[Enam]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dhisan Azriel

"Are you okay?" Luna masuk ke dalam ruangan meeting dengan dahi penuh kernyitan. Membuat gue yang baru saja mengembus napas panjang harus menaikkan alis tinggi.

"Sure. Kenapa?" tanya gue pura-pura lugu. Padahal, gue sendiri sedang menanyakan pertanyaan itu kepada diri gue sendiri: sebenarnya gue kenapa? Kenapa sekarang gue malah melibatkan diri sama cewek ingusan itu? Bukannya, sebulan ini gue bekerja keras untuk menghindari dia? Kenapa sekarang gue malah nunjuk dia sebagai Project Manager? Dan, lebih bodohnya lagi memberi cewek itu instruksi untuk bekerja langsung di bawah bimbingan gue?

Demi perusahaan, San. Gimana pun juga tuh cewek udah berhasil dapetin klien kakap. Suara batin gue mencoba menenangkan.

"Suara teriakan lo sampe ke luar ruangan, San. Lo nggak pernah kayak gini sebelumnya." Luna beringsut mendekat. Merapikan riak-riak rambut gue yang belum sempat disisir sehabis mandi tadi. "Lo kecapekan kali, San. Coba istirahat yang bener deh."

As always, perhatian Luna berhasil mengembalikan ritme jantung gue kembali normal. Rasanya nyaman dan damai. Baru saja gue ingin balas merapikan rambut Luna yang sebenarnya sama sekali nggak berantakan, namun suara dering ponsel mencegah.

Luna segera merogoh saku celana jeansnya dan menunjukkan nama yang terpampang di layar datar itu dengan wajah bete. "Ngeselin banget nggak sih?" gerutunya.

Tangan gue yang sempat mengudara, gue daratkan di puncak kepalanya untuk mengacak rambut hitam legam itu. "Angkat gih!"

"Gue bukan babysitter lo, ya, Mos! Urusan pakaian ganti lo sama sekali bukan urusan gue!" teriak Luna tanpa perasaan. Entah mengapa gue justru mendengarnya sebagai sebuah keakraban. "Gue sendiri belum ganti baju sama sekali, boro-boro ngurusin baju ganti lo! Males gue!"

Nggak suka mendengar percakapan yang mesra itu lebih banyak lagi, gue menyibukkan diri dengan menonton ulang liga sepak bola. Dengan volume maksimal, demi menyamarkan suara Luna yang terdengar semakin sarat perhatian. Beberapa menit setelahnya, Luna akhirnya selesai dengan obrolannya dengan Amos. Sesuai dugaan gue, meski menolak mentah-mentah lewat kata-kata, Luna pasti akan menuruti permintaan Amos. Terbukti dengan ucapannya saat berpamitan.

"Gue duluan, ya, San. Mau beresin barangnya Amos sekalian. Sialan emang tuh anak rantau! Gue dikira babysitter-nya, lagi!"

Gue menarik sudut bibir membentuk senyum. Berharap terlihat tulus. Tapi sepertinya nggak berhasil. Karena Luna tiba-tiba menghambur ke pelukan gue.

"Sampai kapan kita harus terus begini sih, San?" bisiknya sambil mengusap pelan punggung gue. "Coba aja lo setuju, gue bakal bilang ke Amos tentang perasaan kita, dan berhenti membuat dia berharap gini ke gue."

"Kita dalam kamus gue selalu ada lo dan Amos, Lun! Sepaket," gue menegaskan, sembari mengurai pelukan. "Berapa kali harus gue ingatkan, kalau gue nggak siap kehilangan lagi?"

"Ya, tapi sampai kapan lo akan menyiksa diri begini, San? Sampai kapan gue harus menunggu?"

Pertanyaan pertama Luna sepertinya hanya akan bisa dijawab oleh waktu. Gue sendiri udah berusaha sekuat tenaga untuk menghapus jejak-jejak Shila, tapi tetap saja gagal. Mimpi buruk itu terus menghantui. Rasa bersalah itu setia menggerogoti. Menghukum diri sendiri menjadi sikap yang paling masuk akal.

Tapi untuk pertanyaan kedua, sepenuhnya ada di tangan gue. Sepertinya selama ini gue terlalu memberi harapan pada Luna.

Alih-alih menjawab dua pertanyaan yang diajukan Luna sebelumnya, gue malah meminta maaf. "Maaf kalau sikap gue selama ini justru membuat lo salah paham, Lun."

"Maksud lo?"

Sekuat tenaga gue mengumpulkan tekad. "Ya, gue emang ada hati buat lo. Tapi gue memutuskan untuk berhenti. Sekarang."

Shock, Luna terperangah. "This can't be true!"

"Lo sebaiknya berhenti menunggu. Let's move on, Lun."

Nggak bisa menerima, Luna berteriak, "San!!!"

Gue tahu dia pasti kecewa. Marah. Kesal. Gue pun sama. Tapi gue benar-benar nggak siap kehilangan lagi. Juga nggak mungkin membuat kedua sahabat gue ikut merana seperti gue. Gue hanya perlu mundur sendiri, untuk bisa membuat mereka berdua bahagia. Kalau ada satu hati yang bisa menjadi tumbal, kenapa harus mempertaruhkan tiga hati sekaligus?

Ah! Kenapa gue baru menyadarinya sekarang??? Harusnya dari dulu gue nggak usah jujur tentang perasaan gue ke Luna. Mungkin kalau gue berhenti dari dulu, kapal mereka mungkin udah berlayar. Biar gue sendiri yang karam.

"San, berhenti nyiksa diri lo sendiri! Lo juga berhak bahagia!" Luna berusaha meyakinkan. Membuat gue mulai goyah lagi. Tangan gue mulai gatal ingin menghapus jejak air mata yang tumpah di sebelah pipinya.

"Gue beneran sayang sama lo, San!" Penegasan Luna justru membuat gue semakin ketakutan. Takut goyah. Takut akan membuat kutukan baru muncul.

Maka gue memutuskan untuk benar-benar berhenti kali ini. Daripada membuat kesalahan baru lagi, gue memilih menyerah. Pengecut memang.

"Lo benar." Gue berhasil mengeluarkan suara dengan susah payah. "Kayaknya gue butuh istirahat. Bisa tinggalin gue sendiri?"

Untuk pertama kalinya dalam hidup, gue memutuskan untuk mengusir Luna.

Dari ruangan ini.

Dari hati dan pikiran gue.



Sheza Widyaninata

Kalau bukan karena sikutan Ambar di lenganku, mungkin aku masih akan menganga. Bagaimana tidak? Kalau aku akan bekerja langsung bersama Pak Bos??? Mimpi apa aku semalam?

"Wah, kesempatan emas dong, Za! Lo akhirnya bisa buka-bukaan lagi sama Pak Bos!" seru Ambar setelah mendengar alasan di balik sikap absurd-ku.

"Nah, itu dia masalah terbesarnya, Mbar! Kali ini gue harus beneran buka-bukaan ide yang paling cemerlang. Nggak mungkin buka-bukaan baju kan? Yang ada gue beneran didepak dari perusahaan ini."

"Eh, tapi, kenapa Pak Bos malah marah-marah? Dia nggak pernah tuh kayak gitu sebelumnya." Kana buka suara.

Ambar justru tampak bersemangat menjawab Kana. "Nah! Bukannya itu artinya Sheza mulai bisa menggoyahkan pertahanan Pak Bos?"

Aku dan Kana mengernyit berjemaah. Maka, Ambar lanjut menjelaskan, "Maksudnya gini lho. Selama ini kan, nggak ada satupun yang berhasil membangkitkan gejolak dalam diri Pak Bos. Pak bos-nya dieeemmmm mulu. Dan sekarang ...," tangannya mengarah kepadaku. Persis seperti pembawa acara sedang mempresentasikan pertunjukan. "Sheza did it!"

Bagaimana aku harus menjelaskan ini. Aku memaksakan diriku untuk waspada. Menggoyahkan pertahanan Bos Besar bukan berarti sesuatu yang baik. Aku seharusnya lebih mawas diri. Tapi yang kurasakan justru jantungku berdebar semakin keras, berikut pipi menghangat. Meski tidak ada cermin, aku bisa menduga Kana dan Ambar bisa melihat kedutan di sudut bibirku efek senyum yang tak bisa dicegah.

Namun itu semua tidak berlangsung lama.

Tubuh kami bertiga menegak kaku seketika, kala mendengar suara debam pintu ruang meeting dengan Mbak Luna sebagai pelakunya. Kalau Pak bos biasanya sosok yang paling kalem, Mbak Luna justru sosok yang paling ceria. Membanting pintu sama sekali tidak cocok dengan kepribadiannya. Seberat-beratnya beban pekerjaan, Mbak Luna selalu bisa melengkungkan senyum manis dan bekerja dengan semangat empat-lima. Dan, yang membuat semuanya semakin aneh adalah ... ada rembesan air mata yang diusapnya kasar dengan punggung tangan sebelum melangkah pergi. Menjauh dengan langkah lebar dan cepat.

"Gawat ...," desis Kana.

"Banget ...," sambut Ambar.

"Pentolan perusahaan ini nggak pernah ribut sama sekali sebelumnya," tambah Kana.

"Jangankan selama bekerja di sini, sejak kuliah juga nggak pernah ribut sama sekali," imbuh Ambar yang berkali-kali mengaku menjadi pegawai paling senior karena menghitung masa kerjanya di Tala Media.

"Perasaan tadi sebelum gue ngasih laporan ke Pak Bos mereka masih baik-baik aja ngobrolnya di situ," ujarku sembari menunjuk sofa tempat di mana tadi Luna mengoceh entah tentang apa sementara Pak Dhisan mengamatinya dengan sorot mata penuh perhatian. Aku juga sempat mendengar suara Pak Dhisan mulai meninggi kala mendapati fakta bahwa aku-lah yang menemui Gandara. Dan, sontak aku melonjak kaget saat benar-benar diteriaki Pak Dhisan dengan suara tinggi. Intinya, emosi yang dikeluarkan oleh Pak Boss semua untukku. Tidak seharusnya Mbak Luna yang mendapat getahnya.

Perasaanku semakin tak karuan saat mendapati sorot mata penuh tuduhan dari Kana dan Ambar ditujukan untukku, berikut dengan pertanyaan mereka yang sama sekali tidak kumengerti.

"Apa yang udah lo lakuin ke Pak Boss, Za?"

Si anak baru yang menggoyahkan pertahanan Pak Boss, apakah dia bakal jadi kutukan baru atau justru ... ???

Anw, mon maap atas updatenya yang sangat lelet. terus terang aku ngga ada nulis sedikit pun sejak 2022, bab 1-5 juga uda ditulis dr tahun kapan.

But hey, I'm backkk...!!!

Berhubung selain menghalu, aku adalah seorang isteri, seorang ibu, seorang kacung, jadi kayaknya aku cm bisa menjanjikan update 1x seminggu ya, as usuall, setiap sabtu aku usahain ya... 

Pantau terus Dhisan dan Sheza yaa guys,, makaciii ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro