Ch. 1 - Penyihir dan Gado-gado

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SMA Bombas belum lama dibentuk tapi sudah memiliki gedung yang besar, fasilitas yang nyaman, dan akreditasi yang tinggi. Sebagai anak kepala sekolah aku bisa belajar dengan santuy tanpa mikirin SPP.

Gara-gara ini banyak teman yang iri denganku. Aku gak menyalahkan mereka sama sekali. Untungnya teman-temanku ini tetap solid meskipun sering nyinyir di belakang.

"Eh, si Remar itu ngeselin banget ya? Anak orang kaya, udah gitu bapaknya kepala sekolah di sini lagi. Kalo punya duit bagi-bagi kek."

"Aku sih gak mikirin. Bodoamat soal harga dia. Yang bikin aku kesal itu anaknya terlalu santai. Kadang suka seenaknya aja. Dia keluar masuk ekskul. Udah masuk futsal, basket, catur, voli, melukis, jurnalis, tapi semuanya gak bertahan lama, cepet banget dia keluarnya."

"Iya betul tuh, cepet banget dia keluarnya. Kalau aku mah keluarnya lama."

"Cih, ikut-ikutan aja kamu Bim mentang-mentang udah keluar dari ekskul futsal. Padahal semuanya merindukan kamu lo."

"Asikkk, merindukan. Afah iyah dek?"

"Rill bro."

Sekelompok anak laki-laki tengah membicarakanku dari balik ruang kelas yang tidak terpakai. Minggu ini ada tugas dance kekinian jadi mereka meminjam kelas usai pulang sekolah.

Aku sendiri belum pulang karena baru ingat ada barang yang ketinggalan di kolong meja, eh tanpa disangka-sangka malah denger gosip. Topiknya aku pula.

Dengan santai akupun membuka pintu ruang kelas. Mereka yang ada di dalam langsung menoleh ke arahku.

"Eh, ada Remar."

"Wihhh, mau ngapain Mar?"

"Mau duduk dulu di sini?"

Mereka tersenyum ramah padaku.

"Aku mau ambil charger HP yang ketinggalan. Ngomong-ngomong kalian lagi ngomongin aku ya?"

Aku pergi ke tempat dudukku untuk mengambil barang yang dimaksud. Kemudian aku ke depan kelas lalu duduk bersama mereka.

"Iya nih bro. Kami lagi ngomongin kamu."

"Wih, asik ya?"

"Iya, asik."

Aku tertawa pelan. Tidak ada rasa tersinggung sama sekali. Teman-temanku ini juga kelihatan santuy. Tanpa sungkan akupun duduk bersama mereka. Duduk sila sambil makan cemilan yang mereka tawarkan.

"Asik, keripik kentang. Enak banget ini."

"Asli, enak banget cemilan yang satu ini. Makan aja, Remar."

"Siap siap."

Aku diberi sebungkus kripik dan tidak ragu menghabiskannya.

"Kalian lanjutin aja gosipnya. Aku nyimak."

"Oke deh. Sip."

Kelompok laki-laki itupun menatap satu sama lain lagi. Dasar, mereka ini bukannya latihan malah ngegosip. Tapi aku gak mau menyalahkan mereka sih, kelompok kemarin juga sama soalnya.

"Eh, si Remar tuh ya. Ngeselin banget."

"Betul tuh. Ngeselin banget dia."

Sore itu, aku asik makan cemilan sambil menyimak teman-temanku ngegosip di depanku.

***

Pulang sekolah aku jalan kaki seperti biasanya. Tidak naik motor seperti kebanyakan orang. Rumahku sebenarnya tidak sedekat itu, tapi aku senang saja berjalan kaki. Selain sehat aku bisa menikmati momen-momen santai dan sederhana selama perjalanan. Tanpa pengaruh HP.

Saat berada di pertigaan aku melihat ibu-ibu jualan gado-gado di wartegnya. Gado-gado buatan beliau sangat enak sehingga aku menjadi langgananku. Sebelum lanjut berjalan pulang kayaknya aku makan dulu sebentar.

"Remar nau pesen gado-gado lagi?"

"Hehehe, tau aja Bu Asa."

"Sipp silahkan duduk ya. Ibu siapkan."

Akupun duduk di meja kayu panjang. Makanan di etalase terlihat enak-enak tapi semuanya kalah menggiurkan dengan gado-gado.

"Ini, Remar."

Gado-gado sudah datang. Aku segera menyantapnya. Bu Asa juga memberikan segelas air putih.

"Kamu sekarang udah kelas berapa, Remar?"

"Oh, aku udah kelas dua bu sekarang. Sejak dua bulan yang lalu."

"Wahh ... Remar udah gede yang sekarang. Padahal kayaknya baru kemarin masih SMP."

"Begitulah Bu. Waktu berlalu cepat. Gak kerasa saya udah kelas dua SMA aja. Nanti juga tiba-tiba udah kuliah aja."

Bu Asa terkekeh. "Iya bener. Anak saya aja udah gede banget sekarang. Udah kerja. Padahal masih inget saya pas dia masih SMP. Rasanya baru kemarin aja."

Aku ikut tertawa. Kami pun lanjut basa-basi bersama seputar sekolah, keseharian, dan lain sebagainya untuk menghabiskan waktu di warteg ini. Ngomong-ngomong, gado-gado buatan Bu Asa beneran enak. Aku mau banget nambah tapi harus hemat uang saku. Jadi anak orang kaya bisa boros sih, tapi hemat lebih keren.

Di tengah perbincanganku dengan Bu Asa, aku merasakan gempa untuk sesaat. Sepertinya beberapa warga sekitar juga ikut merasakannya. Getarannya pelan tapi bisa dirasakan samar-samar.

Aku yang penasaran menoleh keluar, beberapa saat kemudian tiba-tiba ada gadis berpakaian penyihir yang lewat. Tatapan kami pun bertemu. Rambutnya panjang biru gelap digerai. Memegang tongkat panjang berbahan kayu. Ekspresinya terlihat dingin dan tenang, tetapi ada kebingungan yang jelas dari sikapnya yang menoleh ke sana kemari.

Gadis berpakaian penyihir itu masuk ke dalam warteg ini.

"Svalerat kairat volterm?"

"Hah ...?"

Aku menaikkan alis, sesaat setelahnya gadis itu terbelalak kaget.

"Yukra. Ghanara tioroven."

Aku benar-benar tidak mengerti bahasa apa yang dia gunakan.

Gadis berpakaian penyihir mengangkat tongkatnya melakukan gerakan ayunan kecil. Di waktu yang sama tiba-tiba saja ada banyak rune yang melingkari tubuhnya.

"Hah! Apa itu!? Remar! Coba kamu hentikan dia!"

"Aduh, Bu. Saya juga bingung ini!"

Aku dan Bu Asa sama-sama panik. Baru pertama kali kami berdua melihat fenomena ini.

Untungnya tidak ada apapun yang terjadi. Rune yang kulihat barusan juga menghilang begitu saja.

"Maaf atas ketidaknyamanannya. Namaku Evi dari Kerajaan Saffa. Apa kamu bisa memberitahu sedang berada di mana aku sekarang? Tadinya aku sedang belajar sihir teleportasi. Tapi tidak kusangka malah ada di tempat yang sejauh ini dari rumahku."

Apa-apaan gadis ini?

Dia ini benar-benar aneh. Pakaiannya kayak orang lagi cosplay, tapi barusan dia jelas-jelas melakukan sesuatu yang disebut sihir.

Dari penjelasannya barusan dia pasti penyihir asli dari dunia lain. Sulit mempercayainya tapi dia sudah menunjukkan bukti tepat di hadapanku.

"Namaku Remar Adiyanto. Saat ini kau berada di ... em ... sebut saja planet bumi. Negara Indonesia. Tepatnya di Kota ...."

Aku mulai menjelaskan tempatnya berada sekaligus situasi yang dia hadapi saat ini. Aku juga bertanya lagi mengenai asal-usulnya agar yakin ini bukan prank. Benar saja, dia mengkonfirmasi. Bahkan menunjukkan beberapa sihir sederhana seperti membuat bola api dan golem tanah mini untuk membuatku lebih yakin.

Sungguh sulit dipercaya.

"Begitu ya. Ternyata aku di dunia lain yang tidak ada sihirnya."

"Yang sabar ya, Evi." Aku ikut prihatin.

Evi menatap gado-gado di atas meja. Dia memerhatikan makanan itu cukup lama hingga akhirnya bunyi perut terdengar jelas.

"Remar, boleh aku minta itu? Aku punya seratus gold."

"Gak gak gak! Gak usah pake itu Evi! Simpan aja. Jangan pakai uang itu di sini, terlalu mahal! Kamu harus tukarkan dulu ke mata uang di sini. Ah, nanti aku bantu kamu soal itu. Masalah makanan biar aku traktir. Kamu pesan gado-gado yang baru aja."

"Gado-gado?"

"Iya, gado-gado. Itu makanan khas daerah negara ini. Makanan berupa sayuran, tahu, telur rebus, kentang, ditambah bumbu kacang. Kadang ditambah kerupuk juga biar mantep."

Mendengar penjelasanku, Evi tersenyum tipis.

"Aku mau gado-gado."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro