4-11-2019

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tema hari-4: membuat karya yang melibatkan hitungan mundur

...

Countdown

Waktu itu relatif. Namun, serelatif apa pun itu, ia tidak bisa diulang. Ia bisa terasa lambat atau cepat bergantung pada situasi. Seperti saat hitungan mundur terjadi, orang yang sedang menunggu sesuatu merasakannya lambat, sementara yang berharap waktu berhenti terasa sangat cepat. Dan hal itulah yang sering terjadi pada kita, terutama pada orang-orang seperti—

"Adira, berapa sisa waktu yang kita punya?!" tanya seorang gadis sambil menembaki musuh di depannya. Situasinya terasa sangat genting. Orang-orang yang kumaksud adalah mereka itu.

"Setengah jam," jawab orang yang dipanggil Adira sambil mengotak-atik komputer hologram portabel miliknya.

"Sial! Kalau seperti ini terus kita bisa gagal. Danny!" 

"Apa?" sahut yang dipanggil sembari membidik musuh-musuhnya dengan tenang.

"Kita butuh strategi."

"Aku sedang melakukannya, Rin," timpal Danny.

"Kau bisa serius sedikit?" Orang yang dipanggil Rin itu mulai naik darah.

"Tenanglah. Lagi pula ini, kan, hanya—"

"Aku tidak peduli. Seharusnya kau bisa serius dalam situasi ini!"

"Dasar idealis," gumam Danny.

"Dira, aku butuh bola kejut," pinta si gadis dengan tidak sabar. Adira memberikan sebuah bola berwarna perak seukuran telapak tangan yang langsung diambil dengan cepat. "Kita akan maju setelah aku melumpuhkan mereka."

"Kau serius?" tanya Danny dengan tampang tolol yang langsung dihadiahi pelototan. "Baik, baik. Aku mengerti."

Airin—nama lengkap si gadis—melemparkan bola yang diterimanya setelah menekan satu tombol. Bola itu menggelinding dan mengeluarkan listrik yang seketika melumpuhkan musuh yang berupa robot-robot bersenjata. Mereka bertiga langsung keluar dari barikade mobil yang menjadi pelindung saat ini. Airin yang keluar pertama disusul Adira kemudian Danny yang kelihatan malas-malasan.

"Berapa waktu kita, Dira?"

"Dua puluh menit," jawab Adira sambil menembaki musuh yang mulai bangkit. Keberadaan mereka yang ada di jalanan menyulitkan mereka untuk berlindung. Hanya ada bangkai-bangkai kendaraan tanpa ada bangunan utuh. Gedung yang menjadi target mereka di depan masih lumayan jauh, dan musuh-musuh yang menghadang masih banyak. Ketiga orang itu perlu memutar otak.

Mereka memutuskan untuk bersembunyi di sebuah bangkai tank. Adira yang merupakan ahli IT dan seorang penembak jitu bertugas untuk mengawasi keadaan sekaligus melakukan pemetaan untuk membuat jalan kabur mereka. Danny yang memiliki kemampuan regenerasi cepat bertugas menjadi penyembuh dan pertahanan utama, sedangkan Airin yang memiliki kemampuan bertarung jarak pendek sampai menengah dengan otak yang encer, sering menjadi penyerang dengan teknik-tekniknya yang memukau.

"Status, Dira."

"Kita bisa menyerang sambil berlindung di antara bangkai-bangkai mobil sampai ke sana, tetapi waktunya tidak cukup dan persediaan peluru kita hampir habis."

"Kita tidak punya waktu lagi," gumam gadis itu sambil berpikir. "Danny, buat perisai energi dan lindungi aku," perintah Airin sambil melihat situasi.

"Kau gila ya?" tanya si pria sambil melihat ke arah yang sama.

"Lakukan saja. Aku ingin segera mengakhiri ini."

Airin menyimpan senapannya dan langsung keluar dari tempat persembunyian. Danny langsung membuat perisai pelindung tak kasat mata yang menghalangi peluru-peluru dari robot penembak untuk mengenai Airin. Gadis itu kemudian mengeluarkan bilah-bilah pedang yang disimpan di bagian samping betisnya dengan kekuatan telekinesis yang ia miliki. Pedang-pedang yang berjumlah tujuh itu berputar di sekeliling Airin sebelum berakhir di punggung si gadis membentuk seperti kipas.

Airin menerjang dengan cepat seperti berjalan di atas angin. Danny mengikuti pergerakan si gadis berpedang jauh di belakang sambil terus mempertahankan perisainya, sementara Adira memastikan tidak ada musuh yang menembaki mereka dari belakang.

Gadis itu menggerakkan pedang-pedangnya seperti tangan kedua. Pergerakannya yang seperti sedang menggunakan kipas sebagai senjata terlihat indah sekaligus mematikan. Setiap musuh yang terkena senjatanya terbelah menjadi dua atau hancur berkeping-keping, kemudian mengeluarkan percikan listrik dan meledak. Ia berputar, melompat berguling sambil menghindari tembakan musuh. Bila dilihat sekilas, Airin tampak sedang menari di tengah api. Mungkin kalau ia mau, ia akan menamai serangan itu sebagai kipas api.

Mereka sudah semakin dekat, tetapi bukan berarti menjadi mudah. Musuh utama mereka telah menghadang. Sebuah robot bersenjata meriam di kedua bahunya. Di tengah waktu yang semakin sempit, mereka harus menghindari mesin itu dan pergi ke puncak gedung.

"Kalian ada rencana?" tanya Danny sambil melihat meriam si mesin yang mulai menyala dan siap ditembakkan. Beberapa detik kemudian, serangan itu berhasil membuat jalanan di depannya hancur lebur. Untunglah ketiga orang itu berhasil menghindar.

"Dira, beri aku bola peledak!" teriak Airin dari sisi bekas ledakan.

"Tapi aku baru saja memprogramnya—"

"Berikan saja. Memang itu tujuanmu, kan?"

"Tapi—"

"Adira!" Dengan berat hati, Adira memberikan bola berwarna merah yang berukuran seperti bola sepak itu dan langsung di terima oleh si gadis.

"Tekan tombolnya dan set waktunya—"

"Tidak ada waktu. Dan, lindungi aku!" pinta Airin sambil berlari ke arah mesin pembunuh itu. Danny berusaha mengalihkan perhatian si mesin agar Airin dapat menyelesaikan tugasnya.

Airin berlari membelakangi si mesin pembunuh sampai robot itu tak dapat melihatnya. Gadis itu kemudian memanjat tubuh si robot dan menyalakan bola peledak yang ada di tangannya. Ia buru-buru melompat ke arah gedung di belakang si mesin. Beberapa saat kemudian, bola itu meledak membuat hawa panas dan tekanan membuat ia terpental tanpa bisa dihindari.

Gadis telekinesis itu mendarat tepat di atap gedung target mereka dengan luka bakar yang masih bisa ia tahan. Dengan sekuat tenaga, ia bangkit dan meraih apa yang menjadi sasarannya selama ini. Sebuah bendera.

Suara alarm terdengar satu kali. Hitungan mundur di "langit" tampak menunjukkan angka 00.02.01. Suasana di sekitar mereka tiba-tiba berubah. Tidak ada jalanan mati ataupun bangkai-bangkai kendaraan, melainkan ruangan berdinding putih yang sangat luas.

"Simulasi diakhiri." Sebuah suara menggema di ruangan itu. Airin, Adira, dan Danny sekarang bisa bernapas lega.

"Bagus, semuanya," kata seorang pria berpakaian formal yang tiba-tiba datang. Orang itu bertepuk tangan dan memberi selamat kepada mereka. Tatapan matanya yang tajam mengamati mereka satu per satu dengan saksama.

"Aku berharap padamu, Dan. Semoga tidak ada lagi sikap main-main seperti tadi," peringat si pria.

"Ba-baik, Pak."

Sesi latihan hari itu berakhir.

-oOo-

A/N

Kenapa saya ngerasa makin hari makin absurd astaga. Padahal mereka bertiga itu karakter yang udah saya buat dari lama dan udah ada beberapa cerpen tentang mereka juga. Aku pusing .-.

Semoga bisa bertahan sampai akhir dan tidak bolong.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro