My Brother's (33)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dokter! Tolong Bang Iky!"

Fenly menangis histeris. Kondisi Ricky saat ini lemah. Beberapa pasang kabel terpasang di badan Ricky, lalu dihubungkan ke sebuah alat.

Monitor menunjukkan gambar berupa gelombang-gelombang sedikit tak beraturan. Raka mencoba menenangkan Fenly.

Hari ini terasa sangat berat. Berita kematian Fajri, lalu keadaan Ricky yang kembali kritis. Tuhan tengah menguji seorang remaja SMA bernama Fenly.

"Bang Iky! Abang harus kuat! Ovel nggak mau lihat Bang Iky seperti ini terus!"

Fenly semakin histeris. Raka sampai harus membawa Fenly keluar ruangan. Dokter Fauzan dan beberapa Suster tengah menangani Ricky.

"Kak... gue mau temenin Bang Iky. Tolong lepasin gue!" seru Fenly memberontak.

"Fenly, kamu harus tenang. Abang Iky sedang ditangani oleh tim medis. Sebaiknya kita berdoa demi kesembuhan dan kesehatan Ricky." Raka menahan tubuh Fenly.

Akhirnya Fenly memilih untuk mulai tenang. Air mata masih mengalir deras. Perasaan negatis selalu bermunculan di otak.

Fenly tak mau sampai harus kehilangan lagi. Cukup kedua orang tuanya saja. Kalau Fajri, ia tak terlalu menghiraukannya. Semua ini terjadi karena perbuatan Fajri dan kini terulang kembali.

Dunia seakan membuat Fenly tersudutkan. Jika Tuhan sampai mengambil nyawa keluarga satu-satunya. Ia tidak akan memafaatkan Fajri selama hidupnya.

"Aji... gue benci lo selamanya!" batin Fenly penuh dendam.

_$_$_

Di dunia lain...

Fajri masih mencoba untuk memeluk kedua orang tuanya. Namun, usaha Fajri hanya sia-sia saja.

"Maa... Pa...

Kenapa Aji nggak bisa peluk kalian lagi?

Aji masih kangen sama kalian."

Fajri meneteskan air mata kesedihan. Ia tetap berusaha tetap tak membuahkan hasil.

"Aji...," ucap sang Mama lembut.

"Iya, Ma?" sahut Fajri.

"Kamu anak yang baik dan pintar. Mama bangga telah melihat kamu menjadi lebih dewasa."

Sang Mama tersenyum lembut. Kini sang Papa membuka mulut.

"Aji, harus tetap jadi anak yang kuat. Aji nggak boleh bertengkar lagi dengan Abang Iky dan Ovel ya," pesan sang Ayah bijak.

"Maa... Pa...

Aji mau ikut sama kalian saja.

Aji capek harus berantem sama Bang Ovel.

Aji nggak tega melihat Bang Iky terus berusaha bekerja demi kami."

Fajri mencurahkan isi hatinya selama ini. Fajri berjalan pelan, jarak kedua orang tuanya semakin jauh.

"Aji... dunia kita berbeda, nak," ujar sang Mama.

"Nggak! Aji mau sama Mama dan Papa aja!" sanggah Fajri.

"Aji... kamu harus menemani Bang Iky ya. Saat ini kondisi Bang Iky sedang kritis."

Fajri terdiam setelah mendengar perkataan sang Ayah. "Bang Iky...," ucapnya lirih.

"Aji... pasti ada saatnya kita bisa berkumpul bersama."

"Selamat tinggal Aji. Mama dan Papa titip salam buat Iky dan Ovel ya."

Perlahan roh kedua orang tua Fajri berubah menjadi partikel cahaya, lalu terbang ke langit atas. Fajri menatap ke langit dengan senyuman tipis.

"Aji janji... Aji bakal menyampaikan pesan kalian dan semoga kita dapat berkumpul bersama seperti dulu ya... Ma... Pa..."

Sebuah pintu berwarna putih muncul di belakang Fajri. Fajri membalikan badan, lalu berjalan pelan menuju pintu.

Pintu terbuka dan Fajri masuk ke dalamnya. Roh Fajri menghilang bersamaan dengan pintu berwarna putih tersebut.

Tak lama dua sosok lelaki menatap kepergiaan Fajri. Mereka tersenyum tipis lalu menghilang bagaikan angin.

_$_$_

D

i Rumah Sakit...

Ricky masih berjuang. Dokter Fauzan dan beberapa suster terus memberikan perawatan semaksimal mungkin.

Tiba-tiba layar di monitor berbunyi. Ada sebuah alarm muncul di sana.

"Dokter, kondisi pasien semakin memburuk." lapor Suster bernama Lilis.

"Tolong siapkan alat-alat dan obat penitng!" perintah Dokter Fauzan.

"Baik, Dokter," jawab para suster.

Kali ini Dokter Fauzan akan berusaha sekuat tenang. Suster Jannah mengambil set emergency berserta obat-obatan.

Suster Lilis melakukan tindakan RJP. Ia memompa tubuh Ricky mengikuti rute. Suster Jannah memasukan obat ke dalam selang infus.

Mereka terus melakukan RJP bergantian. Dokter Fauzan pun turut membantu dan terkadang memberikan arahan.

Layar monitor menampilkan gelombang-gelombang tak beraturan. Perlahan gambar gelombang berubah menjadi garis lurus.

"Kita lakukan RJP sekali lagi!"

"Baik, dokter!"

Suster Lilis melakukan RJP semaksimal mungkin. Ia juga tetap berhati-hati agar tidak menyebabkan cedera tulang iga patah karena kesalahan sekecil pun.

Di luar ruangan Ricky di rawat...

Fenly berjalan mondar-mandir tak tentu arah. Hatinya semakin kalut dan takut. Sesekali matanya melirik ke arah kaca ruangan.

Tak lupa seutas doa dibacakan oleh Fenly dan Raka. Keduanya memohon kepada Tuhan yang Maha Esa untuk memberikan keselamatan bagi Ricky. Mereka tak sampai harus kehilangan lagi di waktu yang hampir berdekatan.

"Ky... semoga Tuhan mendengar doa kita," ucap Raka di balik doa.

"Aamiin," sahut Fenly.

Tiba-tiba sebuah suara langkah kaki terdengar. Fenly dan Raka menatap ujung kaki hingga ke atas.

Kedua netra melebar terlebih Fenly. Sosok di depan mereka berdiri sambil tersenyum kecil. Tubuh kurus dan wajah pucat nampak jelas terlihat.

"Hai, Bang Ovel... Kak Raka," ucap seorang Pemuda melambaikan tangan kecil.

"Ka-kamu...,"

"I-ini nggak mungkin kan,"

Pintu ruangan Ricky terbuka. Dokter Fauzan melangkahkan kaki mendekati kedua orang di hadapannya.

"Dok, bagaimana kondisi Bang Iky?" tanya Fenly.

Raka dan seseorang yang baru bergabung menunggu jawaban sang Dokter. Fauzan menghembuskan napas kasar.

"Maaf... pasien sudah berusaha sekuat tenaga," ucapnya sedih.

"Bang Iky!" seru Fenly dan seseorang itu kompak.

Raka hanya diam terpaku. Dokter Fauzan masih belum menyadari kehadiran seseorang itu.

_$_$_

Di sebuah tempat, perumahan mewah...

Gilang dan Fiki tengah berkumpul di suatu ruangan di dalam rumah. Keduanya duduk saling berhadapan.

"Bang Lang. Ini nggak mungkin kan?" tanya Fiki tak percaya.

"Hmm... ini benar Fik. Berita di koran ada fakta." jawab Gilang pelan.

Kedua netra Fiki berlinangan air mata. Ia tak percaya setelah membaca sebuah berita dari koran.

"Bang Shandy... Fiki masih nggak percaya, Bang Shan sudah pergi meninggalkan Fiki selamanya," ucap Fiki lirih.

Dan pertahanan Fiki pun pecah. Air mata Fiki sudah berurain air mata kesedihan.

Dada Fiki terasa sesak. Kini ia hanya bisa menangis. Wajah Shandy yang berlumuran darah menjadi topik utama di koran tersebut.

Gilang pun mendekati Fiki. Ia memeluk tubuh gembul Fiki berniat memberikan ketenangan.

"Fik... gue juga sedih Shandy harus pergi meninggalkan kita semua. Takdir memang sudah berkata dan kita tidak bisa menolak ya sekuat apapun."

Fiki membalas pelukan Gilang. Kesedihan sudah menyelimuti hati Fiki. Rasa kehilangan seorang Abang sungguh membuat diri Fiki seakan hancur. Walau Shandy pernah memukul dirinya, dalam hati Fiki sudah memafaatkannya.

"Bang... gue nggak tahu harus bagaimana lagi," ucap Fiki lirih.

"Mulai sekarang lo boleh anggap gue sebagai Kakak kandung sendiri. Gue berjanji akan menjaga lo sebaik mungkin melebihi rasa kasih sayang Shandy dulu." Gilang menyeringai kecil di balik pelukan.

Rencananya sudah berhasil. Kini tinggal masalah waktu. Semua yang ia atur akan sesuai hasil.

"Terima kasih Bang. Fiki janji nggak akan jadi anak nakal dan penurut."

Fiki melepaskan pelukan. Ia menunjukkan jari kelingking di depan muka Gilang. Gilang pun menautkan jari kelingking ya.

Kini Gilang dan Fiki sudah resmi menjadi seorang Kakak Adik walau beda darah. Gilang semakin bahagia melihat Fiki menjadi penurut.

"Selanjutnya adalah giliran kalian bertiga. Bersenang-senanglah dulu sebelum hadiah dariku datang." batin Gilang licik.

___SELESAI___

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro