Bagian 62: His Last Blow

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"... KAMI ADALAH LASKAR PEJUANG!"

Aku pernah mendengar kata-kata itu. Lebih tepatnya, aku pernah membacanya. Itu adalah kata-kata yang tercantum di tautan yang pernah Mas Diaz kirimkan padaku.

Mereka adalah Phantom Club.

Perlahan mereka menuju pondok sambil mengulang-ulang kata-kata itu layaknya mantra pemanggil setan. Pakaian mereka tak seperti anggota geng, tetapi lebih mirip orang-orang biasa yang mengikuti aliran sesat.

Anak-anak buah Darto menutup pintu depan. Beberapa dari mereka tampak panik dan mencoba kabur ke belakang. Namun, mereka berhenti saat seseorang yang berjaga di belakang datang dan berseru, "Kebakaran! Kita dikepung!"

Bau bensin menyeruak di sekitarku. Suara orang-orang itu sudah sangat dekat dengan pintu.

Lalu ada ledakan.

"Mobil Bos meledak!" seru mereka yang mengintip dari celah pintu.

"Setan!" umpat Darto. "Ke mana anak-anak yang memantau dari jauh? Bagaimana bisa orang sebanyak itu kemari tapi aku tak dapat info apa-ap—AHHH!"

Poppy menggigit tangan Darto, melepaskan pisau dari genggamannya. Gadis itu lanjut menendang selangkangannya, lalu melemparkan kaleng bom asap dari dalam bonekanya ke arahku.

Kaleng itu mengenai muka Mat Kupluk. Saat ia mengaduh, kubuang pisau di tangannya dan kutarik pemicu bom asap. Poppy menarik tanganku mengajak kabur sementara kulemparkan kaleng ke arah kerumunan di depanku.

Aku lupa Jerry masih di tengah-tengah kerumunan. Aku sempat melihatnya menghajar balik orang-orang yang mengeroyoknya sebelum tubuh mereka tertelan asap. Pada saat yang sama, api mulai melahap pintu masuk.

Poppy menarikku ke dalam bangunan. Gelap gulita. Satu-satunya penerangan adalah jilatan-jilatan api dari balik jendela yang perlahan memanggang gedung beserta isinya. Berkali-kali aku tersandung kayu, puing-puing semen, perabot bekas, atau apa pun yang ada di depan kakiku. Aku tak bisa berpikir jernih.

Aku juga tak tahu ke mana harus menuju. Dari luar, bangunan bekas panti ini tampak lurus-lurus saja dari depan hingga belakang. Namun, bangunan ini seperti labirin ketika berada di dalamnya. Begitu banyak belokan, pertigaan, dan perempatan di koridornya. Kondisi yang gelap membuat segalanya tambah membingungkan.

Napasku tersengal-sengal. Kunang-kunang mulai mengerubungi mataku dan kakiku mulai terasa kaku.

"Poppy! Poppy! Istirahat sebentar ... tolong."

Poppy menghentikan langkahnya. Aku langsung duduk bersandar di dinding sambil mengatur napas. Sialan. Seandainya aku rajin berolahraga, pasti takkan jadi begini.

Kami berada di tengah sebuah pertigaan. Jalan di kananku tampak lebih gelap daripada koridor yang pernah kami lalui sebelumnya, sedangkan jalan di kiriku sedikit lebih terang. Dalam situasi normal, aku pasti akan memilih jalan yang terang. Namun, aku pernah dengar kata pepatah, semua yang berkilau belum tentu emas.

"Ada api dari ruang makan. Kita harus segera pergi," ucap Poppy. Yang ia maksud adalah jalan bercahaya di sebelah kiriku.

Aku kembali berdiri. Berapa kali pun kutarik napas dalam-dalam, tinggal sedikit oksigen yang tersisa di udara.

Poppy mengajakku ke ruang gelap yang lembab dan belum tersentuh asap. Aku kagum ia tetap tenang dalam situasi seperti ini. Padahal aku berniat menyelamatkannya, tetapi sekarang justru dia yang menyelamatkanku. Penglihatannya juga tak tampak terganggu dalam gelap. Seperti kucing.

Kami tiba di depan pintu ruangan tanpa atap. Aku bersyukur. Selain karena udara di sini lebih segar, ini juga ruangan dengan celah saluran air yang bisa membawa kami keluar.

Poppy tampak bahagia. Ia tertawa kecil sambil terengah-engah.

Tiba-tiba ia membelalak. "Awas!"

Sesuatu menyabet ke arah kepalaku. Refleks aku melindungi leherku dan menggulingkan diri.

Pria berambut gimbal muncul dengan pisau kerambitnya. Beruntung benda tajam itu hanya menyayat lenganku. Mungkin kegelapan mengurangi akurasinya. Aku tak yakin bisa menghindarinya di tempat terang.

Darto menghujamkan pisaunya seperti seekor singa menerkam mangsa. Aku sempat mencengkeram pergelangan tangannya sehingga pisaunya berhenti sebelum menusuk leherku. Ia terus menekan. Tekanannya begitu berat. Massa ototnya sekitar dua kali milikku, tetapi ini bukanlah pertarungan yang mengizinkanku menyerah.

"Apa ini semua rencanamu? Kau mau memanggangku hidup-hidup, hah? Maka kau juga harus ikut bersamaku!"

Aku hanya meringis menahan beban. Semua energiku terpusat untuk menghindari kematian.

Poppy memukul kepala Darto menggunakan potongan kayu.

"Lepasin Grey!"

Darto tak bergerak dari tempatnya meski pelipisnya bocor. Lebih buruk lagi, perhatiannya teralih pada gadis itu.

"Poppy, pergi dari sini! Cepat!"

Peringatanku sia-sia. Darto menarik paksa pergelangan tangannya dari genggamanku lalu menusuk perutku.

Poppy menjerit sejadi-jadinya, seolah melihatku ditusuk seperti mendengar petir menyambar tepat di atasnya. Rasa sakit di perutku bahkan tak sebanding dengan sakit di telingaku saat mendengar raungannya. Darto membungkam mulutnya, lalu merebahkannya di atas tanah. Kunang-kunang kembali berebut memasuki mataku saat kulihat Darto tengah mengendurkan sabuknya.

Aku tak boleh pingsan. Darto membuat kesalahan dengan tak mencabut kembali pisaunya dari perutku. Aku bisa bertahan lebih lama dari kehabisan darah. Aku hanya perlu berdiri, mengambil pisau lipat dari sakuku, lalu menggorok leher Darto saat ia mencoba memerkosa Poppy. Semua rencanaku berantakan jika aku pingsan sekarang. Aku telah gagal menyelamatkan Feli, aku tak boleh gagal lagi kali ini. Aku. Harus. Selamatkan. Poppy.

Sekelebat bayangan melintas di depanku. Mungkin dia malaikat maut. Dia terus mengintaiku selama seminggu belakangan. Kurasa ia sudah lelah bermain-main denganku dan ingin menuntaskan tugasnya sekarang. Hai, malaikat maut, silakan ambil nyawaku. Sebagai permintaan terakhir, maukah kau juga menghabisi pria bejat di depanku? Terima kasih.

Malaikat maut menjambak rambut gimbal Darto, lalu menariknya menjauh dari tubuh Poppy. Ia menghantamkan muka Darto ke tembok berkali-kali, mematahkan kedua pergelangan tangannya, memelintir lengan kanannya, lalu lengan kirinya, lalu kakinya. Ia menggunakan tinjunya yang dilapisi keling untuk menghajar mukanya, merontokkan gigi-giginya, dan memecahkan bola matanya.

"Kenapa? Kenapa kau masih hidup?!" tanya Darto.

"Mana mungkin aku mati di tangan kalian? Goblok!"

Poppy mendekapku dari belakang dan membantuku berdiri. Sentuhannya membuatku sadar bahwa bayangan itu bukan malaikat maut. Dia adalah Jerry. Kini ia menyeret salah satu kaki Darto menuju lautan api. Kedua tangan Darto sudah tak berfungsi. Ia hanya bisa menghadap ke arahku dan Poppy sambil memamerkan gigi ompong barunya dan satu mata yang terus mengeluarkan darah.

"Grey! Poppy! Tolong! Tolong aku!"

Suara paraunya tak lagi menakutkan. Ia lebih mirip kambing yang baru disembelih sekarang.

"Panas! Panas! Tolong!"

Jerry melemparkannya ke ruangan yang telah dilalap api. Secara bersamaan, kayu di atas mereka runtuh.

"Kak Jerry!" jerit Poppy. Kugenggam lengannya saat ia hendak berlari ke arah api.

Samar-samar terlihat bayangan dari arah nyala api. Jerry masih hidup. Ia sedang menuju kemari. Tangisan sedih Poppy berubah menjadi tangisan gembira.

Akan tetapi, Jerry tidak baik-baik saja.

Saat cahaya api menerangi tubuhnya, baru terlihat ada pisau menancap di bahu kanan, lengan kiri, betis, paha, dan perutnya. Belum termasuk beberapa sayatan di bagian tubuhnya yang lain serta memar akibat pengeroyokan tadi. Sungguh menakjubkan ia bisa berjalan dari depan kemari dan sempat-sempatnya menyiksa Darto. Tidak, sungguh menakjubkan ia masih bernapas saat ini.

"A-ayo keluar dari sini," ajak Poppy. Ia memapahku menuju lubang saluran air yang tertutup serpihan kayu. Kubantu ia membersihkannya, lalu kusuruh ia masuk duluan.

Poppy menoleh dan berkata, "Kak?"

Jerry belum bergerak dari tempatnya berdiri.

"Kok Kakak masih di situ? Ayo!" seru Poppy. "Kalau kita ke rumah sakit sekarang, mungkin masih—"

"Tidak akan sempat. Kau tak bisa membawaku dan Grey sekaligus."

Tampaknya, masalahnya bukan karena Jerry tak mau ikut, tetapi ia sudah tak sanggup berjalan. Ia mungkin berakting tangguh. Namun, muka pucatnya tak bisa menipuku. Ia terlalu banyak mengeluarkan darah.

"Grey, apa aku sudah jadi pahlawan?" tanya Jerry.

"Kakak sudah menyelamatkan kami berdua," jawabku. "Kakak adalah pahlawan kami."

"Apa orang-orang akan mengenangku sebagai pahlawan?"

"Tentu. Kalau tidak, aku sendiri yang akan menuliskan kisah Kakak."

Jerry hendak mengatakan sesuatu lagi, tetapi dari arah api tiba-tiba muncul beberapa bayangan orang menuju kemari. Aku segera menyuruh Poppy menunduk agar aku bisa masuk saluran air. Saat aku menoleh, Jerry sudah ambruk tak sadarkan diri.

Kugiring Poppy melalui saluran air menuju bawah jembatan. Dengung sirene mobil polisi, ambulans, dan pemadam kebakaran bersahut-sahutan di atas kami. Poppy berkali-kali berhenti dan ingin kembali ke tempat tadi, tetapi selalu kutolak.

Gadis itu menggigil sesampainya di tepi kali. Kulepas jaketku dan kututupi tubuh setengah telanjangnya. Ia menangis tersedu-sedu sambil memelukku erat. Sungguh nyaman dipeluk seorang gadis imut setelah baru saja keluar dari mimpi buruk. Namun, aku baru sadar kalau pisau milik Darto telah lepas dari perutku.

Boleh aku pingsan sekarang?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro