Ch. 2 - Kepsek Santuy Padahal Ada Penyihir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menjelaskan banyak hal pada Evi sambil makan gado-gado bareng. Perhatian Evi sangat terkunci pada makanan ini. Dia tersenyum tipis setiap kali menelan setiap suapan. Nampaknya aku mendapat teman baru yang satu frekuensi mengenai makanan favorit.

Untuk sementara, Evi akan tinggal di rumah Bu Asa. Aku mengkhawatirkannya karena dia benar-benar tidak mengetahui apapun sekalipun adaptasinya di tempat ini sangat bagus dan daya serapnya terhadap informasi sangat baik sejauh yang aku lihat.

Selain itu Evi bisa saja macam-macam dengan kekuatan sihirnya. Aku takut akan terjadi masalah yang menggemparkan dan merugikan banyak orang di tempat ini. Semoga saja Evi tidak menyalahgunakan kekuatan sihirnya.

Masalah adaptasi, Evi berkata tidak perlu khawatir sebab dia memiliki sihir-sihir yang dapat membantunya mengatasi beberapa masalah. Sihir bahasa tadi hanya contoh kecilnya saja.

Keesokan harinya aku tidak bertemu Evi karena tidak ada waktu sekolah. Dua hari libur, sabtu dan minggu, aku menghabiskan banyak waktu untuk bermain game. Aku juga tidak mengunjungi wartegnya Bu Asa jadi belum bisa mengetahui kabar Evi selama hari libur. Hari senin pun juga begitu karena aku ada kerja kelompok sampai jam lima dan ingin segera pulang saja untuk istirahat.

Hari selasanya, saat masuk sekolah kembali. Aku dikejutkan oleh seorang murid baru di kelasku, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Evi.

"Halo semuanya, nama saya Evi. Salam kenal ya," ucap Evi tenang dengan ekspresi kalem.

"Wahhh! Halo Evi!"

"Evi! Kulitmu kok mulus banget!? Pake skincare apa?"

"Evi, suka gundam gak Evi?"

"Evi ...! Kalo kamu tertarik masuk ekskul basket ya!? Anggota putrinya sedikit banget!"

Banyak teman-temanku yang bersemangat berinteraksi dengan Evi. Baik yang laki-laki maupun perempuan sama-sama semangat. Cuma aku yang nggak karena masih tidak menyangka Evi bisa menjadi murid di sekolah ini dalam waktu singkat. Aku harus mempertanyakan ini pada bapakku.

Perkenalan Evi berlangsung tidak terlalu lama. Perkenalan siswa pada umumnya. Tidak ada yang tergila-gila pada Evi, hanya antusias berteman dengannya saja. Yang laki-laki juga nampaknya tidak berniat bikin ulah yang mengganggu.

Saat berjalan menuju tempat duduk, Evi tersenyum tipis sambil mengangguk sesaat ketika menatapku. Melihatnya dengan seragam kemeja putih lengan panjang, rok panjang abu-abu, dan dasi abu-abu, entah kenapa menjadi sesuatu yang fresh. Rasanya sangat berbeda sama Evi yang berpakaian penyihir kemarin.

Penasaran dengan apa yang terjadi, saat jam istirahat aku menghampiri bapakku di ruang kepsek.

"Pak. Aku mau nanya. Kok Evi bisa masuk sini sih?"

"Loh? Kamu kenal dia toh. Hm ... bapak bisa paham kenapa kamu penasaran sih. Evi itu kan penyihir ya. Terus katanya baru tiba di bumi baru-baru ini."

"Nah! Kenapa dia bisa jadi siswi di sini? Bapak juga tau dia itu penyihir pula."

"Sabar, sabar. Bapak jelasin. Jadi si Evi itu memang lagi kesusahan. Bu Asa yang cerita buat sekolahin Evi di sini biar bisa beradaptasi dan dapat teman selama masih di bumi."

Aku tidak percaya bapakku bisa menyikapi semua ini dengan tenang. Bahkan menyelesaikan pendaftaran Evi secepat ini.

Meskipun aku sendiri cukup tenang dalam menghadapi Evi, tetap saja aku kepikiran mengenai kemampuannya sebagai penyihir. Dengan kekuatannya itu Evi bisa berbuat macam-macam. Bisa saja membahayakan orang lain. Sekalipun ia belum berbuat sejauh itu aku pikir ayah dan Bu Asa harus berhati-hati.

"Pak. Bapak yakin mau terima Evi di sekolah ini? Bapak beneran sadar dia itu penyihir 'kan?"

"Bapak sadar seratus persen kok. Bapak mengerti juga keresahan kamu. Hari sabtu bapak mampir ke warteg buat makan rendang. Ketemu Evi. Dia nunjukkin sihirnya ke bapak, bahkan sempet manggil meteor."

"MANGGIL METEOR!?"

"Iya. Kejadiannya malam hari sih. Warga di daerah rumah kita sempat ribut gara-gara meteor yang tiba-tiba muncul dan tiba-tiba hilang. Kamu waktu itu lagi asik main game di rumah jadi gak tau."

"Terus kenapa bapak masih terima dia di sini!?"

"Bapak suka sama sihirnya sih. Menurut bapak keren aja gitu ada penyihir bisa summon meteor. Ah! Benar. Sihir-sihir yang dimiliki bisa digunakan untuk promosi sekolah kita. Menarik minat."

"HAH?"

Semakin aku mendengar bapakku, jantungku semakin terguncang.

Ayolah! Meteor loh! Meteor!

Evi ternyata lebih berbahaya dari dugaanku. Awalnya aku pikir dia hanya penyihir biasa yang tidak punya kekuatan sebesar itu. Tapi ternyata punya! Jika dia mau bisa saja kota ini hancur dengan kekuatan sihirnya.

Aku masih ingat ekspresi tenangnya saat makan gado-gado. Mengingat momen saat itu, dia memang gadis yang baik sih. Tidak nampak seperti seseorang yang mudah tersinggung atau memakai sihir untuk sesuatu yang salah. Namun, tetap saja, aku baru kenal Evi. Bisa saja sifat aslinya tidak begitu.

"Bapak ... kayaknya  Evi terlalu berbahaya berada di sekolah kita. Menurutku sebaiknya dia keluar aja deh. Jika dikeluarkan secara baik-baik dia pasti mengerti."

Bapakku menggeleng. "Tidak. Evi tetap berada di sini. Kamu gak perlu terlalu khawatir."

"Gak perlu khawatir gimana!? Dia itu bisa manggil meteor!"

"Kalo dia marah gara-gara dikeluarin gimana?"

"Harusnya bapak tidak memasukkan dia secepat itu!"

"Tapi udah terlanjur kan? Yang minta Evi sekolahin di sini kan Bu Asa. Evi pasti anak yang baik. Kalo nggak Bu Asa gak perlu susah payah mendaftarkan Evi ke sini sampai meminta pada bapak secara langsung. Bisa aja kan beliau membiarkan Evi di rumahnya saja atau membantunya jaga warteg? Atau bahkan membiarkannya keluar rumah untuk melakukan sesuatu tanpa perlu disekolahkan?"

Ucapan bapakku memang ada benarnya. Aku tau seberapa baik sifatnya Bu Asa. Beliau ramah dan baik hati tapi tegas juga pada hal-hal yang melanggar hukum atau norma. Intinya tidak senaif itu sebagai seseorang yang baik. Jadi  beliau sendiripun punya alasan kuat untuk menyekolahkan Evi.

"Baiklah. Aku paham. Tapi bapak juga harus mengawasi Evi. Takutnya dia melakukan sesuatu yang membahayakan."

"Oh iya ... pengawasan ya? Soal itu bapak mau ngomongin juga ke kamu."

Aku menaikkan alis. Entah kenapa firasatku buruk.

"Evi belum bergabung dengan ekskul manapun. Kamu khawatir dia pakai sihir yang menarik perhatian dan menimbulkan kekacauan kan? Nah, jika dia bergabung dengan suatu ekskul bisa saja dia melakukannya demi membantunya mengerjakan tugas di ekskul. Jadi, sebelum itu terjadi, bapak ingin kamu membuat ekskul baru dan merekrut Evi sebagai anggotanya. Dengan kata lain, bapak ingin kamu yang mengawasi Evi."

Aku mematung sesaat. Menjadi satu ekskul dengan Evi? Mana mungkin aku bisa melakukan itu!

Bukan berarti aku tidak mau berteman dengan Evi. Aku senang berteman dengannya. Dia gadis yang baik dan suka gado-gado juga. Tapi, tugas pengawasan ini terlalu berat untukku. Aku parno jika terjadi sesuatu.

"Ya ampun, wajahmu kelihatan resah begitu. Gak perlu terlalu setakut itu sama Evi. Iya, dia penyihir hebat, tapi dia beneran gadis baik kok. Dia anaknya pendiam sih, tapi bapak udah banyak ngobrol sama dia. Kesimpulannya dia gadis yang baik. Cuma ya punya kekuatan besar aja. Meteor yang waktu itupun gak ngelukain siapa-siapa. Kamu bisa santai."

Sepertinya memang tidak ada pilihan lain. Evi memang perlu diawasi. Bapakku sibuk sebagai kepala sekolah. Kalo bukan aku, siapa lagi?

Disaat aku mempertimbangkan keputusan di hadapanku, bapakku tiba-tiba memberikan penawaran yang tidak aku sangka-sangka.

"Kalo kamu mau menjadi ketua dari ekskul yang dibentuk untuk mengawasi Evi, bapak beliin kamu PS5 deh."

"EH!? YANG BENAR!?"

Bapakku menggangguk.

Kalo begini mah, tawarannya jadi sulit ditolak.

"Gimana? Mau bikin gak?"

"Hm ... oke deh. Boleh. Setahun doang kan?"

"Iya."

"Sipp!"

"Jadi, ekskul apa yang ingin kamu buat?"

Aku berpikir selama beberapa waktu. Baik aku dan Evi adalah sosok yang bertolak belakang. Sebagai pendatang baru di bumi aku yakin dia belum mencoba suatu kegiatan modern yang kemudian menjadi hobinya. Jadi ekskulnya bukan berdasarkan hobinya, tapi sesuatu yang lain yang juga disukai Evi.

Hm ... apa yang disukai Evi? Sesuatu yang mungkin membuatnya betah di ekskulku.

Oh, iya, benar. Mungkin itu berhasil.

"Aku sudah memikirkan nama ekskulnya."

"Apa itu?"

"Ekskul Gado-gado."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro