Gempa's POV

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah 11 tahun aku terpisah dari kakak-kakakku. Sekarang umurku sudah menginjak 16 tahun. Kalian bisa tebak kan umur berapa kami mulai berpisah.

Banyak pertanyaan yang bermain-main di dalam benakku. Apa mereka bahagia bersama keluarga baru mereka? Adakah mereka masih mengingatiku? Gimana hidup mereka?

Aku... kangen pada kalian, Kak Hali, Kak Taufan.

.

.

.

Disclaimer : Boboiboy punya Nizam Razak sama Animonsta Studio. Kalo punyaku pasti berantakan jadinya.

Warning : OOC, Typo(s), AU(maybe), some OCs, no pairing, no superpower, no alien, no robot.

Ceritanya ga panjang kok. Mungkin dalam 3 atau 4 chapter gitu.

MY LOST BROTHERS

~> ENJOY <~

.

.

.

Aku menghela napas panjang. Aku tidak bisa berbuat apa. Semua ini sudah ditakdirkan.

Daripada bersedih-sedih gini, mending aku perkenalkan diri. Namaku Boboiboy Gempa. Biasa dipanggil Gempa. Aku anak ketiga daripada kembaranku. Kembaran? Ya, kembaran. Aku punya dua orang kakak yang lahir beberapa menit sebelumku.

Kakak sulungku bernama Halilintar. Boboiboy Halilintar. Selepasnya pula Boboiboy Taufan. Nama yang aneh memang. Tapi ibu bapa kami yang berikan.

Aku dan kakak-kakakku anak yatim-piatu. Mama dan papaku terlibat dalam kemalangan yang meragut nyawa mereka. Sewaktu itu, kami hanya berusia 5 tahun. Belum tahu apa-apa.

Aku.. jadi teringat insiden menyakitkan yang mengubah hidupku dan kakak-kakakku.
____________________________________

Aku bersama Kak Hali dan Kak Taufan bermain-main di dapur rumah. Kami sungguh gembira waktu itu. Kejar-mengejar sambil melempari tepung. Muka Kak Hali dan Kak Taufan penuh dengan tepung.

Tepung ya... Waktu itu, kami bertiga coba membuat kek untuk menyambut anniversary mama sama papa kami. Heheh. Baru berumur 5 tahun sudah bisa membuat kek ya. Kalo keknya jadi, pasti terlihat agak buruk. Mumpung mama dan papa lagi kerja, kami bisa membuat kek sepuasnya.

Kak Taufan yang mulai permainan kejar-mengejar itu. Dia mencolek pipi Kak Hali dengan tepung.

"Hahahaha!"

"Hish, Taufan! Mari sini kau!"

Kak Hali mengejar Kak Taufan. Lantai yang bersih bertukar menjadi kotor akibat tepung-tepung yang dibaling mereka sesama sendiri. Sebelum dapur kelihatan lebih berantakan, aku coba menghentikan mereka. Tapi tiba-tiba Kak Taufan berlari ke arahku dan mencolekkan tepung di pipiku juga.

"Hahahaha! Muka Kak Hali dan Gempa penuh dengan tep- WUAAH! Jangan Kak Hali!" Aku melihat Kak Hali menarik baju Kak Taufan dan terus melumur tepung di mukanya Kak Taufan.

"Hahaha! Sekarang mukamu juga penuh tepung Taufan!" Kak Hali ketawa.

Melihat kedua saudaraku bermain, tanpa sadar aku juga ikut ketawa dan melempari tepung ke Kak Taufan. Lalu aku dan Kak Hali ber-hi-five.

"Hahahahaha! Bagus Gempa!" Kak Hali memujiku.

Kemudian aku dan Kak Hali melihat Kak Taufan cemberut sambil menyilangkan tangan di depan dadanya. Pipinya juga dikembungkan.

"Gak adil! Gempa bekerjasama dengan Kak Hali!" Ucap Kak Taufan.

Mendengar kalimat itu, aku dan Kak Hali tertawa lepas. Sungguh, saat-saat yang berharga bagiku. Sehinggalah pintu rumah kami didobrak oleh jiran sebelah rumah dengan kasar.

"Hali! Taufan! Gempa! Ayo ikuti paman!" Teriak paman itu. Dia mencengkram lengan kami bertiga dengan cepat. Aku, Kak Hali dan Kak Taufan memandang sesama sendiri dengan bingung.

Paman itu memasukkan kami ke dalam mobilnya. Lalu paman menekan pedal gas dengan cepat. Dia membawa kami ke sesuatu tempat dengan kencang.

Penasaran, akhirnya aku bertanya pada paman yang terlihat panik itu, "Kita mau ke mana paman?"

Lalu paman itu membalas dengan cepat, "Kamu akan tahu juga nanti."

Aku terkesiap. Menoleh ke kanan, aku melihat Kak Hali menggedikkan bahunya tak peduli. Ke kiri pula, Kak Taufan yang memasang wajah bingung.

Tak berapa lama kemudian, paman itu menghentikan mobil dan membawa kami keluar dari mobil.

"Rumah sakit?" Kak Hali mengernyitkan keningnya. Kak Taufan pula memiringkan sedikit kepalanya.

"Emangnya, siapa yang sakit paman?" Tanyaku ke paman.

"Ayo, masuk." Tanpa membalas pertanyaanku, paman itu memegang tangan kami dan berjalan ke arah suster. Paman dan suster itu berbincang-bincang sesuatu. Telingaku tidak dengar dengan jelas apa yang dibincangkan mereka karena saiz badan yang terlalu kecil.

Yang kutahu, selepas berjumpa dengan suster itu, aku dan kakak-kakakku dibawa ke sebuah kamar yang di luarnya terdapat beberapa orang yang duduk di kerusi.

Atok juga ada di situ! Tanpa membuang masa, kaki kecilku terus berlari menuju atok dan memeluknya.
"Ah- Gempa! Tunggu!" Aku mendengar teriakan Kak Hali dan Kak Taufan. Aku menolehkan kepalaku ke arah mereka dan melihat mereka menuju ke sini. Dan terus memeluk atok.

"Atok kenapa? Kenapa atok terlihat murung? Tanyaku setelah melihat raut wajah kakekku.

"Apa atok sakit ya?" Kak Taufan juga bertanya. Pikirannya sama sepertiku.

"Atok, kenapa di sini rame orang?" Kak Hali menyoal. Untuk anak sekecil kami, kami memang penasaran tentang sekeliling.

Atok kelihatan gelisah. Kemudian atok mengambil napas panjang, "Hali, Taufan, Gempa. Atok mau beritahu kalian sesuatu."

Kami bertiga tidak berkata apa-apa. Diam, mendengar apa yang hendak diucapkan atok dengan teliti.

Atok mengambil napas lagi. Sebenarnya, ada apa ya?

"Mama dan papa kalian sudah tidak ada."

Tidak ada? Maksudnya? "Bukankah mama sama papa masih di tempat kerja?" Tanyaku dengan nada penasaran.

"Apa maksud atok?" Kak Hali bertanya pula.

Atok membelai kepalaku dan kakak-kakakku yang tertutup topi, kemudian menjawab dengan suara yang lembut,"Maksudnya, mama sama papa kalian sudah tidak ada lagi di dunia ini. Mereka telah selamat pergi ke alam sana."

Mataku melebar. Bukankah alam sana itu...

"Tidak ada lagi? Alam sana?" Ucapan Kak Taufan membuyarkan lamunanku.

"Maksud atok mama dan papa sudah-" Kak Hali menggantung kalimatnya. Tapi, aku sudah tahu apa yang akan Kak Hali ucapkan.

"Iya, Hali. Mama sama papa kalian sudah meninggal dunia."

"APA?! Gak mungkin kan?!" Kak Taufan berteriak. Mataku sudah penuh dengan air mata, begitupun Kak Hali dan Kak Taufan.

Tanpa berkata banyak, aku berlari memasuki kamar yang kutahu tempat mama sama papa berada. Aku melihat mama dan papa baring di atas kasur dengan kain yang menutup tubuh kecuali kepala mereka. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan tangis yang akan keluar tak lama lagi.

"MAMA! PAPA!" Aku mengalihkan kepala ke belakang. Terlihat Kak Taufan yang berlari ke arahku dengan air mata yang mengalir deras. Lalu dipeluknya mama dan papa yang sudah tak berjasad.

"Huhuhuhu! Mama! Papa! Jangan tinggalkan Taufan! Huhuhu! Taufan janji gak akan nakal-nakal lagi! Taufan akan dengar cakap mama sama papa! Taufan akan jadi anak yang baik! Taufan gak akan ngejahilin siapa-siapa! Jangan ninggalkan Taufan! Bangun mama! Papa!" Mendengar Kak Taufan yang meratapi di depan mama dan papa, membuatku semakin menggigit bibir bawahku dengan keras. Aku dapat merasakan darah yang mengalir ke daguku.

Tap

Tap

Tap

Tap

Aku menolehkan kepala dengan air mata yang sudah mengalir di kedua pipiku ke arah belakang. Kak Hali berjalan dengan pelan ke arah kami. Dipipinya juga ada air mata yang mengalir deras.

"Ma. Pa." Gumam Kak Hali.

Aku memeluk tubuh mama dan papa yang tak bernyawa, disertai Kak Hali dan Kak Taufan. Tangisku sudah pecah. Kini aku menangis bersama kakak-kakakku. Padahal ini hari anniversary mama dan papa!

Kami menangis tersedu-sedu. Sehinggalah kami terlalu letih dan tertidur di tepi kasur mama dan papa.

Keesokan harinya, aku tidak ingat apa yang terjadi. Tapi, atok menceritakan pada aku dan kakak-kakakku selepas kami tertidur. Aku mulai nangis lagi. Aku mengajak atok, Kak Hali dan Kak Taufan ke tanah perkuburan mama dan papa. Kami menyedekahkan doa pada mereka.

Dua bulan kemudian, atok pula yang meninggalkan kami.

"Atok sudah tua. Atok akan pergi tak lama lagi. Jaga diri kalian. Jadi anak yang baik. Hali, jaga adik-adikmu ya. Atok percayakan kamu."

Itulah pesanan atok kepada kami sebelum atok memejamkan matanya untuk selamanya. Aku.. Aku tidak dapat terima semua ini! Luka di hatiku semasa mama dan papa meninggal, belum pulih sepenuhnya. Tapi sekarang, atok pula yang meninggalkan kami!

Aku dan kakak-kakakku masih kecil. Kenapa semua ini terjadi pada keluargaku? Adakah ini ujian-Mu padaku?
____________________________________

Sudah 11 tahun berlalu. Tapi kenangan pahit itu masih membekas dalam hatiku. Aku.. Aku.. Aku masih saja lemah!

Hiks..

Tanpa kusadari, air mataku menetes pada foto yang sedang kudekap. Foto keluargaku yang paling berharga. Di sana, ada mama, papa, Kak Hali, Kak Taufan dan diriku yang tersenyum pada kamera. Aku tersenyum lembut.

Sebut tentang Kak Hali dan Kak Taufan, mereka banyak berubah setelah kematian mama, papa dan atok. Kak Hali jadi pendiam dan cepat marah. Kak Taufan pula masih tersenyum seperti dulu. Tapi senyumannya palsu. Aku dan Kak Hali tahu itu.

Selepas mama, papa dan atok meninggalkan kami, kami dijaga oleh paman yang berjiran dengan kami. Aku nyangka, paman itu baik hati dan akan menjaga kami dengan baik. Ternyata, dia menghantar kami ke panti asuhan.

Setelah beberapa bulan berada di panti asuhan, aku bersama kakak-kakakku mulai berpisah. Sepasang suami istri mengambilku sebagai anak angkat karena mereka tidak punya anak. Mulanya mereka mau ngambil Kak Taufan, tapi Kak Taufan tidak mau. Jadi mereka mengambilku. Selepas itu aku tidak tahu apa yang berlaku pada Kak Hali dan Kak Taufan.

Dan.. Disinilah aku sekarang. Rumah ibu dan ayah angkatku. Aku merasa kesunyian tanpa kalian Kak Hali, Kak Taufan. Tiada lagi tawaan kalian. Tiada lagi senyuman ceria kalian. Tiada lagi permainan kejar-mengejar. Tiada lagi muka yang penuh tepung... Aku... Sungguh kangen dengan semua itu. Aku ingin kita kembali seperti dulu...

Hiks..

Aku... mendengar banyak rumor tentang Kak Hali dan Kak Taufan. Tapi kebanyakannya negetif. Aku pernah mendengar bahwa Kak Hali meninggal karena tertabrak mobil dan Kak Taufan pula karena sebuah penyakit bahaya. Tapi itu gak mungkin kan? Kak Taufan yang hyperactive punya penyakit bahaya? Mana mungkin! Kak Hali pula karena tertabrak mobil? Aku.. tidak percaya dengan semua ini! Siapa yang berani-beraninya menyebarkan rumor ini?!

Kalian masih hidup lagi kan Kak Hali, Kak Taufan? Kalau kalian sudah tiada, hidupku kosong. Aku merasa hidupku tidak berguna lagi. Aku mau kita bersatu kembali lagi Kak Hali, Kak Taufan. Kapan kita bisa kembali seperti semula? Aku mau kita hidup bahagia. Bukan hidup berpisah gini.

Kalian masih mengingatiku kan? Aku.. Aku mau mencari kalian. Aku dapat merasakan bahwa kalian berada dekat denganku. Apakah ini karena kita kembaran? Orang selalu mengatakan kalau kembaran punya ikatan batin yang kuat. Adakah ini yang dikatakan ikatan batin? Aku tidak pasti. Aku.. Aku bertekad akan mencari kalian Kak Hali, Kak Taufan.

Tok.. Tok.. Tok..

Eh? Ketukan pintu?

"Gempa! Ayo sarapan! Ibu sudah masakkan lauk kesukaan kamu!"

Oh, ibu rupanya. Kupikir siapa. Tanpa basa-basi, aku membuka pintu kamar.

"Sebentar bu!"

Cklek

Creakk

"Nah.. Ayo kita- Eh tunggu! Gempa, kamu lagi nangis ya?"

Aku tersentak. Bagaimana ibu ta- Oh! Air mata yang membekas di pipiku! Astaga! Gimana aku lupa mengelapnya! Duh..

"Gak ada apa sih. Ini mataku dimasuki habuk." Aku merasa bersalah pada ibu. Membohonginya. Huh. Seperti bukan diriku saja.

"Ya sudah, ayo ke bawah." Ibu berkata sambil memegang kepalaku. Aku tersenyum lembut.

Kami menuruni tangga dan terus ke meja makan. Di sana sudah ada ayah yang lagi nungguku dan ibu.

"Pagi ayah." Sapaku.

"Pagi juga Gempa."

Ibu angkatku bernama Tania. Ibu.. seorang wanita yang hebat menurutku. Masakannya enak, mirip mama. Ayah pula bernama Rendy. Seorang yang bertanggungjawab dan baik.

Setelah itu, kami makan seperti hari-hari biasa. Kemudian aku bersiap untuk berangkat ke sekolah.

Aku ke sekolah dengan berjalan kaki. Ayah menasihatiku supaya menaiki motor, tapi aku menolaknya dengan lembut. Menurutku, berjalan kaki itu lebih baik. Bisa melihat-lihat pemandangan.

Tiba-tiba seseorang datang ke arahku dengan laju. Dia menaiki skateboard biru. Untung aku sempat mengelak. Aku menggelengkan kepalaku. Anak-anak jaman sekarang tidak punya adap apa? Tapi setidaknya, anak itu meminta maaf setelah hampir menabrakku.

"MAAF!"

Aku menghela napas sambil melihat arloji di tanganku. Oh tidak! Aku sudah terlambat! Tanpa membuang masa lagi, aku berlari menuju ke sekolah. Sehinggalah aku berada di gerbang pintu sekolah.

SMA Pulau Rintis. Di sini lah aku bersekolah. Menurutku di sini aman. Aku punya rame teman juga.

Aku berjalan ke kelasku. Kelas X2.

"Selamat pagi Gempa!" Gadis berkerudung menyapaku. Yaya. Gadis manis yang biskuit buatannya... rasa kayak kertas ampelas. Dia salah seorang dari temanku.

"Pagi Yaya." Balasku, tersenyum sambil berjalan ke tempat duduk.

"Dey Gempa. Apa kau sihat-sihat saja? Kau kelihatan pucat. Demam ya?"

Deg

"A-Aku tidak apa Gopal. Sungguh." Ucapku terbata-bata.

Gopal... Pemuda India yang agak gempal ini sungguh peka pada persekitarannya. Gak nyangka dia mengetahui bahwa aku sedikit demam hari ini. Ibu dan ayahku saja tidak perasan.

"Kau yakin? Mau ku hantar ke UKS?" Tanya Gopal lagi.

"Tidak usah. Aku tidak mau merepotkan kalian. Lagian aku akan ketinggalan pelajaran kalau ke UKS." Jawabku lembut.

"Terserahmu sajalah."

Heh. Gopal memang mengerti aku.

Tak lama setelah itu, sang guru memasuki kelas kami. Yaya memanggil salam, diikuti rakan sekelas. Selepas manggil salam, aku terus duduk dan membuka buku sambil menulis sesuatu, menghiraukan keadaan kelas.

"Murid-murid, kita didatangi murid pindahan."

Deg

Ucapan guru menghentikan gerakanku. Kemudian aku menggelengkan kepalaku pelan. Tidak. Tidak mungkin itu 'mereka'. Aku selalu berharap murid pindahan yang memasuki kelasku adalah kakak-kakakku. Tapi, itu tak mungkin terjadi. Dunia ini luas. Tak mungkin aku dapat berjumpa dengan mereka dalam sekolah ini. Aku sudah lelah nunggu. Aku menyambung nulis dalam bukuku tanpa melihat apa yang terjadi di depan kelas.

"Sila masuk."

"Woah."

Huh? Kenapa kelasku bising ya? Seperti mereka mengagumi murid pindahan itu.

"Ternyata kembaran."

Deg

"Wah.. Tampannya~"

"Muka mereka sama banget!"

"Namanya juga kembaran, pastilah sama."

Deg

Secercah cahaya menyinari hatiku yang kelam. Aku mengangkat kepalaku. Tapi hampa yang menghinggapi hatiku. Sepasang kembaran. Tapi bukan 'mereka'. Aku kembali terpuruk, menghela napas pasrah.

"Hai selamat pagi semua! Perkenalkan! Namaku Api! Dan ini Air, kembaranku! Sila beri tunjuk ajar ya!"

Api? Air? Aneh. Tapi namaku, Kak Hali dan Kak Taufan juga aneh. Muka mereka juga mirip sedikit denganku. Apa mereka ada hubungan dengan keluargaku ya?

Cowok yang bernama Api itu, mengingatkanku pada Kak Taufan. Ceria dan senyuman yang sentiasa terpapar pada wajah. Kembarannya pula mirip dengan Kak Hali. Pendiam dan cool.

Lalu guru menyuruh kembaran itu duduk. Mereka pun berjalan ke tempat duduk kosong di belakangku.

Beberapa jam berlalu, sekarang waktu istirahat. Aku tidak berniat untuk makan. Yaya dan Gopal tidak memaksaku untuk keluar, jadi aku duduk di dalam kelas. Bersama dengan sepasang kembaran itu.

Kembaran yang memakai pakaian serba jingga berjalan ke arahku.

"Hai, aku Api! Salam kenal ya!" Ucapnya, menghulurkan tangannya padaku dengan senyuman... atau cengiran?

Aku tersenyum. Menjabat tangannya, "Gempa. Salam kenal juga."

"Gempa? Kayak pernah dengar saja. Hey, Air! Bangun! Kerjanya tidur mulu!" Dia berteriak, mengagetkanku, "Hehe. Maaf ya. Air memang gitu orangnya." Ucapnya sambil terkekeh pelan.

"Tidak apa." Balasku terkesiap.

"Ergh- Hah? Sudah istirahat ya?" Baru sekarang aku mendengar suara Air membuka suaranya. Dia mengusap-ngusap matanya.

"Kalian.. Kalian seperti kembaranku." Tanpa sadar kalimat itu keluar dari mulutku, sedikit mengejutkan mereka berdua.

"Kau punya kembaran?" Tanya Api.

"Ah- T-Ti-Tidak ada. Aku hanya mengelamun saja t-tadi." Ujarku menafikan.

"Kau tidak bisa membohongi dirimu." Suara lain mengagetkanku.

"Kau.. membohongi diri sendiri." Air berkata lagi, sambil menatapku dengan pandangan.. meremehkan?

"Kau berbohong Gempa?" Suara Api membuyarkan lamunanku.

Aku menggigit bibir bawahku. Kemudian dengan ragu, aku menganggukkan kepala.

"Habis, di mana kembaranmu?" Ucapan Api membuatku semakin terpuruk.

Aku melihat Air memegang sebuah buku dan melemparnya pada Api, tepat di muka Api, "Kau membuatnya semakin sedih Api."

"T-Tidak apa-apa Air!" Jawabku tersenyum lemah.

"Aduh~ Tidak usah lempar buku juga kali!" Teriak Api, mengusap-ngusap wajahnya. Melihat adegan itu, aku tertawa kecil.

Kak Hali, Kak Taufan. Rasanya seperti aku berada dengan kalian saat ini.

Menarik napas, aku mulai cerita.

"Aku punya dua kembaran yang-"

"Woah! Dua lagi?! Kalian kembar tiga ya?!" Api memotong ucapanku dengan antusias. Terdapat bintang-bintang yang berkelipan dalam matanya. Aku memandangnya sambil tersenyum nervous, "Err, ya.."

Buaghh

"Ouch! Sakiiitttt!!"

"...?!" Kaget. Itulah ekspresi diriku. Aku tidak tau pula pukulan Air bisa membuat benjolan bertingkat di kepala seseorang.

"Biarin Gempa usai ngomong. Motong ucapan mulu." Ucap Air. Kepalan tangannya masih berasap. Hebat... Aku sweatdrop sekaligus jawdrop melihat kelakuan kembaran di depanku ini. Benar-benar mirip Kak Hali dan Kak Taufan.

"Teruskan Gempa." Ujar Air.

"O-Oh. Um, kakak sulungku bernama Boboiboy Halilintar. Kakak keduaku pula Boboiboy Taufan. Dan yang terakhir aku, Boboiboy Gempa." Ceritaku, memperkenalkan diriku dan kakak-kakakku.

"Boboiboy... Hm.. Tunggu! Mereka anaknya teman ayah kita, Air!" Api berteriak. Alisku mengerut. Teman papa? Rasanya aku tidak pernah jumpa anak ini atau kembarannya.

"Er, maaf. Gimana kau mengenalku? Kita belum pernah berjumpa kan?" Tanyaku memastikan.

Api memegang dagunya, pose ala detektif dan terus menjawab, "Hm.. Ayahmu selalu menceritakan ulahmu dan kakak-kakakmu pada ayahku. Lalu ayahku menceritakan padaku dan Air." Katanya, menggedikkan bahu.

"Oh..."

Tak nyangka papa yang sedikit pendiam dengan orang lain bisa menceritakan keadaan dan ulahku, Kak Hali dan Kak Taufan pada ayahnya Api dan Air. Aku tersenyum lemah.

"Gitu ya.."

Brakk

"Ayo nyambung cerita tentangmu dan kembaran-kembaranmu!"

Aku kaget. Untung tidak ambruk dari kerusi. Api bikin kaget saja. Bisa jantungan kalau gini terus.

"Sabaran dikit napa." Air berkata sambil menghela napas. Tangannya dilipat di depan dada. Sungguh, kalau punya kembaran hiperaktif kayak Api, sedikit menyebalkan. Mungkin.

Tapi kalau diingat-ingat, Kak Taufan juga hiperaktif ya.. Arghh! Sudahlah!

"Gempa!"

Eh? Oh.. Api. Kasian banget dihiraukan olehku. Aku menghela napas panjang untuk kesekian kalinya, kemudian mulai bercerita lagi. Mulai dari mama dan papaku meninggal, sehinggalah bagaimana kami berpisah. Api dan Air hanya menganggukkan kepala mereka.

Habis saja aku bercerita, bel berbunyi dan para murid mulai memenuhi kelas masing-masing. Api dan Air juga kembali ke tempat duduk mereka. Hanya belakangku sih. Sebelum pergi, Air menepuk pundakku dan berujar, "Semoga kau bisa bertemu dengan kembaranmu semula."

Aku tersenyum lembut, "Makasih Air." Balasku.

Bel pulang sekolah berbunyi. Petanda para penghuni sekolah bisa pulang. Aku mulai mengemaskan tas dan berjalan keluar kelas. Kemudian Api bertanya padaku, "Gempa, mau pulang bersama aku dan Air menaiki mobil? Ayahku kan mengenalmu!" Ucapnya.

Aku berusaha menolak dengan lembut, "T-Tidak usah. Rumahku dekat aja dengan sekolah."

Api dan Air mengangguk paham, kemudian pamit pulang.

Semasa perjalanan, aku berpikir. Di kelas, kami belajar seperti biasa. Tidak ada yang istimewa. Hanya didatangi oleh sepasang kembaran yang kelakuannya bertolak belakang. Tapi menurutku, itu bagus juga. Berasa seperti aku bersama dengan Kak Hali dan Kak Taufan.

.

.

.

.

.

Tanpa Gempa sadari, seseorang memerhatikan dirinya dari jauh.

"Itukan.. Gempa..?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro