Bagian 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Mahira Azalea. Gadis cantik keturunan Jawa yang kini menginjak usia 24 tahun. Dia adalah anak dari pasangan Wijaya Atmojo dan Lina Marliana. Gadis yang biasa di sapa Hira, adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak kandung Hira bernama Hermansyah Wijaya. Hira tumbuh menjadi gadis cantik, sopan dan manja, tapi Hira sangat takut dengan ayahnya sejak kecil. Baik ayahnya, ibunya dan kakaknya sangat menyayangi Hira. Bagi Hira, Man adalah Kakak yang paling ia sayangi. Tak heran, jika Hira sangat manja dengan kakaknya --Man-- ketimbang dengan ibu atau ayahnya. Usia Hira terpaut hanya 3 tahun dari Man. Kini Hira tengah sibuk dengan niatnya yang ingin membuka sebuah butik.

"Mahira Azaleaaaa ...." sembur Mona sedari tadi memanggil Hira, tapi tak di gubris oleh Hira karena sibuk melamun.

Hira terkejut, segera menoleh ke arah Mona sambil menutup kedua telinganya. "Bisa enggak sih, manggilnya pelan-pelan Mo?" dengus Hira kesal karena Mona berteriak, bahkan beberapa pengunjung kafe menatap mereka.

"Lagian lo kenapa sih Ra, dari tadi ngelamun?" Mona kini duduk di samping Hira.

Mereka tengah di dalam kafe tempat mereka janjian. Hira datang lebih dulu dan sambil menunggu Mona, ia memikirkan masalah pribadinya yang rumit.

"Aku lagi mikirin David," ketus Hira.

Mendengar jawaban ketus Hira, Mona pun penasaran apa yang tengah terjadi pada sahabatnya itu. Mona tahu, tak biasanya Hira seperti ini. "Lo lagi bertengkar sama David?" tanya Mona santai

Hira hanya mengangguk.

"Why?" Mona menatap Hira dengan dahi berkerut. Mona selalu siap mendengarkan keluh kesah Hira. Hanya Mona sahabat yang dipercaya Hira. Berbeda dengan sahabat lainnya yang datang jika hanya perlu saja dengan Hira atau pun Mona.

"David mau nerusin kuliah ke London." Hira menghela napas dan menyandar pada bahu kursi.

"Bagus dong!" Mona menyeruput minuman pesanannya.

"Bagus apanya?! Dua bulan yang lalu dia janji mau datang ke rumah untuk melamarku, kenapa tiba-tiba dia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya ke London? Dan ketika aku tanya bagaimana janjinya yang akan melamar aku bulan depan, katanya diundur sampai dia lulus. Aku jadi kesal dan enggak tau harus bagaimana ngadepin dia." Hira merasa frustasi.

"Lalu rencana lo apa?" Mona masih sibuk mengaduk-aduk minumannya.

"Enggak tau lah Mo, aku aja masih bingung."

Mona mengelus pundak Hira lembut, berusaha memahami hati Hira "Yang sabar. Semua pasti ada jalan keluarnya." Mona menyemangati Hira

Hira hanya diam karena perkataan Mona masih belum bisa menenangkan pikirannya.

"Kapan David berangkat?" tanya Mona.

"Katanya minggu ini."

"Lebih baik lo bicarakan baik-baik dengan David, biar enggak jadi beban juga buat lo yang di sini. Dan lo nanya, bagaimana jalan keluar hubungan kalian." Mona kembali menatap Hira. Mona baru menyadari jika Hira sudah menangis. Mona segera memeluk tubuh sahabatnya itu dengan erat.

"Aku bingung, Mo. Aku takut kehilangan David. Kamu tau, aku sangat mencintai David. Kamu juga tau kalo aku enggak mau kehilangan dia." Tangis Hira pun pecah. Ia tak bisa menyembunyikan masalahnya pada Mona. Mona tahu, Hira memang sangat mencintai David sejak mereka dibangku kuliah, tapi Mona juga tak tahu apa David juga mencintai Hira sebesar rasa cinta Hira pada David. Karena menurut Mona, David tak ada upaya untuk memperjuangkan Hira.

"Gue ngerti kok, makanya gue bilang tadi. Lo coba omongin baik-baik sama David mumpung dia belum berangkat." Jelas Mona.

Hira hanya mengangguk.

"Udah, jangan nangis terus, enggak enak sama pengunjung lain, entar dikiranya gue yang bikin lo nangis." Mona melepas pelukan Hira

Hira memanyunkan bibirnya. "Kamu selalu merusak moment, Mo." Hira kembali membetulkan duduknya, sedangkan Mona hanya terkikik.

"Mo. Nenurut kamu, David serius enggak sama aku? Jujur Mo?" Hira berharap Mona berkata jujur mengenai hubungan mereka.

Mona tampak bingung. sebenarnya Mona tidak ingin membuat Hira semakin berharap lebih pada David karena kenyataannya menurut Mona, Davif tak serius dengan Hira. Mona menggaruk kepalanya yang tak gatal, bingung akan berkata apa pada Hira

"Mo ...?" Hira mentapa Mona garang.

"Tapi lo jangan marah, yah?" Kali ini Mona mantap memberitahu Hira mengenai hubungan Hira dan David menurut pandangan Mona.

"Kenapa aku harus marah?" desak Hira.

Mona menghela napas sejenak, lalu membuangnya perlahan. Mona menatap Hira. "Ra. Kalo misalkan David serius sama lo, seharusnya dia ngelamar lo dulu sebelum dia berangkat ke London. Eggak harus mewah, yang penting bukti keseriusan dia ke lo dalam ikatan. Nanti kalo dia udah balik lagi dari sana, kalian bisa omongin masalah nikah." Mona berharap Hira memahami ucapannya.

"Jadi, menurutmu David enggak serius sama aku?" Hira menatap Mona.

"Kalo dia serius, pasti dia punya pikiran seperti yang aku bilang tadi." Mona kembali menikmati minumannya.

Hira terdiam, memikirkan ucapan Mona. "Kamu benar, Mo."

"Ra. Itu menurut gue loh, tapi kembali lagi sama lo. Coba aja lo ngomong baik-baik sama David. Coba deh, lo telepon tuh orang, terus lo klarifikasi mengenai hubungan kalian segera, sebelum semuanya terlambat. Lo enggak punya banyak waktu Ra, karena aku yakin mendekati hari H keberangkatan David ke London pasti dia sibuk," saran Mona.

Hira segera meraih ponselnya untuk menghubungi David, karena ucapan Mona membuatnya harus bertindak cepat sebelum terlambat. Hira sudah berusaha menghubungi David, tapi nomor David susah dihubungi. "Nomor David enggak aktif." Hira menatap Mona sedih.

Mona pun menatap Hira dengan tatapan iba. Mona tak bisa membantu Hira selain memberi dukungan karena Mona tidak terlalu dekat dengan David. Jangankan nomor telepon David, nomor rumah David pun Mona tak tahu.

"Aku harus gimana, Mo?" ketus Jodha.

"Nanti coba lagi kalo lo di rumah. Sekarang kita pulang, udah malam. Lo ke sini naik apa?"

"Tadi naik Ojek online."

"Ya sudah, ayo gue anterin. Gue bawa mobil."

Hira mengangguk dan mereka pun keluar dari kafe setelah Mona membuat hati Hira tenang. Mona tahu, Hira pasti akan terus memikirkan hal ini.

"Mo, makasih banyak buat sarannya. Aku bersyukur banget punya sahabat seperti kamu. Entah apa jadinya jika aku enggak punya sahabat sepertimu." Hira mengawali obrolan setelah mereka memasuki mobil.

"Ini gunanya sahabat, selalu ada di saat kawan susah. Jangan hanya terima senangnya saja. Lagian kita bersahabat kan sudah lama, Ra. Jadi, apa pun masalah yang lo hadapin, gue akan selalu ada di samping lo sampai kapan pun!" Mona menatap Hira sekilas dan kembali fokus pada kemudi.

Hira tersenyum pada Mona dan memeluk sahabat terbaiknya itu.

***

El Jalalludin Sulaiman. Pria yang terkenal sopan, baik dan selalu membuat orang lain takjub padanya karena kebaikan hatinya. El terlahir tiga bersaudara dan dia yang pertama. Yang kedua Reza, selisih empat tahun dengan El. Dan yang ketiga adalah Asya, terpaut dengan Reza dua tahun. El yang kini memikul tanggung jawab di keluarganya setelah Ayah mereka meninggal. Karena El adalah anak sulung yang sangat Hilda sayangi. Tak heran Reza dan Asya terkadang merasa iri karena ibunya sangat sayang pada El ketimbang mereka berdua. Tapi karena sifat El yang selalu meneduhkan hati adik-adiknya membuat kesalahpahaman antara kakak dan adik mencair. El selalu menjadi panutan bagi adik-adiknya. El akan selalu patuh pada Hilda, dan El tak pernah menutupi apa pun pada ibunya sekecil masalah yang ia hadapi. Hanya satu hal yang selalu ia tutupi dari ibunya, yaitu masalah yang menyangkut akan membuat ibunya cemas.

"El, kapan kamu bawa calonmu ke rumah, Nak?" tanya Hilda pada El yang kini tengah menatap anaknya, sibuk dengan laptop dihadapannya.

"Ami. Kalau Allah sudah menentukan waktunya, pasti El akan bawa calon El untuk menemui Ami." El menutup laptopnya, segera menghadap sang ibu yang sudah El ketahui, pasti ucapan itu lagi yang akan ia dengarkan dari pertanyaan ibunya. Meski Hilda sering menanyakan masalah itu pada El, tapi El tak pernah merasa tersinggung atau kesal pada ibunya.

"Apa benar kata Reza, kalau kamu lagi ada masalah sama Sifa?" Hilda tahu kalau anak sulungnya itu tengah dekat dengan gadis bernama Asifa.

El menghela napas singkat sebelum menjawab pertanyaan sang ibu. "Iya, Mi. Asifa akan menerima lamaran El setelah ia lulus dari kuliahnya di Kairo." El merasa sedih dengan ucapannya. Ia sudah sekian lama menanti Sifa, tapi Sifa selalu menunda niat El sampai dia lulus kuliah.

Hilda mengelus lengan putranya lembut. "Sudah minta petunjuk?" tanya sang ibu.

El mengangguk. "Belum ada jawaban."

"Terus lakukan, karena jawaban akan datang tidak hanya dengan usaha sekali. Terkadang kita perlu usaha lagi agar hasilnya lebih baik."

"Iya, Mi. El sudah minta petunjuk sejak beberapa bulan yang lalu, tapi Allah memang belum kasih petunjuk."

"Mungkin kamu harus lebih bersabar lagi, Nak. Allah pasti akan berikan jawaban di saat yang tepat." Hilda berusaha menyemangati putranya agar selalu sabar menghadapi ujian yang di dapatkan. El memang selalu terbuka pada sang ibu. Menurut El, ibunya adalah tempat curhat terbaik setelah Allah ketika ia tengah di rundung masalah.

"Insya Allah, Mi. El yakin, jika Allah sedang menguji kesabaran El." El tersenyum ramah pada sang ibu.

"Ayo turun, adik-adikmu sudah menunggu di ruang makan."

El kembali mengangguk, beranjak dari ranjang mengikuti sang ibu yang kini berjalan menuruni tangga menuju ruang makan.

"Ya Allah, Kak, lama banget turunnya. Enggak tau kita pada laper nungguin Kakak," protes adik bungsu El yang terkenal jahil.

"Biasa, butuh pawangnya langsung datang ke kamar kalau Kakak lagi kayak gitu." Reza menimpali ucapan Asya.

"Sudah. Kalian selalu saja menggoda Kakakmu," lerai Hilda.

El tak menggubris godaan adik-adiknya. Ia lebih memilih duduk di samping ibunya dan memulai mengambil makanan yang sudah tersaji di atas meja.

"Kak, besok Pak Wijaya mau datang ke kantor mengenai masalah beberapa properti yang akan dijual." Reza mulai berbicara serius pada kakaknya mengenai bisnis properti yang El amanahkan pada sang adik.

"Kamu enggak bisa nangani Pak Wijaya?" El masih menyantap makan malamnya.

"Kalau untuk satu atau dua properti, aku bisa. Reza sudah menerima tawaran Pak Wijaya. Ini Pak Wijaya menawarkan beberapa properti." Reza menatap El.

"Kamu pasti bisa, Za. Lagipula, besok Kakak ada ujian, jadi Kakak enggak bisa ninggalin kelas mata kuliah Kakak untuk mengenai bisnis." Jalal menatap adiknya sekilas, lalu kembali menghabiskan makan malamnya.

"Pak Wijaya mau bertemu langsung sama Kakak," ketus Reza.

Hilda dan Asya hanya diam ketika melihat El dan Reza membicarakan masalah bisnis. Hamida paham dengan putra sulungnya mengundurkan diri dari dunia bisnis dan lebih fokus menjadi dosen demi menjaga perasaan adiknya, Reza. El tak ingin merasa memiliki bisnis warisan Ayah mereka, demi menjaga hati adik-adiknya. El hanya menjaga kehati-hatian sebelum di lain hari terjadi salah paham mengenai bisnis dengan adik-adiknya. Dan El pun masih bisa membantu Reza, karena El masih memiliki tanggung jawab di kantor itu.

"El. Kamu bisa menemuinya ketika jam kelas mengajarmu sudah selesai. Ini masalah penting, Nak, jadi Ami harap kamu mau membantu adikmu." Hilda memberi masukan.

"Kamu atur saja waktunya setelah pukul satu siang. Aku hanya punya waktu satu jam di luar kampus." El memberi keputusan.

"Iya. Nanti aku tanyakan lagi sama Pak Wijaya." Reza memahami maksud kakaknya.

El hanya mengangguk dan meraih gelas minumnya.

"Bang, besok Asya nebeng Abang yah, ke kampus? Motor Asya masuk bengkel." Asya menyela pembicaraan kakak-kakaknya karena ia rasa keadaan sudah kembali tenang.

"Kenapa lagi motormu, Nas?" sela Reza.

"Nggak tau Kak, kayaknya minta di lem biru." Asya terkikik dengan ucapannya yang mungkin menyindir Ibu dan kakak-kakaknya.

Hilda hanya menggeleng mendengar penuturan putri bungsunya menggoda kakaknya.

"Kalau masih bisa di perbaiki, lebih baik di perbaiki dulu. Nanti kalau benar-benar sudah enggak bisa di pakai, baru nanti dibeliin yang baru, Sya," ujar El menasehati.

"Bilang saja sudah bosen sama motor itu," timpal Reza.

Asya hanya cemberut mendengar penuturan kedua kakaknya.

"Bang, Asya minta uang ganti buat servis motor, yah?" Asya merengek pada El.

"Modus." Reza kembali menggoda.

"Ya Allah, kenapa aku punya dua kakak laki-laki berbeda seperti ini? Yang satu kalem bawaannya dan baik. Yang satu lemes banget mulutnya!" gerutu Asya kesal.

"Asya jaga bicaramu, Nak. Reza juga, Hobi meledek adiknya. Ami sudah bilang, jangan bercanda terus, kalian sudah dewasa." Kali ini Hilda bersuara karena anak bungsunya sudah berkata tidak sopan dan melebihi batas candaan.

"Maaf Ami." Asya menunduk.

"Asya, minta maaf sama Kak Reza," perintah El

Mirza meledek Asya dengan menjulurkan lidahnya ke arah Asya.

"Itu, Kak Reza juga gitu, suka ngeledekin Asya!" protes Asya.

"Za, gimana adik kamu enggak kesal, kalau kamu juga enggak mau ngalah!" Hilda menatap Reza heran.

"Astagfirullahal'adzim." El meletakkan kedua benda yang ada ditangannya sehingga menimbulkan dentingan keras di piringnya sembari menghela napas, berusaha selalu sabar menghadapi adik-adiknya yang selalu seperti itu di kala bercanda, tak pandang di mana mereka sekarang bercanda.

Semua terlihat diam karena mereka tahu El tengah mengontrol amarahnya. "Cepat selesaikan makan kalian. Reza, kasih Asya uang ganti servis motor. Asya, bahasa yang kamu dapat dari temanmu di luar, jangan kamu bawa masuk kedalam rumah, Ami ebggak pernah mengajari kalian berkata seperti itu pada Abangmu atau orang lain. Dan Reza! jangan suka meledek adikmu, lihat kondisi di mana kamu harus bercanda!" Hilda nampak menahan marah ketika mengatakan itu.

"Iya, Mi. Reza minta maaf," sesal Reza.

"Ami, Asya minta maaf karena sudah bicara kasar," sesal Asya

"Minta maaf sama Bang El dan Kak Reza!" peeintah Hilda pada Asya.

Asya mengangguk patuh. Ia berjalan mengampiri El dan Reza.

"Maafin Asya, Bang, Kak, karena Asya udah bicara kasar." Asya menghampiri kedua kakaknya dan mencium pipi El dan Reza bergantian.

El hanya mengelus puncak kepala Asya, "Jangan di ulangi," tuturnya lembut pada adik bungsunya.

"Kakak juga minta maaf kalau sudah bikin Asya kesel. Kakak sayang Asya." Reza mengecup puncak kepala Asya.

Mendengar ucapan Reza, Asya memeluk Reza. Hilda dan El tersenyum melihat Reza dan Asya saling menyayangi satu sama lain. Hilda selalu mengajarkan hal-hal baik pada anak-anaknya baik itu El, Reza ataupun Asya. Dalam masalah didikan, Hilda tidak segan-segan untuk menghukum anaknya jika melakukan kesalahan fatal. Itulah orang tua, selalu menjadi guru pertama yang mengajar anaknya. Jika dari kecil di didik dengan kedisiplinan, maka hal itu akan berkembang sampai anaknya besar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro