Taufan's POV

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aaaaa!! Bosan banget! Gak ada game yang seru apa?!

Aku menghela nafas panjang. Sekarang, aku berada di kamarku. Bermain game. Yah.. Gak asik dong tidak berteman!

Aku menghempaskan tubuhku di atas ranjang. Kedua tanganku dijadikan bantal. Mataku menatap langit-langit kamar yang biru, menerawang jauh.

Andai saja aku bersama kalian Kak Hali, Gempa. Aku kangen banget dengan kalian.

Apa yang kalian lakukan sekarang? Apa kalian sehat-sehat aja? Gimana rupa kalian ya..? Apa kalian kelihatan ganteng sepertiku? Heheheh.. Aku kege-er-an.
Aku rindu mati (cinta mati kan udah terlalu mainstream :v) pada kalian, Kak Hali, Gempa.

.

.

.

Disclaimer : Boboiboy punya Nizam Razak sama Animonsta Studio. Kalo punyaku pasti berantakan jadinya.

Warning : OOC, Typo(s), AU(maybe), some OCs, no pairing, no superpower, no alien, no robot.

Ceritanya ga panjang kok. Mungkin dalam 3 atau 4 chapter gitu.

MY LOST BROTHERS

~> ENJOY <~

.

.

.

Hai semua! Perkenalkan. Aku Taufan. Boboiboy Taufan. Umurku 16 tahun. Aku merupakan anak tengah daripada tiga kembaran yang mirip denganku. Yaelah.. namanya juga kembaran, pasti mirip dong.

Kakak sulungku bernama Boboiboy Halilintar dan adikku Boboiboy Gempa. Kalo dipikir-pikir, nama kami aneh ya.. Mama ngidam apa sampe beri kami nama begituan?

Mau tau kenapa aku sedih? Bukan! Bukan karna aku berpisah dari kembaranku! Tapi karena aku rindu pada mama, papa sama atok. Kak Hali dan Gempa juga aku kangen berat kok :v

Mah.. Rasanya hidup ini sepi tanpa mereka. Aku dulunya ceria, hiperaktif dan jahilnya gak tanggung-tanggung. Tapi sekarang, semuanya berubah. Senyum yang ku berikan, hanyalah palsu belaka.

Aku... masih ingat kejadian yang menimpa kami saat berusia 4 tahun. Aku menyesal karena sangat tidak peka ketika itu...

.

.

.

"Tapi ma! Fan mau ke taman!" Aku berteriak dengan lantang. Kak Hali dan Gempa berada di sebelahku, menganggukkan kepala mereka.

Mama lagi memasak, memotong sayur-sayuran, "Tidak bisa Hali, Taufan, Gempa. Kalian masih kecil. Kalau terjadi apa-apa gimana? Papa lagi kerja. Tiada siapa bisa menemani kalian." Ucap mama, berjongkok di depanku dan kembaranku.

"Tapi ma-" Kalimatku, Kak Hali dan Gempa terpotong oleh ucapan mama.

"Tiada tapi-tapian. Kalian pergi main di kamar ya. Tapi jangan sampai berantakan. Nanti mama juga yang repot." Mama menasehati kami dengan suara lembutnya yang sopan sambil mengusap kepalaku dan kembaranku.

Menganggukkan kepala, aku mengajak Kak Hali dan Gempa ke kamar.

Pintu kamar dibuka, kemudian ditutup. Aku menaiki kasur kami. Ya kami. Aku, Kak Hali dan Gempa tidur sekamar. Aku menatap Kak Hali dan Gempa, "Jadi, mau main apa?" Tanyaku tidak sabaran.

"Gimana dengan kartu?" Adik kembaranku menjawab.

Aku mengalihkan kepalaku ke arah Kak Hali yang bercekak pinggang sambil menghela nafas ringan, "Ogah. Bosan ah!"

"Lho? Lalu Kak Hali mau main apaan?" Gempa bertanya.

"Kalo game gimana? Aku mau ngalahkan si Taufan! Dia ngalahin aku sebanyak 17 kali. Kali ini aku pasti menang!" Kak Hali tersenyum lebar, kemudian berkata lagi, "Gimana Taufan?" Ucapnya tersenyum sinis.

Heh. Kak Hali meremehkan aku ya? Aku pakar dalam game tau! Ingin sekali aku meneriakkan kalimat itu. Tapi yang keluar adalah, "Gak mau. Aku sudah bosan ngalahin Kak Hali terus. Kak Hali ga asik!" Aku berujar sambil menjulurkan lidah dan tertawa.

"Mau ku potong lidahmu ya?"

Tawaku terhenti. Aku melihat Kak Hali memegang sebuah pisau // woish O.O // Aku meneguk ludahku dan mengambil ancang-ancang untuk...

"KABUUUUR!!"

"WOY! MAU KE MANA KAMU!! SINI KAAAU!!"

"AAAA! KAK HALI!! KAK TAUFAN!! JANGAN NINGGALIN GEMPA SENDIRIAN DI KAMAR!!"

Aku berlari ke luar dari kamar, diikuti Kak Hali dan Gempa sehingga kami tiba di halaman rumah yang luas.

Aku menidurkan diri di atas hamparan rumput yang hijau. Kedua lenganku diletakkan di belakang kepalaku. Merasa sudah nyaman, aku memejamkan mataku, menikmati angin yang menyapa lembut mukaku. Poni-poni rambut yang terkeluar dari topi yang dimiringkan di kepalaku berkibaran ditiup angin.

Kemudian aku terdengar bunyi di sebelah kanan dan kiriku. Membuka mata biruku, aku melihat Kak Hali dan Gempa berbaring di sebelahku. Aku tersenyum lebar.

"Hm.. Kita main sepak bola aja yuk!" Ujarku pada mereka berdua.

Kak Hali melihat Gempa. Begitu juga sebaliknya. Akhirnya Kak Hali menggedikkan bahunya, terlihat tidak peduli. Gempa pula tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

Aku tersenyum, kemudian menarik lengan mereka dengan tangan kecilku untuk bermain di halaman rumah.

Di sana kami bermain dengan gembira. Kak Hali juga tersenyum girang. Tapi, lebih seronok kalau ada papa. Papa akan bermain dengan kami jika papa sedang libur dari kerjanya. Tapi malangnya hari ini papa lagi kerja.

Kami bermain seolah dunia ini kami yang miliki. Hingga tanpa sadar, aku tertendang bola ke jalan. Tanpa berpikir panjang, aku terus berlari untuk mengambil bola itu.

Tttiiiiiiiiiiiiiiittttt- Tttiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttt-

Tanpa ku sadari, sebuah mobil melaju ke arahku. Aku memejamkan kedua mataku. Telingaku seolah tidak berfungsi saat itu, hanya bunyi nyaringan kuat yang terdengar. Aku merasakan seperti seseorang menolakku, tetapi aku masih tidak bergerak walau seinci pun, menantikan hentakan yang bakal ku rasakan. Tapi ia tidak terjadi. Perlahan kedua-dua manik sapphire ku terbuka. Kemudian melebar ketika melihat apa yang telah berlaku.

Tepat di hadapanku, Kak Hali berbaring seperti orang yang tidak bernyawa. Darah merah yang segar mengalir dari kepalanya, membuatkan jalan, jaket dan topinya dilumuri darahnya. Aku bergetar. Aku takut. Aku berasa kosong. Perlahan air mata mulai membanjiri pipiku.

Mataku melihat keadaan sekeliling. Gempa berdiri di tepi jalan, matanya berair, sebelah tangannya menutup mulutnya. Lalu ia jatuh terduduk, "KAK HALIIII!!"

Menyakitkan. Mendengar adikku berteriak, memanggil nama kakakku dengan suaranya yang terdengar seperti orang yang patah hati, sungguh menyakitkan. Rasanya seperti ribuan jarum mencucuk hatiku dalam.

Aku sempat mendengar suara mama yang berteriak, berlari ke arahku dan Kak Hali. Orang ramai mulai berkumpul di sekeliling kami.

Kemudian semuanya menjadi gelap.

.

.

Kedua mataku perlahan terbuka. Langit-langit kamar yang berwarna putih menjadi objek pertama yang dilihatku. Tunggu- Langit-langit kamar berwarna putih? Setahuku lelangit di kamarku, Kak Hali dan Gempa berwarna biru gelap berserta bintang-bintang menjadi hiasannya.

Ini.. Di mana..?

Aku bangun dari baringan sambil memegang kepalaku. Kepalaku berdenyut. Eh? Mana topiku? Apa yang telah berlaku? Aku berada di mana?

Beribu pertanyaan bermain dalam pikiranku. Tapi satu pun tidak dijawab.

Creakkk...

Aku mengalihkan kepalaku, mencari bunyi tersebut. Lalu aku terlihat Gempa. Ia berdiri di sana, tepatnya di depan pintu, terlihat kaget.

"Kak Taufan!!"

Gempa berlari ke arahku lantas memelukku dengan erat. Kepalanya berada di pundak kananku.

Kenapa dengan Gempa...?

Eh? Kenapa pundakku terasa basah...?

"Hiks..."

Lho?

"Gempa, kok kamu nangis sih?" Soalku penasaran.

Keheranan melanda pikiranku. Kenapa Gempa tiba-tiba aja menangis?

"Hiks.. Kak Hali."

Dua patah perkataan di belakang tadi membuat jantungku mengepam dengan laju. Sekarang baru kuiingat. Kak Hali...

Aku mencengkram lengan Gempa, membuatnya sedikit meringis.

"Kak Hali di mana, Gempa? Apa dia baik-baik saja? Apa Kak Hali masih hidup? Kita di mana? Mana mama? Bawa aku ketemu Kak Hali! Aku mau ketemu sama dia!!" Segala pertanyaan yang bermain di dalam pikiranku langsung kulimpahkan ke Gempa. Aku menggoncangkan pundaknya dengan kuat. Tapi Gempa hanya menundukan kepalanya. Sepertinya dia tidak berani menatapku.

Mataku terasa memanas. Air mata mulai berkumpul di sudut mataku. Gempa juga sedemikian. Kristal bening mengalir menuruni pipinya.

"Hiks..Kak Hali.. Kak Hali.."

Aku menunggu dengan sabar apa yang mau diucapkan oleh adik semata wayangku, "Kak Hali kenapa?" Tanyaku lembut.

"Kak Hali.. Hiks.. Kak Hali.. Dia.. Dia hanya berada di ranjang sebelahmu Kak Taufan! Hiks.."

Hah?

Tanpa ba-bi-bu lagi, aku menolehkan kepala dengan cepat ke sebelah kiriku. Di sana aku melihat Kak Hali yang dipasang dengan tiub-tiub yang aku sendiri pun tidak ketahui namanya. Dan sisi ranjang terlihat seorang wanita yang tertidur dengan kepala berada di atas kasur yang berbantalkan lengan.

Itu...

"Mama!" Aku berlari menuju ke arah wanita kupanggil mama dan Kak Hali. Kesakitan yang kualami saat ini tidak kugubriskan. Aku melihat mama mengangkat kepalanya dari lengannya.

"Taufan!"

"Mama!"

Aku terus memeluknya. Air mata yang ditahan akhirnya turun juga dari kelopak mataku.

"Taufan. Syukur kamu tidak apa-apa. Mama khawatir sama kamu." Mama mengusap-ngusap kepalaku dengan perlahan.

Gempa berlari ke arah kami, lalu disambut dengan pelukan hangat dari mama dan aku.

"Ma, apa Kak Hali gak napa-napa?" Tanyaku setelah selesai berpelukan.

"Mama juga gak tau Taufan, tapi menurut dokter, Hali kehilangan banyak darah." Ibu menjawab. Terdengar kekhawatiran dalam intonasi suaranya.

"Kapan Kak Hali akan sadar ma?" Soal Gempa pula.

Mama mengusap kepala adikku pula, "Menurut suster yang merawat Hali, mungkin dalam beberapa hari lagi. Kalian gak usah khawatir ya sayang." Mama memberikan senyumannya. Tapi, senyum itu bukanlah senyum biasa yang aku, Kak Hali dan Gempa lihat. Senyuman mama terlihat suram dimataku.

"Ma, apa ma udah menelepon papa?" Gempa bertanya.

"Papa lagi dalam perjalanan menuju ke sini. Mungkin bentar lagi akan tiba kok." Jawab ibu lemah.

Aku mengalihkan kepalaku, melihat kakak kembaranku tidur tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Aku menggengam tangannya dengan kuat, 'Terima kasih, Kak Hali. Semoga Kak Hali cepat sembuh ya. Aku mau kita bermain kayak dulu, kejar-mengejar, game, kartu, sepak bola. Aku tidak akan lupa tentang semua kenangan yang kita dan Gempa lewati bersama. Apa Kak Hali tidak kasian dengan Gempa? Ia sangat khawatir padamu. Mama juga begitu. Jadi, bangunlah, buatkan senyuman berkembang di wajah mereka. Cepat pulih ya kakak. Aku.. kangen padamu.'

.

.

4 hari kemudian...

Aku dan Gempa masih setia menunggu Kak Hali hingga sadar. Mama dan papa mengambil libur dari kerja mereka. Mereka berganti-gantian menjaga Kak Hali. Mama sudah pernah mengajakku dan Gempa untuk pulang, tapi kami bersikeras, tidak mau meninggalkan sisi kakak sulung kami.

Hari ini, giliran papa berada di rumah. Jadi mama yang menemani kami di rumah sakit. Mama terlihat letih, sehinggakan mama tertidur semasa menjaga Kak Hali. Begitu juga dengan Gempa. Kedua-dua mata yang berwarna kuning-keemasan milik adik kembaranku terlihat merah serta linkaran hitam yang terdapat di bawah matanya. Aku menyuruh Gempa untuk tidur bersama mama, tetapi gelengan kecil menjadi jawabanku. Tetapi akhirnya Gempa mengalah, membiarkan matanya tertutup dan terus ke alam mimpi.

Dan tinggallah aku untuk menjaga Kak Hali. Mataku yang berwarna biru langit ini juga sudah layu, seperti matanya Gempa. Akhirnya aku juga ketiduran, di sebelah kasur Kak Hali.

.

.

"Taufan... Kenapa kau biarkan aku jadi begini..?"

Heh? Suara siapa itu?

"Taufan.. Berikan aku nyawamu!"

Sesosok manusia berlari menuju ke arahku. Perasaan takut mulai terasa. Dengan cemas, aku berlari dengan pantas.

Hah.. Hah.. Hah.. Nafasku mulai terengah-engah. Kelibat tadi masih mengejarku.

"Taufan.. Ke sini kau!"

Jangan! Pergi! Menjauh dariku!

"Taufan!!"

.

.

"Taufan!"

"Fan, bangun!"

"TAUFAAAN!"

Mataku terbuka akibat kaget. Jantungku terasa seperti mau copot. Keringat dingin mengalir di mukaku.

'Apa yang-'

"Taufan."

Suara lembut menyapa indra pendengaranku. Aku menoleh dan mendapati-

"KAK HALI!!"

-Kak Hali yang sudah berada dalam keadaan duduk di atas ranjang rumah sakit sambil menggaruk-garuk kepalanya, "Eh? Mana topiku?" Gumamnya.

"KAK HALI!" Pertanyaannya langsung tidak digubris olehku, karena aku lagi sibuk memeluk dirinya dengan erat. Tapi-

"Uhok- Kau mau membunuhku ya?!"

-kayaknya terlebih erat deh. Aku melepaskan pelukanku dengan perasaan yang gembira.

"Kak Hali tidak apa-ap-" Kalimatku terpotong oleh suara lenguhan.

"Ergh.. Ngapain bising-bising...? Ini kan.. rumah sakit.. Hoooamm~"

Gempa terbangun dari tidurnya, lalu ia mengucek-ngucek matanya, "Oh, Kak Hali udah sadar ya? Hoooaam.. Ya udah.." Ucapnya, lalu menidurkan dirinya semula.

Aku melihat Gempa dengan keheranan. Apa ia mengelamun ya?

Beberapa saat kemudian manik kuning-keemasan milik Gempa terbuka lebar. Ia memandang diriku dan Kak Hali dengan raut wajah yang.. Aku juga gak ngerti gimana mau mendiskripsikan. Tapi yang pastinya, lucuuuu banget!

Gempa mengucek-ngucek semula matanya, "Ini bukan mimpi, kan?" Soalnya dengan suara yang perlahan. Ia memandang Kak Hali, kemudian aku, lalu Kak Hali lagi. Anak ini sudah kesambet setan apa ya?

"KAK HALIII!!" Teriaknya, berlari ke arahku, atau lebih tepatnya Kak Hali. Ia lalu memeluk Kak Hali. Aku tersenyum senang. Senang rasanya orang yang kau sayangi tidak apa-apa. Dan tanpa aku menduga, Gempa juga memelukku. Bersama, kami bertiga memeluk erat masing-masing.

.

.

.

Yah.. Setelah itu aku tidak terlalu mengingat apa yang berlaku. Yang kuingat, mama dan papa terlihat senang memandang kami bertiga berpelukan.

Sungguh menyenangkan zaman anak kecil dulu. Masa sedih, masa gembira, semuanya kami lewati bersama. Alangkah baiknya kalau masa itu bisa berulang ya...

Oh ya ngomong-ngomong, sekarang aku lagi perjalanan ke rumah dengan skateboard yang dibelikan oleh ayah angkatku. Aku ke kedai beberapa menit yang lepas karena ibu memerlukan bahan untuk masak.

Apa?

Keluarga angkatku?

Kenapa dengan mereka?

Oh maaf, aku kelupaan untuk bilang bahwa aku sekarang tinggal dengan siapa. Maafkan ketidak-sopananku ini wahai readers sekalian. Salahkan author bejat yang ngetik ini. Aku sekarang tinggal bersama orang tua angkatku, yaitu Bu Ziie, Pak Alex dan anak perempuan mereka, Anna.

Anna lebih muda 5 tahun dariku dari sudut usia, berarti ia sudah.. Hm.. Berapa ya..? Hmm.. Oh ya, ia baru berumur 11 tahun. Anna periang anaknya, kayak aku. Kadang bermain dengannya mengingatkan aku tentang Kak Hali dan Gempa.

Tapi pertanyaan yang selalu bermain dalam pikiranku adalah.. Kak Hali dan Gempa sudah berubah setelah kematian orang tua dan kakek. Kak Hali lebih pendiam dengan mukanya yang terlihat sangat datar dan perlakuan yang dingin, Gempa pula selalu memasang senyum palsu sebagai topeng wajahnya.

.

.

Beberapa bulan setelah kematian mama, papa dan atok.. Dan sebelum dihantar ke panti asuhan...

"Kak Halii! Gempaa!! Yuk kita main!!" Teriakku dengan kuat, coba menceriakan suasana rumah yang kelihatan sangat sepi, membuatkan suaraku menggelegar.

1..

2..

5..

"Kenapa tidak dibalas ya?"

10..

15..

"Mereka lagi sibuk ya?"

20..

30..

'Oke, ini aneh sekali.' Batinku dalam hati, kemudian aku berlari ke ruang tamu rumah. Tiada siapa-siapa di sini. Beberapa saat kemudian telingaku menangkap sesuatu bunyi dari arah dapur. Dengan cepat aku berlari menuju ke sana.

"Gempa? Ngapain kau di sini?" Tanyaku setelah mengetahui pembuat onar tadi ialah adikku sendiri.

"Oh, Kak Taufan. Ga kenapa-napa kok. Hehe.." Balas Gempa dengan senyuman. Tapi aku tidak akan terpedaya dengan senyumannya. Karena matanya yang sedikit memerah dan berair menunjukkan perasaan sebenarnya sekarang.

Aku memincingkan manik sapphire-ku, "Sudahin akting-mu Gempa. Aku tau kalo kau berbohong tau." Ujarku tegas. Aku menatap Gempa yang kelihatannya sedikit kaget, lalu memalingkan mukanya dariku sambil menggigit bibir bawahnya.

Mataku menangkap sesuatu yang dipegang Gempa, menyembunyikan benda itu di belakangnya. Dengan tangkas, aku mencapai benda itu.

Sehelai kertas yang terdapat lukisan yang terdiri daripada 6 orang. Seketika air mukaku berubah.

"Gempa, ini kamu yang lukis?" Tanyaku.

Gempa menjawab, masih menggigit bibirnya, "I-Iya!"

Aku melihat air mata yang berkumpul di kelopak matanya mulai menuruni pipinya yang sedikit berisi dengan deras. Aku memeluknya dengan erat, dan dibalas dengan erat juga. Pundakku terasa basah karena air matanya. Tanpa sadar, aku juga turut menangis, mengenangkan orang tua dan atok di sana.

Kami berada dalam kondisi begini selama beberapa menit. Sehinggalah aku melepaskan pelukanku dan mengelap air mataku. Gempa masih menangis tersedu-sedu. Melihat itu, aku membawa kedua-dua tanganku ke wajahnya, lalu aku mengelap air mata yang membekas di pipinya, "Sudah ya.. Jangan nangis lagi.." Ujarku dengan lembut, "Mau bermain?" Sambungku.

Adik semata wayangku menganggukkan kepala sambil mengusap-ngusap wajahnya.

"Ayo! Kita cari Kak Hali!" Kataku dengan semangat, menarik lengannya bersamaku menuju kamar.

"Hm!" Dehumnya singkat. Ia tersenyum. Senyum yang tulus dari hati. Aku tau itu. Senyum yang sudah lama aku tidak lihat darinya, kini terpancar dari wajahnya, semakin membuatkan semangatku membuak-buak untuk bermain.

Tapi..

"KAK HALIII!!!" Teriakku lantang. Aku membuka pintu kamarnya, iya, kamarnya. Sejak kematian mama, papa dan atok, Kak Hali menguncilkan dirinya daripada kami, sehinggakan ia tidak mau tidur sekamar denganku dan Gempa. Aku memandang sekeliling, mencari kakak kembaranku. Dan terlihatlah sang kakak yang tertidur di atas kasur dengan nyenyaknya. Kak Hali tidur dengan berbantal lengannya walaupun sudah punya bantal, dan ia juga memakai topi hitam-merahnya yang sedikit ke bawah, menutup matanya dengan bayangan.

"Eh? Apa itu?" Suara Gempa mengagetkan aku.

"Apa apanya?" Soalku heran, mengangkat sebelah alisku.

"Itu, benda yang dipegang Kak Hali!" Gempa menunjukkan benda itu.

Aku menoleh untuk melihat benda itu. Iya, Gempa benar. Kak Hali memegang -lebih tepatnya memeluk- sebuah benda berbentuk segi empat tepat yang nipis.

Dengan waspada, aku mengangkat tangan Kak Hali dengan perlahan supaya tidak membangunkannya dan mengambil benda itu.

Ternyata tebakanku benar, itu foto keluarga kami. Gempa yang melihat foto itupun turut berasa sedih. Senyum di mukanya sudah tidak terlihat lagi, digantikan dengan senyum yang sedih.

'Ternyata, selama ini, Kak Hali menyembunyikan semua perasaannya dengan perlakuan dinginnya. Gak kusangka sama sekali.' Pikirku, sedih dengan semua kejadian yang menimpa keluargaku.

Aku melihat Kak Hali, tapi jika lihatnya dengan lebih dekat, terdapat air yang membekas di pipinya. Air mata. Aku melayangkan pandanganku ke lantai. Entah kenapa aku dapati lantai yang menjadi pijakanku ini menarik.

Tiba-tiba tanganku ditarik dengan lembut oleh Gempa, senyum lembut terpancar dari wajahnya, "Ayo kak. Kita tidur bareng Kak Hali." Ucapnya.

Aku menggelengkan kepalaku pelan, "Kalo Kak Hali bangun, kita pasti akan dimarahinya." Balasku, melihat ke dalam manik kuning-keemasan Gempa.

"Tidur aja."

Suara yang sedikit berat dariku dan Gempa mengagetkanku dan adikku yang berada di sebelahku.

Tanpa bertanya, aku dan Gempa sudah tahu dari mana asal suara itu. Kak Hali. Ia tidak bergeming dari kedudukannya. Masih berbaring di atas kedua-dua belah lengan.

Aku memandang Gempa, begitu juga sebaliknya. Aku menyengir, Gempa tersenyum. Gempa menaiki ranjang yang bersaiz 'King' itu, menidurkan dirinya di sebelah dinding. Kak Hali berada di hujung kasur. Aku meletakkan foto yang dipegangku sedari tadi di meja kecil sebelah kasur Kak Hali sebelum aku menaiki kasur dan menempatkan diriku di tengah, di sebelah kiriku Gempa, dan kananku Kak Hali.

Aku membuka kedua tanganku dengan lebar, kemudian memeluk leher kedua-dua saudara kembarku. Gempa sedikit kaget dengan perlakuanku barusan, Kak Hali pula, masih tidak bergerak, 'Apa Kak Hali lagi pingsan? Kayak orang mati aja.' Batinku.

"Lepaskan aku Taufan." Kak Hali bersuara lagi. Tepatnya bergumam.

Lihat perlakuannya barusan? Dingin yak? Tapi aku mengabaikan ucapannya, bahkan aku semakin mempereratkan pelukanku pada mereka, membuatkan Gempa menarik tanganku karena kekurangan oksigen, tapi malangnya tidak sukses. Kak Hali pula hanya berdecak pelan. Aku tertawa senang.

Sebelum aku memasuki alam bawah sadarku, aku bergumam pada mereka sambil tersenyum.

"Aku menyayangi kalian."

.

.

.

Aku tersenyum sendiri mengenangkan saat-saat dulu aku bersama Kak Hali dan Gempa, sehingga membuatkan orang-orang yang melewatiku melihatku dengan pandangan heran.

Sehingga tanpa sadar, skateboard yang dikendali olehku menuju ke arah tiang. Dengan tangkas aku mengelaknya, tapi kemudian seorang pemuda seumuran denganku berada dalam laluanku. Untung saja aku sempat mengelak, kalau tidak, mungin sudah jadi kayak mangga shounen dan barang-barang yang dipegangku mungin akan bertaburan di jalan.

Aku berteriak padanya sebelum menghilang daripada pandangannya, "MAAF!"

Yah.. Sekurang-kurangnya aku meminta maaf darinya. Daripada ia mengataku kurang adab kan?

Tapi... Sepertinya aku pernah lihat deh, pemuda itu. Laki-laki yang memakai jaket bercorak kuning-keemasan yang terbuka, celana hitam dan topi yang dihadapkan ke belakang. Ia juga membawa beg yang disandangkan di sebelah pundaknya.

'Pasti mau ke sekolah.' Pikirku.

Aku dan Anna tidak ke sekolah hari ini. Karena apa? Aku mengajaknya untuk ber-akting sakit di depan ibu dan ayah! Dan.. Ianya menjadi! Akting-nya bagus sekali! Anna pasti banyak belajar dariku nih!

Aku tertanya-tanya, kalau pemuda itu seumuran denganku, kenapa aku tidak pernah berjumpa dengannya di sekolah? Anak baru? Atau ia bersekolah di tempat lain? Entah lah.

Tapi..

Apa yang paling menarik perhatiannya padaku ialah.. iris matanya yang berwarna kuning-keemasan...

Tunggu-

Deg

Pakaiannya juga berwarna kuning-keemasan yang bercorak 'tanah'. Seingatku, hanya Gempa aja yang suka berpakaian seperti itu..

Deg

Apa jangan-jangan, pemuda itu ialah..

Deg

Aku menepis semua pikiranku dengan menggelengkan kepala pelan, mana mungkin kan? Gempa...? Aku mesti salah lihat nih. Aku lewati ia dengan skateboard, jadi mungkin salah lihat... kan?

.

.

Beberapa menit kemudian...

Aku membuka pintu rumah dengan pelan. Kedatanganku di sambut oleh Anna, adik angkatku. Ia kelihatannya gembira sekali.

"Kak Taufan sudah pulang!!" Teriaknya, berlari ke arahku kemudian memeluk pinggangku. Aku tersenyum melihatnya, tanganku menepuk-nepuk pelan kepalanya.

Kemudian aku berjalan, menuju ke dapur, bersama Anna yang menggengam tanganku. Di sana terlihat wanita berumur 30-an, "Ibu!" Anna melepaskan genggamannya padaku setelah melihat ibu.

Ibu, yang sedang membasuh piring-piring, menoleh ke arah kami, "Oh, kamu sudah pulang ya Taufan." Ucapnya.

"Iya bu.." Balasku singkat.

Anna kemudian bertanya pada ibu tentang apa yang ibu akan masak untuk hari ini, dan soalan lainnya tidak ku dengar. Aku menginjakkan kakiku keluar dari dapur, menuju ruang tamu rumah.

Aku mencapai remote dan membuka TV untuk menghilangkan pikiranku tentang pemuda yang aku hampir tertabrak tadi. Dalam perjalanan ke rumah tadi, aku tidak habis berpikir tentang ia. Jadi, mendingan aku nonton TV.

.

.

30 menit kemudian...

Pikiranku tentang pemuda berpakaian kuning-keemasan tadi sudah ku lupakan. Aku sibuk ketawa dengan Anna karena rancangan TV yang kami nonton. Anna yang berada di dapur, terus berlari ke arahku setelah mendengar tawaku. Lalu ia dan aku nonton bersama.

Ting.. Tong..

Tiba-tiba bel rumah berbunyi, membuatkan tawaku dan Anna berhenti. Anna mengangkat bahunya, kemudian memfokuskan perhatiannya pada TV semula.

Ting.. Tong..

Bel berbunyi lagi. Mungkin teman ibu lagi. Teman ibu selalu saja ke sini untuk berbual-bual dengannya kalau ada waktu lapang. Tapi kenapa ibu tidak menjawabnya?

Ting.. Tong..

"TAUFAN! TOLONG BUKA PINTUNYA!!" Teriak ibu dari dapur. Ibu kelihatannya sibuk sekali ya di dapur, mungkin teman lamanya mau makan di sini.

"BAIK, BU!" Balasku, kemudian menghela nafas panjang.

JEDAAAARRRRRRRR-

Bunyi kilat tadi mengagetkanku. Kayaknya hujan lebat bakalan turun nih. Untung aku sempat ke kedai tadi.

Ting.. Tong..

Bel berbunyi.. lagi. Aku mendecak, 'Siapa juga yang datang rumah orang hujan-hujan gini?'

Aku mencapai kenop pintu dan membukanya perlahan. Di luar sangat gelap, awan mendung meliputi langit. Tapi apa yang menarik perhatianku bukannya keadaan awan atau apapun itu, melainkan pemuda yang berdiri di hadapanku yang berpakaian serba hitam-merah dengan lidah topi yang menutup wajahnya.

"Taufan."

.

.

.

To be continued...

.

.

.

A/N :

Maaf atas ketelatan(?) meng-update cerita ini. Author tidak punya banyak waktu untuk meng-update cerita. Ujian PT3(Pentaksiran Tingkatan 3 - Malaysia) AKAN BERLANGSUNG MINGGU DEPAN!! Author jadi sangat-sangat depresi dan frustasi, jadi cara menghilangkannya dengan nyambung cerita ini.

Doakan semoga author bisa menjawabnya ya! :D

Dan semua bisa tebak kan, chapter depan POV siapa? Pastinya Halilintar! Cerita ini mungkin akan tamat dalam 2 chapter lagi. Author juga tidak pasti.

So, mind to vote and comment?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro