Bab 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hei, akhirnya ketemu juga," sapa Brian yang kebetulan mengantar pasien ke ruang ICU Anestesi karena butuh penanganan khusus. 

"Hei," sapa Valentina balik dengan canggung. 

Kenapa aku bisa lupa kalau punya pacar?

"Apa kabar? Kamu sibuk banget ya sampai WA-ku enggak dibalas?" sindir Brian dengan senyum nanar. 

"Ng ... sebenarnya aku ..."

"Ada apa sih sama kamu, Tin?" sembur Brian seakan tak sabar dengan perubahan sikap kekasihnya yang dinilai sudah terlalu menjauh. "Aku merasa status kita cuma tinggal nama doang deh."

"Kamu baper banget sih, Brian," ketus Valentina mulai terpancing emosi. "Aku kan udah bilang pas wisuda. Ners itu enggak bakal bisa bikin kita kayak dulu, leha-leha menikmati indahnya dunia magang."

"Tapi ners bikin kita semakin kayak orang asing, Tina," balas Brian. "Yang lain aja masih bisa duduk berdua meski cuma ngomongin kasus di ruangan, lah kamu?"

Sebelum Valentina membalas perkataan lelaki yang sudah menelan kekecewaan itu, seorang lelaki dari kampus lain mengajak Brian pergi. Brian mengangguk dan melengang begitu saja tanpa mengucapkan sebuah kata perpisahan pada kekasihnya. 

Sementara itu Valentina menggaruk rambutnya yang agak gatal, menyadari triple kebodohannya hari ini. Setelah dicecar Bu Christina, dilanjut diejek Julia, dan terakhir oleh Brian. Entah kesialan apa lagi yang akan menanti gadis itu. Dia mengedikkan bahu tak mau ambil pusing, toh baginya pacaran lebih menguras waktu di saat pendidikannya belum benar-benar tuntas. 

Dia berbalik kembali bergabung dengan mahasiswa magang lain untuk memberikan sonde--pemberian nutrisi cairan melalui selang yang dipasang dari lubang hidung yang terhubung langsung dengan lambung. Salah satu anak yang rambunya dikepang itu mendekati Valentina sambil berbisik, "Itu pacar kamu?"

Valentina menoleh dengan tatapan tak suka jika ada orang lain sok kepo tentang kehidupannya. Dia memutar bola mata, menganggukkan kepala sebagai tanda jawaban sementara mulutnya sudah malas untuk merangkai kata. Setelah menyiapkan cairan sonde yang tinggi kalori dan protein sesuai yang direkomendasikan oleh tim gizi, Valentina berjalan mendekati salah satu pasien sendiri dan berkata, "Malam, Bu, waktunya makan dulu ya ..."

Meski tak mendapat jawaban dari pasiennya yang belum sadar setelah operasi pengangkatan tumor di kepala, Valentina diajarkan di kampus kalau mereka masih bisa mendengar dan merasakan apa saja yang dilakukan oleh petugas medis. Oleh karena itu, dosennya selalu mengingatkan kalau perawat yang akan memberikan tindakan apa pun pada pasien koma harus meminta ijin. 

"Bu," panggil Valentina mulai curhat yang sudah menjadi kebiasaan barunya selama di ICU Anestesi. "Masa nih ya, saya dikira lupa sama pacar saya sendiri. Tapi, emang lupa sih."

Kedua tangannya sibuk memasang spuit 50 cc yang disambung dengan selang NGT, lantas perlahan-lahan dia memasukkan cairan putih kental ke dalam tabung spuit itu dan menjunjung tinggi agar cairan itu turun masuk ke lambung. 

"Tapi nih ya, saya juga bingung sama ... suami saya," ucapnya lagi dengan memelankan kata terakhir. "Aneh kali dia sok perhatian dengan ngasih obat, ngasih duit, beliin saya makanan padahal udah dikasih jatah duit. Apa dia lagi bertengkar sama nenek lampir, ya, Bu? Makanya saya jadi pelampiasannya."

Valentina menghela napas panjang. Dia merasa seperti orang gila sekarang walau berusaha menepis apa yang terjadi antara dirinya, Raditya, Brian, maupun Julia. Jauh di lubuk hati Valentina yang paling dalam sedalam palung Mariana, dia suka dengan perhatian manis yang diberikan Raditya. Dulu, sewaktu dirinya SMP, Raditya memang tipikal cowok idaman yang cocok jadi pacar sayang sikap manis nan lembutnya berubah saat mereka dipertemukan lagi dalam ikatan pernikahan. 

Orang tuanya dengan orang tua Raditya adalah sohib sejak SMA, begitu yang dia dengar dari cerita sang ibu. Layaknya adegan sinetron klasik, persahabatan yang tak lekang oleh waktu sekaligus tak ingin terpisahkan kecuali oleh maut itu membuat ayah mertuanya mempunyai ide untuk menjodohkan anak-anak mereka. Ibu Valentina setuju dengan alasan kalau dia lebih tenang jika Valentina menjadi istri Raditya di samping sudah mengenal sifat dan watak menantu kesayangan mereka. 

"Ma, aku duwe pacar loh, Ma..." protes Valentina usai mendengar rencana pernikahannya yang serbak mendadak. "Aku masih ingin sekolah, ngejar karir, terus pengen S2 ambil spesialis bedah kayak Pak Daniel," tambahnya dengan menyebut dosen favorit di kampus.

"Halah, sekolah karo rabi isok, Tina, selak Mas-mu diembat wong liyo," tandas Susan--ibu Valentina. "Mama enggak seneng karo sopo iku, Brian, halah lanang kok letoy koyok godong."

(Halah, sekolah sama menikah bisa, Tina, keburu Mas-mu diambil orang lain. Mama enggak suka sama siapa itu, Brian, halah laki kok letoy kayak daun.)

"Diembat yo diembat ae, Ma, kan aku enggak rugi."

"Kenapa kamu?" suara berat seseorang membuyarkan lamunan panjang Valentina. Matanya membulat mendapati lelaki yang tadi sempat menyapa di otaknya muncul entah sejak kapan sambil memeriksa dada pasien dengan stetoskop. "Ronkhi tuh, kamu udah suction belum?"

"Belum. Kamu dong, kan aku masih sonde," jawab Valentina. "Masa perawat terus? Kan capek."

"Hei, enggak sopan ya!" seru Julia yang tiba-tiba datang setelah mendengar pernyataan Valentina. 

Haduh, kenapa sih nenek lampir asal nyahut aja.

"Maaf, Dok, mata saya buram," kata Valentina melepas spuitt dari selang NGT setelah membilasnya dengan air. "Baik, Dokter Raditya akan saya suction sesuai arahan."

Julia memandang tak suka saat Valentina berjalan ke wastafel untuk mencuci gelas dan spuitt. Dia berbisik kepada Raditya, "Itu anak emang sejak di UGD enggak ada sopannya ya."

"Iya emang gitu dia," timpal Raditya membuat Julia menoleh ke arahnya. 

"Kamu kenal dia kayaknya, Dit. Wah, ada apa nih?"

"Apaan sih, udahlah, lagian kita sama-sama nakes kan?"

"Tapi dia mahasiswa bego, ngitung CVP enggak tahu, dulu baca EKG juga enggak bisa kan?"

"Dokter membicarakan saya?" sahut Valentina yang sudah mengenakan sarung tangan steril hendak melakukan penyedotan dahak pada pasien. "Meski saya agak bego, tapi saya punya etika kok."

"Kamu--"

Raditya menahan lengan Julia untuk tidak menyembur Valentina dengan umpatan kasar lantas menarik kekasihnya itu pergi keluar daripada membuat keributan di sini. Julia melepas cengkeraman tangan Raditya di lengan kirinya kemudian berjalan cepat meninggalkan ruangan intensif itu. Seperti sudah memantik kobaran api, buru-buru Raditya menyusul Julia untuk memadamkan emosi yang bakal meledak dari diri gadis berambut panjang itu. 

"Julia!"

"Apa!" sungut Julia.

"Kamu PMS ya, hari ini bad mood gitu. Padahal tadi pagi masih anteng-anteng aja."

"Iya, kenapa? Mau belain anak itu? Dia yang nyolot kok aku yang disalahin."

"Sudahlah, namanya juga mahasiswa, Sayang," ucap Raditya dengan lembut. "Kamu marah kok malah gemesin sih."

Mulut semanis larutan dextrosa itu nyatanya mampu membuat amarah dalam hati Julia padam. Walau tak sepenuhnya hilang, bibir sensual Julia tak bisa menyembunyikan senyum yang ingin mengembang mendengar bualan Raditya. Dia mencubit lengan kekar Raditya dengan semburat rona merah di pipi. 

"Apaan sih," kata Julia malu-malu. "Udah lah, kamu terusin ronde kamu ke ruangan lain, aku mau laporan dulu ke dokter Meriana."

"Iya, kamu duluan, aku mau nulis laporan dulu di rekam medis," pamit Raditya lalu kembali masuk ke ruang ICU Anestesi. 

###

"Iya saya minta maaf, Dokter," ucap Valentina saat dia berbicara berdua di sudut ruang besar itu bersama Raditya membuat perawat jaga berkusu-kusu. "Saya tidak akan mengulangi lagi," tambahnya setelah mendapat ceramah panjang kali lebar atas sikap yang dinilai tidak sopan kepada Julia sebagai rekan sejawatnya di masa depan. 

"Jam berapa kamu pulang?" bisik Raditya sambil mengawasi sekitar. 

Valentina mendongak dan menggumam sepelan mungkin agar tidak didengar oleh orang lain bahwa dibalik hubungan PPDS dan mahasiswa ners itu meraka adalah pasutri. "Emang kamu peduli? Kamu aja belain nenek lampir kok."

"Kok kamu jadi marah gitu sih, aku kan cuma--"

"Bodo amat, dah lah sana pergi, aku mau buang urin," sela Valentina. "Kamu enggak mau kan kena urin kayak dulu?"

 Raditya menghela napas panjang, memilih pergi dan berpamitan kepada perawat jaga. Seperti yang diduga, mereka yang kepo pun memanggil Valentina daripada menyuruh si anak magang membuang air kencing yang tertampung dalam urobag. 

"Kalian kayaknya kenal. Kamu siapanya Dokter Radit?" tanya salah satu perawat yang bertubuh kurus dan wajahnya tampak sangat antusias. "Dia udah punya pacar loh, Dek!"

Cih! Pacar, aku malah istri sahnya! batin Valentina jengkel setiap melihat Raditya berarti melihat Julia juga. Seolah mereka adalah sesuatu yang tidak bisa terpisahkan walau ada seseorang yang berusaha memisahkannya. Valentina sadar kalau dirinya dan Raditya memilih dinding pemisah yang begitu tinggi, apalagi dia hanyalah seorang perawat yang selalu diejek tak pantas bersanding dengan dokter. 

Bukan rahasia umum lagi kalau di negara +62, ada kasta-kasta jodoh berdasarkan jabatan. Dokter selalu berjodoh dengan dokter, perawat berjodoh dengan abdi negara, atau guru berjodoh dengan PNS. Tak hanya itu saja, para calon mertua pun berlomba-lomba memasang-masangkan anak-anak mereka sesuai kasta sehingga circle abdi negara akan selalu bertemu dengan perawat atau bidan. Sampai-sampai netizen yang maha benar dan maha pengatur pasangan ini membuat meme tentang menantu idaman.

Seperti saat ini, memangnya salah kalau Valentina berbincang dengan Raditya yang notabene residen tampan yang digandrungi banyak wanita? Kadang kalau sudah mendapat cibiran, ingin rasanya Valentina menaiki atap gedung rumah sakit ini sambil membawa pengeras suara lalu mengikrarkan diri kalau dia adalah istri sah sang residen. Sayangnya, keinginan itu menciut kalau teringat perjuangannya bersama Brian. Hati kecil Valentina masih tidak tega menghancurkan impian Brian untuk menikahinya suatu hari nanti. 

Ah, kisah cintaku tak seindah kisah cinta yang ada di dunia orange. 

"Tapi, denger-denger nih ya." Perawat lain menimpali sambil menunduk dan berbisik," Ada yang pernah denger kalau dokter Raditya telepon cewek manggil-manggil istri gitu. Masa iya dia udah kawin sama Dokter Julia?"

"Ah, masa? Nikah siri bukan?" tandas perawat lain mengabaikan Valentina. "Kalau iya ... kenapa harus siri? Apa Dokter Julia sudah tek dung?" dia memperagakan kedua tangannya membentuk perut ibu hamil. 

"Ngawur lambemu."

"Padahal istri sahnya di sini, bisa-bisanya kalian--"

"Apa Dek? Kamu ngomong apa?" tanya perawat yang tak sengaja menangkap ucapan Valentina dengan wajah kaget. 








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro