Bagian 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hari ini Hira akan bertemu dengan David di kafe tempat mereka biasa bertemu. Hira sudah tidak sabar ingin cepat-cepat menemui David dan menyelesaikan masalah yang tengah membelenggu hubungan mereka. Hira berharap, semoga hubungan mereka tetap baik-baik saja dan David mau mengerti akan maksud Hira. Dua hari yang lalu, Hira di buat kesal karena nomor David tak kunjung aktif. Dan semalam, Hira merasa beruntung karena bisa menghubungi David, dan David menyetujui untuk bertemu dengan Hira sebelum keberangkatannya ke London, di kafe tempat mereka biasa bertemu.

Senyum bahagia tersungging di paras cantik Hira menyambut pagi hari. Ada alasan lain, kenapa Hira sangat bersemangat hari ini, karena ia akan menemui David. Tak henti-hentinya Hira merapikan dandanannya di depan cermin. Hira menggerai rambut panjangnya dan ia mengenakan dress selutut warna peach bermotif bunga-bunga kecil. Tak lupa pump shoes ia kenakan.

"Ra, jadi nebeng enggak? Kakak sudah mau jalan, nih?!" teriak Man di balik pintu kamar Hira.

"Iya, Kak. Tunggu sebentar." Hira menyahuti teriakkan sang kakak.

"Kakak tunggu dibawah, cepetan!!!" sahut Man.

"Iya!" Hira kembali memastikan make up dan penampilannya. Tak lupa ia memasukkan dompet, ponsel dan keperluan lain yang akan ia bawa.

Hira segera melangkah keluar kamar setelah semuanya sudah tak ada yang tertinggal. Hira menuruni tangga dengan cepat, lalu menuju teras.

"Hira. Sarapan dulu, Nak," tegur sang ibu pada anaknya yang tergesa-gesa melewati ruang makan.

"Enggak sempat, Bu, Hira nanti sarapan di kafe saja," tolak Hira, karena takut ia terlambat menemui David.

"Pagi-pagi sudah rapi mau kemana?" tanya sang ibu karena tak biasanya Hira rapi seperti itu pagi-pagi.

Hira nampak berfikir karena tak mungkin ia berkata pada ibunya akan menemui David. Hira tahu, ibunya pasti akan melarang karena ayahnya tak suka ia berhubungan dengan David.

"Hira mau ketemu sama teman, Bu, mengenai butik," bohongnya, agar sang ibu tidak curiga. "Hira pamit yah, Bu," sambunya lagi sebelum ibunya menyahuti.

Hira segera berlalu dari hadapan sang ibu untuk menghampiri Man yang sudah menunggunya di mobil sejak tadi. "Ayo Kak, aku sudah siap." Hira kini sudah duduk di kursi penumpang, mobil milik kakaknya. Man hanya menghela napas sembari melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah.

"Kamu mau kemana? Enggak biasanya pagi-pagi udah rapi begini?" Man menangkap kecurigaan pada adiknya, karena tak seperti biasa Hira ada janji pagi-pagi.

"Ih, Kakak pingin tau aja," sahut Hira cuek, walaupun Hira yakin kakaknya mengetahui hubungannya dengan David, tapi entah kenapa kali ini Hira tak ingin berbagi masalah dengan kakaknya mengenai hubungannya dengan David yang sedang kacau.

"Kenapa enggak pake mobilmu sendiri? Tadi udah dipanasin sama sopir, dan jangan bilang kamu mau ketemu David?" tuduh Man.

"Ih, enggak. Siapa juga yang mau ketemu sama dia. Aku ada janji dengan sahabatku untuk bicara masalah butik. Lagian, kenapa sih, adiknya nebeng aja keberatan. Adikmu ini lagi belajar mandiri," elak Hira.

Man hanya mengangguk dan ia pun menghilangkan pikiran tentang pertemuan adiknya dengan David. Man pun tak menyukai hubungan adiknya dengan David karena Man pikir, David hanya memanfaatkan adiknya saja.

Mobil yang dikendarai Man telah sampai di kafe yang Hira inginkan. "Sudah sampai Tuan Putri. Ada yang bisa saya bantu lagi?" gurau Man pada adiknya.

"Terima kasih Komandan. Tuan Putri masuk dulu. Bye ...." Hira turun dari mobil lalu melambaikan tangan pada Man.

Setelah kepergian Man, Hira segera masuk ke dalam kafe. Hira pun duduk di kursi dekat kaca yang terhubung dengan parkiran agar ia mudah mengamati kedatangan David. Hira pun telah memesan minuman kesukaannya. Jarinya mengetuk meja dengan pelan untuk mengurangi rasa jenuh menanti David.

30 menit berlalu, tapi David tak kunjung tiba, sampai minuman yang di pesan Hira sudah tandas. Hira nampak cemas dan mengetukan jari-jarinya berirama ke atas meja, pertanda ia tengah gelisah menanti David. Beberapa kali Hira pun menghela napas. Hira kembali melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 10.00. Hira sudah menghubungi nomor David, tapi tak tak ada jawaban. Beberapa pesan pun sudah ia kirim, tapi tak ada balasan. Rintik-rintik hujan mulai turun karena cuaca seketika mendung. Hira menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, menatap ke arah jendela yang mulai menampilkan rintikan air hujan menyiprat ke dinding kaca. Hira merasa kecewa karena David tak kunjung datang. David tak menepati janjinya. Pupus harapan Hira untuk bisa bertemu dengan David. Senyum yang sedari tadi ia sunggingkan, seketika lenyap karena tidak hadirnya David.

Satu pesan masuk di ponsel Hira. Hira segera meraih ponselnya dan berharap itu dari David. Senyum tipis kembali tersungging ketika nama David tertera.

Ra. Aku enggak bisa datang karena ada janji mendadat untuk keperluan visa.

Senyum Hira kembali pudar.
Hira segera membalas pesan David.

Lalu, kita akan bertemu kapan?

David membalas.
Sepertinya, aku sudah enggak ada waktu buat ketemu kamu.

Air mata menggenang di pelupuk mata Hira. Ia kembali membalas pesan David.

Gimana hubungan kita, Kak?

Hira tak kuasa menepis air matanya.

Ra. Lebih baik kita masing-masing dulu, sampai aku balik ke Indo. Aku mau fokus sama kuliah.

Jadi, kita berhenti sampai sini? Tolong Kak, hubungi aku. Aku pingin ngobrol sebentar sama kamu.

Hira semakin terisak sambil membalas pesan David.

Aku enggak bilang kita berhenti atau putus, Ra. Kita hanya menjalani hubungan ketika kita di Indo. Kita enggak putus, tapi kita break untuk sementara sampai aku balik ke Indo. Oh, iya. Aku enggak bisa hubungi kamu karena aku sedang ada janji dengan orang.

Hira tak membalas pesan David. Ia malah menelungkupkan wajahnya di atas lekuk tangannya yang bertumpu di atas meja. Air mata mengalir deras membasahi pipi mulusnya. Hira tak menyangka jika David akan menggantungkan hubungan mereka. Rasa nyeri terasa di hati Hira. Pupus sudah semua harapan, mimpi dan angannya untuk tetap bersama David. Hira tak lagi bisa berfikir jernih. Ia hanya bisa merutuki dirinya sendiri karena takdir baik tak berpihak pada dirinya. Cinta yang ia bangun susah payah untuk David hanya dianggap David permainan belaka. Hira kembali mengingat ucapan Man, bahwa David tidak benar-benar serius padanya. Hira pun kembali mengingat perkataan sahabatnya Mona. Hira semakin terisak dalam tangisan.

Pengunjung kafe pun tampak melirik kearah Hira. Tak ingin berlama-lama di dalam kafe, Hira segera meletakkan beberapa lembar rupiah di atas meja dan segera bangkit, meraih tasnya, lalu bergegas keluar.

Di luar, hujan masih nampak deras, tapi Hira tak menghiraukan hujan yang kini menerpa tubuhnya. Hira masih berjalan di bawah rintikan hujan yang membasahi sekujur tubuhnya. Air mata pun sama seperti derasnya air hujan, tak kunjung berhenti. Hira tak menyangka akan seperti ini akhirnya. Hubungan yang ia jalani bersama David, sudah diputuskan oleh David, bahwa hubungan mereka berhenti untuk saat ini. Hira berpikir, bahwa selama ini David hanya main-main dengannya.

***

El masih sibuk dengan tugasnya. Ia tengah mengawasi mahasiswanya yang sedang menjalani ujian. Pikirannya pun bercampur dengan materi yang akan ia sampaikan pada Wijaya.

Hari ini, adalah hari dimana ia akan menemui Wijaya. El merasa bingung, karena tak biasanya ada klien yang ingin menjumpainya secara langsung. El berfikir, seperti ada sesuatu di balik semua itu, tapi ia berusaha menepisnya, karena ia tak ingin menduga-duga yang tidak baik.

Sesuai jadwal yang di inginkannya, Wijaya menyetujui pertemuan yang El ajukan, yaitu pukul 13.00. El selalu konsisten dengan pekerjaan dan janjinya, baik sebagai dosen atau pun sebagai pengendali perusahaan. Bisa saja El memakai surat ijin untuk tidak mengajar hari ini, tapi bagi El, dia lebih mengutamakan tugasnya sebagai dosen. El tidak ingin, hanya karena urusan perusahaan ia harus mengabaikan hak wajibnya.

Waktu yang ditunggu-tunggu El sudah tiba. Setelah kelas selesai, ia segera keluar dari ruangannya dan menuju masjid. Sebelum datang ke tempat pertemuan, El menunaikan tugasnya sebagaia hamba terlebih dulu.

Setelah semuanya selesai, El bergegas menaiki motor milik sahabatnya sesama dosen, karena El tak mungkin menanti sopir menjemputnya, tapi seketika ponselnya berdering. El mematikan mesin motor dan meraih ponselnya.
"Assalamu'alaikum. Iya Za, kenapa?" tanya El, masih terduduk di atas motor.

"Kakak masih di kampus, kan?" tanya Reza.

"Iya."

"Aku sudah sampai di kampus. Kakak tunggu sebentar."

El bersyukur karena adiknya akan menjemputnya. Memang rencana Allah sudah teratur dengan sedemikian baiknya.

Sebelum El mengatakan sesuatu, sambungan panggilannya sudah putus.
El segera mengedarkan pandangannya menuju gerbang kampus dan dilihatnya mobil milik sang adik mendekati El yang tengah di atas motor. El tersenyum simpul karena adiknya sudah tiba. Reza segera keluar dari mobil sambil membawa payung lipat yang ada di mobilnya. Dihampirinya El dan mereka berjalan memasuki mobil bersama.
Reza segera melajukan mobilnya menuju tempat pertemuan.

"Kakak enggak ganti baju dulu?" tanya Reza, sesekali melirik ke arah El yang tengah santai menatap jalanan.

"Enggak sempat, Za. Enggak masalah kalau Kakak masih pakai baju begini. Yang penting kehadiran Kakak bukan, yang dibutuhkan?" sanggah El santai, masih menatapi jalanan kota yang di guyur hujan.

Reza hanya menggeleng tanda tak ada masalah. Reza paham, jika El tak ingin di atur dalam masalah apa pun selama masuh dalam batas wajar. Tidak mau berlebihan atau terkesan orang berada.

20 menit, mereka tiba di kafe tempat mereka bertemu dengan Wijaya. El dan Reza berjalan memasuki kafe. Mereka mengedarkan pandangannya mencari sosok orang yang mengajak mereka bertemu, tapi sepertinya Wijaya belum datang. El dan Reza pun mencari tempat duduk dan menanti Wijaya.

"Kakak mau pesan apa?" tanya Reza pada kakaknya setelah mereka duduk di kursi yang kosong, sedangkan El masih mengibaskan rintikan air hujan yang membasahi pakaiannya.

"Ini hari apa, Za?" El pun duduk, lalu menoleh ke arah Reza dengan tatapan datar.

Reza berfikir sejenak, lalu ia teringat bahwa hari ini adalah hari kamis. Setiap hari kamis dan senin, El rutin melakukan puasa. "Kamis, Kak." Reza menggaruk kepalanya yang tak gatal dan tersenyum malu pada kakaknya.

"Kalau mau makan, makan saja, Za." El paham dengan adiknya.

"Nanti saja deh, setelah bertemu dengan Pak Wijaya." Reza menolak karena ia takut di saat ia makan, Pak Wijaya datang, maka Reza mengurungkan niatnya.

"Selamat siang, Pak El dan Pak Reza. Maaf kami terlambat," sapa seseorang bertubuh cukup gemuk dengan pakaian formal lengkap, berdiri tegak di hadapan El dan Reza.

El dan Reza segera berdiri, menjabat tangan orang tersebut bergantian.

"Selamat siang Pak Wijaya," sahut Reza dengan senyum ramah.

Wijaya pun tersenyum pada Reza dan tatapannya beralih ke arah El dan kembali tersenyum dengan anggukkan. El pun tersenyum ramah.

Wijaya sempat tertegun dengan penampilan El, tapi ia kembali pada perkataan Hamdan, jika El selalu berpenampilan apa adanya. Wijaya pun duduk setelah Reza mempersilakannya duduk. Reza segera memanggil pelayan.

"White cofee satu." Reza memesan minuman untuknya. "Pak Wijaya?" lanjut Reza menawari Wijaya.

"Samakan denganmu Pak Reza." Wijaya sesekali mengamati El yang sangat tenang dan Wijaya merasa kagum dengan sosok El.

"Pak El tidak memesan minuman?" Wijaya menawari El.

El tersenyum ramah dan menggeleng. "Tidak," sahutnya singkat.

Wijaya nampak bingung.

Mengetahui kebingungan dari Wijaya, Reza segera menjawab, "Maaf, Pak Wijaya. Pak El sedang puasa." Reza tersenyum ramah.

Wijaya pun tersenyum takjub mendengar penuturan Reza. Di jaman seperti ini, jarang pemuda yang mau melakukan puasa, apalagi pemuda yang hidup berkecukupan.

Mereka pun terlibat obrolan serius mengenai bisnis. Cukup lama mereka saling memberi penjelasan dan pendapat. Wijaya sangat puas dengan pengajuan yang ditawarkan oleh El. Di situlah Wijaya semakin terkesan dengan sosok El yang memberinya jalan keluar untuk masalah perusahaannya. Perkataan Hamdan kini dibenarkan olehnya, jika El tak akan membeli propertinya, melainkan El akan meminjamkan dana untuk mengatasi masalah pada perusahaan Wijaya. El tidak akan mengambil keuntungan dari kesusahan orang, tapi ia akan mencarikan solusi pada orang tersebut agar tidak terjadi kebangkrutan karena itu bermasalah dengan para pekerja di perusahaan Wijaya. Dan mengenai niatnya untuk mencarikan calon suami untuk putrinya, Wijaya kembali teringat ucapan Hamdan mengenai El.

El menatap jam tangannya. Ia segera bangkit dari duduknya. "Maaf, Pak Wijaya. Sepertinya saya harus pergi, karena sebentar lagi jadwalku mengajar akan di mulai." El pamit setelah pembicaraan sudah selesai.

"Oh, iya. Silakan." Wijaya pun terpaksa merelakan El dan Reza pergi, padahal ia masih ingin banyak tahu tentang El.

El segera melangkah pergi bersama adiknya setelah berpamitan pada Wijaya. Reza pun mengantar kakaknya ke kampus. Hujan kembali turun ketika mereka di tengah jalan menuju kampus.

Reza pun melajukan mobilnya menuju kampus. Dalam perjalanan, Reza dan El kembali membicarakan soal pertemuan mereka dengan Wijaya, sampai Reza tak menyadari ada sosok seseorang menyebrang di depan kendaraannya.

" Zaaaa ... awaasss!!!" teriak El, ketika mobil mereka akan menabrak seeorang.

Reza segera menginjak rem seketika sebelum badan mobilnya menabrak seseorang. Mereka berdua segera turun dari mobil untuk memastikan seseorang yang kini berjongkok dan menyilangkan tangan di kepala.

Reza mendekati gadis yang hampir ditabraknya. "Mbak. Mbak enggak apa-apa kan?!" tanya Reza panik, karena gadis yang ada dihadapannya nampak masih shock.

Gadis itu menggeleng. Reza dan El menghela napas. Mereka bersyukur karena mobilnya tak menyentuh gadis itu. Reza membantu gadis itu berdiri. Tubuh gadis dihadapannya menggigil dan wajahnya terlihat pucat. Reza memapah gadis itu ke tepi jalan. Mendadak tubuh gadis itu limbung dan hampir jatuh, tapi Reza segera menangkap tubuh gadis itu.

"Bagaimana ini, Kak?" tanya Reza panik.

"Kita bawa ke rumah. Ayo." El membuka mobil dan menyuruh Reza memasukkan gadis itu. Reza segera memasukkan gadis itu ke dalam mobil. Kali ini El yang mengambil alih kemudi.

"Za, lain kali hati-hati," peringat El yang masih memegang kendali mobil.

"Aku juga enggak tau Kak, tiba-tiba gadis ini sudah ada di depan mobil kita." Reza masih terlihat panik.

"Mungkin ini ujian kita." El sesekali menatap adiknya.

Sesekali Reza menoleh ke kursi penumpang, memastikan keadaan gadis yang hampir di tabraknya tengah pingsan. "Gimana ini Kak? Apa kita bawa dia ke rumah sakit?"

"Sudah, kamu enggak perlu panik. Kita bawa saja dia ke rumah, nanti kita hubungi keluarganya. Dan satu lagi, lebih baik jasmu di lepas untuk menutupi aurat gadis itu." El mencoba menenangkan adiknya dan menyuruh sang adik untuk melepaskan jasnya agar menutupi aurat gadis itu yang terlihat menerawang. El merasa risih jika tak sengaja menatap gadis itu. Reza pun menuruti perintah El dan melepas jasnya untuk menutupi tubuh gadis itu. Pada akhirnya, El tak jadi datang ke kampus karena kejadian itu.

20 menit, akirnya mereka tiba di garasi rumah. El segera keluar dari mobil bersama Reza dan dengan rasa risih El dan Reza memapah gadis yang ada di kursi belakang, karena El tak memiliki pilihan untuk membantu Reza membawa gadis itu masuk ke dalam rumah orang tuanya.

***

Maaf untuk typo yang masih bertebaran.
Ngedit fanfict jadi novel bikin pening.
Lebih enak nulis cerita baru yang tinggal nulis saja meski sambil mikir alurnya. (^_^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro