Bagian 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Ra ..." Man mengusap pundak adiknya lembut. Man bingung karena sudah hampir setiap hari selama seminggu ini Hira hanya diam, menangis ,dan lebih banyak melamun setelah kejadian di mana ia tak pulang malam itu. Membuat Man semakin ingin tahu, apa yang terjadi dengan adiknya.

Hira segera menghapus air matanya dan mendongak ke arah Man yang kini berada dibelakangnya. Hira hanya tersenyum hambar.

Man duduk di samping adiknya. Ia menatap adiknya sedih. "Kamu kenapa? Sudah satu minggu hanya di kamar. Melamun, menangis dan diam yang selalu terlihat. Cerita sama Kakak, siapa tau Kakak bisa bantu? Apa David menyakitimu?" tanya Man.

Hira hanya menggeleng. Tatapan wajahnya kosong dan menerawang entah kemana. Man semakin bingung dengan sikap adiknya.

"Ngapain kamu masih mengharapkan laki-laki yang tak pernah mau serius sama kamu, Ra? David hanya memanfaatkan kamu saja. Nyatanya dia tidak datang untuk melamarmu, justru dia lebih memilih kuliahnya. Saran Kakak, lebih baik kamu lupain dia." Man menasehati Hira. Ia tak mau adiknya berlarut-larut memikirkan laki-laki yang tak pernah serius dengan Hira. Man sudah tahu masalah itu, tapi ia diam, karena Man tak tega melihat adiknya sedih, dan sekarang terbukti.

"Mudah ngomong seperti itu. Aku sudah terlanjur cinta sama David. Enggak semudah itu melupakan semua kenangan bersama dia. Terlalu banyak kenangan manis bersamanya. Aku enggak bisa." Hira terisak.

"Kamu akan seperti ini terus? Sampai kapan mau menunggu David? Dia akan lama di luar negri. Bisa saja dia punya pacar di sana tanpa kamu tau." Man masih mencoba membuat adiknya mengerti.

Hira hanya diam. Bisa saja David memiliki kekasih di sana. Tapi dia yakin pasti David akan kembali dan akan mengajaknya untuk menikah.

"Terserah kamu. Kakak sudah memperingatkan kamu. Kakak hanya ingin yang terbaik buat kamu. Kamu tau, Ayah sedang mencarikan calon untukmu. Ayah berniat untuk menjodohkan kamu dengan sepupu rekan kerja Ayah. Kamu pasti sudah tau itu."

Hira menatap Man. "Jadi Ayah beneran mau menjodohkan aku dengan rekan kerjanya?" tanya Hira tak percaya.

Man mengangguk. "Yang jelas, dia lebih baik dari David."

"David lebih baik dari semuanya. Dia sempurna, tampan, dan gentle."

Man tersenyum mengejek. "Buktinya sekarang apa? Dia ninggalin kamu, Ra! Nanti malam Ayah mengundang rekan kerja yang akan dijodohkan denganmu. Kamu siap-siap saja. Dari kemarin Kakak mau mengatakan ini sama kamu, tapi keadaan tidak memungkinkan, jadi baru bisa sekarang."

Mata hira membulat. "Apa?! Nanti malam? Kenapa Ayah enggak bilang sama aku? Kenapa mendadak seperti ini?" Hira terdengar kesal.

"Siapa suruh dari kemarin enggak turun? Bukannya Ibu sudah bilang ke kamu?"

Hira pun berpikir. Ia menepuk dahinya, karena ia benar-benar lupa. "Jadi, yang Ibu bilang akan ada tamu nanti malam, keluarga orang itu?"

Man mengangguk.

Kenapa jadi seperti ini? Aku hanya ingin menunggu David, tidak untuk orang lain. Aku harus bagaimana?

"Man ...!!!"

"Kakak turun dulu. Selamat berpikir dan menanti seseorang yang akan menjadi jodohmu. Jangan lupa dandan yang cantik." Man mencubit pipi Hira dan berlalu pergi.

Pokoknya aku harus menggagalkan acara nanti malam! Tapi bagaimana caranya? Aku enggak mungkin bikin malu Ayah di depan rekan kerjanya. Batin Hira cemas.

***

El semakin bingung dengan waktu antara kantor dan mengajar. Ia tak mungkin membiarkan Reza menangani kantor sendirian karena pamannya kini menangani kantor cabang dengan suami Nisa. El tak fokus mengajar jika suatu waktu Reza membutuhkannya.

"Apa ada masalah?"

El menoleh ketika Hilda mengusap bahunya lembut. "Sedikit."

Hilda beranjak duduk di samping putranya. "Ami enggak maksa kamu buat memilih, tapi Ami sarankan untuk mengutamakan mana yang lebih penting. Apa pun keputusanmu, Ami akan selalu mendukung, selama kamu tidak merasa berat menjalaninya."

El menarik napas dan membuangnya perlahan. "El sudah istikharah dan jawabannya, El memilih untuk kembali ke kantor."

Hilda menggenggam tangan putranya. "Jika itu keputusanmu, maka Ami setuju saja. Kssihan Reza, harus menangani kantor sendirian, walaupun Paman terkadang membantunya, tapi kasihan Pamanmu kalo harus menangani dua kantor."

"Iya. El pikir juga seperti itu." El tersenyum pada Hilda.

Hilda mengangguk.

"Siapa saja yang akan ikut El datang ke undangan makan malam di rumah Pak Wijaya?" tanya El pada Hilda.

"Asya enggak ikut, katanya dapat undangan ulang tahun dari temannya. Rasya juga enggak ikut, karena mau nungguin Nisa. Cuma kamu, Ami dan Reza."

El mengangguk. "Kita mau bawa apa?"

"Ami sudah pesan buah sama Reza kalau dia pulang dari kantor."

"Ayah ..."

El tersenyum ketika melihat keponakan kesayangannya berlari ke arahnya. Gadis kecil itu menubruk tubuh El. El pun meraih tubuh gadis kecil itu di pangkuannya. "Kenapa Sayang?" tanya El pada gadis kecil itu.

"Ayah mau pergi?" tanya gadis kecil itu.

"Iya, Sayang." El mencium pipi mungilnya.

"Lala mau ikut Ayah," rengek gadis kecil itu.

"Asila. Ayah mau pergi ke acara penting. Asila di rumah sama Ama dan Apah, yah?" Nisa berjalan menghampiri Hilda dan El.

"Lala mau ikut Ayah sama Nenek." Lala masih merengek.

El menatap Nisa dan mengangguk.
Asila selalu memanggil El dengan sebutan 'Ayah', karena El sangat menyayangi Asila. El menyukai anak-anak karena anak-anak adalah aroma wangi dari surga. Meski Nisa tak sedarah dengan El, tapi El menyayangi Nisa seperti ia menyayangi Asya dan Reza. Dan El menyayangi Asila seperti keponakannya.

"Kakak yakin mau ajak Lala?" tanya Nisa.

"Kenapa?" El menatap Nisa.

"Takutnya ganggu, Kak." Nisa merasa tak enak hati.

"Insya Allah, semuanya akan baik-baik saja. Justru akan ramai kalau ada Lala." El mengusap rambut Lala lembut.

Hilda dan Nisa hanya menghela napas. El selalu memanjakan Asila. Apa pun keinginan Asila, El selalu menuruti.

***

Hira sangat cemas dalam duduknya. Ia berjalan mondar-mandir di kamarnya sambil memikirkan cara agar tidak turun menemui laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. Ia merasa buntu saat ini. Mona pun tak bisa membantunya keluar dari rumahnya.

"Ra ...! Tamunya sudah datang. Kamu sudah selesai siap-siapnya? Sudah ditunggu di bawah!" Man memanggil Hira dari balik pintu kamar.

Hira semakin cemas. Ia tak ada pilihan lain untuk menolak semua ini. Ia pun telah berjanji pada ayahnya untuk menemui tamu itu. Hira pun terpaksa harus keluar dari kamar. Ia memastikan dirinya terlihat rapi dan tidak memalukan kedua orang tuanya.

Di ruang tamu, suasana terlihat ramai karena kehadiran keluarga El di tambah kehadiran Asila. Semua nampak terhibur dengan celotehan Asila yang tak berhenti mempertanyakan semua orang yang ia tak kenal.

Terdengar langkah suara sepatu menggema di ruang tamu. Semua pandangan teralih pada sosok yang berjalan menuruni tangga.

"Itu dia, putriku yang akan kukenalkan pada kalian." Wijaya tersenyum menatap putrinya yang sedang berjalan menuruni anak tangga.

Reza dan Hilda tertegun menatap gadis itu. Ia seperti mengenali wajah gadis itu.

Hira pun tiba di ruang tamu. Ia tertegun menatap sosok yang ia kenali.

Apa yang mereka lakukan di sini?

"Hira," gumam Reza.

"Kalian sudah kenal?" tanya Wijaya.

Lina pun merasa heran karena Reza dan keluarganya mengenal Hira.
El pun sama. Ia merasa heran ketika melihat Hira di rumah itu sekaligus putri Wijaya yang akan dijodohkan dengannya.

"Ini yang dinamakan takdir. Sebelum aku mengenal gadis yang akan dijodohkan dengan anakku, Allah lebih dulu pertemukan kami." Hilda tersenyum pada keluarga Wijaya.

"Kalian bertemu Hira di mana? Dan kenapa Hira tak memberitahu Ayah?" Wijaya menatap Hira.

Hira hanya tersenyum getir lalu duduk di samping ibunya.

"Beberapa hari yang lalu, Reza tak sengaja hampir menabrak Hira. Saat itu sudah hampir magrib dan hujan deras. Sepertinya Hira mengalami kelelahan dan kedinginan jadi saat itu dia pingsan. Reza dan El membawanya pulang karena mereka bingung tak tau alamat rumah ini, jadi mereka membawa Hira pulang ke rumah. Di situ kami bertemu." Hilda menjelaskan.

Wijaya mengangguk dan tersenyum. "Jadi karena itu."

Hilda tersenyum dan mengangguk.

Hira menatap El yang sedang memangku Asila.

Jadi dia sudah memiliki anak? Kenapa waktu aku di rumahnya, aku tak melihat anaknya?

"Saya berterima kasih dan mohon maaf jika Hira telah merepotkan Anda," ucap Wijaya tulus.

"Itu tidak seberapa. Saya senang bisa mengenal Hira terlebih dulu." Hilda menyahuti.

Pembantu menghampiri Lina dan mengatakan jika makan malam sudah siap. Lina mengangguk dan pelayan itu pun pergi.

"Mari ke ruang makan. Makan malam sudah siap." Lina mengintruksi agar semua orang menuju ruang tamu.

Mereka pun beegegas menuju ruang tamu.

Semua telah berkumpul di ruang makan. El masih menggendong Asila yang kini tertidur dalam gendongannya.

"Ami sudah memperingatkan agar tidak mengajak Asila dan ini kejadiannya." Hilda berbisik pada El.

"Asila bisa di tidurkan di kamar tamu." Lina menawarkan kamar tamu untuk Asila tidur.

"Biar Reza antar Asila pulang." Hilda menolak halus.

Reza mengangguk. El memberikan Asila pada Reza. Mereka pun kembali duduk dan menikmati makan malam sambil membicarakn masalah perjodohan antara Hira dan El.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro