[Sepuluh]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dhisan Azriel

Karena dia mirip anak kucing yang baru menemukan majikan. Kalau dulu dia persis anak kucing terlantar, sekarang dia persis anak kucing yang baru menemukan majikan. That's it.

Berulang kali gue meyakinkan diri bahwa satu-satunya alasan yang membuat gue lancang menyentuh pipi Sheza semata-mata karena dia mirip anak kucing. Intinya, dia hanya seperti seekor binatang imut dan perlu dikasihani.

Tapi anak kucing mana yang blushing waktu pipinya disentuh, Goblok?

Ya, gerutuan itu pula yang seketika mengantam segala pembelaan yang gue buat di dalam benak. Sumpah, gue bener-bener takut anak kucing yang satu itu salah mengartikan sikap gue. Ck!

"Mungkin lo perlu konsul ke Mbak Merisa lagi, San? Udah berapa lama sejak terakhir kali lo konsul?" Amos menyebutkan nama ahli kejiwaan yang menangani gue sejak pertama kali didiagnosis mengalami mental issue. "Lo uring-uringan banget dari tadi."

"Kalau lo nggak mau ngeliat gue uring-uringan mestinya lo bersedia mendampingi Sheza meeting dong, Mos!" Kalau dengan Luna gue mencoba menghindar, dengan Amos gue merasa bebas berinteraksi. Toh, gue melakukan semua kegilaan ini untuk membantunya mendapatkan Luna.

"Kenapa bukan lo sendiri yang dampingin Sheza? Kan, lo sendiri yang menawarkan diri jadi mentornya dia," jawab Amos enteng sembari mengabadikan sandwich dan susu yang bakal kami santap sebagai sarapan dalam bentuk foto melalui kamera ponselnya. "Sheza ribet amat dah, sarapan bareng lo pake minta difotoin segala," dumalnya pelan.

Informasi singkatnya membuat gue merutuk dalam hati; "Sempat-sempatnya tuh anak masih inget tugas dari Mama. Padahal dia kan seharusnya fokus ke urusan Gandara."

Gue akhirnya berdecak kesal, mengakui kelemahan gue supaya Amos mau mengalah. "Lo tahu ini bukan sekadar meeting internal. Ada pihak ticketing juga yang bakal join. Udah pasti rame banget situasinya. Gue belum punya nyali untuk muncul sebagai spotlight di keramaian, Mos."

Selama ini pun, gue hanyalah orang di balik layar. Gue yang akan mengecek semua proposal dan memberi segala masukan yang diperlukan sebelum tim gue yang bergerak menemui klien. Kalaupun harus bertemu klien, biasanya gue muncul di saat meeting internal yang hanya melibatkan orang-orang udah gue kenal. Sementara untuk memastikan project berjalan sesuai rencana atau sekadar mengevaluasi, gue biasanya menyamar dengan hoody dan masker di keramaian. Yes, gue emang sepengecut itu.

"Sheza balesnya pakai emote lega yang lebay banget lagi, nih," Amos tertawa sembari memandangi layar ponselnya. "Kenapa sih nih anak ribet banget urusan makan lo segala? Ditugasin nyokap lo jadi intel ya?"

Gue hanya mendengkus, tapi sepertinya Amos memahami arti bahasa tubuh gue.

"Gue semakin yakin untuk nggak nyusulin Sheza," ujar Amos semakin mantap.

"Kenapa gitu?"

"Karena gue merasa ini saatnya lo untuk dipaksa keluar dari zona nyaman lo, San. Kalau lo beneran khawatir Sheza bikin masalah, ya lo susulin sendiri, dong!"

"Anda benar-benar sahabat dan partner yang super ... bangsat!" desis gue penuh penghayatan.

Amos malah terkekeh. "Sekadar mengingatkan, gue dan Luna sampai berhenti dari pekerjaan lama demi merintis bisnis ini dengan elo, San. Kalau sampai project ini gagal dan reputasi perusahaan kita jelek di mata klien, gue harap lo bertanggungjawab atas masa depan gue dan Luna, dua sahabat sekaligus partner terbaik lo."

"Anjing!"

Sementara gue mengabsen nama-nama binatang lainnya, Amos tampak semakin berbahagia dengan tawanya yang menggelegar. Sesekali dia bakal mencomot sandwich dan menyantapnya tanpa merasa bersalah telah memojokkan gue sedemikian rupa. Sialan memang.

"You know what, gue memang sedang berusaha untuk ngebuat lo dan Luna membenci gue, sebenci-bencinya. Jadi, biar aja semua bisnis kita kacau. Dengan begitu lo berdua bakal meninggalkan gue sendiri. Dan, kalian bebas memulai lembaran baru. So. Gue. Nggak. Bakal. Nyusulin. Sheza! Puas lo?" usai memberi penegasan, gue comot sepotong sandwich dan mengunyahnya dengan gigitan super besar.

Sheza Widyadinata

"Za, ngaku deh," Mbak Melissa menyikut lenganku. "Lo apain Pak Bos? Santet? Guna-guna? Berguru ke siapa lo?"

Aku hanya mendelik jengah, Mbak Melissa malah tertawa terbahak. Sejak usai rapat semalam, hampir semua kru di Giant Organizer mengira aku telah melakukan sesuatu kepada Pak Bos demi mendapatkan posisi sebagai Project Manager Konser The Colabs Six. Padahal, jangankan mereka, aku sendiri masih susah menerima keputusan besar Pak Bos ini. Aku merasa masih kurang pengalaman dan kurang kompeten dibandingkan rekan lainnya.

"Masalahnya, Dhisan yang gue kenal selama ini nggak semudah itu percaya sama seseorang. Jangankan untuk event gede begini, untuk event kecil-kecilan aja biasanya dia bakal selektif banget milih SDM yang terlibat. Nah ini, acara artis Internasional, lho! Gue masih nggak habis pikir aja dia bisa percaya ke lo sebegitunya! Ini aja si Pak Bos nggak ikutan meeting, masa? Seolah-olah dia percaya banget lo bisa handle semuanya sen—" suara ocehan Mbak Melissa terputus. Bola matanya melebar saat memandangi satu titik di balik tubuhku. Sesuatu yang sepertinya menjadi alasan ocehannya harus terputus.

Segera kuikuti arah pandangnya, dan mendapati dua orang yang kukenal memasuki ruang meeting, tepat melalui pintu ruangan yang berada di balik tubuhku. Kami memang sudah berada di kantor Gandara Project saat ini, nama perusahaan Pak Gandara. Ruang meeting terbesar dengan kapasitas 100 orang ini sudah diisi hampir setengahnya. Sungguh, persiapan rapat kali ini bukan main-main.

Sesuai konsultasi dengan Pak Bos semalam, aku yang menjadi perwakilan kantor untuk hadir di rapat ini, didampingi oleh Mbak Melissa selaku art director. Tak kusangka, Pak Bos ternyata menambahkan personil lain pada detik-detik terakhir. Tanpa berdiskusi denganku.

"Or maybe ... gue terlalu cepat mengambil kesimpulan." Mbak Melissa meralat pendapatnya sendiri. "Dhisan emang nggak mungkin sepercaya itu sama lo. Ternyata dia masih waras. Atau lebih tepatnya, dia tahu siapa yang harus dipercaya untuk event sebesar ini."

Aku tidak pernah terlalu dekat dengan Mbak Melissa sebelumnya. Dari Ambar kudengar pegawai yang paling blak-blakan di kantor adalah perempuan berambut ash brown yang sedari tadi mengoceh di sampingku ini. Tidak jarang dia lebih mementingkan apa yang ada di kepalanya dan mengungkapkannya begitu saja tanpa memikirkan perasaan orang lain.

Seperti saat ini, misalnya. Kalimat terakhirnya sukses membuatku semakin insecure. "Dia tahu siapa yang harus dipercaya untuk event sebesar ini" kata Mbak Melissa. Sudah jelas orang yang dimaksudnya adalah orang yang baru saja memasuki ruangan dan duduk di sampingku. Luna Timothie. Yang sedang didampingi oleh Kang Yayan.

Melihat siapa yang dibawanya, aku segera menambahkan daftar kebodohanku untuk hari ini. Selain art director, seharusnya aku juga melibatkan public relations dan show officer pada meeting kali ini.

"Gue pikir yang bermasalah cuma Dhisan, doang. Nggak tahunya lo juga! Lo bahkan nggak tahu hal basic seperti siapa-siapa aja yang seharusnya dibawa ke meeting." Aku tidak pernah menyangka, Luna yang selalu kuagung-agungkan ternyata bisa berbicara dengan nada menyebalkan begini. Kepadaku, pula.

Bingung harus merespons seperti apa, aku diam saja. Dan, dia memanfaatkan kesempatan itu untuk semakin mencecarku. "Gue bisa paham kenapa Dhisan membuat kekacauan. Kita emang lagi ada masalah, dan dia yang nggak punya siapa-siapa nggak punya pilihan selain melampiaskannya pada kerjaan. Gue bisa paham. Tapi lo? Emangnya lo nggak cukup tahu diri untuk sadar kalau di sini bukan tempat lo?"

Andai saja aku benar-benar kompeten di bidang ini, aku pasti sudah akan membalasnya. Please, ini bukan sinetron. Dan aku bukan protagonis yang lemah dan bisa diinjak-injak harga dirinya. Meski aku mengagumi Mbak Luna selama ini, bukan berarti aku rela direndahkan seperti ini. Masalahnya, aku sendiri tidak cukup yakin kemampuanku bisa melampaui wanita ini. Jadi apa yang bisa kulakukan selain diam?

Masih syukur aku masih bisa duduk dan mengikuti rangkaian meeting yang memusingkan kepala ini dengan kepala tegak. Sesekali terbersit di benakku untuk menunjukkan kebolehan dengan memberi pendapat dan masukan untuk setiap topik yang dibahas. Namun, apa daya aku ternyata tidak sehebat itu untuk bisa merealisasikan niat sok hebat ini. Yang ada aku hanya bisa mengetuk-ngetukkan ujung pena ke pelipis, sesekali membuat gerakan bodoh yang membuat beberapa helai rambutku tersangkut pada cantelan pena.

Hingga ketika meeting usai, aku baru sadar ternyata belum mengucapkan sepatah katapun. Mbak Luna mengambil alih fungsiku sepenuhnya. Layaknya seorang PR andal, dia bahkan berinteraksi dengan seluruh peserta meeting pada ruangan itu. Menunjukkan betapa luasnya jaringannya serta betapa mudahnya dia bergaul dengan semua orang. Sementara aku ... diam-diam merutuki diriku sendiri sembari menyusun semua perlengkapanku. Bergegas untuk menghilang dari tempat ni.

Harapanku hanya satu, agar hari ini bisa membenamkan diri dalam selimutku yang hangat secepatnya dan tertidur pulas. Berharap besok aku bisa bangun dengan semangat baru dan mulai membenahi kekacauanku.

Tapi sepertinya harapanku terlalu muluk-muluk. Baru saja kupikir telah berhasil menyelinap di antara keramaian orang. Seseorang menahan pergelangan tanganku di dekat pintu keluar. Seseorang dengan jaket hoody berwarna hitam yang tertutup hingga ujung kepalanya.

Aku hampir saja memekik kaget dan mengira sedang dipegang oleh seorang penjahat sampai menemukan wajah pemilik hoody ternyata seseorang yang kukenal dengan baik. Pak Bos. Dhisan Azriel.

"Ck! Kamu payah. Udah saya bilang kan, jangan melakukan hal bodoh di depan promotor," ujarnya pelan. Sebelah tangannya kemudian terjulur menuju pipiku, lalu mengusapnya pelan, persis seperti yang dilakukannya semalam. "Kamu mencoret pipimu sendiri. Lagi."

Entah karena kesal melihat kehadirannya yang terlambat, atau karena lega ada seseorang yang menganggapku ada, airmataku tiba-tiba menetes tanpa sempat menggenang.

Dia melihatnya, sekali lagi dia mengusap pipiku. Lalu dengan suara lirih dia berkata. "Maaf. Semua salah saya."

🍃🍃

Kmrn2 sempat pasrah aja kl gada yg baca lg saking lamanya absen, eh, ternyata masih pada setiaaa...
❤❤
makaciii yaaa...

Aku ga balas satu per satu tp percayalah aku baca semua karena komen kalian itu mood booster bgt 🥰🥰

Aku segera tancap gass nii demi kelean...
😘😘

Jgn lupa vote dan comment Bapak EO ganteng ini yaa 😘😘
Makaciii

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro