Keceplosan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Belum pulang, Capt?"

Aku mendongak dan melihat asisten chef menyapa. Dia berdiri di depan pintu sambil bersandar. Aku tersenyum ringan.

"Belum, masih harus mastiin buat besok."

Perempuan yang mengenakan chef jacket warna putih itu mendekatiku. Dia melihat kertas yang kucorat-coret sedari tadi.

"Ini udah ACC Pak Tama?"

Aku menggeleng. "Ini udah kedua kalinya rancanganku dicoret."

Perempuan itu tertawa. "Kayaknya Pak Tama keras banget sama kamu," ujarnya.

"Nggak tahu deh, Chef." Aku malas menanggapi pembicaraan soal Pak Tama. Sejak terkahir kali aku ditegur, dia juga sama sekali belum menampakkan wajahnya di depanku. Aku mulai merapikan kertas-kertas itu.

"Eits, jangan panggil, chef. Nanti Chef Singgih cemberut," tolak Chef Kurnia lembut.

"Idih, udah tua baper. Chef Kurnia kan tetap aja chef walaupun secara posisi cuma asisten. Udah ya, aku pulang dulu."

"Pulang sendiri?"

Aku mengangguk. Jam tanganku sudah menunjukkan waktu jam delapan malam. Rumi sudah pulang sejak sore. Aku menyuruhnya pulang duluan. Tidak mungkin aku menyuruhnya menungguku.

"Mau pulang bareng saya?"

Aku menatap perempuan yang kuperkirakan usianya sama dengan Mbak Reisya. Perempuan yang masih sendiri itu menyilangkan kedua tangannya.

"Nggaklah, Chef. Saya nggak enak sama pacar Chef Kurnia. Nanti yang ada saya malah jadi nyamuk," kataku menolak halus.

Chef Kurnia tertawa mendengar alasanku. "Ngeledek kamu."

Aku mengabaikan tawanya dan gegas keluar. Kutinggalkan Chef Kurnia yang masih tertawa. Dia melambaikan tangan dan tak kubalas.

Aku melihat sekeliling. Beberapa tamu masih berlalu-lalang. Kuarahkan kaki menuju lobi. Sekalipun terlihat ramai, aku menghindari keluar hotel lewat parkiran basement. Tempat itu terlalu gelap untuk dilewati di malam hari.

"Malam, Bu!"

Aku tersenyum dan mengangguk. Greeter itu membukakan pintu untukku.

Aku mengintip ke belakang sekali lagi. Berharap Adhit belum pulang, jadi bisa pulang bersama. Kalau itu sampai terjadi, pasti bakalan jadi sebuah kebetulan yang ajaib.

Namun, harapan tinggal harapan. Aku sama sekali tidak menemukan sosok berkacamata yang selalu tersenyum. Mana mungkin dia masih di hotel, pasti sudah pulang sejak sore.

Baru saja aku membuka aplikasi angkutan daring ketika suara klakson berbunyi. Aku menengok ke arah asal suara. Sebuah mobil SUV berwarna titanium tampak mendekat. Segera aku menggeser kaki untuk memberi jalan.

Mobil yang kusangka milik tamu itu ternyata berhenti tepat di sebelahku. Ketika jendela diturunkan, aku bisa melihat seraut wajah yang cukup menyebalkan untukku. Pak Tama.

"Kamu baru pulang?"

Aku mengangguk. "Iya, Pak."

"Sendirian?"

Aku menjawabnya dengan senyuman.

Sebetulnya aku heran, kenapa setiap mau pulang dari hotel, pasti aja pertanyaannya selalu seperti ini? Apakah sendiri untuk seorang perempuan itu aneh?

"Kamu sendirian?" tanya Pak Tama sekali lagi.

Aku baru ingat, laki-laki yang sedang berada di belakang kemudi ini harus selalu mendapatkan jawaban, meskipun hanya iya atau tidak.

"Iya, Pak. Sendirian. Temen saya udah pada pulang semua."

Aku berharap tanya jawab di depan gerbang seperti ini cepat selesai. Supaya aku bisa segera memesan taksi online atau ojek online dan segera cepat berbaring di kasur.

"Saya antar. Masuk!"

Eh? Dia bilang apa? Masuk? Antar?

"Nggak usah, Pak. Ngerepotin," tolakku seketika.

"Cepet naik!"

Baru saja kau menyuarakan penolakanku, suara klason membuatku berpaling. Kulihat di belakang mobil Pak Tama ada sebuah mobil yang mau keluar.

"Cepat, naik. Sebelum mobil di belakang bunyiin klakson lagi."

Aku mengembuskan napas lelah. Mau tak mau aku segera membuka pintu penumpang di kursi depan. Belum sempat aku memasang sabuk pengaman, Pak Tama sudah melajukan mobil.

"Kamu pulang ke mana?" tanya Pak Tama.

Aku lihat pandangannya lurus ke depan. Dia sama sekali tidak menoleh ketika bertanya.

"Saya turun di depan aja, Pak."

"Kamu udah duduk di sebelah saya, berarti saya antar sampai tujuan kamu."

"Tapi, Pak...."

"Ke mana?"

Aku diam tak menjawab. Seperti biasa, atasanku yang satu ini paling tidak bisa dibantah.

"Saya nggak mungkin kan harus muter-muter kota Bandung?"

Aku memutar bola mata mendengar nada bicaranya yang mulai menyindir.

"Rumah Teduh, Pak," jawabku singkat.

"Apa?"

"Rumah Teduh. Itu nama kosan tempat saya tinggal."

Pak Tama diam tak menjawab apapun. Aku melirik dan memperhatikan dia mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya. Tepat di perempatan, Pak Tama mengetikkan nama kosanku pada kolom pencarian map.

***

"Kamu ngekos di Bandung?"

Aku menoleh menatap Pak Tama. Laki-laki itu terlihat serius melihat ke arah jalanan.

"Iya, Pak." Aku menjawab seadanya. Lagipula mungkin dia hanya berusaha untuk berbasa-basi. Daripada saling diam-diaman.

"Berarti kamu jauh dari orangtua?"

Aku mendelik. Lah, kalau aku tinggal bareng orangtua, nggak mungkin ngekos dong. Pertanyaannya aneh, deh.

"Iya, Pak." Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Sepertinya jauh lebih aman melihat jalanan dibanding harus memperhatikan sopir sekaligus atasanku.

"Kenapa?"

"Eh? Kenapa apanya, Pak?"

"Kenapa kamu milih jauh dari orangtua?" Pak Tama memperjelas pertanyaannya.

Pertanyaan itu malah membuatku mengingat Adhit. Tanpa sadar aku tersenyum.

"Bukannya jawab pertanyaan saya, kamu malah senyum-senyum."

Senyumku menghilang mendengar sindiran Pak Tama. Dasar atasan rese! Nggak bisa lihat anak buahnya happy dikit.

"Ya, nggak apa-apa, Pak. Lagipula saya juga bukan anak kecil yang harus stay terus sama orangtua, kan?"

"Kamu kan emang anak kecil."

Kudengar gumaman lirih Pak Tama. Aku langsung mencebik. Sepertinya dia malah tidak sadar bahwa kalimatnya terdengar olehku.

"Orangtua kamu ngizinin kamu kerja di luar kota?" tanya Pak Tama. Kali ini suaranya memang jelas, bukan sekadar gumaman lagi.

"Demi cinta pertama, Pak," ujarku tanpa pikir panjang.

Tiba-tiba mobil berhenti mendadak. Aku langsung menutup mulut dengan tangan kanan. Aku melirik Pak Tama sekilas. Laki-laki itu tampak tenang sambil membunyikan klakson.

Ini si Bos kenapa sih? Kok ngerem ngedadak.

Aku mengikuti arah tatapannya. Seorang laki-laki paruh baya menggendong anak kecil yang kuperkirakan berusia empat tahun. Laki-laki itu lalu menepi dan menganggukan kepala. Pak Tama kemudian melajukan kembali mobilnya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya.

Aku diam tak menjawab. Bersyukur Pak Tama hanya menanyakan kondisiku. Aku baru sadar kalau tadi aku menjawab tanpa berpikir panjang.

Saat aku menoleh, aku melihat ujung bibirnya tertarik. Apakah dia sedang tersenyum? Apa dia mendengar jawabanku soal cinta pertama?

Menghilangkan malu, aku mengeluarkan ponsel. Kukirim pesan kepada Rumi. Mengabarkan aku sedang dalam perjalanan pulang.

"Itu gelang kamu ...."

Aku menunggu Pak Tama menyelesaikan kalimatnya. Namun, laki-laki itu hanya diam. Terlihat tidak berniat untuk melanjutkan kalimatnya yang menggantung.

"Kenapa, Pak? tanyaku pada akhirnya. Ak penasaran juga alasan Pak Tama tiba-tiba mengungkit masalah gelangku.

"Nggak jadi."

Aku membulatkan mata mendengar jawaban Pak Tama yang terlihat tidak acuh. Aku yakin dia tadi menyebutkan kata gelang. Apa yang dia maksud gelang makrame ini?

"Tadi Bapak mau nanyain soal gelang ini?" Aku mengangkat pergelangan tanganku. Sengaja aku memperlihatkan gelang itu dengan jelas.

"Saya bilang, kan nggak jadi."

"Bagus, ya, Pak? Ini saya bikin sendiri loh!"

Pak Tama tak menjawab perkataanku. Padahal tadi dia yang mulai membahas soal gelang.

Aku menghela napas dan memperhatikan gelang yang selalu kukenakan.

"Itu gelang pasangan," kata Pak Tama setelah terdiam cukup lama.

Aku terkejut Pak Tama tahu soal gelang pasangan.


"Iya, Pak. Kok Bapak tahu?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro