[Sembilan]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sheza Widyadinata

Hari ini, ada dua hal menegangkan yang harus kuhadapi.

Pertama: ini adalah kali pertamaku untuk memonitor isi kulkas Pak Bos. Terdengar sepele, kalau saja kulkas yang harus kumonitor bukan milik Dhisan Azriel. Pria yang memantangkan orang lain untuk memasuki area privacy-nya.

Sudah semalaman aku memikirkan cara terbaik untuk melakukan pekerjaan sepele ini, namun belum ada jawaban yang cukup aman untuk dilakukan. Kalau bukan karena sosok Bu Kirana mengingatkanku pada sosok seorang Ibu yang selalu kurindukan, mungkin sudah kutolak mentah-mentah pekerjaan tambahan tidak masuk akal ini.

"Kenapa bukan lo aja sih, Mbar? Lo kan lebih udah lebih kenal Pak Bos?" dumalku di hadapan Ambar yang sibuk memperbanyak berkas-berkas berisi bahan meeting hari ini di mesin fotocopy.

"Sorry banget, Za. Gue bukannya nggak mau bantuin lo! Masalahnya, gue udah pernah punya pengalaman buruk sebelumnya," tolaknya tanpa melepas fokus dari berkas-berkas yang digelutinya.

"Bisa seburuk apa sih, ngontrol isi kulkas doang?"

"Nggak bakal buruk kalau Pak Bos beneran makan teratur. Buruk banget kalau dia mogok makan. Kejadiannya waktu itu isi kulkasnya utuh, gue ngelapor ke Nyonya Besar. Nyonya besar auto-naik-tensi. Masuk rumah sakit. Alhasil, Pak Bos menyindir gue di sepanjang minggu itu. Menurutnya sikap gue sukses mencelakakan nyokapnya." Ambar memasang ekspresi tak berdaya. "Padahal gue cuma mengerjakan sesuai perintah."

Bulu kudukku refleks meremang. "Setelah mengalami pengalaman buruk gitu, tega lo menumbalkan gue?"

Ambar meletakkan berkas-berkasnya di atas meja, mengusap-usap kedua sisi lenganku. "Entah mengapa gue punya firasat, dengan lo semuanya bakal berbeda," ujarnya penuh kepercayaan diri.

Well, syukurlah kepercayaan diri Ambar tidak sepenuhnya salah.

Setengah jam setelah pembicaraan dengan Ambar usai. Aku bekerja layaknya intel untuk mencari waktu yang paling tepat untuk mengendap ke lantai dua. Dan, kesempatan itu akhirnya kutemukan saat mendengar suara percikan air dari kamar mandi Pak Bos. Saat dia sedang mandi, aku buru-buru mengambil ponsel untuk mengabadikan isi lemari es dan tong sampahnya cepat-cepat, lalu kembali ke lantai dasar dengan kecepatan kilat.

Bersama Ambar aku memeriksa foto yang kuabadikan dan membuat analisis sederhana yang setidaknya berhasil membuatku mengembuskan napas lega.

"Lo aman. At least, Pak Bos nggak skip makan." Ambar menyimpulkan setelah melihat kemasan telur, selada, tomat dan bahan masakan lainnya yang sudah koyak dan berkurang. Juga tong sampah yang penuh dengan berkas-bekas sisa bahan masakan.

Berhubung hal menegangkan pertama terlewati dengan begitu mudah, perasaanku dengan cepat menyimpulkan kalau hal menegangkan berikutnya pun akan berakhir mulus. Setidaknya hingga waktu rapat tiba dan semua anggota tim masuk ke dalam ruangan rapat, semuanya terlihat aman sejahtera. Karena ... ya! Hal menegangkan kedua yang kuhadapi adalah: Melihat ketiga pendiri perusahaan yang terlibat dalam cinta segitiga duduk bersama paska perang dingin.

Bang Amos sibuk dengan laptop, Pak Dhisan membolak-balik bahan meeting, Mbak Luna berdiskusi dengan Kana, dan yang lainnya dengan kesibukan masing-masing. Suasana memang terasa canggung, tapi setidaknya ketiga pendiri perusahaan ini bisa berkepala dingin untuk mengesampingkan urusan pribadi.

"Project kita selanjutnya mungkin bakal jadi project terbesar yang kita tangani, karena kali ini kita bukan sekadar megang acaranya seorang Diva. Melainkan musisi Internasional. The Colab Six. Thanks to Sheza yang udah berhasil dapet approve dari Gandara untuk kita bisa megang project ini." Bang Amos yang akhirnya membuka rapat. Kalimat pembuka yang diucapkannya sukses membuatku dihadiahi tepuk tangan yang riuh dari peserta meeting lainnya.

Jadi seperti ini rasanya tersanjung. Aku yakin pipiku merona merah karena terasa menghangat. Diam-diam kuperhatikan Pak Bos juga ikut menyunggingkan senyum tipis. Sepertinya hari ini ketakutanku terlalu berlebihan.

"As you all can see, ini adalah konsep yang udah disepakati di meeting perdana kemaren. Ukuran sound system, lighting, vanue, panggung dan tetek bengek lainnya, persis seperti proposal yang gue ajuin." Bang Amos membolak-balik copy bahan meeting yang sudah disiapkan Ambar. "Ya, paling kita perlu penyempurnaan dan eksekusi yang pas nantinya. Untuk itu mari kita bahas dari yang paling mendasar....," Bang Amos mengarahkan laser pointer-nya pada layar proyektor yang kini menampilkan nama-nama Person In Charge (PIC) giat akbar yang akan kami tangani, "Project Manager ... Sheza Widyadinata?"

Bersamaan dengan namaku terlafalkan dengan nada penuh keraguan oleh Bang Amos, semua mata peserta rapat kontan mengarah kepadaku. Bisa kupastikan sorot pandangan mereka pun mengandung keraguan. Sumpah, aku jadi bingung harus bereaksi seperti apa. Masalahnya, aku juga tidak cukup percaya diri untuk memegang project sebesar ini.

"Yes, Sheza Widyadinata. Gue yang memilih." Kali ini semua mata mengarah pada arah suara. Pak Dhisan.

"Kalau boleh kita tahu alasannya?" tanya Bang Amos.

"Why not? Dia yang berhasil nge-deal-in Pak Gandara kan?" Pak Bos balas bertanya.

"Well, cuma karena dia berhasil nge-deal-in project ini, bukan berarti dia cukup kompeten untuk nge-lead dong, San." Mbak Luna buka suara. Nada protesnya diiringi dengan sorot mata tajam menghunjam Pak Bos. Entah mengapa aku merasa sorot mata sekejam itu terlalu berlebihan jika hanya untuk membahas siapa yang seharusnya menjadi project manager. Besar kemungkinan sorot mata itu sekaligus pelampiasan amarah yang tertahan selama beberapa hari. "Lo tahu gimana ribetnya kerjaan ini, dan betapa besar tanggung jawabnya. Nama perusahaan kita dipertaruhkan di sini, San. Kita-kita yang udah lama bergelut di dunia ini aja rentan melakukan kesalahan, apalagi kalau dipegang orang baru kayak Sheza."

"Gue harus setuju dengan Luna, San." Bang Amos memberi pendapat. "Masalahnya, Sheza bahkan mungkin belum bisa ngebuat daftar risiko dan mitigasi, planning and forecasting skill, gimana cara meyakinkan klien atas cost dan budgeting yang kita tawarin, belum lagi ngebuat opsi-opsi pilihan jika keadaan nggak sesuai dengan yang direncanakan."

"Apakah semua itu masih akan jadi masalah ... kalau gue sendiri yang akan mentorin Sheza?" Pertanyaan Pak Bos sukses membungkam Bang Amos dan Mbak Luna.

Lalu, semua mata kembali mengarah kepadaku. Menghujam tajam.





Dhisan Azriel

Gue baru tahu kalau gue bisa bikin kacau banget kalau lagi nggak fokus. Dan, sayangnya terlalu terlambat untuk menyesali.

Gue beneran milih Sheza jadi project manager, dong? Shit!

Dengan embel-embel, gue sendiri yang akan mentorin dia langsung? Double shit!

Gila apa bodoh, coba? Oh iya, gue lupa kalau gue memang gila sekaligus bodoh. Kombinasi yang ngebuat gue berurusan dengan ahli kejiwaan dan terkurung di sangkar emas ini, bukan begitu?

Coba gue ingat-ingat lagi, sebenarnya apa sih yang ngebuat gue ngotot memihak Sheza?

Well, tadi pagi gue emang sempat mengintip aksi cewek ingusan itu mengendap-endap ke area privacy gue. Dan, harus gue akui kalau dia sama sekali nggak punya bakat jadi Intel. Entah kenapa Mama bisa memilih dia untuk mengawasi gue. Kalau bukan karena peringatan Mama sejak awal, mungkin udah gue pecat tuh cewek. Berani-beraninya bikin keributan di dapur gue?

Iya, keributan.

Mau motoin isi kulkas dan tong sampah gue aja pake acara nyenggol teflon dan nabrak galon kosong segala. Gimana gue nggak tiba-tiba panik dan mendongakkan kepala keluar pintu kamar mandi, coba?

Nah, mungkin di situ dia alasan pertama yang bikin gue merasa perlu memihak Sheza. Dia kelihatan kayak lagi ketakutan banget selama beredar di dapur gue. Gerakannya ragu-ragu dan raut wajahnya panik. Ngebenerin posisi galon aja sampai gagal tiga kali. Saking paniknya. Persis kayak pertama kali gue bentak abis muntah di toilet gue dulu. Tampangnya nggak jauh beda dengan anak kucing yang ketakutan abis denger suara geledek.

Intinya ... gue tiba-tiba kasian aja gitu.

Lalu, ketika di meja rapat gue mendapati tatapan tajam Luna, entah mengapa gue merasa harus membuatnya lebih membenci gue. Apalagi, kali ini ada Amos di pihaknya. Berdua mereka menentang gue. Rasanya tepat banget. Meski harus dibayar dengan mempertaruhkan nama baik perusahaan gue di tangan seorang pegawai ingusan.

"Pak...?"

"Sorry, sorry ... kamu bilang apa tadi?" Sumpah, gue masih susah percaya kalau sekarang gue sedang membimbing cewek yang paling gue hindari di kantor ini demi menyelamatkan percintaan kedua sahabat gue. Gue cuma bisa berharap cewek ini nggak bakal muncul di mimpi gue lagi malam ini.

Ruang meeting sudah kosong sekarang. Meninggalkan gue dan Sheza berdua. Nggak ada yang bisa membantah lagi saat gue memutuskan untuk menjadi mentor Sheza secara langsung. Jadi sekarang, gue harus menanggungjawabi keputusan gue dengan membimbing kerja Sheza memimpin project besar ini.

"Kalau sesuai schedule, besok pihak promotor bakal meeting dengan pihak ticketing untuk menyiapkan design dan tanggal penjualan tiket, Pak," ujar Sheza. Pena telah disiapkan di ujung jarinya, ditempatkan tepat di atas sebelah telapak tangannya menopang sebuah buku agenda. Sungguh konvensional. Tapi, usahanya untuk mencatat setiap detail pekerjaan patut diacungi jempol.

"Menurut kamu apa yang harus kita dengan informasi itu?" tantang gue. Nggak lupa menyorotnya tajam, mengintimidasi.

Menghindari tatapan gue, bola matanya memutar ke langit-langit ruangan. Pena diarahkannya menuju pelipis, melakukan gerakan memutar hingga beberapa helai rambutnya terperangkap di antara alat tulis bertinta hitam itu, lalu menjawab, "Mungkin kita harus libatkan Mbak Melissa juga, Pak? Selaku art director, akan mempermudah Mbak Mellisa untuk menyesuaikan design promosi dan mematangkan konsep show art nanti."

Tanpa sadar tawa sinis lolos dari bibir gue. Jawabannya tepat sekali, ternyata dia cukup pintar. Tapi bukan itu yang ngebuat gue pingin ngetawain dia. Melainkan kebodohannya saat memainkan pena sukses menodai wajahnya. Ada satu goresan bertinta hitam yang melintang di pipi kirinya sekarang.

"Pastikan kamu nggak ngelakuin hal bodoh ini di depan promotor besok," ujar gue sinis.

"Hal ... bodoh?"

Gue mendorong kursi gue ke sebelah wanita itu, mengikis jarak. Lalu menunjuk pipinya. "Hal bodoh semacam mencoret pipi sendiri."

Entah mendapat ilham darimana, tangan gue bergerak sendiri menuju pipi yang agak chubby itu, lalu mengusap bekas tinta yang melintang di sana. Gue baru aja pengin menarik kembali tangan gue dan mengutuk kebodohan ini saat mendapati pipi Sheza kontan merona merah dan matanya menyorot gue takjub.

🍃🍃


Yang lama mandeg akhirnya muncul lagi idenya...

😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro