duapuluh 7 : [ketemu jin]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Author's POV

Andrico dan Laura sudah pulang ke rumah. Kondisi Laura pun sudah membaik semenjak di infus. Namun Laura tak ingin ditinggal sendirian sehingga Andrico tidak bisa pergi kemana-mana.

'Tring tring tring'

Andrico mendapatkan telpon dari Revan. Karena melihat Revan menelponnya, Andrico pun mengangkatnya.

"Halo Revan? Ada apa?" tanya Andrico pada sekretaris mudanya itu

"Halo Pak, maaf menganggu. Ini sama client dari Jaya Angkasa, dia minta Bapak langsung yang menghandle. Dan meeting kita jam tiga hari ini Pak." Jelas Revan pada Andrico yang menepuk jidatnya.

Jaya Angkasa memang spesialisnya, karena CEO di sana kurang percaya dengan sekretaris dan ingin direktur sendiri yang turun tangan. Andrico menatap Laura yang sedang memeluknya cemas. Laura bisa menangis terisak-isak jika tidak menemukannya dimana-mana nanti.

"Reschedule aja Van. Hubungin pihak sana, Laura enggak bisa saya tinggal." Ucap Andrico menyuruh Revan untuk menjadwalkan kembali pertemuan mereka dengan Jaya Angkasa.

"Pak, kalau reschedule bisa sih. Cuma schedule Bapak udah penuh banget. Mau di ganti nanti malah keteteran Pak." Jawab Revan pada Andrico yang pusing harus bagaimana.

"Bawa aja kalau gitu Lauranya ke kantor Pak. Tidurin di ruang Bapak. Biar saya yang jaga, kalau nangis Bapak bisa lihat sebentar. Ruang meetingnya yang di lantai kita aja Pak." Andrico berdecak kagum. Kenapa ia tak memikirkan ide seperti itu.

Tak sia-sia Andrico mempekerjakan Andrico dengan gaji yang tinggi. Kinerjanya pun tak bisa disepelekan. Walaupun Revan ini telah membuat anaknya menangis, namun Andrico tak bisa mencampurkan urusan pribadinya dengan urusan kantor. Andrico mencoba profesional juga selama ini.

"Ya sudah, jam satu saya ke kantor buat persiapan meeting. Kamu siapkan semua ya, saya enggak mau ada yang ketinggalan." Suruh Andrico sambil mematikan telponnya.

Andrico menatap wajah sayu anak gadis satu-satunya itu. Ia membelai dan mengelus wajah Laura dengan sayang. Tak menyangka Laura sudah melewati masa pubernya yang membingungkan.

Anaknya dibesarkan tanpa sosok ibu, karena saat kecil ibu Laura sudah pergi terlebih dahulu. Andrico yang dulu belum seperti sekarang, pontang-panting mencarikannya susu. Saat sakit, Andrico harus berkerja ekstra keras namun juga harus menjaga Laura.

Kehilangan ibu Laura dulu, merupakan awal kehancuran hidup Andrico. Lauralah yang menyelamatkan dia. Sejak kecil hingga saat ini, Laura tidak bisa ditinggal kalau sedang demam. Hanya demam saja, yang lain Laura tak mempermasalahkan sibuknya Andrico.

"Jangan sakit-sakit dong, Laura. Papa 'kan jadi sedih," lirih Andrico sambil terus mengusap wajah anaknya.

Laura bergerak sedikit, untuk masuk ke dalam pelukan Andrico. Andrico yang melihat anaknya persis seperti anak kucing yang ingin dimanja pun tersenyum senang. Andrico lantas memeluk Laura dengan erat dan ikut tidur bersama anaknya.

"Kamu kalau udah punya pacar, awas aja engga mau lagi Papa peluk. Nanti pacarnya Papa usir!" ancam Andrico sambil mempererat pelukan.

Pagi itu mereka habiskan dengan kepanikan dan rasa syukur karena masih memiliki satu sama lain.

****

Laura's POV

Gue bangun dari tidur dengan kepala yang hampir pecah rasanya. Berat banget buat buka mata doang. Tapi kudu gue paksa supaya gue bangun. Dan akhirnya gue bangun.

Gue lihat sekitar dan ternyata bukan kamar gue, melainkan kamar istirahat bokap gue di kantor. Berarti gue ada di kantor bokap. Gue jalan ke luar kamar. Dan ternyata ada Revan di sana lagi megangin laptop.

Udah lama banget enggak ketemu Revan. Semenjak kejadian dia nyuruh Pangeran buat jadi musuh gue.

Sekarang kalo ditanya, gue masih sebel enggak sama dia. Jawabannya itu enggak, tapi gue bener-bener muak abis sama dia. Gue perhatiin ini jelmaan setengah demit setengah jin lagi serius banget. Gue tutup lagi dah itu pintu.

Gue baring di sofa yang ada di ruang bokap. Kepala gue masih berat, walaupun udah mendingan dari tadi pagi.

'Tok tok tok'

"Masuk!" gue teriak aja karena enggak ada tenaga mau buka mata ataupun jalan ke pintu. Gue yakin juga kalau itu tuh Revan.

Bener aja, Revan masuk ke dalam ruangan dan tersenyum tipis sambil natap gue. Gue lihat juga, dia bawa makanan. Dia duduk di depan gue, terus bukain semua makanan yang dia bawa.

"Kamu udah mendingan?" suara Revan udah lama banget gak gue dengerin. Suaranya bagus, tapi sayang akhlaknya engga.

"Menurut lo?" gue sama sekali gak bisa baik karena masih sakit hati. Lagi-lagi doi cuma senyum simpul doang. Ga perduli juga sih, mau dia tersinggung juga.

"Yaudah, kamu makan ya. Abis itu minum obat. Obatnya ada di meja kerja Pak Andrico. Mau aku ambilin?" Revan sungguh baik, namun kelakuannya di belakang gue sungguh seperti jin.

"Gak usah, gue bisa sendiri!" lagi-lagi gue sewot. Kayanya bentar lagi si Revan ngibarin bendera putih dah. Gak kuat melawan pesona Laura.

Gue sibuk makan karena emang gue laper. Gue juga udah mulai vit karena makanan-makanan di depan ini.

Gue pikir dia udah pergi dari depan gue, karena gue kacangin. Ternyata dia dari tadi merhatiin gue makan. Sambil senyum lagi, dia pikir dia bagus banget begitu?

"Napa lo ngeliatin gue?" tanya gue sinis. Revan malah ketawa tipis-tipis. Gue masih ngegigit ayam dengan emosi.

"Kalo enggak dilihatin, pas keselek nanti siapa yang kasih minum?" idih, bagus dia sok akrab begitu ama gue.

"Gak usah sok akrab. Gue sama lo udah selesai Revan!" gue mendadak bikin suasana canggung. Udah canggung doi malah diem anjrit! Bukannya pergi kek biar gak canggung lagi.

"Sorry, Ra. Aku emang salah waktu itu. Aku terlalu cemburu sama Pangeran karena dia deket banget sama kamu," gue enggak mau dengerin penjelasan Revan karena menurut gue percuma.

Dia bakalan ngelakuin hal yang sama berulang lagi, karena dia enggak begitu satu kali aja. Oke kalau misalnya urusan gue, dia dan Pangeran udah selesai. Coba kalo ada Pangeran lainnya di luar sana?

Apa gak kelimpungan gue? Revan ini cowok posesif dan gue enggak suka dikekang. Emang gue kerbau apa kudu di kandang-kandang.

"Gue maafin lo, Revan. Karena Tuhan aja maha pemaaf, masa gue manusia enggak maafin manusia lainnya."

GUE BERASA BIJAK BANGET GA SIH? FIX PAPA TADI BAWA GUE KE DOKTER MANA? GUE MAU DI INFUS LAGI BIAR JADI BENER.

Balik lagi ke suasana sedih untuk menghormati Revan yang sedih. Karena gue enggak sedih. Gue baik 'kan?

"Tapi gue enggak mau dengerin apa pun penjelasan lo, karena apa? Karena gue pengin egois aja sekali ini,"

Gue ngelanjutin perkataan gue yang sempat gue tunda. Biar drama aja gitu kesannya. Biar gue enggak kelihatam jahat juga karena enggak sedih hehehe.

Revan nunduk, mungkin merasa bersalah. Abis itu dia ngelihatin gue, tatapannya bener-bener mohon. Gue natap dia bingung. Maunya ini anak apaan coba.

"Gue maafin lo, beneran. Kita temenan. Tapi buat gue jadi suka lagi atau ngagumin lo lagi, kayanya engga bisa lagi." Gue kaya ketakutan gitu, jadi ngomongnya cepet. Serius gue takut kalo tiba-tiba diculik Revan abis di tatap begitu.

Gue denger Revan ngembusin napasnya panjang. Mungkin dia sudah pasrah? Gue juga enggak tahu.

"Boleh aku buat ngambil hati kamu lagi kaya dulu, walaupun susah. Aku cuma mau minta izin doang, kok...."

"Enggak, gue udah cukup sama manusia kaya lo."

****

Baru sadar kayanya aku ga pernah nulis note yaa kalo disini?

Happy reading, jangan lupa untuk vote dan comment My Handsome Papa ya! ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro