32.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kemaren itu dateng ke rumah lo ngapain?"

Olin yang sedang melihat pemandangan diluar jendela mobil lantas menoleh kepada Maga.

"Itu, maksudnya?" tanyanya benar-benar tidak mengerti maksud dari pertanyaan yang Maga ajukan.

Maga tetap fokus menatap ke depan ke arah jalanan yang lumayan padat. Sebisa mungkin bicara santai tanpa menimbulkan kecurigaan terhadap Olin yang memicingkan mata.

Menjelang malam kemarin, Maga yang kebetulan pulang seusai latihan renang berpapasan dengan Kiki beserta motornya setelah keluar dari gerbang rumah Olin. Tentu saja dia terkejut hingga merasa terganggu sepanjang malam. Ingin sekali Maga bertanya malam itu juga lewat chat atau apa pun supaya rasa penasarannya menghilang, tapi dia urungkan. Maga gengsi dan tidak mau membuat Olin kegeeran nantinya. Sehingga hari ini Maga utarakan pertanyaan secara langsung.

"Itu temen lo, Kiki?"

"Oh. Iya, dia jengukin aku kemaren," jujur Olin apa adanya. Memang benar bahwa kakak tingkatnya itu berkunjung ke rumah dengan tujuan membesuk Olin yang meriang. "Aku nggak nyangka dia bakal dateng. Pasti kamu yang kasih alamat rumah ku, kan?"

Mendecih keras seraya menggelengkan kepalanya Maga berseru, "Bukan gue. Males amat gua urusan sama dia."

"Terus siapa dong, kalo bukan kamu?"

"Mana gue tau!"

"Kok ngegas sih, Ga?"

"Perasaan lo aja kali. Gue biasa aja tuh," dengus Maga seraya terus melajukan kendaraannya pelan. Dia pun berpikiran sama dengan Olin perihal Kiki yang bisa mengetahui rumah Olin. Padahal dia tidak memberitahukan apa pun pada cowok itu. Maga jadi penasaran akhirnya!

"Terus?"

"Ya nggak ada terus-terus, Ga. Kak Kiki mau nemuin aku pas sakit gitu apa nggak baik banget ya?"

"Lebai lo."

"Nggak lah, Maga! Tandanya dia peduli nggak sih, seneng aja rasanya ada yang perhatian pas lagi sakit." Olin tersenyum membayangkan betapa kakak tingkatnya beneran bersikap baik. Pakai dibawain buah tangan segala lagi.

"Hoo, jadi lo kesenengan ceritanya?"

Olin cuma nyengir, sedangkan Maga melirik sebal. Entahlah perasaan tak jelas secara mendadak menyelimuti hatinya.

"Gue orang pertama yang nengokin lo, Lin. Lo nggak seneng apa?"

"Ya, seneng banget dong," aku Olin sungguh-sungguh. Terlihat sekali semu merah muda di pipinya yang terkena sinar matahari pagi ini. Apa dia harus sakit dulu biar Maga perhatian padanya?

"Makasih ya, Maga."

"Iye. Lo sekarang udah beneran sembuh?"

Olin terbeliak sesaat ketika Maga mendaratkan tangannya di dahi lebar miliknya. Gemuruh di jantungnya kian cepat, mendadak suhu tubuh Olin menghangat.

"Bener ternyata."

"I-iyalah, masa bohong?"

"Sapa tau lo pura-pura sakit lagi."

"Kurang kerjaan banget kalo gitu."

Suasana jadi canggung setelah Maga menarik kembali tangannya dan menyetir dengan konsentrasi terpecah. Apa yang barusan dia lakukan sangat memalukan. Tangannya minta diikat, dengan sembarangan main pegang jidat orang lain.

"Oh iya, lusa kamu udah mulai tandingkan?" celetuk Olin begitu teringat pada pertandingan renang yang Maga ikuti.

"Iya."

"Udah nggak sabar banget buat nonton nih. Aku bakal dateng ya buat dukung kamu!"

"Ya itu lebih baik daripada ngomong doang."

"Jangan khawatir, nanti aku ajak Joeya sama Andres deh biar makin rame. Pasti banyak anak-anak yang lain juga pada ikut."

Jujur saja Maga tidak peduli siapa saja yang akan datang, tapi kalo boleh jujur kalaupun hanya Olin seorang itu lebih dari cukup.

"Pastiin aja lo duduk paling depan."

Olin tertawa kecil lalu menjawab, "Siap, Bos! Banyak maunya ya, apa perlu aku buatin spanduk sekalian biar kamu liat?"

"Terserah lo deh."

"Kamu fokus aja ke lomba, oke. Masa temen sendiri lagi berjuang buat mengharumkan nama sekolah nggak disupport?"

"Baguslah kalo gitu."

Bibir Maga terkatup rapat. Dipikirannya terlintas sesuatu dan Maga ingin memastikan tapi dia tidak melakukannya kecuali mengulum senyum. Bukan saatnya berpikiran negatif apalagi memikirkan perkara tak penting. Yang lebih penting di lubuk hati terdalamnya Maga merasa senang melihat Olin antusias begitu. Hubungan mereka benar-benar kembali damai.

"Lin, soal ekskul Lo gimana akhirnya?" Maga memutuskan bertanya setelah teringat pada pertengkaran cewek itu dengan ayahnya kemarin.

Sebelum menjawab terdengar hembusan napas berat. Olin menerawang jauh. "Udah berhenti aku."

"Beneran? Karena ayah lo?"

"Setelah aku pikir-pikir kayaknya memang lebih baik berhenti. Terlepas karena ayah, aku cuma nggak mau terus-terusan maksain diri. Cukup deh sekali aja kemaren buat pengalaman."

"Akhirnya tobat juga lo. Udah bener gitu. Nggak cocok lo jadi anak nakal. Masih banyak ekskul lain yang lebih santai dan lo bisa coba," saran Maga. Dia lega dengan keputusan Olin dan yang paling bikin tenang setidaknya Olin tidak akan sering-sering bertemu Kiki.

"Sebenernya masih berat buat lepasin ekskul itu. Di sana tuh, Ga, temen-temennya baik. Enaklah pokoknya punya banyak kenalan. Teru--"

"Ya, apa pun itu yang penting lo udah ngambil keputusan. Kalo lo mau gabung ke ekskul gue, gimana?"

"Nanti kupikir-pikir dulu deh. Bukannya itu juga capek ya latihannya?"

"Hmm, iya, juga sih. Kalo nggak mau capek ya nggak usah ikut apa-apa. Kan, beres."

***

"Yah, sayang banget!"

Baru saja Olin menceritakan separuh kata-katanya untuk berhenti dari Pramuka di detik itu juga Kiki menyela dengan nada kecewa. Suaranya yang lumayan kencang mengejutkan Olin.

"Tapi lo beneran udah mikir mateng-mateng, nih? Maksud gue apa nggak terlalu buru-buru. Kan, lo belum lama gabung, Lin?" tanya Kiki yang masih meragukan peryataan Olin. Cowok itu aslinya sangat tidak setuju tapi dia tak punya hak lain kecuali bertanya

"Udah, Kak. Ya, walaupun sebenarnya sayang mau keluar, tapi kalo dipaksain juga nggak bisa. Kakak tau sendiri kan, belum apa-apa aja aku udah meriang." Kalimatnya diakhiri dengan kekehan.

Nggak mungkin Olin jujur soal ayahnya yang marah karena kebohongan Olin kan?

Kakak tingkatnya itu masih menatap dalam Olin yang mengaduk makanannya. Sejak tadi bakso dalam mangkuk kecil itu tak kunjung habis.

"Kalo lo ngomong gitu gue nggak bisa apa-apa. Yang penting kesehatan lo, Lin. Lo udah nggak ikutan Pramuka bukan berarti nggak bisa ketemu gue, kan?"

Olin tertawa sambil mengangguk setuju. Dunia tidak akan runtuh hanya karena dia berhenti mengikuti kegiatan yang dia suka. Masih banyak kegiatan lain yang mungkin lebih pantas Olin coba ke depannya.

"Nah, gitu dong. Kan, cantik," goda Kiki sungguh-sungguh tapi hanya dibalas kibasan tangan di udara.

"Bisaan sih, Kak." Olin tahu kakak tingkatnya cuma merayu asal. Kemudian dia mengalihkan topik. "Oh, iya, Kak. Kemarin kok Kakak bisa tau rumahku? Seingetku belum pernah ngasih tau."

"Oh, gue dikasih tau temen lo."

"Teman ku, siapa?"

"Amakia."

"Amakia?"

"Iya. Kenapa?"

"Nggak apa-apa."

"Temen lo, kan?"

Olin bingung harus menjawab apa. Sehingga hanya ada anggukkan ragu di kepalanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro