Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hal pertama yang dilakukan River saat tiba di rumah istrinya adalah melakukan pembersihan. Siera yang terlampau sibuk tidak ada waktu untuk itu. River meminta istrinya untuk di dalam kamar sementara dirinya bekerja.

"Bagaimana mungkin kamu kerja sendirian? Rumah ini luas."

River tersenyum. "Tentu saja aku tidak sendirian. Sudah memanggil jasa pembersihan rumah professional. Biar aku mengawasi, kamu di kamar saja bekerja, Sayang."

"Baiklah, tapi kamu tahu di mana kamarmu bukan?"

Meskipun berstatus suami istri, mereka tidur di kamar terpisah. River tidak keberatan, ditempatkan tepat di sebelah kamar Siera. Yang terpenting satu atap bersama, lain lain bukan masalah besar. Baru menikah satu hari Siera disibukkan dengan pekerjaan. Tidak ada waktu untuk bersantai terlebih berbulan madu. Tori menelepon, mengingatkan Siera untu bersiap-siap tentang rapat Minggu depan.

"Memang masih lama, Miss. Tapi saya harus ingatkan sekarang, karena di rapat itu akan ada keputusan penting. Miss memang sudah menikah tapi sepertinya mereka masih berupaya untuk menjegal posisi itu."

Peringatan dari Tori membuat Siera sadar kalau orang-orang masih belum menyerah untuk bersaing dengannya. Itu berarti ia masih harus menghadapi Titus, Marco, dan Philip. Ia menghela napas panjang, menyadari kalau lebih banyak musuh dari pada teman.

Selesai bekerja ia keluar kamar karena panggilan River dan kala tiba di ruang makan yang terhubung langsung denga dapur dibuat kaget bukan kepalang. Beragam masakan ada di meja, tersaji hangat da menggugah selera.

"Istriku, duduk dan makanlah."

Siera menatap heran. "Ini semua kamu yang masak?"

"Benar sekali. Kemampuan memasakku cukup lumayan. Ayo, dicoba!"

Ada beragam tumisan, nasi merah yang hangat, sop, serta daging panggang. Siera mencoba semua dan berdecak kagum. Rasa masakan suaminya benar-benar enak. Rasanya tidak percaya kalau laki-laki tampan dan menggemaskan di depannya ternyata pintar mengolah makanan. Tidak hanya itu, Siera melihat rumahnya menjadi sangat bersih dan rapi. Tanaman dipangkas, jendelan dilap, dan lantai dibersihkan.

"Satu tempat yang belum aku bersihkan adalah kamarmu. Menunggu besok kamu kerja, aku baru bereskan."

Siera mengangguk tanpa ragu, selama ini merasa rumahnya berantakan dan kini tidak lagi. Ia tinggal sendirian di rumah berlantai dua dengan halaman luas. Sengaja memilih rumah ini karena jauh dari keramaian. Nyatanya, sangat sulit mencari tukang pembersih yang andal dan kini suaminya yang membantu semua.

"Aku sudah bilang, akan menjadi suami rumah tangga untukmu," ucap River.

Mengamati penampilan suaminya dalam balutan kaos dan celana denim, ia melihat otot yang menonjol di lengan. Mendadak teringat akan jumlah pakaian yang dimiliki oleh River.

"Kamu nggak mau belanja buat beli baju?"

"Tidak perlu, yang sekarang masih bisa aku pakai."

Siera mengambil dompet dan menyerahkan kartu kredit pada suaminya. "Pakai ini kalau kamu ingin membeli sesuatu. Dari kebutuhan rumah tangga sampai kebutuhanmu."

River menerima kartu dan mengamatinya. "Baiklah, terima kasih."

Setelah makan, Siera yang tidak enak hati sudah dimasakkan berinisiatif mencuci piring. River membiarkan istrinya berkutat dengan perabot kotor di wastafel. Ia sendiri sibuk mengelap meja. Tapi sesuatu terjadi, saat piring meluncur turun dari tangan Siera dan pecah berkeping-keping.

"Kamu nggak apa-apa?" River bergegas mendatangi istrinya yang berdiri bingung.

"Nggak apa-apa, piringnya licin."

Menghela napas panjang, River menatap wastafel yang airnya meluber dan penuh dengan busa sabun. Ia meraih pundak Siera, mendorongnya ke meja. "Kamu duduk saja, biarkan aku yang bekerja."

Siera membilas tangan lalu duduk di meja dengan malu. Mengamati bagaimana River membereskan kekacauan yang ia buat. Selama ini dirinya hanya tahu bekerja di kantor, dan sama sekali tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah tangga. Akibatnya seperti sekarang, saat mencuci piringpun pecah.

"Lain kali selesai makan, letakkan saja semua. Biar aku yang bereskan!"

Siera membuka mulut ingin membantah tapi kembali terdiam saat River membawa sepiring apel yang sudah dicuci dan dipotong.

"Makan ini, duduklah di ruang depan. Jangan di sini, kotor."

Seperti anak kecil, Siera menuruti perkataan suaminya. Mengambil sepiring apel dan duduk di sofa depan, memandang malam melalui dinding kaca. Menikmati suasana santai dengan senandung pelan terdengar dari dapur. Biasanya, saat malam begini ia sendirian dan tidak ada satu orang pun yang bisa diajak bicara. Ada pelayan rumah itu pun sudah pergi saat ia pulang. Karena rumah ini terlampau besar untuknya, sering kali ia memutuskan untuk tinggal di apartemen dekat kantor. Tapi sekarang sepertinya ia akan pulang setiap hari karena ada River yang menunggu. Meskipun tidak terbiasa ia merasa ini adalah kompensasi dari pernikahan.

Sesuai kesepakatan, mereka tidur terpisah. River mendapatkan kamar tepat di sebelah kamar Siera. Berabring nyalang, Siera yang tidak dapat memincingkan mata memikirkan banyak hal, terutama laki-laki yang berada di sebelah kamarnya. Suasana malam yang hening membuat pendengaran menjadi sangat tajam. Samar-samar Siera mendengar suara halus di atap. Ia mengernyit, menajamkan pendengaran dan suara itu menghilang. Ia berpikir kalau itu hanya binatang yang menginjak atap rumahnya. Memejam dan berusaha untuk tidur.

Keesokan harinya, River mengantar istrinya ke kantor. Menerima ucapan dari semua orang, dan tidak lupa membagi-bagikan kue untuk para pegawai. Siera yang keheranan bertanya dari mana asal kue-kue itu.

"Beli di toko kemarin sore."

Tindakan River menyelamatkan Siera dari keharusan beramah tamah dengan orang-orang yang ingin mengucapkan selamat. Ia membiarkan suaminya yang menghadapi mereka, sedang dirinya berkutat dengan pekerjaan. Satu jam kemudian, River pamit pulang dan bilang akan datang kalau Siera meminta untuk dijemput.

Di jam makan siang, seseorang yang menjengkelkan muncul dan membuat Siera terganggu. Monik masuk tanpa mengetuk, duduk di hadapan Siera dengan sikapnya yang cenderung sembarangan. Parfum yang dipakainya terlalu banyak, membuat Siera mengernyit lalu bersin tidak berhenti. Menyilangkan kaki yang berbalut sepatu hak tinggi, rok mini kuningnya terangkat hingga ke pertengahan paha.

"Gimana rasanya jadi pengantin baru? Aku lihat suamimu mengemas barang-barang pribadinya dan tidak lagi di kantor."

Siera mengambil tisu untuk membersit hidung. Membuang tisu bekas ke tempat sampah dan menatap kakak tirinya dengan jengkel.

"Apa Kakak kemari hanya ingin tahu kehidupan pribadiku? Nggak sekalian tanya gimana malam pertamaku?"

Monik tertawa lirih sambil mengerling, mengetukkan jemari di meja Siera. "Memangnya kami tudak tahu apa yang terjadi di hotel malam itu? Suamimu pergi dan kamu menginap sendirian di kamar. Kenapa? Nggak yakin bisa bercinta karena yang ada di hatimu hanya Garvin?"

"Mulai kapan urusan pribadiku menjadi urusanmu."

"Bukan urusanku tapi urusan kami. Perlu kami tahu, aku dan Kak Marco merasa sedih dan prihatin dengan pengkhinatan Garvin. Tapi bagaimana, ya? Deana masih muda dan cantik, yang pasti lebih pintar bergaul dan luwes darimu. Wajar nggak, sih, kalau Garvin tergoda sama dia?"

Siera menatap Monik yang terang-terangan mengejeknya. "Coba tanya pada dirimu sendiri kalau seandainya suatu saat suamimu berselingkuh dengan gadis yang lebih muda."

"Sialan! Kamu mendoakan pernikahanku gagal?"

"Nggak, aku bilang seadainya. Kamu ini sensitive sekali, Kak. Lagi pula, kamu menertawakanku karena belum mengerti rasanya. Ingat, Kak. Jangan berharap merasakan hal yang sama karena dikhianati itu sakit."

Monik mengepalkan tangan, menuding Siera dengan emosi. "Heh, jangan mentang-mentang sama aku, ya? Kamu pikir posisimu aman karena sudah menikah? Oh, tidaak. Para komisaris masih menentang pengangkatan dirimu menjadi Presdir. Kita lihat, berapa lama kamu bertahan di posisi ini. Aku berani bertaruh, tidak sampai satu Minggu kamu akan terjungkal!"

Menghela napas panjang, Siera menatap kepergian Monik. Ia yakin kalau serangan yang dikatakan oleh Monik akan selalu ada. Posisinya memang untuk sementara aman tapi bisa jadi tidak akan lama kalau papanya belum sadar. Ia mengusap mata, mencoba kembali berkonsentrasi pada pekerjaan.

Pernikahannya sendiri menjadi gunjingan di kantor karena suaminya dianggap bukan laki-laki yang layak. Siera tidak peduli selama River baik padanya, tidak ada akan ada keluhan darinya. Lagi pula, menjadi istri dari River bukan hal buruk. Setiap hari akan ada makanan hangat di meja, suami yang tersenyum saat menyambutnya pulang, dan sigap mengantar kemana pun. River juga tidak menuntut banyak hal seperti kontak fisik atau hal-hal yang berbau materi. Sejauh ini yang dilakukan hanya memanggil 'sayang' atau sesekali mengusap pipi Siera. Itu bukan hal berat untuk dilakukan.

"Enak nggak makanannya, Sayang?"

Pertanyaan rutin setiap kali mereka makan dan Siera akan menjawab dengan anggukan. "Enak."

"Syukurlah kalau kamu senang. Makan yang banyak, kamu terlalu kurus. Bagaimana kalau mulai besok aku bawakan bekal makan siang?"

"Eh, jangan. Itu akan merepotkan."

"Sama sekali nggak repot. Saat siang, setelah selesai membersihkan rumah aku nggak ada kerjaan lagi. Jadinya nganggur. Makanya kalau buatin kamu bekal, siang aku bisa ke kantor untuk anterin."

"Bukannya itu akan sangat merepotkan karena mondar-mandir?"

"Demi kamu, aku rela repot. Lagi pula, kamu sudah menafkahiku. Masa iya, aku diam saja sebagai suami?"

Siera memutuskan untuk membiarkan saja River memasak bekal untuknya. Sarapan selalu ada, bekal makan siang pun diantar, dan saat malam selalu ada hidangan. Ia merasa lama-lama dimanjakan.

Dua Minggu setelah menikah terjadi sesuatu yang membuat Siera geram. Di Jumat malam, saat seharusnya ia beristirahat, Tori memberitahunya kalau ada rapat dadakan di kantor tanpa memberitahunya. Siera yang baru saja menginjakkan kaki di rumah, kembali memakai sepatu dan berpamitan pada suaminya yang berdiri di dekat meja makan.

"Maaf, aku nggak bisa makan sekarang. Kamu makan saja sendiri. Harus kembali ke kantor."

"Terjadi sesuatu?" tanya River.

Siera mengannguk. "Iya, ada rapat dadakan. Sepertinya mereka berusaha menggulingkanku. Aku pergi dulu!"

Tori datang menjemput dan Siera bergegas pergi dengan sekretarisnya. River yang sendirian menatap ke arah gerbang. Setelah memastikan istrinya sudah jauh, ia membuka laci dapur dan mengeluarkan cerutu. Mengisapnya sambil duduk di sofa ruang tamu. Mengangkat sebelah kaki, River berteriak keras.

"Keluar kalian semua. Rapat sekarang!"

Dari arah jendela, melompat masuk sesosok laki-laki berambut pirang, dari atas dua orang melompat turun dan salah satunya perempuan. Banyak lagi bermunculan dari balik pohon, semak-semak, dan kegelapan di halaman. Total ada dua belas orang berbaris dengan tegap di hadapan River.

"Tuan, kami siap untuk perintah!" Laki-laki berambut pirang dengan tubuh penuh tato berkata tegas.

Kesemuanya memakai pakaian serba hitam dengan bermacam-macam senjata tergantung di pinggang, tergenggam di tangan, ataupun terselip di punggung. River membuang abu cerutu, menatap anak buahnya dan mengembuskan napas panjang.

"Kalian aku panggil untuk melindungi istriku. Dia dalam bahaya."
.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 15

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro