Bagian 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


El masih khusyuk meresapi beberapa bait-bait mushaf yang kini tengah di lantunkannya dengan suara pelan. Di saat seperti itulah El merasakan ketenangan ketika membaca bait-bait ayat dari Rabb-nya. El selalu menyempatkan waktu luangnya untuk membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Minimal, El membaca Al-Qur'an satu hari satu juz, karena El berusaha istiqamah dan jika bisa, maka ia akan menambahnya lagi. Belum lagi surat-surat penting lainnya yang istiqamah ia baca setiap malam.

"Assalamu'alaikum. Bang, makan malam sudah siap. Ditunggu Ami sama Kak Reza di ruang makan." Asya memberi tahu El dari balik pintu kamarnya.

Shodaqallahul'adzim.

El segera menutup mushaf dan meletakannya di atas nakas. "Iya, sebentar Sya, nanti Abang nyusul." El segera beranjak dari duduknya, melipat sajadah dan bergegas keluar dari kamarnya. Tak ada sahutan dari Asya, berarti dia sudah turun ke ruang makan.

El segera turun menuju ruang makan.

"Selalu Abang yang terlat," gumam Asya, setelah El tiba di ruang makan.

"Amalan, Sya. Nanti takut kelupaan." El duduk di samping Hilda.

"Kamu sudah tau, kalau habis isya Abangmu masih ada amalan, jadi maklumi saja." Hilda ingin Asya mengerti.

"Kamu sudah amalan belum? Jangan ngomel aja." Reza menyenggol lengan Asya karena posisi mereka bersebelahan

"Asya sudah terbiasa menyelesaikannya sebelum tidur." Asya membela diri.

El hanya diam mendengar kedua adiknya berbincang.

"Sya. Kalau kamu habiskan semua amalanmu ketika mau tidur, takutnya memberatkanmu. Cicil saja dari sebelum shalat isya, karena masih ada waktu untuk menyicil amalan, minimal dapat surat Yasiin, Al Mulk, Sajadah, dan Waqi'ah." Reza menyarankan.

"Za. Siapa tau Asya gunakan waktu itu untuk belajar tugas kuliahnya. Kita juga enggak boleh memaksakan orang lain agar waktu amalannya seperti kita. Biarlah adikmu amalan sesempat dia, yang penting jangan sampai lalai dalam amalan." El menengahi keduanya.

"Sudah. Selalu ada topik untuk dibicarakan di ruangan ini. Yang penting anak-anak Ami tidak lupa dengan amalan. Mau amalan malam, pagi atau siang, yang penting kalian semua menunaikan amalan masing-masing dan jangan memaksa siapa pun agar seperti amalan kita. Niat dan iman seseorang itu beda-beda, maka jalani amalan kalian sesuai niat dan kapasitas iman kalian." Hilda ikut menengahi.

Semua terlihat diam dan mulai fokus pada makanan masing-masing. Jika bukan El yang menengahi, maka Hilda yang akan melakukannya.

"Mi, tamu kita sudah makan?" tanya El.

"Ehem ..." Reza pura-pura berdehem meledek El.

El menoleh ke arah Reza yang sedang mengunyah makan malamnya.

"Nanti Ami yang mengantarkan makan malam untuknya." Hilda masih menyantap makan malamnya.

"Mi. Menurut Ami, gadis itu cantik nggak?" Reza menatap Hilda.

"Awas, Mi. Seperti bau motif terselubung." Asya meledek Reza.

"Semua gadis pasti cantik, Za," sahut Hilda cuek.

"Tapi, menurut Reza, dia tidak seperti gadis pada umumnya." Reza tersenyum mengembang melihat respon El hanya diam dan datar.

Hilda hanya menggelengkan kepala melihat tingkah putra keduanya yang sangat jauh berbeda dengan El.

"Istigfar, Za. Yang ada dipikiran kamu tuh, pikiran syetan." El akhirnya angkat suara.

"Kayaknya semua cewek pasti di bilang gitu sama Kak Reza. Temen-temen Asya juga digituin sama Kak Reza." Asya tersenyum mengejek.

Reza melotot ke arah adiknya.

"Bohong, Mi. Mana ada Reza godain temen Asya." Reza membela diri.

"Ami bisa tanya Lina kalau dia kesini." Asya tak mau kalah.

Hilda menghela napas, lalu menatap Reza dan Asya bergantian. Kenapa perbedaan anak-anakku sangat berbeda jauh. El dan Nisa memiliki pola pikir yang sama. Sopan, ramah dan pendiam, meski mereka tidak sedarah. Justru adik-adiknya berbeda jauh dengan El dan Nisa, padahal mereka sedarah dan lahir dari rahimku. Ya Allah, jangan sampai hamba membandingkan mereka semua. Hamba menyayangi mereka semua dengan kadar yang sama.

"Sudah bertengkarnya?! Abang mau bicara serius dengan Ami!" El menengahi dengan nada tegas.

Asya dan Reza menunduk.

"Ami. Tadi Nisa telepon El, katanya dia akan pulang ke sini besok." El menatap Hilda.

Hilda tersenyum bahagia mendengar Nisa akan pulang kerumahnya dengan cucu kesayangannya.

"Serius, Bang?" Tanya Reza dan Asya bersamaan.

El hanya mengangguk dan tersenyum.

"Yey, Kak Nisa pulang. Asya kangen banget sama Kak Nisa. Kangen juga sama Sisi." Asya kegirangan karena akan bertemu dengan kakak angkatnya.

"Jam berapa Kak Nisa sampai bandara? Yang mau jemput siapa? Pak Samsudin besok enggak masuk, kan?" tanya Reza.

"Besok Kakakmu yang akan menjemput Nisa di bandara." Hilda sengaja menunjuk El karena besok El libur mengajar. "Dan besok, sebelum Reza ke kantor harus mengantar Hira pulang ke rumahnya terlebih dulu, setelah itu mengantar Asya ke kampus, dan setelah itu kamu berangkat ke kantor." Hilda membagi tugas.

"Yess ... aku ngantar Hira!" pekik Reza.

El menatap Reza tajam karena El khawatir Hira mendengar pekikan Reza.

Reza segera diam melihat El menatapnya tajam.

"Lebay banget Kak Reza. Lagipula, besok Kak Reza enggak bakal bisa godain Hira karena ada aku." Asya tersenyum mengejek pada Reza.

El hanya menghela napas, sedangkan Hilda kembali menggelengkan kepala.

"Ya sudah, Ami mau ngantar makan malam buat Hira. Kalian selesaikan makan malamnya." Hilda beranjak dari tempat duduknya.

"Mi, nanti kalau sudah selesai. El boleh ke kamar Ami? Ada yang mau El omongin." El menghentikan langkah sang ibu.

"Iya." Hilda sudah paham jika El mengutarakan sesuatu pasti El akan menemui sang ibu atau jika Hilda ingin mengutarakan sesuatu, ia akan mendatangi putranya. Hilda tersenyum paham pada putra sulungnya itu.

"Emang ada apa sih, Kak?" tanya Reza penasaran. Reza dan adiknya pun sudah tahu jika ada sesuatu penting yang ingin dibicarakan El dengan ibu mereka.

Asya sudah tahu, pasti abangnya akan membicarakan salah satu keinginanya, meminta fasilitas mobil yang ia minta.

"Kak Reza keppo," ucap Asya sebelum El membalas perkataan Reza, Asya sudah mendahuluinya.

"Sebenarnya, kamu juga keppo, kan?" Reza membalikkan perkataan adiknya.

El kembali menghela napas dan segera beranjak dari duduknya setelah makanan dipiringnya habis, lalu segera menuju pantry tanpa ingin tahu kelanjutan adu mulut kedua adiknya. El meletakkan piring kotornya di sing lalu mencucinya dengan piring kotor yang lain.

El melihat sang ibu sudah kembali dari kamar tamu. Setelah mencuci tangan, El segera menyusul menuju kamar aminya.

"Assalamu'alaikum." El selalu mengucapkan salam ketika memasuki kamar atau ruangan apa pun kecuali kamar mandi.

"Wa'alaikumussalam. Masuk, El." Terdengar suara pelan Hamida menyuruhnya masuk.

El segera membuka pintu kamar ibunya perlahan. Di lihatnya, Hilda tengah mengibas ranjang.

"Apa El mengganggu Ami? Kalau El mengganggu, mungkin besok saja El membicarakan masalah ini pada Ami." Melihat Hilda sibuk, El berniat mengurungkan niatnya untuk bermusyawarah.

"Tidak, El. Kamu kayak sama orang lain saja. Ayo kemari. Apa yang mau kamu bicarakan?" Hilda menepuk ranjang miliknya, menyuruh El duduk di tepi ranjang.

"El segera menghampiri sang ibu dan duduk di tepi ranjang, lalu mulai mengutarakan maksudnya memberi fasilitas mobil pada Asya.

***

Hira masih menatapi makanan yang dikirim Hilda untuknya. Selera makan Hira seketika menghilang ketika ia mengingat perkataan David melalui pesan yang diterimanya tadi siang. Hira menopang dagunya dengan tangan kanan. Bulir bening meluncur begitu saja di pipi mulusnya. Selama ini ia merasa sudah semampu mungkin agar David bisa mencintainya seperti halnya Hira yang sangat mencintai David, tapi apa kenyataannya sekarang? David meninggalkannya tanpa tahu betapa hancurnya hati Hira karena di tinggal pergi oleh David. Hira semakin terisak dalam tangisnya. Ia meremas selimut yang kini menyelimuti separuh tubuhnya.

"Kenapa ini harus terjadi padaku? Apa kurangnya aku padamu, Dav? Kenapa kamu lebih memilih kuliahmu daripada aku? Kenapa Dav?" gumam Hira sambil terisak.

Hira menaikkan lututnya. Ia sandarkan kepalanya diatas lutut.

"Assalamu'alaikum."

Terdengar salam disertai ketukan pintu.

Hira segera mengusap air matanya dan merapikan semuanya agar terlihat baik-baik saja.

"Wa'alaikumussalam. Masuk." Hira masih bergeming dari tempatnya.

Pintu pun terbuka dan sosok Asya muncul lalu berjalan menghampiri Hira. Hira tersenyum mendapati Asya yang tersenyum padanya.

Asya menatap makanan yang belum disentuh sama sekali oleh Hira. "Kok belum makan, Kak? Masakannya enggak enak, yah?" Asya menatap Hira dengan tatapan sedih.

"Enggak, kok. Aku hanya belum lapar saja." balas Hira cepat, karena takut menyinggung keluarga Asya.

Asya duduk di samping Hira. Ia meraih nampan berisi makan malam untuk Hira dan menyendok nasi lalu menyuapkannya pada Hira. "Kakak sedang sakit, lebih baik isi perut Kakak dengan nasi supaya kesehatan Kakak pulih." Asya menatap Hira.

Hira tersenyum ramah dan menurunkan tangan Asya. "Terima kasih. Aku bisa makan sendiri." Hira meraih nampan di pangkuan Asya.

"Oh, iya. Kata Ami, aku tidur di sini dengan Kakak untuk menemani Kakak. boleh?" tanya Asya.

Hira yang hendak menyuapkan makanan kemulutnya sementara tertunda untuk menyahuti perkataan Asya dengan anggukan cepat, "Tentu boleh." Hira segera memasukan suapan ke dalam mulutnya.

"Terima kasih, Kak." Asya segera berjalan memutar menuju ranjang di sebelah Hira.

Hira hanya tersenyum simpul sembari mengunyah makan malamnya dengan malu. Hira merasa bahagia, karena keluarga Hilda begitu ramah padanya. Hira merasa sangat dihargai di sini seperi bagian dari keluarga ini.

"Kak. Kakak tinggal di mana? Terus, kenapa Kakak bisa hampir ditabrak Kak Reza?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Asya.

"Aku tinggal di perumahan Garden city, dan masalah itu, aku tak sengaja mau menyebrang karena hujan sangat lebat. Aku tak tau kalau ada mobil yang mau melewati jalan ketika aku mau menyebrang." Hira terpaksa berbohong karena malu jika keluarga Hilda tahu, Hira tengah patah hati.

Asya pun hanya mengangguk tanpa ada rasa curiga sedikit pun.

Hira hanya tersenyum hambar, masih memakan makanannya.

"Kakak masih kuliah?" tanyanya lagi.

"Sudah wisuda beberapa bulan yang lalu." Hira membersihkan mulutnya setelah makan.

"Assalamu'alaikum."

Terdengar ketukan disertai salam dari balik pintu.

Asya tersenyum mendengar suara Iyam. "Masuk, Bi!" teriak Asya.

Iyam pun muncul dari balik pintu, berjalan menuju ke arah mereka dengan membawa nampan berisi dua gelas susu putih untuk mereka.
"Makan malam Mbak Hira sudah selesai?" Iyam berdiri di samping Hira dan meletakkan susu di atas nakas.

"Sudah, Bi. Terima kasih untuk susunya." Asya segera meraih susu yang telah Iyam letakkan di atas nakas.

"Ayo Mbak Hira, susunya di minum." Iyam menawarkan.

"Nanti saja. Aku habis makan, minumnya nanti saja kalau aku mau tidur." Hira tersenyum ramah pada Iyam.

Iyam pun mengangguk. Ia memungut piring kotor bekas Hira makan dan bekas gelas susu milik Asya. "Bibi pamit keluar." Iyam berlalu dari hadapan Asya dan Hira.

"Bi, tolong sekalian matikan lampunya, ya?" pinta Asya.

Lampu pun mati dan Asya hanya menyalakan lampu tidur.

Hira membulatkan matanya ketika lampu sudah mati sedangkan Asya sudah siap-siap untuk bermimpi dan memunggunginya. Hira tak pernah tidur dalam keadaan gelap walaupun masih ada lampu tidur diatas nakas, tapi Hira tetap saja tak akan bisa tidur.

Hira segera merebahkan tubuhnya. Ia menatap Asya, tapi Asya sudah terlelap dalam tidurnya, sedangkan Hira tak bisa memejamkan matanya karena takut gelap. Hira menggigit bibir bawahnya. Ia menarik selimutnya sampai menutupi wajah, tapi tetap saja tak bisa tidur.

Hira melirik jam di atas nakas sudah menunjukkan pukul 22.00. Berulang kali Hira menguap dan membolak-balikkan tubuhnya, tapi masih saja belum bisa tertidur. Hira kembali duduk dan meraih susu yang ada diatas nakas. Segera ia meminumnya sampai tandas. Setelah itu, ia kembali merebahkan tubuhnya. Hira berusaha memejamkan matanya sampai dimana matanya mulai terpejam.

Hira merasa ranjangnya bergoyang. Ia membuka mata dan melirik ke arah jam. Masih pukul 03.30. Hira menoleh ke arah Asya, tapi Asya sudah tidak ada.

Kemana Asya?

Hira terkesiap ketika pintu kamar mandi terbuka dan sosok Asya keluar dari kamar mandi. Hira mengusap dadanya.

Asya berjalan keluar dari kamar, tapi Hira segera menghentikan langkah Asya, "Kamu mau kemana, Sya?" tanya Hira mendapati Asya akan keluar dari kamar itu.

"Eh, Kak Hira sudah bangun? Aku mau shalat tahajjud, Kak. Kakak mau bareng shalat tahajjud sama aku?" Asya menawari.

Jangankan shalat tahajjud. Shalat wajib saja jarang banget kulakukan. Bukan jarang lagi, tapi enggak pernah sama sekali semenjak aku lulus SD.

Hira tersenyum getir. "Enggak Sya, aku lagi enggak shalat," bohonya agar bisa melanjutkan tidur.

"Oh, ya sudah, Kakak lanjutin saja tidurnya. Aku mau shalat dulu." Asya pun berlalu keluar dari kamar.

Hira merutuki dirinya sendiri setelah kepergian Asya, karena telah berbohong. Ia kembali menutup matanya dan tertidur.

***

Hira mengerjapkan matanya untuk menormalkan indra penglihatannya karena matanya sangat silau. Setelah mata dan kesadarannya sudah kembali penuh, Hira mengedarkan pandangannya. Tak ada siapa-siapa. Tirai sudah terbuka, membuat akses matahari langsung masuk ke dalam kamar. Hira merentangkan tangan, menikmati sinar matahari pagi, lalu ia lekas beranjak menuju kamar mandi untuk menggosok gigi. Hira bingung akan mandi, karena pakaiannya pasti belum kering dan baru akan di cuci pagi ini. Akhirnya Hira masih memakai pakaian itu setelah mandi. Ia bergegas keluar dari kamar mandi.

"Selamat pagi Mbak Hira?"

Hira terlonjat kaget ketika Iyam menyapanya, tapi ia kembali berusaha tenang. "Selamat pagi, Bi," balas Hira dengan senyum ramah.

"Ini pakaian dari Bu Hilda." Iyam menyerahkan dress warna kuning muda pada Hira.

"Tidak perlu, Bi. Aku mau pakai pakaianku saja. Sudah di cuci?"

"Maaf, Mbak. Baju Mbak Hira belum di cuci, maka dari itu Bu Hilda memberikan baju ini pada Mbak Hira."

Hira pun terpaksa menerima pakaian itu dengan malu. "Terima kasih, Bi."

"Sama-sama. Oh iya, Ibu sudah menunggu Mbak Hira di ruang makan."

Hira hanya tersenyum dan mengangguk.  "Aku akan segera ke sana, setelah berganti pakaian," gumamnya.

Iyam pun berlalu dari kamar itu setelah berpamitan pada Hira. Hira bergegas memakai pakaian yang diberikan Iyam. Hira segera duduk di kursi dan menatap dirinya dari pantulan cermin untuk merapikan rambutnya. Hira menggerai rambut panjangnya. Setelah ia rasa sudah rapi, Hira pun bergegas keluar dari kamar menuju ruang makan.

Hira merasa malu jika harus bergabung dengan Hilda dan anak-anaknya. Semuanya sudah terlihat rapi. Satu persatu Hira pandangi dari Hilda, El, Reza, dan Asya. Hira menatap pakaiannya sampai ujung kaki.

Apa pakaian ini cocok kukenakan?"

"Kemari Nak, duduk disebelah Asya." Perintah Hilda, ketika mendapati Hira sudah berdiri tak jauh dari meja makan.

Hira segera mengangguk, lalu menghampiri meja makan dengan rasa canggung. Reza pun berpindah duduk yang biasanya duduk di samping Asya berpindang ke samping El.

"Ayo, Kak, sini duduk." Asya menarik lengan Hira agar duduk disebelahnya.

Hira tersenyum malu sambil duduk.

Hilda tersenyum hangat. "Jangan malu-malu. Anggap saja rumah sendiri. Hanya ini yang bisa kami sajikan untuk sarapan."

"Enggak apa-apa, Bu. Ini sudah lebih dari cukup." Hira merasa semua yang tersedia wajar pada umumnya. Nasi goreng, roti panggang, susu, dan teh hangat.

"Mi. Hira jadi pulang hari ini?" tanya Reza.

El segera menyenggol lengan adiknya.
Hilda pun menatap tajam pada Reza.

"Apaan sih, Kak?" bisik Reza pada El.

"Kamu terkesan mengusirnya." El berbisik pada Reza.

Reza langsung diam mendengar bisikan El dan tatapan tajam aminya.

"Sesuai janji, aku akan pulang hari ini."
Hira tersenyum sambil menyantap sepotong roti panggang.

Reza tersenyum. "Aku yang akan mengantarmu pulang, sekalian aku berangkat ke kantor." Reza menyahuti.

Hira kembali tersenyum dan mengangguk pada Reza. "Terima kasih untuk semuanya. Aku bahagia bisa mengenal orang-orang baik seperti kalian, terutama Ibu. Terima kasih karena sudah merawatku," ucap Hira tulus.

"Ibu juga senang bisa merawatmu. Kamu boleh datang ke sini jika kamu merindukan kami. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu. Ibu juga minta maaf atas nama kedua putra Ibu yang hampir menabrak Nak Hira. Sekali lagi Ibu minta maaf." Hilda tersenyum tulus.

"Saya minta maaf, jika ada salah." El menyambar.

El kembali menyenggol lengan Reza. "Minta maaf gih," bisik El di sela-sela ia makan.

"Nanti saja sekalian mengantar Hira," bisik Reza pada kakaknya.

"Asya jadi bareng nebeng Reza, kan?" tanya El.

Kali ini Asya tersenyum lebar pada Reza. "Kak Hira enggak keberatan, kan?" tanya Asya.

"Aku malah senang kok," balas Hira dengan senyuman.

"Itu lebih baik." El mengedipkan sebelah matanya pada Reza yang tengah cemberut.

"Ayo, sudah siang. Selesaikan sarapan kalian dan segera berangkat sesuai tugas masing-masing." Hilda mengintruksi anak-anaknya.

Semuanya mengakhiri sarapan dan segera menjalankan tugas mereka masing-masing.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro