31.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini terasa lebih tenang bagi Maga. Tidak ada suara cerewet yang menggema di telinganya sepanjang sekolah. Seharusnya dia senang, tapi entah mengapa perasaannya seperti ada yang kurang. Beberapa kali dia melirik jam dinding yang tinggal sisa lima menit sebelum bel berbunyi. Namun, waktu terasa berjalan lambat. Tidak biasanya Maga memusingkan hal itu.

Benar-benar hari yang aneh!

Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Bunyi bel sekolah menggema ke penjuru kelas membuat Maga bernapas lega. Lama-lama berada di kelas kepalanya semakin pusing. Maga butuh asupan bernutrisi siang ini. Bersama Angga dan murid-murid lain, Maga berjalan beriringan keluar kelas. Baru sampai di ambang pintu Maga menghentikan langkahnya. Sorot matanya menatap kecut siswa di depannya yang menghadang terang-terangan.

"Ngapain lo di sini?"

"Biasa. Kayak nggak tau aja."

Jujur kehadiran Kiki bikin matanya sakit. Dia adalah orang yang paling tidak ingin Maga lihat apalagi temui, tapi siapa sangka tiba-tiba kakak tingkatnya itu datang tanpa undangan. Maga tahu apa yang membuat lelaki berambut rapi ala tentara itu menyambangi kelasnya.

Bukan urusannya juga untuk ikut campur. Maga yang enggan menanggapi hendak beringsut tapi Kiki tak membiarkan Maga pergi dengan mudah.

"Tunggu. Gue belum selesai ngomong."

Dengan tatapan datar Maga cuma menarik napas lalu melirik ke arah Angga yang ternyata memperhatikan sejak tadi. Cowok itu pasti kepo makanya masih berdiri di sana dengan alis mengerut penuh tanya.

"Lo duluan aja, Ang. Gue nanti nyusul."

Diusir secara halus mau tak mau membuat Angga bergerak menuju kantin lebih dulu. Sementara itu, Maga kembali menatap Kiki yang menunggu giliran.

"Mau nanya apa, cepetan. Gue sibuk," tegas Maga langsung menyuruh Kiki supaya tak bertele-tele. Malas sekali harus berurusan dengan Kiki. Jam makan siangnya jadi terganggu, kan nggak enak banget.

"Santai aja, Bro." Kiki menyeringai kecil lalu melanjutkan, "Gue cuma mau nanya doang."

"Apa?"

"Gue nggak liat Olin dari tadi dan chat gue belum di bales juga. Lo tau dia ke mana nggak?"

"Dia nggak masuk sekolah hari ini."

"Serius, lo?" Kiki bertanya tak percaya.

"Iya. Ngapain gue bohong."

"Ya, kali aja. Kan lo nggak suka sama gue." Tanpa ragu Kiki berkata demikian. Kiki tahu kalau Maga begitu ketus jika bertemu dengannya. Dia tidak tahu penyebabnya.

Mau disembunyikan bagaimana pun terasa sulit. Raut cemberut dan gelagatnya yang sering misuh-misuh tentu menjadi bukti nyata bahwa ketidaksukaannya terhadap Kiki benar. Maga cukup terkejut kalau Kiki berani berterus-terang begitu dan tidak berpura-pura tidak tahu layaknya orang bodoh.

"Gue nggak segitunya kali. Meski gue nggak suka bukan berarti gue main curang," beber Maga santai tetap terlihat tenang. "Pokoknya itu gue udah kasih tau, Olin nggak masuk."

"Dia nggak masuk kenapa?"

"Sakit."

Sontak Kiki memberondong pertanyaan ingin tahu lebih banyak tentang Olin. "Sakit apa? Pantesan chat gue nggak dibales. Lo tau alamat rumahnya kan, bagi gue dong, Ga?"

"Dia kecapean gara-gara ikutan ekskul yang lo bangga-banggain itu," seloroh Maga tidak peduli barang kali menyakiti hati manusia di hadapannya. Padahal Maga tidak seharusnya menyalakan Kiki begitu hanya karena ekskul Pramuka. Bukan terletak pada kegiatannya tapi pada fisik Olin yang memang lemah hingga menurun kesehatannya. Apa boleh buat Maga terlanjur kesal soalnya. Maka, dia utarakan isi hatinya saja.

"Kalo gitu kasih tau alam--"

"Gue nolak."

"Pelit amat jadi orang. Lo temennya bukan? Gue cuma minta alamat juga udah ngalah-ngalahin bokapnya."

"Peduli lo apa?" balas Maga jengkel dicecar Kiki keras-keras. "Hak gue mau apa, ya terserah gue."

"Gue suka dia, gue peduli."

Maga tak peduli, matanya kian menajam dengan alis menukik. Sangat kesal mendengar ucapan Kiki yang menyebalkan. Percuma saja berlama-lama di sana kalau hanya membuang waktu. Pada akhirnya Maga pergi begitu saja tanpa mau mengindahkan panggilan yang ditujukan padanya.

"Sialan!" dengus Kiki sambil memukul udara.

Di saat mengumpat dan memandangi kepergian Maga yang semakin menjauh tiba-tiba seorang siswi datang mendekatinya. Kiki menoleh ketika cewek itu tersenyum cukup lebar sambil menyapa ramah.

"Hai."

"Siapa, ya?"

"Sorry, gue tadi denger obrolan Kakak sama Maga. Boleh kenalan dulu, gue Amakia," kata cewek itu percaya diri.

Tangannya yang terulur disambut ragu oleh Kiki. Dahi Kiki berkerut dalam merasa heran karena Amakia datang setelah mendengar obrolannya barusan. Terkesan tidak sopan memang, tapi dia tidak berkomentar banyak selain mengamati.

"Ada perlu apa?"

Sebelum menjawab lagi-lagi Amakia tersenyum. Lumayan manis tapi tak mampu memikat Kiki.

"Gue tau alamat rumahnya Olin, Kak. Kalo mau aku kasih tau nih."

"Wah, jelas mau lah!"

Mendadak Kiki ceria seakan mendapat angin segar. Sungguh dia sangat berterima kasih karena Tuhan mengirimkan Amakia di saat seperti ini. Meski menaruh rasa curiga Kiki jelas senang bukan kepalang. Apalagi setelah gigit jari lantaran Maga tidak memberikan apa-apa padanya. Padahal dia sangat berharap bisa menemui Olin di saat sakit.

"Tunggu, kenapa lo baik banget sama gue. Secara kita kan baru kenal?"

"Emang salah apa kalo gue pengin bantu Kakak?"

"Ya, nggak sih. Tapi aneh aja nggak biasa."

"Gue kan temen Olin juga, Kak." Amakia menjelaskan dengan santai. Tidak sulit baginya meyakinkan Kiki yang lagi bucin. "Lagian gue sering liat Kakak nyamperin Olin ke kelas belakangan ini. Lagi Pdkt ya?"

Kiki mendelik. Jarinya terangkat di depan bibir memberi isyarat supaya Amakia diam. Bisa-bisa satu sekolah mendengar suara cempreng Amakia.

"Jangan sok tau deh," kilah Kiki sambil memalingkan muka ke arah lain.

"Nggak usah pura-pura Kak. Keliatan kok. Gue tau kali."

Meski mukanya cuma menebak secara asal, Amakia cukup yakin sekali bahwa Kiki memang sedang mendekati Olin akhir-akhir ini. Dia tahu bagaimana tipikah orang yang lagi pdkt.

"Yudah mana buru kasih tau gue?" seru Kiki tak lagi menyangkal tuduhan yang sebenarnya fakta. Tapi dia juga tak menjelaskan lebih rinci soal perasaannya. Seolah angin lalu Kiki mendesak Amakia supaya lekas memberi apa yang dia inginkan.

"Sabar dong, Kak," tukas Amakia lantas mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Kiki.

Kiki mengangguk beberapa kali disertai senyum yang mengembang penuh arti.

"Thanks infonya. Lo sangat membantu."

"Sama-sama. Seneng juga bisa bantu Kakak. Kalo ada apa-apa boleh tanya ke gue, Kak."

Dengan penawaran menggiurkan Kiki mengiyakan. Bagi Amakia ini adalah kesempatan bagus di mana dia bisa menjauhkan Olin dari Maga dan dirinya punya kesempatan untuk kembali mendekati Maga.

"Oke. Kalo lo nggak keberatan kita bisa tukeran nomer biar lebih gampang ke depannya?" usul Kiki seraya menaik turunkan alis matanya.

"Boleh. Nih, catet nomor gue, Kak."

Kiki mengeluarkan ponselnya dan mengetik cepat nomor yang disebut Amakia. Sedetik kemudian ponsel Amakia bergetar dan keduanya saling menyimpan kontak satu sama lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro