat pintu, lalu tubuhnya disabet-sabet jaket hingga apinya padam. Namun, mereka terlambat. Wajahnya sudah hangus sampai ke tengkorak.

Di belakangnya, puluhan orang bergerak menuju kemari sambil membawa obor. Semakin dekat, semakin tampak bahwa mereka semua memakai topeng dari kertas karton yang dilubangi. Hentakan langkah mereka kompak bak pasukan pengibar bendera, tetapi gerakan tubuh mereka lebih mirip zombi.

Dengan serempak mereka berseru,

"KAMI BUKAN BINATANG JALANG. KAMI TAK PANDAI MERADANG DAN MENERJANG ...."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro