My Brother's (32)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kita kembali ke Rumah Sakit...

Suasana mendadak menjadi sunyi. Seorang Dokter dan perawat keluar dari ruangan Fajri di rawat.

Ricky, Fenly serta Raka menunggu sejak tadi di luar. Ketiganya menatap sang Dokter untuk memberikan penjelasan.

"Dok, bagaimana keadaan Aji?" tanya Ricky langsung.

Raka dan Fenly masih menopang tubuh Ricky yang lemas. Sebelumnya Ricky sempat memberontak untuk masuk ke dalam ruangan Fajri di rawat.

Sang Dokter menatap ketiganya dengan tatapan sulit diartikan. Dokter bernama Fauzan menghelan napas perlahan.

"Dokter! Tolong jawab! Bagaimana keadaan Aji?!" Ricky menuntut jawaban yang belum didapatkan.

Fenly melirik sekilas ke arah sang Abang. Ia semakin sedih melihat Ricky seperti itu.

"Ini semua gara-gara Fajri!" batin Fenly menahan emosi.

Fenly tak mungkin mengeluarkan emosi terpendam di saat tak kondusif begini. Fenly tidak mau dianggap sebagai Kakak yang tak memiliki rasa sedih, padahal dalam hati sungguh berbeda.

"Maaf," ucap Dokter Fauzan pelan.

Jantung mereka berdebar-debar kencang. Maksud jawaban dari Dokter Fauzan penuh teka-teki.

"Maaf apa Dok?" tanya Ricky tak mengerti.

"Ky, kamu harus tenang ya," ujar Raka walau ia juga sangat khawatir.

Sedangkan Fenly memilih diam. Ia sudah siap menunggu jawaban dari Dokter di depannya.

"Semoga sesuai harapan gue. Selamat tinggal Fajri," batin Fenly tersenyum sangat tipis.

Dokter Fauzan menatap lagi ketiga pria di depannya. "Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tetapi Tuhan berkata lain. Pasien bernama Fajri Zakno, sudah meninggal dunia."

Deg!

Jdarr!!

Seakan waktu terhenti. Sambaran petir seakan menyambar tubuh mereka, terutama Ricky.

Ricky melepaskan kedua pegangan tangan di bahunya. Tubuh Ricky seakan kaku tak bisa digerakan.

"Keluarga boleh melihat pasien untuk terakhir kalinya," ucap Dokter Fauzan sedih.

"Dok... ini ng-nggak mungkin kan?" tanya Ricky.

Dokter Fauzan diam. Ia menepuk pelan pundak Ricky memberikan rasa simpati yang mendalam atas kehilangan sang Adik.

"Aji... Abang Iky di sini. Aji...," ujar Ricky penuh kesedihan.

Air mata sudah jatuh membasahi di kedua pipi Ricky. Raka pun sama. Ia masih belum siap merasakan kehilangan untuk kesekian kalinya.

Fenly. Ia hanya diam sejak tadi. Fenly menatap sosok Ricky yang rapuh dan kehilangan.

"Bang Iky," panggil Fenly pelan.

"Vel! Coba bilang ke Abang. Aji masih hidup kan? Benar kan Ovel?!" tanya Ricky memegangi kedua bahu Fenly erat.

Fenly semakin meringis ketika Ricky memegan kedua bahunya kuat. "Bang... kita harus ikhlas. Aji sudah tenang sekarang, nggak merasakan sakit lagi," jawabnya. Kedua netra Fenly sudah berlinangan air mata.

"Bohong! Itu pasti bohong kan!" Ricky menolak jawaban Fenly termasuk sang Dokter.

Fenly langsung memeluk erat tubuh Ricky. Ia sudah tak kuat menahan sakit dan sedih melihat keadaan Ricky yang seperti ini.

Tubuh kekar Ricky kini terlihat agak kurus. Wajah pucat dan selang infus yang masih terpasang di punggung tangan kirinya.

"Ky... ayo kita lihat Aji ke dalam," ajak Raka.

"Nggak Bang. Aji masih hidup. Iky yakin itu!" bantah Ricky.

"Ky...,"

"Abang,"

Tiba-tiba dada kiri Ricky terasa sangat sakit. Nyeri di dada kiri membuat Ricky berteriak histeris mengeluarkan rasa sakit. Penyakit jantung yang saat ini diderita Ricky kambuh kembali.

"Arghh!"

Dokter Fauzan dan Suster Laras bersiap akan membawa Ricky ke ruangan rawatnya. Mereka harus memberikan pertolongan secepatnya mungkin.

"Dokter! Tolong Abang saya!" seru Fenly sangat panik.

"Iya!" jawab Dokter Fauzan cepat.

Ricky di taruh di kursi roda. Suster Laras langsung mendorong kursi roda tersebut.

Raka mengikuti kedua tenaga medis itu cepat. Setiap langkah kaki, Raka selalu berdoa demi kesembuhan Ricky sepupunya.

Fenly berdiri kaku. Ia menatap ruang Fajri di rawat. Amarah, kebencian serta dendam menyelimuti hatinya.

"Aji!! Setelah lo pergi selamanya. Lo masih membuat Abang Iky sengsara!

Gue semakin benci sama lo, Ji!"

Fenly langsung menghampiri lainnya. Ia sudah muak dengan keadaan ini. Prioritas utama saat ini adalah kesembuhan Ricky, sang keluarga yang tersisa.

_$_$_

Di sebuah tempat...

Suasana di tempat itu begitu tenang dan nyaman. Nuansa warna putih menjadi pemandangan pertama kali.

Sebuah titik kecil terlihat. Titik itu semakin besar dan nampaklah sosok seseorang berbaju putih.

"Ini di mana?" tanya seorang Pemuda yang baru tiba.

Pemuda itu berjalan tanpa arah. Semua sama dan ia semakin bingung di buatnya.

"Aduh... gue ada di mana sih!" kesalnya.

Tiba-tiba sebuah hembusan angin datang dari arah depan. Angin itu menerpa wajah tampan sang Pemuda.

Dua titik muncul di depan Pemuda itu. Sosok Pria dan Wanita yang sudah berusia lanjut.

Kedua netra sang Pemuda melebar. Tubuhnya terasa kaku. Sosok kedua orang di depannya adalah sosok yang sangat ia rindukan selama lima tahun tak pernah bertemu untuk terakhir kalinya.

"Mama... Papa..."

"Aji..."

Ya! Kedua titik itu adalah Papa dan Mama Aji yang sudah meninggal lima tahun lalu. Fajri aka Aji langsung berlari kencang.

"Maa... Aji kangen. Paa... Aji rindu."

Fajri sudah berada di pelukan kedua orang tuanya. Air mata sudah berjatuhan. Rasa rindu dan bahagia bisa bertemu kembali.

Sang Mama memeluk tubuh Fajri. Ia elus punggung Fajri. Sang Papa mengusap lembut kepala Fajri.

"Aji, sekarang sudah besar ya." Sang Mama melepaskan pelukan. Senyum indah terukir di bibir.

"Papa bangga sama Aji." Sang Papa juga ikut tersenyum.

Fajri mengusap air mata. Ia tersenyum bahagia.

Akhirnya restu waktu menemukan mereka kembali. Fajri tersadar. Jika ia bertemu dan berpelukan kepada kedua orang tuanya yang telah tiada. Berarti Fajri juga sama seperti mereka.

"Ma... Pa... apakah Aji sudah meninggal?" tanya Fajri polos.

Mama dan Papa hanya tersenyum tipis. Tak ada jawaban yang keluar dari bibir mereka.

Fajri bingung. Ia mencoba untuk mendekati kembali kedua orang tuanya. Tetapi setiap ia melangkah, jarak mereka malah semakin menjauh. Berbeda dengan pertama kali tadi.

"Mama... Papa... Aji mau peluk kalian lagi. Aji... Ma! Pa!"

___BERSAMBUNG___

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro