[Lima]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sheza Widyadinata

Aku memukul mulutku kuat. Ingatan tentang insiden keceplosan di ruang rapat, yang membuat dua petinggi di tempatku bekerja menjadi ribut membuatku harus menghukum diriku sendiri. Mulutku ini memang kadang susah diajak kerja sama. Kalau sudah begini, aku yakin akan dipecat sebentar lagi.

Sambil merenungi nasib, kukeluarkan foto nenek dari dalam dompetku.

Nenek, aku rindu....

Sejak menyelesaikan SMA aku memang tidak melanjutkan kuliah karena harus mengurus nenek. Dia adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki, setelah sebuah kecelakaan hebat di tol Jagorawi merenggut nyawa seluruh anggota keluargaku yang lainnya. Bus yang kami tumpangi saat itu oleng. Menyebabkan kecelakaan beruntun. Selain aku dan nenek, hanya ada empat orang lainnya yang berhasil bertahan hidup.

Tapi aku pun tidak terlalu mengingat kejadian itu lagi. Sudah terlalu lama berlalu.

Aku dan nenek mencoba menata kehidupan dengan baik berdua. Kebutuhan keseharian kami ditunjang dari penyewaan kamar kos. Jumlahnya tidak banyak. Hanya enam kamar. Tapi selalu cukup. Setidaknya kami bisa bertahan hidup. Meski sederhana.

Sampai sekarang pun sebenarnya usaha kos-kosan masih kupertahankan. Tapi tetap saja, aku butuh tantangan.

"Nggak usah lesu gitu, deh. Jamin deh, nggak bakal dipecat!" seru Kana yang mengetahui alasan kegalauanku.

"Ho-oh. Lo kan kerjanya bagus. Lagian, lo juga bukannya mengada-ada kan? Emang udah saatnya juga bos tahu kelakuan sepupunya itu. Selama ini nggak ada yang berani ngadu," tambah Ambar.

Aku menghela napas lelah. "Tapi kan kesannya gue kayak tukang kompor gitu sih, guys. Suka memanas-manasi keadaan. Padahal gue murni keceplosan. Pak Bos sih, mukanya bikin gue pengin buka-bukaan," ringisku.

"Buka-bukaan apa nih maksudnya?" Ambar dan Kana bertanya nyaris bersamaan.

"Ha?" Tuh kan, mulai lagi deh, keceplosannya! Buka-bukaan apalagi kalau bukan bajunya! Ah, kalau saja aku nggak pernah muntah di toiletnya, aku kan nggak perlu tahu apa yang ada di balik baju kausnya.

"Muka lo mesum, Za!" tuduh Ambar.

"Bayangin jorok-jorok deh, pasti!" Kana menegaskan. "Ah, nggak usah ngeles. Muka lo sampe merah begitu!"

Aku refleks menutup wajahku dengan kedua tangan. Malu bukan main. "Bodynya keren banget! Kotak-kotak!"

"Apa? Lo pernah liat???" Dengan paksa Kana menarik tanganku, menuntut jawaban. Aku pun mengangguk mengiyakan.

"Sumpah ya! Gue ketikung. Udah bertahun-tahun gue bareng Pak Bos, nggak pernah tuh kebagian jatah ngeliat bodynya. Lo kok belum sebulan bisa beruntung banget gitu sih?" seru Ambar tak terima.

Maka kutambahkan keterangan yang membuatnya semakin geregetan. "Hari pertama, gue langsung disuguhin penampilan doi baru selesai mandi, dong!"

Ambar dan Kana segera membuat koor yang menunjukkan ke-keki-an mereka.

"Pantes aja lo kepikiran buka-bukaan!"

"Kapan dong gue kebagian jatah liat yang seksi-seksi begitu?"

Pada akhirnya, aku nyaris lupa pada kegalauanku, karena kami malah sibuk membicarakan tentang ketampanan Pak Bos.

Syukurnya, aku benar-benar tidak dipecat. Bahkan sampai sebulan setelahnya, aku masih bekerja seperti biasa.

Kudengar Kevin sudah diberi peringatan, tapi dia tidak menyerangku. Kurasa, Pak Bos cukup bijak untuk tidak memberitahu narasumber yang membocorkan tentang kebiasaan buruknya. Efek baiknya, dia mulai berubah. Setidaknya dia tidak pernah lagi membawa perempuan ke kantor.

Tapi bukan berarti semuanya menjadi mudah, karena aku bisa merasakan aura permusuhan yang begitu kental dari Pak Bos. Padahal, kami jarang bersinggungan. Tapi masa setiap kali mata kami bersirobok dia harus mendecak sambil membuang muka? Seolah aku ini binatang menjijikkan saja.

Dhisan Azriel

Sejak memimpikan karyawan baru itu, gue memutuskan untuk menjaga jarak dengannya. Insting gue mengatakan kalau dia berbahaya. Patut dijauhi. Pasalnya, Luna yang sudah bertahun-tahun gue idamkan dalam diam aja nggak pernah menyusup ke mimpi gue. Lah, ini, baru juga berinteraksi beberapa kali, dia udah berani-beraninya bikin gue mimpiin dia. Bahaya banget kan?

Syukurnya, perusahaan gue kebanjiran job sebulan ini. Sibuknya ampun-ampunan. Nggak jarang kami harus membagi tim karena ada dua job yang diadakan di hari yang sama. Perhatian gue jadi teralihkan sepenuhnya untuk fokus pada pekerjaan. Meski tentu saja ... gue kembali memimpikan hari kematian Shila.

Untuk menjaga kewarasan dan stamina, gue berobat rutin ke dokter spesialis kejiwaan yang menangani sejak gue depresi berat waktu itu. Obat itulah yang membuat gue bisa tetap produktif sampai saat ini.

Pukul sebelas pagi, sebangun tidur dan menghabiskan sarapan, gue turun ke bawah. Gue inget Amos bilang kalau hari ini seharusnya ada meeting dengan Gandara Palawi, salah seorang promotor kawakan, yang kerap mendatangkan artis mancanegara. Gandara ini adalah klien-nya Amos, sementara Amos sendiri semalam baru saja mengabarkan kalau dia harus dirawat di rumah sakit karena terserang tipus. Yah, nggak heran sih, load pekerjaan bulan ini memang sedikit keterlaluan.

Mengingat bagaimana responsible-nya sahabat gue itu, gue yakin dia udah mendelegasikan seseorang untuk menangani Gandara-Gandara ini. Paling juga Luna, pikir gue.

Tapi kemudian, gue malah menemukan Luna sedang berjalan gontai memasuki ruangan. Pakaiannya bahkan masih sama dengan yang dikenakannya semalam.

"Darimana, Lun?" tanya gue menyambutnya.

"Dari rumah sakit," jawabnya sembari mengempaskan tubuhnya di sofa. "Nggak ada yang jagain Amos. Tuh anak, nyusahin banget tahu nggak sih. Cari perhatiannya bikin mual. Masa nggak berani liat jarum suntik? Kayak anak kecil aja!"

Gue hanya tertawa kecil menanggapinya. Berusaha keras menutupi kecemburuan yang muncul tanpa diundang. Gue ngerti sih itu cuma akal-akalannya Amos untuk dapetin perhatian Luna. Gue juga kalau di posisinya pasti begitu. Sayangnya, gue nggak bisa ....

"Lho, jadi kalo lo abis dari rumah sakit, siapa dong yang jadi perwakilan kita buat meeting sama Gandara?" Gue berjengit, kala mengingat tentang klien potensial perusahaan gue.

Luna tampak sama horornya dengan gue saat mendengar pertanyaan itu. Matanya membulat penuh, tanda kaget. Jelas Luna terlalu sibuk mengurusi Amos, hingga dia bisa melupakan pekerjaan seperti ini. Entah bagaimana caranya, kekesalan gue menjadi dua kali lipat lebih besar.

"Oh, tadi Sheza yang ke sana, Pak. Jam delapan pagi."

Jawaban Ambar malah membuat kekesalan gue menjadi tiga kali lipat lebih besar. "Sheza? Anak baru itu? Emang dia udah bisa handle klien kakap kayak gini???" Tanpa bisa gue kendalikan, suara gue meninggi. Amber sampai bergidik di mejanya.

Gue tergolong jarang bicara kalau bukan urusan penting. Wajar kalau Amber sampai kaget mendengar suara tinggi gue. Tapi bukan itu masalahnya. Tapi Sheza. Berani-beraninya anak ingusan kayak dia ambil risiko sebesar ini?

Baru saja gue akan meminta Ambar untuk menghubungi perempuan itu, sosoknya tiba-tiba muncul di depan pintu.

Senyumnya mendadak hilang begitu melihat raut kemarahan di wajah gue.

"Masuk ke ruangan meeting. Sekarang!"

Perintah itu dipatuhinya dengan berjalan takut-takut mengekor tubuh gue. Sesampainya di dalam ruangan, gue langsung menggebrak meja. "Siapa yang suruh kamu handle Gandara???"

Tubuh mungilnya melompat mundur saking kagetnya. Tapi itu nggak mengurangi emosi gue yang sudah di ubun-ubun. Gandara ini bukan klien sembarangan. Dia adalah promotor musik terbesar di negeri ini. Untuk bisa me-lobby-nya saja, perusahaan butuh waktu setahun. Bagaimana kalau kesempatan emas ini justru rusak hanya karena kesalahan anak baru dalam mempresentasikan kualitas perusahaan?

"Jawab saya!!!" hardikku, karena dia bukannya menjawab, malah tampak kebingungan.

"B-bang Amos, Pak," katanya terbata.

"Kamu tahu nggak sih kalau perusahaan ini punya hirearki jabatan? Dan kamu tahu nggak sih, meski kamu anak buahnya Amos, bukan berarti kamu langsung dianggap layak untuk meng-handle pekerjaan dia???"

"Ta-tapi saya berangkat atas perintah Bang Amos, Pak."

"Ya namanya juga orang sakit. Dia bisa aja ngasal. Kamu mestinya konfirmasi ke orang yang lebih senior dong? Masa kayak gini aja mesti diajarin sih? Sekarang gimana coba hasilnya? Apa coba yang bisa lo laporkan? Ha???"

Menelan ludahnya kasar, cewek itu beringsut maju dan menyerahkan membuka laptop yang sedari tadi didekapnya.

"Deal. Di harga segini, Pak."

Gue mengambil alih laptop dengan kasar. Mengusap-usap touchpad untuk membaca lembaran demi lembaran kertas di dalamnya, sebelum akhirnya terbelalak saat menemukan angka-angka yang tertera di sana.

"B-Bang Amos bilang angkanya cocok kok, Pak! Kalau dihitung secara cost standar kita, ini justru menguntungkan banget."

Gue memandang tampang ketakutannya dengan dahi penuh kernyitan. Gue masih nggak habis pikir, gimana bisa dia menaklukkah klien kakap seperti ini? Terlebih, dengan negosiasi harga yang sebagus ini? Tapi sepertinya dia salah menafsirkan arti sikap gue, karena dia mencicit lagi. "Tadi saya udah konfirmasi ke Bang Amos dulu sebelum mereka minta dibikinin kontrak, Pak."

"Kalau harganya segini, permintaan mereka pasti macem-macem. Kamu yakin kita bisa penuhi semua?"

Menjadi lebih rileks, dia mendekat demi beringsut maju untuk menggeser-geser halaman menggunakan touchpad, hingga sampai pada halaman yang berisi tentang permintaan khusus klien. "Kita kebagian untuk handle The Colabs Six, band asal Irlandia yang sedang naik daun, Pak. Kebetulan saya udah pelajari permintaan-permintaan khusus mereka. Dan kayaknya kita bisa penuhi semuanya. Tempat penjualan marchendise, lokasi outdoor, kapasitas penonton, bahkan ruang khusus untuk artis dan crew, semuanya sudah saya catat dengan cermat. Beberapa perintilan lain mungkin akan menyusul. Tapi-" Dia mendadak bungkam saat mendapati mata gue nggak bisa berhenti memandanginya.

"Tapi kamu nggak yakin?" Gue mencoba mencoba untuk menantang.

"Yakin, Pak!" jawabnya mantap.

"Kalau begitu kamu yang akan jadi Project Manager untuk Konser The Colabs Six."

"A-apa?"

"Di bawah bimbingan saya, tentunya. Laporkan semua perkembangan untuk project ini, langsung ke saya."

"B-baik, Pak."

Ragu-ragu, dia meminta kembali laptop dari gue, sebelum akhirnya keluar dari ruangan meeting. Di saat itu pulalah gue baru bisa mengembuskan napas panjang.

Gila! Nggak pernah-pernahnya gue harus menahan napas hanya karena seorang cewek berdiri sambil mengoceh dari jarak yang begitu dekat.

Well yah, mungkin karena gue masih takjub atas kesuksesannya menaklukkan Gandara.

Nggak mungkin juga karena gue tertarik sama dia kan?

**



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro