2-11-2019

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tema hari-2: Membuat tulisan berdasarkan artikel pilihan wikipedia pada hari ini (kebetulan artikelnya tentang rumah panggung)

...

Her(m)itage

Ekspedisi kami berlanjut ke dalam hutan Farasthre di Benua Verdena. Hutan terbesar yang dapat membagi Verdena menjadi utara dan selatan. Pencarian kami tentang reruntuhan salah satu ras kerajaan Alafathe menemukan titik terang. Setelah berminggu-minggu menelusuri petunjuk demi petunjuk, akhirnya kami semakin dekat.

Aku dan keempat orang lainnya, Arya, Alfina, Kandhi, dan Dion bekerja sebagai tim di bawah Badan Arkeologi untuk mencari dan menemukan kerajaan yang hilang. Sudah dua minggu kami melakukan ekspedisi ini.

Jauh di pedalaman hutan, sepertinya kami tersesat. GPS yang kami gunakan tidak berfungsi, seperti ada anomali.

"Kapan kita sampai?" tanya Alfina untuk kesekian kalinya. "Kakiku mati rasa," keluhnya sambil memain-mainkan senjata laras panjang.

"Aku yakin sebentar lagi kita sampai," timpalku meyakinkan. "Harusnya sudah dekat."

"Tidak perlu mengeluh," sahut Arya yang menjaga di belakang. "Ini sudah risiko pekerjaan."

Dion yang melangkah paling depan dan sekaligus menjadi navigator tiba-tiba berhenti. "Kita berjalan melingkar," katanya horor. "Kalian lihat bekas tebasan yang kubuat itu?" Si lelaki berkaca mata menunjuk pada sebuah batang pohon dengan tanda silang.

"Kau benar. Lihat tulisan yang kubuat saat aku bosan." Kandhi menimpali dengan mengarahkan pisaunya ke sebuah batang pohon beringin dengan tulisan "Elvan ***"

"Kau mengejekku, ya?" Aku merengut.

"Jangan tersinggung. Setidaknya kita butuh hiburan sedikit."

"Ya, ya, terserah. Lebih baik kita berkemah sebelum binatang buas berdatangan." Aku meletakkan tas dan mengeluarkan barang-barang yang sekiranya perlu untuk berkemah. Arya yang badannya paling besar dan yang membawa barang paling banyak menyiapkan tenda sendiri dengan cekatan.

Dingin mulai menerpa ketika malam tiba, tetapi kami sepakat untuk tidak membuat api unggun atau sumber api lainnya karena bisa memancing musuh. Sebagai gantinya, penerangan diganti dengan lampu baterai dan memanaskan makanan menggunakan kekuatan Alfina.

"Aku ... akan ... pensiun ... setelah ini selesai," kata gadis itu lemas. Alfina benar-benar totalitas dalam pekerjaannya mengesampingkan sifatnya yang suka mengeluh.

Kami berjaga bergantian selama tiga jam sekali. Arya dan Alfina berjaga lebih dahulu sementara yang lain tidur. Aku yang seorang Alafathe bisa mendengar sayup-sayup percakapan mereka walaupun dengan suara kecil. Kebanyakan dari obrolan itu adalah curahan hati Alfina tentang keluarganya. Terkadang, pendengaran dan penglihatan yang tajam bisa menjadi kentungan atau kerugian bergantung situasinya. Aku seperti seorang yang sedang menguping meskipun tidak berniat seperti itu.

Suara burung bersahutan. Desiran angin terasa sampai ke dalam. Dan aura aneh terasa mencekam. Aku tidak bisa tidur karena keadaan yang terakhir. Kuputuskan untuk memeriksa keadaan walaupun belum genap tiga jam.

Hal pertama yang menyambutku adalah pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Kanopi-kanopi lebarnya membuat aku tidak bisa melihat ke langit berbintang dan menentukan arah. Aku memicing untuk menajamkan pandangan. Ada yang janggal. Sepertinya kulihat ada sesosok bayangan di antara pepohonan.

Kuputuskan untuk memeriksa keadaan Arya dan Alfina di pos mereka, tetapi bukan keluhan yang kudapat dari si gadis penggerutu atau sapaan hangat si pria besar melainkan ringisan dan tubuh yang terluka.

"Alfina!" Kudekati tubuhnya yang penuh sayatan. Bentuk lukanya seperti cakaran. Hal yang membuatku terheran adalah tidak ada suara yang mencurigakan, baik raungan atau jeritan. "Apa yang terjadi?!" Gadis itu menggeleng.

Arya yang terluka cukup parah mulai siuman dan mendekati kami. "Ada yang mengikuti kita," katanya sambil menahan luka.

"Kenapa kalian tidak berteriak?!"

"Kami tidak bisa," jawab Arya sambil menggeleng. "Seperti ada sesuatu yang menahan suara kami."

"Kita harus berkemas. Ayo, cepat." Aku mencoba membawa Alfina yang sedang meringis. Ada bekas air mata di pipinya. Di tengah usahaku itu, kelebat bayangan terlihat melintas.

Suara tembakan terdengar dari arah tenda. Sepertinya Dion dan Kandhi berhasil menghindari serangan apa pun makhluk yang sedang menyerang kami.

Kami datang terlambat. Dion sudah terkapar menghantam tendaku dengan pistol yang masih mengarah ke depan; ke arah makhluk hitam dengan cakar panjang yang siap menyerang. Sebelum cakar itu terbenam, Kandhi berhasil menembak kepala si makhluk, tetapi yang terjadi hanyalah bekas lubang yang tidak ada artinya.

Makhluk itu berhenti menyerang. Sebagai gantinya, kepala makhluk itu kembali tumbuh dan "mulutnya" membuka, mengeluarkan suara lengkingan yang melumpuhkan seluruh indra. Kami semua terjatuh sambil memegangi telinga.

...

Aku membuka mata karena cahaya matahari yang perlahan menyinari. Sosok yang kulihat pertama kali adalah makhluk-makhluk hitam yang perlahan menghilang. aku berusaha bergerak, tetapi hasilnya nihil. Tanganku terikat ke belakang oleh sesuatu yang tidak terlihat. Teman-temanku yang lain tampaknya belum sadar.

Aku mencoba melihat sekeliling. Kami berada di tanah terbuka yang dikelilingi oleh hutan. Suasananya masih janggal, seperti ada segel yang mengelilingi. Seharusnya kami bisa menemukan tempat ini dari kemarin, tetapi nyatanya tidak.

Ada sebuah rumah di belakangku. Rumah itu memiliki kaki-kaki dari batu yang tinggi membentuk sebuah panggung. Ada tangga penghubung dari sisi kanan. Atapnya berbentuk piramida melengkung menggunakan ijuk. Tiang-tiang kayu terlihat di sana-sini sebagai penyangga. Tumbuhan-tumbuhan menjalar melingkupi dindingnya. Secara keseluruhan, bukan bentuk rumah itu yang membuatku terheran, melainkan tempatnya. Untuk apa ada rumah di tengah hutan belantara seperti ini? Terakhir, ada seseorang berpakaian putih dengan janggut panjang sedang melihat kami dari beranda.

"Hei, siapa pun kau, cepat lepaskan kami!" Aku meronta berharap bisa lepas dari ikatan tak kasat mata ini. Sosok di beranda kini telah lenyap, berpindah tempat tepat ke depanku.

Sosok berbaju putih itu memainkan jenggot panjangnya yang sampai perut. "Siapa kalian?" tanyanya dengan nada yang bijaksana.

"Ka-kami tim ekspedisi," jawabku dengan agak terbata. "Di mana kami? Lagi pula siapa kau? Kenapa kami jadi seperti ini?"

"Terlalu banyak pertanyaan."

"Jawab saja."

"Aku yang berkuasa di sini, bukan kau." Aku langsung membisu. "Apa yang kalian cari?" Aku menjawab dengan menceritakan tujuan awal kami datang ke hutan ini hampir semuanya.

"Kalian yakin bukan untuk mencari tempat ini?"

"Kami yakin. Kau belum menjawab pertanyaanku. Siapa kau?"

"Aku adalah seorang pertapa sekaligus penjaga tempat ini, Bhat'avia. Kau bisa memanggilku Kisana. Namun, itu tidak ada artinya lagi."

"Ke-kenapa?"

"Kalian akan mati karena telah memasuki hutan ini tanpa izin dan merusaknya."

"Kami tidak merusak—" Aku langsung teringat ukiran-ukiran yang kami buat.

"Tempat ini adalah tempat khusus yang ditujukan untuk menjaga sebuah artefak penting. Orang-orang seperti kalianlah yang sering kemari dan berusaha mencurinya. Itulah kenapa aku harus membuat penghalang untuk melindungi rumah ini. Rumah panggung yang dibuat untuk menjaga benda yang menjadi alasan perang saudara di masa lalu."

Kisana mengeluarkan sesuatu dari balik lengan jubahnya. Sebuah besi panjang yang ternyata sebuah pedang teracung ke arahku. "Kau yang pertama."

-oOo-

Ha ha, maafkan kalau ceritanya agak gak nyambung sama tema yang diberikan. Saya sudah gak punya ide lagi. ._.

Padahal awalnya gak sabar nerima tema hari kedua, tetapi pas tahu langsung blank.

Semoga masih bisa bertahan sampai akhir bulan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro