Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah pesta selesai, Siera dengan kikuk mengajak River tinggal di rumahnya. Ini adalah hal baru untuknya. Dengan Garvin mereka pernah bicara sebelumnya begitu menikah akan tinggal di rumahnya tapi karena menikah dengan River, segala sesuatunya menjadi berbeda. River menggeleng, mengatakan harus menyiapkan beberapa hal sebelum pulang.

"Sayang, sebaiknya kamu tinggal di hotel dulu biar lebih tenang. Aku ingin mengambil barang-barangku dan besok pagi akan menjemputmu."

Panggilan mesra dari River membuat Siera tercenung. Berdehem dan menggeleng kecil. "Kamu nggak tinggal di hotel bersamaku? Apa kata orang nanti?"

River tersenyum. "Memangnya kamu masih peduli apa kata orang? Kita baru menikah, wajar kalau masih asing satu sama lain. Jangan kuatir, kalau kamu takut apa kata orang, aku akan datang kembali malam ini juga."

"Sebenarnya barang apa yang harus kamu siapkan?"

"Banyak, apalagi aku anak rantau dan rumahku di luar kota. Paling tidak aku harus keluar dari apartemen yang sekarang dan membereskan barang-barangku, dengan begitu kita bisa tinggal bersama tanpa terbebani hal lain."

Penjelasan River memang masuk akal. Pernikahan yang buru-buru membuat semua orang kebingungan termasuk laki-laki itu. Memang sebaiknya ia memberi kesempatan pada River untuk mempersiapkan diri.

"Pakailah mobilku, biar lebih praktis." Siera mengulurkan kunci pada suaminya.

"Okee."

River mengantar Siera ke kamar hotel yang dipesan khusus untuk malam pengantin, memastikan penjagaan cukup dan setelah itu berpamitan pergi.

Berdiri menghadap jendela kaca di kamar hotel dalam keadaan sendiri, Siera memenang gelas di tangan dan mengguncangnya perlahan. Anggur yang ada di dalam gelas berkilau terkena cahaya lampu. Gaun tidur satin yang dipakainya bertali kecil dan menunjukkan bagian atas tubuhnya yang putih. Ia merenungi apa yang terjadi hari ini dan masih tidak habis pikir kalau Garvin akan berkhianat. Selama ini hubungan mereka terlihat baik-baik saja.

Dari awal berpacaran setahun lalu, ia banyak membantu keluarga Garvin. Tidak terhitung berapa banyak uang yang sudah dikeluarkannya. Sang papa menolak hubungan mereka karena menganggap Garvin tidak cukup baik untuknya. Masalahnya, Siera tidak banyak bergaul. Selalu berkutat dengan pekerjaan dan enggan ikut kencan buta. Pertemuan tidak sengaja dengan Garvin di sebuah pesta, percakapan yang menarik, dan membuat mereka memutuskan untuk menjalinhubungan dekat. Ia berpikir, tidak masalah kalau suaminya lebih miskin asal setia dan mencintainya. Ternyata itu hanya harapan belaka.

"Aku nggak masalah kalau nanti menikah menjadi pendampingmu seutuhnya. Aku akan menjagamu, dan juga mendukung sepenuhnya keputusan serta karirmu."

Janji manis yang membuat hati Siera kini teriris dan berdarah. Ia menyesap minumannya. Kembali teringat rayuan Garvin.

"Kamu cantik dan mandiri, aku sangat beruntung menjadi suamimu."

Masalahnya adalah kenapa berselingkuh dengan Deana? Di antara jutaan perempuan yang bisa diajak bercinta, kenapa harus Deana yang jelas-jelas adalah sepupunya sendiri. Hubungannya dengan Deana memang tidak akrab. Mereka hanya sebatas saling sapa dan lebih banyak kebencian tapi tidak menyangka akan ada pengkhianatan. Setidaknya kalau ingin melukainya, lebih bagus kalau dengan orang lain. Siera tersadar, hati pun tidak bisa menolak kapan jatuh cinta.

Meneguk minuman hingga tandas, Siera berharap alkohol bisa membuatnya tertidur. Ia sudah menikah dengan laki-laki asing, dan hal yang paling besar adalah, rasa malu karena sudah dikhianati. Untuk sekarang ini ia akan diam, yang penting posisi Presdir aman tapi saat papanya siuman, ia akan membalas perlakukan mereka yang menyakitinya.

Keesokan paginya, River muncul di pintu hotel. Terlihat segar dan seperti biasa tersenyum lebar. "Sayangku, sudah siap untuk chek out?"

Siera berdiri salah tingkah. "Ehm, bisa tunggu sebentar? Aku baru bangun."

"Mau aku pesankan sarapan?"

"Nggak usah. Aku nggak pernah sarapan."

"Sayang sekali, sarapan penting untuk tubuh. Mulai besok, aku akan membuatkan sarapan untukmu."

Siera melangkah kikuk menuju kamar mandi, masih belum terbiasa ada orang lain bersamanya. Mereka menikah tanpa cinta jadi wajar kalau terasa aneh. Siera mandi, berganti pakaian, dan berdandan di toilet hotel yang mewah dan besar. Satu jam kemudian keluar dan mendapati kamar dalam keadaan rapi. River mengemas barang-barangnya, dan meninggalkan sisa-sisa yang dianggap pribadi.

"Wow, rapi sekali," decak Siera.

"Taraa! Kita siap pulang sekarang."

River menyeret koper besar dan tas jinjing sedangkan Siera berjalan di sampingnya. Saat keluar dari hotel, para staf memberikan penghormatan di pintu. Siera mengamati mobinya yang kosong dengan heran.

"Mana barang-barangmu?"

"Ada di bagasi?"

"Cukup?"

"Iya, hanya dua koper kecil. Aku nggak punya banyak barang, yang lain aku tinggal di apartemen."

River berada di balik kemudi, dan Siera duduk di sampingnya. Tidak habis pikir ada orang yang punya barang begitu sedikit dalam kehidupan sehari-hari. Ia teringat akan Garvin yang selalu belanja setiap kali mereka ke mall bersama. Membeli dari segala macam jas sampai kemeja, tentu saja memakai uangnya. Apakah River kelak juga begitu?

"Kita ke rumah sakit dulu." Siera berujar saat mobil meninggalkan hotel.

Memakai kacamata hitam, River mengarahkan mobil menuju rumah sakit. Di sebelahnya Siera tidam dapat menahan kekagumannya karena cara mengemudi River yang luar biasa mahir. Kendaraan dipacu cepat tapi stabil, dan membuat rasa aman bagi orang yang dibawa.

"Dari mana kamu belajar mengemudi?" tanya Siera saat mobil memasuki parkiran rumah sakit.

"Ah, otodidak," jawab River. "Kamu menyukai cara mengemudiku, Sayang? Kamu bisa minta antar jemput kemana pun. kamu mau."

Panggilan 'sayang' masih membuat Siera risih tapi tidak mengatakan apa pun apalagi menolak. Ia berpikir lama-lama akan terbiasa atau barangkali River akan bosan memanggilnya begitu. Mereka masuk melalui pintu belakang, masuk ke lift menuju lantai lima. Menyusuri lorong sepi dan berdiri di ruang rawat yang dijaga seorang suster. Siera meminta ijin untuk membawa River masuk hanya lima menit.

Berdiri bersisihan di pinggiran ranjang, Siera meraih jemari sang papa dan meremasnya perlahan. Membungkuk untuk membisikkan kata-kata pada sang papa yang berbaring dengan mata terpejam.

"Pa, apa kabar hari ini? Maaf baru bisa menjenguk. Beberapa hari ini aku sangat sibuk. Pa, aku sudah menikah. Ini suamiku, namanya River. Sesuai dengan keinginan Papa, aku tidak menikahi Garvin."

Siera meneggakan tubuh, memberi tanda suaminya untuk membungkuk. River mengangguk dan ikut berbisik. "Halo, Papa Mertua. Kita belum berkenalan sebelumnya. Namaku River dan mulai sekarang aku yang akan menjaga Siera. Aku memastikan kalau istriku akan selalu bahagia dan terhindar dari bahaya. Janjiku padamu seperti itu Papa Mertua."

Kata-kata klise tapi Siera merasakan hatinya tersentuh. Ia yakin sang papa pun demikian. Selesai memperkenalkan River, ia meminta suaminya menunggu di luar. Sudah menjadi kebiasaan, setiap kali menjenguk Siera akan duduk dan bercerita apa pun yang terjadi padanya. Kali ini tentang pengkhianatan Garvin dan Deana. Tidak peduli apakah papanya mendengar atau tidak, dengan bercerita diharapkan bisa mengurangi bebannya.

"Paa, jabatan Presdir aman sekarang. Aku harap Papa cepat sadar dan sehat kembali, lalu jabatan ini aku serahkan padamu lagi. Terlalu berat karena jutaan orang membenciku. Aku ingin Papa ada di sini, bersamaku selalu."

Berdiri di kaca dan menatap istrinya yang merebahkan kepala di ranjang, River terdiam dengan kedua tangan berada dalam saku. Istrinya terlihat begitu mungil dan rapuh di samping ranjang rumah sakit yang besar dengan berbagai alat-alat medis yang menyala. Sehari-harinya, Siera yang selalu terlihat anggun, tegas, dan angkuh, tetaplah seorang anak saat bersama orang tuanya.

Siera yang ditakuti semua orang karena kehebatannya dalam berbisnis, kini menjadi istrinya. River tanpa sadar tersenyum, merasa bangga dengan status barunya sebagai suami dari perempuan yang perkasa dan disegani.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro