Huruf R di Ponsel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Setumpuk baju berserakan di atas kasur. Aku tak ambil peduli dan masih mematut diri di depan cermin. Tangan kananku memegang kemeja berwarna biru. Sementara tangan kiriku memegang floral midi dress.

Aku ingin terkesan anggun tapi juga tidak mau terlihat seperti orang yang polos. Tinggal dua baju ini yang bisa menjadi pilihanku. Bukan, tinggal dua baju inilah yang layak kupakai untuk hari ini.

Suara ketukan pintu, membuatku menoleh. Panggilan Rumi membuat aku melempar dua baju ke tumpukan baju yang sudah menggunung.

"Kenapa?" tanyaku ketika membuka pintu. Aku hanya mengeluarkan kepalaku dari balik pintu.

Rumi sedikit terkejut melihat keopalaku yang tiba-tiba muncul. Dia hany amenutup mulutnya dengan kedua tangan. Sama sekali tidak keluar umpatan dari mulutnya.

"Eh, Rumi pikir Riani udah siap."

Aku melihat Rumi sekali lagi. Dia mengenakan kaus putih biasa dipadukan dengan rok midi cokelat dengan potongan semi span bermotif kotak-kotak. Perempuan itu menambahkan cardigan berwarna senada dengan rok yang dikenakannya supaya atasannya yang berwarna putih tidak terkesan polos. Tidak ketinggalan loafer kulit berwarna cokelat melengkapi penampilan Rumi.

Harus kuakui, kali ini Rumi terlihat cantik. Bukan cuma sekadar manis dan polos seperti biasanya. Kulihat dia juga mengenakan riasan yang cukup rapi.

"Kamu udah rapi?" Tanpa sadar aku malah bertanya setelah memperhatikan dari atas ke bawah.

Rumi mengangguk. "Kamu juga, kan? Ayo, kita jalan."

Ajakan Rumi justru membuatku teringat bahwa aku hanya mengenakan kamisol tipis dan celana dalam saat ini.

"Tunggu sebentar." Aku menutup pintu dan menguncinya.

Kuambil sembarang baju yang terdekat. Aku tidak memiliki waktu lagi untuk memilih dan menimbang outfit. Beruntung aku sudah mengenakan riasan, sehingga bisa mengikis waktu.

"Ayo!" kataku begitu membuka pintu.

Rumi sepertinya baru saja menutup panggilan, melihatku dari atas ke bawah. Persis seperti apa yang kulakukan sebelumnya. "Riani yakin mau berangkat kayak gitu?"

Mendengar pertanyaan Rumi aku mematung dan memperhatikan pakaian yang kukenakan. Rasanya tidak ada yang salah. Slevelees shirt putih yang kututupi dengan kemeja size XL rasanya cukup normal dipadukan dengan ripped jeans.

"Udahlah, ayo kita berangkat!"

***

Ternyata kami berdua memang terlambat. Saat kami turun dari taksi online, kulihat Firda dan Samira melambaikan tangan. Sementara Adhit yang mengenakan kaos polo hanya tersenyum di belakang mereka berdua.

Aku jadi merasa bersalah sekaligus bodoh. Bodoh karena aku banyak menghabiskan waktu untuk mengosongkan lemari. Dalam arti yang sebenarnya. Isi lemariku sekarang kosong melompong. Semuanya bertumpuk di atas ranjang.

Aku mengeleng-gelengkan kepala, mengenyahkan pikiranku soal kamar yang berantakan.

"Riani sakit?" tanya Rumi.

"Eh, Nggak, kok. Cuma antusias aja. Ini pertama kalinya masuk Trans Studio."

"Kalau gitu kita sama. Rumi juga baru kali ini pertama kali ke Trans Studio."

Aku dan Rumi sama- sama tersenyum.

"Kalian kok telat, sih?" keluh Firda begitu kami berdua tiba di dekat mereka.

Aku memasang wajah memelas seketika. "Duh, maaf ya. Kita berdua terlambat."

"Nggak apa-apa!" kata Adhit mendekati kami. "Kita bertiga juga nggak nunggu lama kok."

Aku mengamati Adhit. Meski ini bukan kali pertama melihatnya mengenakan pakaian kasual, aku tetap tidak bisa untuk tidak terpukau. Mungkin karena sekrang aku melihatnya di tempat terang dan bukan di waktu temaram.

"Kalau gitu, kita langsung masuk aja, yuk!"

Kami berempat mengikuti Adhit yang lebih dulu melangkah.

***

"Eh, mau nanya atuh?" tanya Samira sambil mencolek lenganku. Tepat saat kami sudah di dalam Trans Studio.

Aku yang sedang memperhatikan suasana di dalam taman bermain itu menoleh. Sedikit kesal karena perhatianku harus terganggu.

"Tanya apaan?"

"Pak Adhit itu punya pacar ya?"

Aku terdiam. Pertanyaan Samira membuatku tidak bisa berkata-kata. Apa maksud dari pertanyaan perempuan di sebelah kananku ini.

"Pacar?" Aku mengulang lagi info yang cukup penting ini. "Bukannya dia masih sendiri, ya?"

Aku mencoba mengingat lagi hasil pencarianku selama ini. Selama aku mencari informasi dari karyawan lain yang sudah lama mengenal Adhit, laki-laki itu dikenal tidak memiliki hubungan spesial. Menurut HRD lainnya, statusnya juga belum menikah.

"Iya, kan? Saya juga tahunya Pak Adhit itu masih sendiri. Kalau udah punya pacar, ngapain coba ngajakin kita berempat ke sini. Kan harga tiketnya lumayan." Samira memaparkan analisisnya.

Aku juga sependapat dengan pemikiran Samira. Tidak mungkin dia mengajak kami untuk menghabiskan waktu liburan kalau dia punya orang spesial.

"Tapi, kok, kamu bisa kepikiran kalau Pak Adhit punya pacar?"

Samira tak segera menjawab. Firda memanggil kami berdua untuk mengikutinya.

Rupanya selama kami mengobrol, tiga orang lainnya sudah lebih dulu berjalan menuju salah satu wahana yang paling terkenal dan menjadi ikon dari taman bermain ini. Racing Coaster.

Antrean untuk wahana yang cukup terkenal ini sudah mengular. Kami berlima ikutan mengantre dengan memberi jarak, sesuai anjuran.

Aku menoel punggung Samira yang mengantre di depanku. Perempuan itu menoleh dan menaikkan alisnya, ekspresi bertanya.

"Pertanyaanku belum dijawab, Mira!" jelasku, "kamu kok bisa bilang kalau Pak Adhit punya pacar."

Samira melihat sekeliling kami. Terutama memastikan Rumi dan Firda tidak bisa mendengar apa yang akan dia ucapkan.

"Tadi tuh, Pak Adhit yang udah sampai duluan di depan mall. Waktu saya sama Firda samperin, saya lihat Pak Adhit lagi lihat hp." Samira menjeda kalimatnya."Nah, pas itu saya sempet lihat layar teleponnya. Di layar kelihatan ada inisial huruf gitu. R dan A. trus ada latar lope-lopenya."

Jadi wallpaper ponselnya Adhit itu inisial huruf. Huruf yang ada di sana adalah huruf R dan A. Huruf A pasti untuk Adhit. Kalau huruf R ... apa itu Ri a ni. Apa itu untukku?

Tanpa sadar aku tersenyum. Ternyata Adhit mengingatku. Kalau tidak, mana mungkin dia mau mencantumkan huruf R sebagai wallpaper ponselnya.

Aku terus saja melamun tanpa sadar kalau ternyata sudah berada sampai di pintu naik wahana.

"Hati-hati naiknya, Teh." Karyawan taman bermain yang menjaga Racing Coaster memperingatiku. Kalimatnya membuatku kembali ke kenyataan.

Hatiku mencelos saat menyadari ternyata aku harus duduk sendirian. Aku baru sadar kami datang berlima. Pasti ada salah satu yang duduk sendirian. Berhubung aku di antrean paling belakang di antara kami, akulah yang duduk sendirian itu. Kulihat Samira sudah duduk berdampingan dengan Firda. Sementara itu, Adhit duduk bersebelahana dengan Rumi. Kulihat wajah Rumi tampak memerah.

"Ada penumpang yang naik sendirian?" tanya si penjaga wahana ke arah antrean saat menyadari masih ada satu kursi kosong. Kursi di sebelahku.

Seorang penumpang lainnya mengangkat tangan. Aku tidak bisa melihat siapa yang mengangkat tangan itu.

"Sok, Kang. Maju, Kang. Ada yang kosong satu."

Penumpang itu kemudian maju menerobos antrean. Penumpang yang mengantre di depannya memberi jalan. Sebagian besar mereka memang sudah berpasangan.

Si penumpang sendirian berjalan ke arah kereta. Ternyata dia laki-laki yang memakai topi dan kacamata. Masker hitam yang dikenakannya membuatku tidak bisa melihat wajahnya lebih detail.

"Wah, si Akang sama tetehnya serasi," celetuk si penjaga yang sedang memastikan sabuk pengaman kami sudah terpasang sempurna.

Seketika aku menengok ke sebelahku. Laki-laki di sebelahku rupanya mengenakan kaos putih yang dilapisi kemeja kotak-kotak. Terlalu serupa denganku. Yang membedakan hanya warna kemeja kami. Aku mengenakan warna merah, sementara laki-laki itu mengenakan kemeja motif kotak-kotak berwarna hijau.

Sial! Aku malah kembaran outfit sama orang asing! 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro