Luka itu ...

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku kembali mengintip arlojiku. Sudah waktunya pulang sejak lima belas menit yang lalu. Tapi aku masih bertahan di sini. Di depan pintu lift yang ada di parkiran basement. Seharusnya Rumi sudah keluar dari tadi, tapi rupanya ada sedikit masalah pembukuan yang membuat dia masih harus bertahan di kantornya.

Sementara itu, Firda dan Samira sudah lebih dulu pulang. Aku tidak bisa meninggalkan Rumi begitu saja. Apalagi kami memang sudah merencanakan untuk mampir sebentar di minimarket untuk membeli beberapa keperluan.

Rumi

[Riani masih nunggu?]

Riani Putri

[Masih]

[kamu masih lama?]

Rumi

[kayaknya sih gitu.]

[kalau mau pulang duluan, gpp kok.]

[Rumi nggak enak bikin Riani nuggu]

[nunggu]

Aku hanya membalas dengan sebuah stiker bergambar kucing mengirimkan ciuman. Rumi juga tidak membalas lagi. Sepertinya supervisornya sudah kembali menerornya dengan kerjaan.

"Eh, kamu belum pulang?"

Aku menengok ke arah suara. Tanpa sadar senyumku mengembang. Rasanya ini seperti sebuah kebetulan yang disengaja ... oleh Tuhan.

"Belum, Kak," jawabku sambil merapikan anak rambut ke belakang telinga.

Adhit melangkah mendekat. Dia menyampirkan sebuah tas ransel berwarna cokelat.

"Kak Adhit baru pulang?"

Adhit menjawab dengan anggukan. Kulihat sebagian rambut depannya basah.

"Kamu sendiri, emang baru kelaur dari restoran?"

"Oh, nggak. Saya lagi nunggu teman. Tadi janjian bareng, tapi dia masih ditahan di kantornya."

"Siapa?" tanya Adhit penasaran.

"Rumi. Anak akunting."

Adhit terlihat menganggukan kepala. Kemudian mengeluarkan pnsel. Kulihat dia membuka ponsel dan aplikasi perpesanan. Tidak mau ketahuan kalau aku kepo, aku mengalihkan pandangan.

Siapa sih, yang dikirimi pesan? Apa orang rumahnya? Apa Tante Maya? Akhirnya aku ingat nama ibunya setelah membaca buku harian. Apa aku tanya kabar soal Tante Maya, ya?

"Di Bandung kamu tinggal di mana?" tanya Adhit sebelum aku sempat bersuara.

"Eh, tinggal?"

"Iya. Menurut CV kan kamu asli dari Depok. Sekarang di Bandung, kamu tinggal di mana? Bareng sodara?"

"Oh, nggak. Kak. Saya ngekos," jawabku.

"Dimana?"

"Di Rumah Teduh. Bareng sama Rumi."

Adhit terdiam mendengar jawabanku.

"Kamu ngekos bareng Rumi?"

Aku mengangguk. "Iya, Kak. Nggak satu kamar sih. Kita tetanggan kamar."

"Oh, pantas pulangnya bar ...."

"Pak Adhit!"

Kalimat Adhit terpotong karena ada yang memanggilnya. Kami berdua sama-sama menoleh ke sumber suara. Kulihat satpam hotel berlari-lari menuju kami.

"Ada apa, Pak?" tanya Adhit begitu satpam sudah di dekat kami dengan napas yang ngos-ngosan.

"Ada tamu ...." Satpam tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena masih mengatur napas.

"Iya?" tanya Adhit dengan sabar.

"Tamu minta casan."

"Hah?" Baik aku dan Adhit sama-sama ternganga mendengarnya.

"Casan?" tanya Adhit balik.

"Iya. casan." Satpam membenarkan sambil mengusap keringat.

"Casan untuk apa?"

Aku masih mendengarkan dua orang itu berbincang. Meski aku sendiri tidak memahami apa yang sedang dibicarakan.

Casan? Maksudnya charger, kan? Yang buat isi ulang baterai itu. Rasanya charger ponsel hampir semua orang punya, kenapa harus repot-repot ke satpam hotel?

"Kamu kan tinggal hubungi Chief aja. Kuncinya kan sama dia."

"Chief lagi nggak bisa dihubungi, Pak."

"Kemana?"

"Lagi ngurusin gondola, katanya, Pak."

Sebenarnya aku merasa tidak nyaman mendengar pembicaraan keduanya. Aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Apa hubungannya charger dengan dengan Chief? Dan siapa juga Chief yang dimaksud mereka? Aku merasa mulai roaming di tengah pembicaraan ini.

"Riani, bentar, ya. Saya tinggal dulu."

Adhit langsung berlari masuk ke dalam. Aku yang ditinggal tidak bisa berkomentar apa-apa. Padahal tadinya aku berniat untuk pamit pulang duluan saja.

"Sore, Bu Riani!" sapa satpam.

Aku hanya tersenyum kaku membalas sapaannya. Apalagi kulihat dia mulai tersenyum jahil.

"Pulangnya bareng Pak Adhit, Bu."

Waduh, jangan-jangan satpam ini termasuk lambe hotel. Apa nanti bakal ada gosip soal aku dan Adhit?

"Cuma kebetulan ketemu di depan lift, Pak," jawabku otomatis.

"Sekalian pulang bareng juga nggak apa-apa, Bu. Kan sama-sama masih single," celetuk satpam lagi masih dengan senyum jahil yang sama.

Aku memalingkan wajah. Jengah dengan celetukannya yang menurutku berlebihan.

"Pak!" panggil Adhit menyelamatkanku dari kebersamaan konyol dengan satpam. "Ini kuncinya."

Satpam itu segera menyongsong Adhit. Mau tak mau aku ikut mengekori.

"Bapak yang bantu," ajak satpam itu.

"Loj, kok saya?" tanya Adhit.

"Ya, kan saya nggak ngerti sama yang begituan. Biasanya Chief yang ngurusin kalau ada yang mau cas mobil."

Cas mobil? Mobil dicas?

Aku menahan tangan untuk tidak menepuk keningku sendiri. Rupanya mereka sedang membicarakan mobil listrik. Aku baru ingat kalau hotel kami termasuk salah satu yang memiliki layanan charger mobil listrik.

"Ya udah, ayo deh." Adhit melangkah menuju parkiran khusus mobil listrik.

Satpam itu mengikuti Adhit. Aku juga tidak ketinggalan. Aku jadi ikut penasaran cara kerjanya.

"Eh, Riani mau ikut?" tanya Adhit yang menyadari aku mengikutinya.

Aku mengangguk. "Mau lihat gimana prosesnya," jawabku. Aku menahan diri untuk tidak memanggilnya kakak. Terutama di dekat satpam yang kelihatan penasaran dengan hubunganku dan Adhit.

Adhit hanya tersenyum. Laki-laki itu kemudian menggulung lengan kemeja panjangnya. Saat itulah aku melihat sesuatu. Ada sesuatu di lengan Adhit. Seperti bekas luka. Memanjang dari siku sampai pergelangan tangan.

"Luka itu ...?" aku berkata lirih.

Sepertinya perkataanku terdengar karena Adhit berhneti melangkah. Dia malah melihat lengannya.

"Oh, ini? Ini bekas luka waktu sekolah. Makanya saya selalu pakai lengan panjang."

Aku hanya terdiam mendengar penjelasannya. Luka itu ....

***

"Kamu dimana?" tanya Adhit dari seberang telepon.

"Masih di tempat les. Baru mau pulang," aku menjawab santai.

"Lewat jalan mana?"

"Eh, kenapa emangnya? Mau jemput?"aku bergurau.

Lama kutunggu jawaban malah tidak ada suara apapun. Saat aku cek layar ponsel, ternyata panggilan sudah dimatikan.

Aku mengendikkan bahu tak mengerti alasan Adhit meneleponku. Lalu memasukkan ponsel ke dalam tas. Begitu melangkahkan kaki keluar ruangan, suara petir terdengar menggelegar.

Ah, hujan. Aku benci hujan. Aku tidak suka kalau rambutku basah. Wangi hujan juga tidak enak. Selalu bau tanah yang membuat sesak.

Aku mengecek tas ranselku. Mencari payung yang selalu sedia di dalam tas. Namun, sudah mengubek-ubek seluruh sisi, aku tidak menemukan payung itu.

Jangan-jangan ketinggalan di rumah?

"Riani!"

Panggilan itu membuatku menoleh. Menghentikan aktifitasku mencari payung. Di depan gerbang, aku melihat Adhit melambaikan tangan padaku. Dia berdiri di samping sepedanya. Di tangannya ada payungku. Dia segera menghampiriku.

"Ini payungnya."

"Kok bisa sama ada Kak Adhit?"

"Bunda yang suruh. Katanya kamu nggak bawa payung."

"Eh, Kak Adhit lagi di rumah aku?"

Pasti lagi main PS sama Bang Reyhan.

Adhit tidak menjawab. Dia juga mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan menyeka rambutku yang sedikit basah karena kena air hujan.

"Kamu tuh nggak suka sama hujan. Kenapa lupa bawa payung?"

"Namanya juga lupa," jawabku lalu mengambil sapu tangan dari tangannya dan menyeka rambutku sendiri.

"Ya udah, ayo, kita pulang."

Aku mengangguk dan membuka payung. "Jangan naik sepeda. Dituntun aja. Jalanan licin karena hujan."

Baru saja kami mau melangkah, angin bertiup kencang. Sapu tangan Adhit bahkan terbawa angin hingga tersangkut di salah satu pohon yang ada di tempat les.

"Kak Adhit, saputangannya itu," kataku.

"Ya udah biarin aja."

"Ih, jangan. Sayang tau. Ambil, gih."

Adhit menatapku tak percaya. Aku mengangguk dan memelas.

"Kalau nggak mau ambilin, aku aja yang ambil." Aku melangkah menembus hujan. Kuserahkan payung ke tangan Adhit.

"Riani tunggu!"

Adhit menyusulku seketika.

"Udah, aku aja yang ambil. Kamu tunggu di sini."

Tidak butuh waktu lama, Adhit sudah sampai di dahan tepat sapu tangan tersangkut. Aku memperhatikan dari bawah, menatapnya ngeri. Cuaca sedang hujan, batang pohon pasti jadi licin.

Tepat saat Adhit hendak meraih saputangan, suara petir menggelegar. Aku menutup telinga karena kaget. Saat aku membuka mata, aku melihat Adhit sudah jatuh di bawah pohon.

"Kak Adhit!"teriakku.

Sepertinya dia jatuh karena kaget mendengar suarta petir. Sama sepertiku. Begitu aku mendekat, aku melihat darah mengucur dari tangannya.

"Kak Adhit, tangan Kakak!"seruku.

Adhit melihat tangannya. Dia hanya meringis dan tersenyum.

"Cuma luka kecil kok! Nah, ini saputangannya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro