[Sebelas]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dhisan Azriel

"Maaf, semua salah saya."

Itu adalah kalimat terakhir yang gue ucapkan sebelum menggandeng Sheza keluar dari ruang meeting Gandara Project. Sekilas, gue sempat melihat gimana tajamnya tatapan Luna saat melihat semua yang gue lakukan ke Sheza. Tapi sumpah demi apapun, bukan itu maksud gue menyusul. Gue emang berniat membuat Luna membenci gue, tapi bukan dengan melibatkan orang lain, termasuk Sheza. Gue emang pengecut, tapi gue bukan pecundang.

Gue menyusul semata-mata karena gue merasa bersalah.

Gue merasa bersalah karena nggak mendampingi Si Anak Kucing, gue juga merasa bersalah karena nggak membimbing dengan total. Gue merasa bersalah karena seenaknya nunjuk dia jadi Project Manager tanpa persetujuannya, dan gue juga merasa bersalah karena ... gue menganggap dia sebagai anak kucing.

Sekarang kita berdua udah terkurung di dalam mobil gue. Gue berencana untuk mengantarkan Si Anak Kucing pulang saja, biar dia beristirahat dulu setelah melewati meeting yang memusingkan hari ini.

Baru aja gue mau minta Amos untuk share location tempat tinggal Sheza lewat whatsapp, cewek di samping gue membuat perhatian gue teralihkan dengan suara bersitan hidungnya. Sisa-sisa tangisnya ternyata masih ada.

Well ya, dia kan bukan anak kucing. Dia manusia biasa yang punya perasaan. Nggak bisa melakukan apa-apa di meeting tadi pasti melukai harga dirinya. Kesadaran itu pula yang akhirnya membuat gue batal mengirim pesan pada Amos, memilih fokus pada cewek rapuh di sebelah gue.

Belum sempat memikirkan cara menghibur dengan tepat, Sheza lebih dulu menyerang gue. "Sudah berapa lama Bapak di sana? Bapak pasti melihat semua hal memalukan yang sudah saya lakukan kan?"

Gue mengembus napas pendek. "Cukup lama untuk tahu kalau kamu nggak melakukan hal yang memalukan sama sekali."

Dia tertawa sinis. "Nggak memalukan gimana? Saya bahkan nggak bisa menjawab hal-hal mendasar semacam target audience, masa yang cocok untuk penjualan tiket, strategi penjualan, strategi Pre-Order Ticket, Promosi yang sesuai, dan ... entahlah yang lainnya. Saya bahkan nggak sempat merinci ulang lagi," ringisnya diiringi setetes air mata yang kembali meluncur membasahi sebelah pipinya.

"Kamu nggak bisa menjawab? Atau kamu nggak punya kesempatan untuk menjawab?" tanya gue memastikan. Karena dari apa yang gue lihat, Luna selalu mendahului Sheza untuk memberi jawaban di tengah-tengah forum saat di meeting tadi. Seolah sengaja nggak memberi kesempatan untuk Sheza unjuk kemampuan.

Dia hanya mengedikkan bahu. Seolah ingin menyatakan bahwa apapun alasannya nggak jadi masalah sekarang ini, toh, semuanya udah berlalu.

Seperti yang gue bilang sebelumnya, ini memang salah gue. Gue yang menempatkan cewek ingusan ini di situasi sulit seperti tadi. Selain pengetahuan dan pengalamannya masih minim, mentalnya juga mungkin belum cukup kuat. Meskipun bisa menjawab dan memberi pendapat, mungkin dia belum cukup percaya diri untuk mengutarakannya. Untuk itu gue merasa perlu melakukan sesuatu untuk menebus kesalahan gue. Gue harus bisa mengembalikan kepercayaan dirinya yang anjlok.

Alih-alih mengantar pulang, gue akhirnya membawa Sheza untuk bertemu dengan Tante Gaby. Tante Gaby merupakan salah seorang sahabat karib Mama. Seorang sosialita yang memiliki jaringan spa house exclusive yang tersebar beberapa titik di Ibu kota. Mama menjadi salah seorang pelanggan tetapnya. Beliau merupakan klien pertama yang memercayakan event-nya pada perusahaan gue.

Awalnya gue paham Tante Gaby hanya memilih Giant Organizer hanya untuk menghargai persahabatannya dengan Mama. Dia ingin ikut memberi support pada gue, anak sahabatnya, yang terpuruk banget waktu itu.

Siapa sangka, hasil pekerjaan tim gue ternyata melampaui ekspektasi beliau. Hingga akhirnya perusahaan gue selalu dipercaya untuk mengerjakan semua event penting wanita bersuamikan ekspatriat itu.

"Untuk meningkatkan engagement dengan para pelanggan VIP, Tante Gaby secara rutin bikin acara afternoon tea di kediamannya. Dan, Giant Organizer telah menjadi penyelenggara tetap kegiatan kaum sosialita tersebut," terang gue pada Sheza.

"Afternoon tea? Apa itu semacam acara minum teh kayak yang sering ada di film-film kerajaan Inggris itu?" tanya cewek di samping gue, mulai menunjukkan antusiasmenya.

"Yes! At least, 3 bulan sekali Tante Gaby pasti bikin acara afternoon tea. And, yes, konsep acaranya persis seperti yang kamu tonton di film-film kerjaan Inggris itu. Ini sebenarnya bukan pekerjaan sulit karena nggak melibatkan terlalu banyak audience. Tapi ini juga bukan pekerjaan mudah, karena Tante Gaby jelas punya standar khusus."

Sheza mengangguk-angguk kecil, sepertinya dia mulai memahami tantangan yang akan gue berikan kali ini.

"Untuk sejenak, kamu bisa lupain semua tanggungjawab tentang Konser The Colab Six, karena sekarang kamu saya tugaskan untuk menjadi Project Manajer acara Afternoon Tea-nya Tante Gaby," tegas gue.

Mata bulat Sheza membeliak, "Tapi—"

"Saya tahu maaf aja nggak cukup untuk menebus kesalahan saya. Untuk itu, biarkan saya bertanggungjawab, Za. Saya ingin mengembalikan rasa kepercayaan dirimu. Kamu pasti bisa menangani event ini dengan baik."

**





Sheza Widyadinata

"Itu dia yang menjadi kelebihan sekaligus kekurangannya Pak Bos, Za. Dia itu sensitif banget. Gampang banget ngerasa bersalah, dan selalu merasa perlu bertanggungjawab untuk semua hal yang dianggapnya sebagai kesalahan yang diperbuatnya." Begitu komentar Ambar setelah kuceritakan bagaimana hancurnya performaku di rapat perdana bersama Gandara dan Pak Bos yang tiba-tiba muncul untuk minta maaf hingga ujung-ujungnya menunjukku sebagai Project Manajer Afternoon Tea untuk Tante Gaby demi menebus rasa bersalahnya.

"Pak Bos bilang gue pasti bisa nge-handle acara Afternoon Tea-nya Tante Gaby dengan sukses. Yang mana kesuksesan itu nantinya bakal bikin kepercayaan diri gue kembali naik," kuulang kalimat yang diungkapkan Pak Bos sore tadi.

"Meski kesannya agak ketus, Pak Bos sebenarnya cinta kedamaian dan doyan banget mengalah bahkan sampai merugikan dirinya sendiri, ya nggak sih?" Ambar kembali memberi komentar. "Lo liat aja deh, dia bahkan rela menghukum dirinya demi menebus rasa bersalah."

Mendengar penuturan Ambar, aku segera teringat alasan yang membuat Pak Dhisan harus terpenjara di dunianya sendiri. Karena merasa bersalah telah membuat tunangannya bunuh diri, dia merasa perlu menebusnya dengan mengasingkan diri dari dunia luar. Tak ayal kenyataan itu membuat perasaanku menjadi terenyuh, memikirkan betapa sepinya hidup Pak Bos.

"Gue curiganya nih, Pak Bos juga lagi dalam misi menebus rasa bersalah juga ke sahabat-sahabatnya. Makanya doi sendirian mulu belakangan ini," ujar Ambar lagi. "Gue paling tahulah gimana hubungan Pak Bos sama Mbak Luna sejak dulu. Mereka tuh kayak lagunya tulus yang sepatu, selalu bersama tak bisa bersatu. Lo tahu sendiri kan, kenapa nggak bisa bersatu? Karena ada Bang Amos yang juga suka sama Mbak Luna. Nah, sebelumnya nggak pernah tuh, gue ngeliat Pak Bos punya masalah sama Mbak Luna. Mereka pasti selalu berada di kubu yang sama. Sekalinya berbeda kubu, Pak Bos pasti selalu mengalah sama Mbak Luna dan mereka bakal berada di satu kubu lagi. Baru kali ini, nih, gue liat Pak Bos bertahan berseberangan kubu sama Mbak Luna. Curiganya, si Pak Bos sengaja ... biar Bang Amos punya kesempatan untuk merebut hati Mbak Luna."

Refleks kepalaku mengarah pada tangga yang tadi baru dilewati Pak Bos untuk menuju area privacy-nya. Kalau dugaan Ambar benar, pria itu pasti semakin merasa sepi dan sendiri.

"Kenapa Pak Bos nggak perjuangkan cintanya ke Mbak Luna aja sih?" lirihku. Ikut prihatin atas kisah cinta Pak Bos yang nggak pernah berakhir mulus.

"Kalau dari cerita Bu Kirana sih, Pak Bos merasa nggak pantas untuk siapapun karena selalu membuat pasangannya tertimpa sial bahkan meninggal dunia. Dia bahkan merasa dirinya berbakat menjadi kutukan bagi pasangannya."

Aku mencebik tak sependapat. "Yang bener aja! Mana ada tuh kutukan-kutukan begitu? Emangnya kita hidup di zaman penyihir?"

"Percaya atau enggak, Pak Bos bener-bener ngerasa dirinya adalah sebuah kutukan, Za. Dia bahkan nggak pernah tidur lelap sama sekali, tahu? Kalau kata Bang Amos, sih, sampai sekarang Pak Bos masih selalu dihantui mantan tunangannya itu lewat mimpi buruk. Berat banget nggak sih, hidup kayak gitu? Jelas-jelas sudah berbeda alam, tapi Pak Bos seolah-olah nggak diizinkan untuk hidup tenang."

Sungguh, jika yang dikatakan Ambar benar adanya, aku benar-benar ingin melakukan sesuatu untuk membuat hidup Pak Bos lebih tenang. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro