14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dea hilang belum ada satu hari lho. Tapi Mamak sudah sampai sini," kata Dea sambil melepaskan pelukan dari ibunya. "Kok bisa Mamak sampai sini?" tanya Dea. Gadis itu mengajak ibunya untuk duduk di kursi rotan yang ada di ruang tamu. 

"Mamak telepon, chat, SMS, nggak ada yang masuk. Feeling Mamak mulai nggak enak. Akhirnya Mamak langsung ke sini," kata Anis setelah ia duduk di kursi. "Setelah Mamak sampai sini, ternyata benar."

Dea meringis karena merasa bersalah. Gara-gara dirinya, semua orang dirugikan. Ayahnya dan ibunya dibuat cemas. Sementara Herman, dibuatnya tidak nyaman karena jati dirinya diketahui orang lain. 

Herman yang merasa tidak enak mengganggu percakapan ibu dan anak, berencana untuk pamit ke belakang. Tapi sebelum Herman berlalu, Dea terlebih dahulu bersuara. Perempuan itu memperkenalkannya kepada sang ibu. 

"Ini Herman, Mak. Murid sekaligus anak angkat Ayah," kata Dea seraya menunjuk Herman. 

Keduanya lalu berkenalan. Anis meminta Herman untuk memanggil Mak saja. Supaya lebih akrab. 

Sementara itu, Deni memutuskan untuk ke belakang. Ia sengaja memberi ruang untuk anak dan mantan istrinya. 

Tak lama setelah berkenalan dengan Anis, Herman pun memutuskan untuk ke belakang juga. Ia sengaja tidak pulang dahulu, karena Deni menyuruhnya untuk tinggal di sini sampai besok pagi. 

"Herman itu Cindaku juga?" tanya Anis nyaris tanpa suara karena takut kata-katanya didengar yang bersangkutan. Kan lucu jika yang sedang dibicarakan mendengarnya. 

"Iya," jawab Dea pelan. "Dea maksa Herman buat berubah. Eh, malah apes. Kami ketahuan warga. Karena ketakutan, kami lari tunggang langgang masuk hutan," ucap Dea pelan. Saking pelannya nyaris tanpa suara. Ibunya sampai harus memperhatikan gerakan bibir Dea agar tahu apa yang sedang Dea katakan. 

Anis menganggukkan kepalanya beberapa kali. Sebenarnya ia ingin bertanya banyak hal kepada Dea, terutama soal Cindaku. Dan perasaan Dea pasca tahu kalau ayahnya adalah Cindaku. Tapi diurungkannya, karena takut didengar oleh Deni dan juga Herman. 

"Mamak tidur sini, kan?" tanya Dea. Sekarang suaranya sudah normal kembali, karena ia merasa pembicaraannya kali ini bukan rahasia. 

"Iya. Memangnya dimana lagi? Masak Mamak tidur di hutan. Di sini kan nggak ada hotel atau motel," kata Anis.

Mendengar hal itu, Dea tersenyum bahagia. Malam ini ia akan tidur bersama ibunya. 

Anis merupakan anak yatim piatu yang dulunya tinggal di panti asuhan Kota Jambi. Jadi ia tak memiliki saudara di kampung ini. 

Sementara untuk Deni sendiri adalah seorang anak tunggal. Kedua orang tuanya sudah meninggal. 

Setelah Anis dan Deni menikah, Deni membawa istrinya untuk tinggal di kampung ini. 

Anis dan Deni bisa kenal karena Deni pernah bekerja selama satu tahun di kota. Kemudian keduanya saling jatuh cinta dan menjalin hubungan. Namun sayang pernikahan keduanya berjalan sangat singkat, Anis tidak mau memiliki suami Cindaku. 

Ini semua memang murni kesalahan Deni. Karena sebelum menikah ia tidak memberi tahu jati dirinya kepada Anis. Wajar saja Anis kecewa karena merasa tertipu. 

"Makan apa kalian di dalam hutan? Kok Mamak lihat kalian segar bugar," kata Anis sambil memperhatikan kondisi Dea lekat-lekat. 

"Makan jambu," jawab Dea. "Ternyata di hutan ada jambu."

"Cuma jambu? Memangnya kenyang?" tanya Anis dan diangguki oleh Dea. 

"Hebat. Biasanya kalau belum makan nasi belum kenyang," gumam Anis. 

Melihat ibunya sudah mengantuk, Dea lalu mengajak ibunya tidur. 

"Mak. Ayok, tidur!" ajak Dea. Gadis itu beranjak dari tempat duduk dan mengulurkan tangannya kepada sang ibu, dan langsung disambut oleh ibunya. Keduanya pun lalu istirahat di kamar. 

Sementara itu, Deni dan Herman tidak bisa langsung tidur. Keduanya tampak sedang duduk bersebelahan di halaman belakang rumah Deni. Keduanya membuat api unggun dan duduk di depan api unggun. 

"Warga sudah tau kalau kamu Cindaku. Takutnya di antara mereka ada yang nggak suka kamu," kata Deni sambil menatap lurus ke arah api. "Lebih baik kamu pergi dari kampung ini. Ini semua demi kebaikan kamu." Ada keseriusan di dalam ucapan Deni. Ia benar-benar mengkhawatirkan nasib Herman selanjutnya. 

"Datuk ikut juga, kan?" tanya Herman. 

"Aku tetap di sini," ucap Deni tegas. "Mereka nggak ada yang tau kalau aku Cindaku juga. Yang harus pergi ... ya kamu," lanjutnya. 

"Tapi, Tuk .... Aku mau kemana? Aku nggak punya siapa-siapa. Aku nggak tau harus ngapain," kata Herman pelan. Sejujurnya Herman bukan takut tidak bisa bertahan hidup di luar sana. Ia hanya sedang mencari alasan agar tidak pergi dari kampung ini. Biar bagaimana pun, ia tak tega meninggalkan Deni sendiri di sini. 

"Jadi laki jangan cengeng. Kerjain aja apa yang bisa kamu kerjain, pasti bisa bertahan hidup. Atau bisa juga minta bantuan Dea dan mamaknya. Kamu bisa ikut mereka," kata Deni tanpa menoleh ke samping kanan. Ia masih saja menatap lurus ke arah api unggun. 

Herman menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Aku mau pindah, asalkan Datuk juga ikut," kata Herman sambil menatap ke arah Deni. Tapi sayang, tatapannya tidak dibalas oleh Deni. Laki-laki paruh baya tersebut tetap fokus menatap ke depan. 

"Jangan banyak omong. Pokoknya besok kamu harus pergi!" Kata-kata Deni terdengar sangat tegas, sehingga Herman tak memiliki keberanian untuk membalasnya. 

"Iya, Tuk," jawab Herman pasrah. 

Jujur, hatinya sangat berat untuk pergi dari kampung ini. Akan tetapi ia tidak bisa untuk melawan perintah Deni. 

***

Pagi-pagi sekali, Herman, Anis dan Dea berangkat ke kota menggunakan mobil travel. Sementara untuk Deni, masih tetap berada di kampung. 

Untung saja Herman memiliki lumayan banyak uang tabungan. Cukup untuk bertahan hidup beberapa bulan ke depan menjelang dapat pekerjaan di kota. 

Sepanjang perjalanan, ketiganya lebih banyak diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. 

"Rencananya mau kerja apa?" Suara Dea memecah kesunyian di antara mereka. 

"Apa aja. Yang penting halal," sahut Herman. Ia hanya memiliki ijazah SMA. Tidak mungkin untuk memilih pekerjaan. Ada yang mau menerimanya saja sudah untung. 

Mendengar jawaban Herman, Dea hanya menganggukkan kepalanya. Ia kembali melanjutkan bermain game online di ponselnya. 

Sementara itu, Anis sedang terkantuk-kantuk karena semalam ia tidak bisa tidur. Bagaimana ia bisa tidur kalau pikirannya melayang jauh? Ia memikirkan nasib Dea. Bagaimana jika Dea diganggu oleh warga yang tidak suka padanya karena berteman dengan Cindaku? 

"Mamak ngantuk?" tanya Dea sambil mengunci ponselnya. "Pakai ini." Dea melepas bantal lehernya lalu diberikan kepada sang ibu. 

Anis yang sudah sangat mengantuk sekali, menerima begitu saja bantal leher pemberian Dea. Lalu ia memejamkan matanya sambil membuang wajah ke arah jendela. 

Sementara itu, Dea kembali melanjutkan bermain game online di ponselnya. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro