15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Enam bulan telah berlalu. Herman mulai bisa menyesuaikan kehidupan di kota. Ia bekerja sebagai asisten chef di sebuah restoran, karena ia memang memiliki bakat memasak yang cukup bagus. 

Awalnya Herman memulai karir sebagai tukang cuci piring, lalu pelayan. Dan sekarang asisten chef. Ia sangat bersyukur sekali bisa mendapatkan pekerjaan yang cukup bagus. 

Sesekali Deni datang ke kota untuk mengunjungi Dea dan juga Herman. Terkadang Deni menginap di kontrakan Herman selama beberapa hari. 

Sementara untuk Dea, ia bekerja sebagai kasir di sebuah supermarket. Menjelang nunggu kuliah tahun depan, ia memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu. 

Hubungan Dea dan Herman pun semakin lama semakin dekat. Keduanya sering menghabiskan waktu bersama ketika libur. Baik sekedar nongkrong di coffe shop, ataupun bermain di wahana rekreasi. 

Seperti hari ini, Dea dan Herman memutuskan untuk mengunjungi restoran seafood yang baru saja launching

"Mau kemana, De? Pagi-pagi gini udah rapi," ucap Anis saat melihat Dea telah berpakaian rapi berjalan menghampirinya. Ia sendiri sedang duduk santai di depan televisi sambil menikmati secangkir teh hangat. 

"Mau keluar, Mak. Sama Herman," ucap Dea. Ia mengambil duduk di sebelah ibunya sambil merapikan make up-nya

"Kalian pacaran?" tanya Anis sambil memandang Dea lekat-lekat. 

Dea menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia menatap ke arah ibunya. "Memangnya kalau jalan nerdua, harus pacaran? Mamak kurang piknik nih. Makanya nyebelin," sahut Dea bersungut-sungut. 

"Kalau iya juga nggak papa. Malah Mamak senang, karena anak Mamak normal. Suka sama laki-laki. Selama ini kan kamu jomblo terus," ucap Anis sambil terkekeh. Entah mengapa ia sangat senang sekali menggoda Dea perihal laki-laki. 

"Mamak nyebelin, ih." Dea langsung bergegas pergi. Tapi sebelum pergi, ia telah mencium punggung tangan ibunya terlebih dahulu. 

Melihat tingkah Dea, Anis hanya bisa menggelengkan kepalanya saja. 

Dea pergi ke restoran menggunakan taksi online. Ia dan Herman memang sengaja membuat janji untuk bertemu di lokasi saja. 

Tak lama Dea pun sampai di restoran. Di sana Herman telah sampai terlebih dahulu. Laki-laki itu sedang bermain ponsel di atas meja. 

"Maaf telat," ucap Dea. Ia lalu duduk di depan Herman. "Muka kamu kenapa? Pucat gitu," tanya Dea. 

Tanpa menjawab apa-apa, Herman memberikan ponselnya kepada Dea. Dea pun langsung menerima ponsel Herman, lalu melihatnya. 

Setelah melihatnya, Dea tampak shock sekali. Bahkan ia lebih pucat dari Herman. Bagaimana ia tidak kaget daripada Herman? Di Facebook sedang ramai sebuah video penampakan Cindaku yang sedang berubah. Di sebelah Cindaku tersebut ada seorang wanita. Dan lebih tepatnya, itu adalah video ia dan Herman enam bulan yang lalu. 

"Ini kita?" gumam Dea. Dengan tangan gemetar, ia mengembalikan ponsel Herman. 

"Iya," jawab Herman. "Video ini udah lama. Udah enam bulan yang lalu. Tapi baru viral sekarang karena baru di-post di grup pecinta misteri. Sebelumnya pemilik akun cuma mengirim di Facebook pribadinya aja," tutur Herman. 

"Kamu tau sejak kapan?" tanya Dea sambil mengerutkan keningnya samar. "Jangan bilang udah tau dari lama dan nggak ngasih tau aku," kata Dea lagi. 

"Barusan, karena aku juga masuk di dalam grup ini. Pas buka Facebook, nggak sengaja liat video ini," kata Herman. Ia memang baru beberapa menit yang lalu mengetahui video tersebut. Dan setelah itu, ia langsung mengunjungi profil sang pengirim video. Ternyata itu adalah akun anonim. 

Pembicaraan keduanya harus berhenti sejenak karena pelayan restoran mengantarkan pesanan mereka. Sebelumnya Herman telah memesan semua menu rekomended di restoran ini atas kemauan Dea. 

Dea sengaja minta dipesankan menu apa saja oleh Herman karena hari ini Herman ulang tahun. Dan laki-laki tersebut ingin mentraktir Dea. 

"Kita gimana?" tanya Dea cemas. 

"Tenang aja. Di video ini wajah kita nggak jelas. Kita beruntung karena ini direkam pakai kamera murah. Jadi kualitasnya nggak bagus," ujar Herman mencoba menenangkan Dea. 

Wajah mereka memang tidak jelas sama sekali, selain karena kamera ponsel murah yang tidak HD, juga karena saat itu hari sudah menjelang magrib. Sehingga sinar matahari sudah hampir hilang. 

Dea menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. 

"Di video itu, pas orang-orang teriak 'Herman Cindaku', jelas banget. Lebih baik kamu ganti nama panggilan, deh," saran Dea. "Nama panjang kamu siapa? Aku lupa," kata Dea lagi. 

"Herman Alamsyah."

"Mulai sekarang nama kamu jadi Alam. Bukan lagi Herman!" kata Dea tegas. Dan diangguki oleh Herman. 

"Mending sekarang kita makan dulu, nanti ceritanya kita lanjut setelah makan," kata Alam alias Herman. 

"Setuju. Aku memang udah laper banget," sahut Dea. 

Keduanya lalu menyantap hidangan yang ada di atas meja. Ada kepiting saus asam manis, lobster bakar, dan kerang saus Thailand. 

"Ramuan aneh yang nyerang Ayah waktu itu, apa namanya, Lam? Tiba-tiba aku kepikiran," kata Dea di tengah-tengah makan. 

"Ramuan Medot Jiwo," sahut Alam sambil memecahkan cangkang kepiting. "Kenapa?" 

"Nggak papa. Random aja tiba-tiba kepikiran itu," ucap Dea. Entah mengapa kalau mengingat Cindaku, ia selalu ingat tentang ramuan aneh tersebut. Padahal tidak ada hubungannya. 

Dea sendiri sudah mendapatkan informasi dari Deni, kalau Ramuan Medot Jiwo adalah ramuan dari sepuluh rebusan akar langka yang ditambahkan mantra-mantra khusus. Akan tetapi ia sering lupa namanya karena menggunakan bahasa jawa yang tidak familiar di kepala Dea. 

"Selama di sini, badan kamu ada efek sampingnya nggak? Secara kan, kamu berjauhan dari tanah Kerinci," tanya Dea sambil mengupas kulit lobster. 

"Nggak ada. Semuanya aman," sahut Alam. Badannya memang tidak merasakan efek samping apa-apa, akan tetapi ia sering mimpi didatangi beberapa macam Harimau. Akan tetapi ia tak mau menceritakan hal tersebut kepada siapapun, karena menurutnya itu adalah bunga tidur. Suatu hal yang wajar karena sebelum tidur ia sering memikirkan tentang Cindaku. Oleh karena itu, sampai terbawa ke alam mimpi. 

"Rencana kamu selanjutnya apa?" tanya Dea. Ia lalu menyuapkan nasi ke dalam mulutnya dan mengunyah dengan pelan. 

"Mau menetap di sini," jawab Alam yakin. Ia memang sudah tidak ingin pulang kampung lagi. Ia sudah terlanjur cinta dengan kota ini. 

"Kamu yakin? Nggak kepingin pulang kampung? Nggak pengen ngelindungin hutan?" tanya Dea. 

"Aku akan pulang kalau memang ada yang mengganggu hutan," sahut Alam yakin.

Dea mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Ia mencoba memahami keputusan Alam. Karena ia yakin, sebelum memutuskan sesuatu, pasti Alam telah memikirkannya baik-baik. 

Keduanya lalu melanjutkan makan tanpa diselingi dengan obrolan. Mereka tampak sibuk memisahkan kepiting dari cangkangnya. Memang, menyantap makanan laut sedikit menguras tenaga karena harus memisahkan daging dari cangkangnya. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro