Ch. 3 - Bola Api Penyihir yang Bikin Remar Tantrum

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ini dia."

Aku menatap papan kecil di bingkai pintu bagian atas. Di sana terdapat tulisan 'Ekskul Gado-gado'.

Sekolah swasta ini punya gedung yang besar. Bahkan ada beberapa ruangan yang belum dipakai untuk kelas tertentu atau ekskul tertentu. Ruangan di depanku ini adalah salah satunya dan sekarang menjadi milik anggota ekskul gado-gado.

"Aku menyukai namanya. Jadi ini ekskul untuk makan gado-gado bersama ya?" Evi tersenyum tipis. Suaranya pelan tapi masih terdengar jelas

"Itu juga benar sih. Tapi kurang tepat. Ekskul ini tujuannya untuk melatih para anggotanya membuat gado-gado, mereview gado-gado, dan mungkin nanti berdagang gado-gado."

"Menarik ya. Ternyata Remar pandai membuat hal-hal seperti ini."

"Gimana? Kamu suka gak? Mau join Ekskul Gado-gado?"

Evi mengangguk pelan. "Iya, aku mau. Sepertinya menyenangkan."

Bagus!

Semuanya berjalan lancar. Untungnya aku lelaki pertama yang berteman dengan Evi. Jadinya bisa membujuknya masuk ke ekskul ini karena tingkat kepercayaannya padaku pasti tinggi.

Tantangan selanjutnya adalah membuat Evi betah. Bukan berarti aku berniat mengekangnya sehingga Evi tidak bergaul dengan yang lain atau nongkrong sama teman-teman cewek. Aku hanya ingin dia memprioritaskan ekskul ini sehingga di luar jam sekolah aku bisa memantaunya. Setidaknya sampai dia pulang sekolah ke rumah Bu Asa.

Ahh ... tapi kalo dipikir-pikir lagi tindakanku ini memang protektif. Tapi ... ya biarlah.

Menurutku ini lebih baik daripada Evi bertemu anak-anak yang toxic lalu jadi kesal dengan ulah mereka, kemudian memanggil meteor untuk menghancurkan kota.

Aduh, gawat. Dipikir berapa kali pun sihir Evi sangat menyeramkan. Apa aku doang yang parno begini? Beneran gelisah rasanya kalo membayangkan Evi berbuat macam-macam. Dia sangat mungkin melakukan sesuatu yang berpotensi merugikanku.

Semoga ini hanya keresahanku saja. Aku harap Evi segera bisa pulang kembali ke tempat asalnya.

"Jadi, apa yang harus pertama kali kita lakukan? Remar?"

Evi duduk di salah satu kursi. Aku berjalan-jalan untuk mengecek lemari dan rak buku, sekedar penasaran ada apa saja di tempat ini.

"Kita belum beli bahan-bahan gado-gado. Belum ada peralatan memasak juga. Kayaknya untuk sekarang kegiatannya kosong dulu? Selain itu kita perlu anggota lain."

"Anggota lain? Jadi gak cuma kita berdua ya?"

"Kamu lebih suka yang mana?"

Evi nampak berpikir sejenak. "Sepertinya ramai sedikit akan lebih baik."

Dalam ekskul ini tentunya diperlukan tambahan anggota. Mana mungkin cuma aku dan Evi yang ada di ekskul gado-gado karena kami adalah lawan jenis. Setidaknya harus nambah satu cewek di ekskul ini.

"Nanti akan aku carikan. Untuk sekarang kita luang dulu. Kamu bebas mau ngapain di sini. Di rak sana ada beberapa buku. Kalo tertarik kamu bisa baca."

Evi menoleh ke rak buku sejenak sebelum kembali menatapku.

"Saat ini aku sedang tidak ingin baca buku."

Setelah melihat-lihat, aku duduk di berhadapan dengan Evi. Bertopang dagu, kemudian melakukan peregangan sebelum akhirnya melemaskan punggung pada sandaran kursi.

"Evi, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Topiknya mungkin agak sensitif untukmu, tapi tolong jangan tersinggung."

Mata Evi membelalak sedikit, tapi ekspresinya tetap kalem. "Ada apa?"

"Ini soal sihir. Kamu kan punya kekuatan sihir yang luar bisa. Jadi ... aku harap selama kamu tinggal di bumi, kamu gak pake kekuatan sihirmu itu untuk melukai orang lain atau melakukan sesuatu yang berpotensi berbahaya."

"Ohh ... aku bisa mengerti kenapa kamu khawatir. Di bumi, sihir bukan hal yang lazim atau bahkan tidak ada. Berbanding terbalik dengan duniaku. Jadi karena aku bisa melakukan banyak hal menggunakan sihir kamu jadi khawatir terjadi sesuatu di tempat tinggalmu ini."

"Nah! Bener! Baguslah maksudku tersampaikan. Bukan berarti aku benci atau gak suka sama sihir yang kamu miliki. Aku cuma khawatir aja."

Syukurlah semua berjalan lancar. Evi sudah memahami keresahanku. Kalau begini aku bisa lebih tenang mengawasinya.

"Tapi, Remar."

"Iya?"

Evi mengacungkan jari telunjuknya ke atas dengan posisi tangan masih setara dada. Bola api sebesar bola basket seketika muncul di atas telunjuk Evi.

"Huahhh!"

Aku spontan menjauh ke belakang. Kursi terseret bersamaku saat kakiku menendang lantai.

Evi menatapku dengan tatapan tenang yang datar.

"Bagi penyihir sepertiku, rasanya sulit untuk tidak mengeluarkan sihir setiap hari, atau sekedar membatasinya. Soalnya ... aku sudah terbiasa. Jadi sepertinya aku akan kesulitan memenuhi keinginanmu."

"MATIKAN ITU! MATIKAN! KUMOHON MATIKAN!"

GILA BANGET! Kok tiba-tiba Evi memunculan bola api!? Itu ukuran yang besar loh! Kalo tidak hati-hati seisi ruangan ini bisa terbakar!

Bukannya segera mematikan api. Evi malah mengerutkan dahinya. Aku bisa paham raut wajah itu. Evi sepertinya tidak menyangka aku bersikap setakut ini.

"Evi! Matikan!"

"O-Oh ... baik."

Api di atas telunjuk Evi pun lenyap.

Aku bernafas lega.

"Remar. Kamu tidak perlu setakut itu. Aku mahir dalam sihir kok, aku bisa mengendalikannya."

"Iya iya, aku paham kok Evi." Wajahku bercucuran keringat dingin. "Tapi yang ahli sekalipun terkadang membuat kesalahan. Sekalipun kamu mahir sihir bisa aja kamu gak sengaja ngebakar ruangan ini?"

"Apa iya? Bola api yang tadi sudah sangat kukuasai jadi tidak mungkin membakar seisi ruangan."

"Tetep aja! Aduh ... Evi. Serius deh. Kamu membuatku takut."

"Tenang saja Remar. Kalaupun ruangan ini terbakar, aku bisa mengembalikannya seperti semula kok."

"Dengan sihir?"

"Tentu saja."

Mendengarnya memiliki sihir semacam itu membuatku sedikit terhibur dari kekhawatiran.

"Remar, kau mau melihat sihirnya?"

"Ah. Nggak nggak. Gak usah."

"Kenapa? Bukannya kalau sudah lihat sendiri jadi lebih tenang? Aku bisa mmebuktikannya kok."

Evi mengacungkan telunjuknya lagi, dalam sekejap bola api muncul dengan ukuran yang lebih besar dari sebelumnya.

"Gak gak gak! Gak usah!"

Ekspresi Evi nampak tidak khawatir sama sekali. Padahal ada banyak benda berbahan kayu di sini! Ya ampun. Apa dia segitunya ingin menunjukkan sihirnya itu padaku!?

"Cukup! Evi! Kamu tidak perlu menunjukkannya!"

"Remar. Kamu setakut itu dengan api?"

Aku tidak tau Evi berniat iseng atau apa, tapi bukannya mematikan bola api dia malah memperbesar ukurannya. Jauh lebih besar dari sebelumnya sampai bola api itu hampir menyentuh langit-langit.

"EVIIIIIIIIIIIIIIIII ....!!!!!!!!!! CUKUPPP!!"

Aku benar-benar tantrum di hadapan Evi. Sihir yang dia anggap sederhana membuatku jantungan.

Ekskul gado-gado yang baru saja dibuka diharapkan agar Evi bisa nyaman di sekolah dan bisa diawasi ia membatasi sihir. Tapi sepertinya, sekedar ekskul saja belum cukup untuk membuat Evi menjadi siswi seutuhnya tanpa sisi penyihir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro