Halilintar's POV

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bosan.

Satu perkataan yang terlalu mainstream bagi setiap manusia. Dan perkataan itulah yang mendominasi pikiranku yang kosong. Aku tidak tau harus buat apa.

Aku hanya duduk di sebelah jendela di kamarku, melihat langit di sebelah Timur yang membawa gumpalan awan gelap sambil menopang dagu. Kemudian aku melayangkan pandanganku pada foto keluarga kandungku. Di sana terdapat mama, papa, atok, aku serta kedua adik kembaranku, Taufan dan Gempa.

Tanganku mencapai foto itu. Mengusap-ngusap pelan wajah-wajah yang ada di sana.

'Apa kita bisa bertemu semula Taufan, Gempa?'

.

.

.

Disclaimer : Boboiboy punya Nizam Razak sama Animonsta Studio. Kalo punyaku pasti berantakan jadinya.

Warning : OOC, Typo(s), Modern!AU, some OCs, no pairing, no superpower, no alien, no robot.

Ceritanya ga panjang kok. Mungkin dalam 3 atau 4 chapter gitu.

MY LOST BROTHERS

~> ENJOY <~

.

.

.

Hi. Namaku? Kurasa kalian semua sudah tau. Jadi jangan tanyaku soalan yang mainstream gitu. Umurku? 16. Anak yang pertama daripada kedua kembaranku yang lainnya. Nama mereka pun kalian pasti sudah tau.

Aku sekarang tinggal bersama keluarga angkatku, Bu Fitria dan Pak Randy. Dan.. mereka juga punya dua anak yang menurutku menyebalkan. Amelia dan Ryan. Amelia tiga tahun lebih tua dariku, Ryan pula dua tahun lebih muda dariku. You do the math.

Jadi, yah.. hidupku agak membosankan, tanpa Taufan si jahil seantero galaksi bima sakti dan Gempa si lembut hati seantero angkasa raya.

Tapi, aku bersyukur punya keluarga angkat yang peduli padaku.. walaupun agak menyebalkan...

"Hai Lil! Selamat pagi!"

"Ah! Kak Lin udah bangun ternyata. Yah.. ga bisa dong ngejahilin kakak!"

Lihat.. Menyebalkan bukan? Mereka dengan seenak-enaknya me-nickname aku. Kalau Hali aku bisa menerima, tapi ini.. Lil dan Lin..? Mereka pikir aku cewek yang tubuhnya kecil apa?

Aku memberikan pandangan tajam pada mereka, sukses membuatkan Ryan bersembunyi di balik meja. Tapi sayangnya tidak kental terhadap Amelia, satu-satunya manusia yang berani menantangku.

Aku mendecih kesal. Kemudian menduduki salah satu daripada kursi yang ada di meja makan.

Ayah berada tepat di sebelahku, sibuk membaca akhbar yang baru dibelinya. Ibu pula baru pulang dari dapur, membawa nampan dan pinggan yang terisi makanan di tangannya.

"Ah, kamu sudah bangun ya? Gimana tidurmu? Nyenyak?" Tanya ibu, meletakkan pinggan yang berisi nasi goreng di hadapanku.

"Hm, lumayan." Jawabku singkat, lalu tanpa mempedulikan mereka, aku memakan makananku dengan senyap.

Di sudut mataku, aku melihat ayah yang tersenyum tipis, "Kamu tidak mau menjelajah kota ini? Kalau mau, ayah bisa antarkan." Ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari akhbarnya.

Lalu dengan entengnya aku menjawab, "Tidak perlu."

"Atau kau mau kakak yang bawamu?"

Suara itu lagi. Suara yang setiap hari suka mengganggu keseharianku. Amelia. Kalian tidak akan mau tau apa yang ia lakukan padaku 11 tahun yang lepas, sehingga sekarang. Kalau kalian mau tau pun, gak mungkin aku mau bilang. Ceritanya memalukan.

Aku mendecak, "Ck, gak perlu repot-repot. Aku punya kedua kakiku." Ujarku sinis, lalu aku mengambil gelas yang terdekat denganku kemudian diteguk sehingga habis.

Selepas meletakkan gelas, aku melihat keluargaku yang memandangku dengan senyum di wajah mereka, pengecualian untuk Amelia yang tersenyum sinis padaku.

"Hahahaha! Kak Lin lucu! Hahaha!" Tawaan dari Ryan membuatkan aku menaikkan sebelah alisku, emangnya apa yang lucu?

"Kau ini, umurnya 16 tahun atau 6 tahun sih?" Nada sinis menyapa pendengaranku. Siapa lagi kalau bukan kakakku.

Setelah mendengar ucapannya, baru ku sadar, terdapat kopi yang membekas di bibirku! Pipiku sedikit memanas. Dengan cepat aku menyeka bekas itu, membuatkan tawa Ryan semakin kuat, sehinggakan ia berguling-guling di lantai.

Merasa haba di pipiku semakin panas, aku bangkit dari kursi yang kududuki, "Ugh, a-aku keluar dulu." Pamitku kemudian bergerak ke arah pintu rumah.

Sial. Suaraku tercegat.

"Kak Lin! Tunggu!" Baru saja hendak memegang tombol pintu, suara Ryan menghentikan aku, "Ada apa?" Tanyaku datar.

Senyum diwajahnya berubah, menjadi semakin sinis, "Jadi, kakak akui yang dirimu itu Kak Lin ya~"

Sial.

Tanpa mengubriskan ia, aku membuka pintu dan terus keluar. Tanganku dimasukkan ke dalam poket jaketku. Topiku diturunkan sedikit ke bawah.

"Kak Lin! Tungguku dong!"

Aku tidak menghentikan langkahku. Sebaliknya aku terus berjalan, karena aku tau, itu anak pasti lagi mengejarku. Dan benar sangkaanku, ia sekarang berada di sebelahku.

"Apa maumu Ryan?" Gumamku.

Ryan menyengir, "Yah, aku bosan duduk di rumah. Jadi aku mau ikut kakak bersiar-siar d kota ini. Mana tau kakak dapat teman wanita yang cakep~" Ucapnya sambil menyikut-nyikut pinggangku.

Rona merah kembali menjalar ke mukaku. Kenapa hari ini hari yang paling sial dalam hidupku?! Dan lagi, anak di sebelahku ini...

Pletakk

"Ouch! Sakit Kak Lin! Apaan sih?!"

... memang cari nahas denganku. Dan juga, perlakuanku dengan Ryan telah menarik perhatian orang-orang di situ, terutama para ibu.

"Hihi, mereka imut ya?"

"Kakak-adik yang lucu."

Mendengar ucapan-ucapan itu membuatkan mukaku semakin bersemu merah. Aku merendahkan lagi lidah topiku, sehingga menutup kedua mata vermillion milikku.

"Heheheh." Ryan hanya nyengir tidak jelas. Anak ini tidak tau arti perkataan malu apa? Aku mendesah.

Aku berjalan-jalan dengan Ryan selama 1 jam lebih. Tapi Ryan sudah tidak sanggup berjalan lagi karena kaki yang sedikit lecet. Aku hanya menggedikkan bahu. Dan ia terus berlari ke rumah. Aku mendongakkan kepala ke langit, awan gelap semakin dekat dengan kota ini. Tapi aku tidak peduli dengan itu.

Tiba-tiba aku merasa pusing. Aku memegang tiang yang berada di dekatku untuk menopang tubuhku. Memang tidak dinafikan, badanku sedikit panas hari ini. Dan sialnya lagi, inilah yang membuatkan rona merah semakin kelihatan di wajahku.

Aku berdiri di situ selama beberapa menit untuk menghilangkan pening ini. Sehingga suara wanita yang tidak dikenaliku menyapaku, "Nak, kamu tidak apa-apa?"

Aku memfokuskan perhatianku padanya, wanita dalam linkungan 30-an. Aku memberikan senyum yang -sangat- tipis padanya, "Aku tidak apa-apa tante." Ucapku ehem-sopan-ehem.

"Ya udah, apa kamu mau ikut bu ke rumahku? Hari makin gelap nih." Ia berujar lagi. Aku hanya menggelengkan pelan kepalaku.

Tante itu melihatku dengan wajah yang agak khawatir, "Kamu serius? Kalo hujan nanti gimana?"

Aku tersenyum lembut, mengingatkan mama yang sifatnya sama seperti tante di hadapanku, "Tidak usah tante. Pusingnya akan hilang juga nantinya."

"Ya sudah, jaga dirimu baik-baik ya. Bu pergi dulu." Pamitnya kemudian berlalu pergi. Mata ruby-ku di arahkan ke langit yang semakin gelap. Tiba-tiba wajah Taufan dan Gempa terlintas di pikiranku. Aku tersenyum sedih, mengingat keadaan mereka sekarang ini. Dulu sewaktu kami masih bersama di panti asuhan, aku selalu bersifat dingin di hadapan mereka. Tapi nyatanya, aku masih sama seperti dulu. Lemah. Ya. Lemah, karena setiap malam aku menangis mengenangkan nasib mama, papa dan atok.

.

.

.

.

Di panti asuhan...

"Aww.. Ayolah Kak Hali! Ayo main kejar-kejaran!" Taufan memegang tanganku. Dengan spontan aku menepis tangannya, "Jangan menyentuhku, Taufan." Aku berkata dengan tajam, terlihat kekecewaan terpancar dalam mata sapphire milik adik kembaranku. Rasa bersalah sedikit menyeruak dalam hatiku.

Gempa yang berada di sana juga turut kelihatan sedih. Aku menggigit bibir bawahku dan mengalihkan mukaku ke samping. Lalu aku berlari dengan kencang ke kamar yang aku, Gempa dan Taufan tidur bersama.

Semasa berlari, aku mendengar ibu yang mengasuh kami di panti asuhan ini memanggil namaku, tapi aku tidak pedulikan, sebaliknya aku terus berlari dan menutup pintu kamar dengan sedikit kuat. Aku sudah tidak tahan, menahan air mata yang menggenang di sudut mataku. Aku berbaring di atas kasur, kedua-dua tanganku menutup mata merahku. Kristal bening mengalir ke pipiku.

"Hiks.."

Selama 3 jam aku mengurungkan diri di dalam kamar, aku mengusap-ngusap foto keluargaku. Sungguh, aku sangat kangen dengan orang tuaku dan atok. Sehinggalah diriku letih akibat banyak nangis, aku tertidur sambil memeluk foto itu.

Setelah itu, aku terbangun dari tidur. Tampaknya aku tertidur selama 2 jam lebih. Merasa tenggorokanku kering, aku berjalan keluar dari kamar, terus menuju ke dapur. Aku meminum satu gelas air kosong. Merasa sudah lega, aku ke kamar mandi.

Berdiri di hadapan cermin, iya. Itulah aku. Rambut yang teracak-acak tanpa topi dan juga mata yang merah. Yah, mataku sentiasa merah. Aku memakai topi yang dipegangku semula, membersihkan mukaku, setelah itu melangkah keluar.

Aku berjalan menuju ke arah ruang tamu. Tapi sebelum aku melangkahkan kakiku lebih jauh, aku bersembunyi di balik dinding. Aku memerhatikan ruang tamu. Taufan, Gempa, ibu panti asuhan.. dan kedua pasangan. Suami istri mungkin. Aku menguping pembicaraan mereka.

"Ini Taufan, dan ini Gempa. Seharusnya ada seorang lagi. Tapi kayaknya ia tertidur."

Suara bu panti asuhan.

"Hi, Taufan.. dan Gempa ya..?"

Suara tante yang aku tidak kenali. Tante itu kemudian berjongkok di hadapan Taufan dan Gempa, kemudian mengalihkan perhatiannya pada suaminya, tangannya memegang pundak Taufan.

"Anak ini imut juga, gimana pa?"

Pria yang berdiri di sebelahnya menganggukkan sedikit kepalanya. Kemudian ia berkata pada bu panti asuhan.

"Bisa kita berbicara sebentar?"

Pertanyaan itu mendapat senyum daripada bu panti asuhan. Lalu aku melihat pria dan bu panti asuhan berjalan ke sebuah ruangan, meninggalkan tante itu berbicara dengan Taufan dan Gempa.

Aku mengalihkan perhatianku menuju lantai sambil menggigit bibir bawahku dengan keras. Aku dapat merasakan sedikit darahku mengalir. Air mata mulai nimbul lagi di sudut mataku. Aku tidak tau bagaimana ini semua berlaku, tapi aku tau suatu perkara,

Taufan akan meninggalkan sisiku dan Gempa.

.

.

Dan inilah harinya, Taufan akan meninggalkanku dan Gempa. Aku bangkit dari baringanku. Aku melihat Taufan dan Gempa yang masih tidur nyenyak di sebelahku.

Aku memeluk mereka berdua, "Kalo kalian meninggalkanku, aku pasti akan merindukan kalian. Sangat, sangat rindukan kalian." Bisikku pada telinga mereka, membuatkan mereka sedikit mengeluh dalam tidur.

Sudah beberapa menit berlalu, tapi aku masih memeluk mereka. Erat. Entah sudah berapa lama aku sudah tak memeluk kembaranku. Tanpa kusadari, cecair hangat menuruni pipiku. Aku menangis. Aku tau itu. Heh. Aku memang cengeng.

"Ergh.. Eh? Kak.. Hali..? Ngapain kakak nangis?"

Eh? Kapan Gempa bangun?

"Ish.. Hoooamm~ Eh? Kenapa kaosku basah?"

Taufan juga bangkit dari tidurnya ya.. Aku tersenyum pahit. Aku tak bisa menahan air mata yang menuruni pipiku, membiarkan ia mengalir, membasahi kaos Taufan dan Gempa.

Taufan dan Gempa kelihatan gelabah. Wajarlah. Masa' kakak mereka yang dulunya berkelakuan dingin, tiba-tiba nangis kayak anak cengeng -walaupun aku sadar aku memang bocah-

"Eh?! Kenapa denganmu Kak Hali? Apa kau cedera?" Gempa terus bangun, mengguncangkan bahuku, agak keras juga.

"Ah! Gempa! Guncangnya jangan kuat dong!" Taufan berujar pada Gempa.

"Abis, Kak Hali lagi nangis!"

"Iya! Aku nampak itu! Aku tidak buta Gempa!"

"Tapi, kalo diikutkan, Kak Taufan itu buta juga!"

"Apa?!"

"Iya! Buta warna! Masa' warna hitam disamakan dengan warna perang?"

"Itu kisah silam! Usah dikenang dong!"

Melihat saudaraku bertengkar gitu, sukses membuatkan aku mengulum senyum. Senyum yang sudah lama aku tidak tunjukkan mereka. Tanganku mencapai ke arah mereka, memeluk mereka untuk kali kedua.

"Ah- Kak Hali! Gempa ga bisa bernafas!"

"Woah- Kak Hal-"

Aku senyum lemah, iya. Aku pasti akan merindukan kalian. Kalianlah cahaya yang menerangi hidupku.

.

.

"Taufan. Kamu sudah sedia?"

Suara bu panti asuhan menyapa indera pendengaranku dan saudaraku. Kini, aku bersama kembaranku berdiri di hadapan sepasang suami istri kemarin.

Tante itu berjongkok di hadapan Taufan, lalu ia mengambil tangan Taufan, "Ayo, ikut ibu.. Kamu akan tinggal denganku dan suamiku." Ujarnya tersenyum.

Taufan berlari ke belakangku, bersembunyi di balik tubuhku, "Kak Hali, aku ga mau ikut. Aku takut.." Bisiknya padaku. Aku memegang tangannya, berusaha memberikan senyum yang bisa membuatkan keberaniannya muncul, "Ga apa-apa Fan. Nanti juga kita akan bertemu kok. Suatu.. hari nanti.." Ucapku separuh bisik.

Taufan melihat tante di hadapannya, ketakutan terlihat jelas dalam matanya. Tante itu masih mengulum senyum. Tangannya dihulurkan ke arah Taufan. Aku sempat berpikir, Taufan akan menerima uluran tangan tersebut, tapi ternyata tidak. Sebaliknya, Taufan menggeleng cepat kepalanya, kemudian terus meleset menuju kamar sambil berteriak,"Aku ga mau!"

Aku memandang Gempa, begitu juga sebaliknya. Kami membuat persetujuan melalui kontak mata. Sebagai kembaran, kami punya perasaan yang sama. Setidaknya itulah yang aku percaya. Aku melihat jauh ke dalam iris kuning-keemasan milik Gempa. Seperti ada sesuatu yang Gempa mau bilang padaku, seolah-olah ia yang akan menggantikan tempat Taufan. Aku melihatnya dengan raut wajah yang khawatir, seperti bertanya 'Apa tidak apa-apa?'. Gempa memberikan sebuah anggukan kepala padaku. Lalu secara tiba-tiba, aku menariknya ke dalam pelukanku. Membisikkan kata-kata lembut padanya, "Jaga dirimu baik-baik ya Gempa. Kakak sayang padamu. Moga kita bertemu semula." Setelah itu aku melepaskan pelukan hangat kami. Mungkin inilah kali yang terakhir aku memeluk adik terkecilku seperti ini. Sebelum aku berlari mengejar Taufan, aku memandang Gempa buat kali terakhir. Terdapat senyum manis di bibirnya, seolah-olah ia berkata, 'Aku tidak akan apa-apa kok'. Kemudian, aku terus berlari menuju ke kamar. Hanya satu tujuan utamaku. Mencari Taufan. Untuk menenangkannya.

.

.

Satu hari berlalu tanpa Gempa, sang adik yang sangat baik. Aku menghela nafas panjang. Aku terpikir, apa yang Gempa lakukan sekarang? Gimana keadaannya? Moga saja Gempa tidak diapa-apakan. Kemarin merupakan mimpi ngeri bagiku. Hari seperti kemarin, tidak pernah terlintas dalam pikiranku. Hari di mana aku dan adik-adikku mulai berpisah. Satu demi satu. Aku tau itu. Setelah ini pasti Taufan. Kalau 'mereka' mau ngambilku sebagai anak angkat mereka pun, tidak mungkin aku akan menjawab 'iya'. Aku tidak akan membiarkan Taufan ditinggalkan di sini seorang diri, tanpaku atau Gempa. Jadi, biarlah aku saja yang mengorbankan diriku untuk tinggal di panti asuhan ini, sebagai kakak utama tentunya.

Aku mengalihkan perhatianku pada Taufan yang baring di sebelahku. Matanya sedikit lebam, karena semalaman, ia menangis atas 'kehilangan' adiknya. Ia terlihat berpikir. Yah.. mungkin tentang Gempa.

"Kenapa tante dan om itu tidak ngambil kita bertiga sebagai anak angkat mereka saja? Jika gitu, kita tidak akan berpisah.." Taufan bergumam, tidak mengalihkan perhatiannya dari langit-langit kamar.

Aku tersenyum pahit, "Mungkin mereka punya sebab tersendiri." Jawabku lemah.

Taufan mengalihkan punggungnya padaku, membelakangi aku, "Aku.. mau tidur."

Setelah menguap lebar, Taufan terus masuk ke alam bawah sadarnya. Aku tersenyum sedih, mengingatkan sikap Taufan. Sejak kemarin, tepatnya setelah Gempa meninggalkan kami, Taufan tidak berbicara banyak, sebaliknya ia mengunci mulutnya, seperti buku diary berharga yang harus dijaga daripada jatuh ke tangan orang lain.

Oke, sepertinya aku mulai ngawur. Aku menguap, kemudian terus menutup kelopak mataku. Berharap esok akan menjadi seperti sedia kala, dengan Taufan yang sudah kembali ceria.

.

.

Ternyata harapanku seperti seminggu lalu tidak dikabulkan. Kini gilianku yang akan meninggalkan panti asuhan ini. Seperti Gempa, sepasang suami istri yang tidak punya anak mau mengambilku sebagai anak angkat mereka.

Tiba-tiba ujung kaosku ditarik pelan oleh.. Taufan?

"Jangan tinggalkanku Kak Hali.."

Aku menggigit bibir bawahku. Sungguh, mendengar suara adikmu yang terdengar begitu sedih, membuatkan dirimu juga turut berasa sedih. Begitulah perasaanku sekarang.

Aku melihat Bu Ziie, nama yang dibilang padaku dan Taufan oleh dirinya sendiri.

"Apa kamu mau mengikut ibu ke rumahku?" Tante itu bertanya dengan lembut padaku. Aku memandang Taufan. Kemudian mengalihkan perhatianku pada tante di hadapanku semula.

"Tante, apa tante keberatan kalau ngambil kembaranku saja? Aku ga mau ia ditinggal sendirian di sini setelah peninggalanku.." Tanyaku dengan suara yang perlahan. Sekilas aku memandang Taufan yang sedikit melebarkan matanya.

Tante itu dan suaminya hanya senyum, "Tidak apa-apa nak. Lagian, kamu dan kembaranmu sama saja." Ujarnya. Senyum tulus menghiasi bibirnya dan suaminya.

Aku memeluk Taufan, persis aku memeluk Gempa. Aku membisikkan kalimat-kalimat yang sama aku bisikkan ke Gempa padanya, "Jaga dirimu baik-baik ya Taufan. Kakak sayang padamu." Taufan hanya menganggukkan kepala pelan. Aku dapat merasakan kaosku basah. Pasti ia lagi nangis. Huh, anak cengeng, pikirku. Aku tersenyum padanya. Mulanya aku berpikir, Taufan akan menangis semakin keras, tapi sebaliknya yang terjadi. Ia menyengir padaku.

Merasa gemas, aku membuka topinya lalu mengacak-ngacak surai hitamnya.

"Ah- Kak Hali! Jangan acak-acak rambutku dong! Aku baru saja sikat tadi! Huftt-" Seru Taufan sambil menyilangkan tangan di depan dada, pose ngambek. Aku terkekeh kecil melihatnya.

.

.

Aku melihat Taufan berangkat bersama keluarga barunya. Taufan melambaikan tangannya padaku lewat jendela mobil. Sebelum mobilnya bergerak, aku memberikan isyarat mulut padanya,.

"Moga kita bertemu semula."

Aku mendapat isyarat yang sama sebagai balasan.

"Iya! Moga kita bersatu semula!"

.

.

.

.

Beberapa minggu setelah Taufan dan Gempa meninggalkanku, sebuah keluarga menjemputku, menjadikan aku sebagai anak angkat mereka. Sebuah keluarga maksudkan sekali dengan anak. Ya, itulah Amelia. Saat itu ia masih berusia 7 tahun. Aku tersenyum pahit, rasanya pening di kepalaku ini sudah berkurangan yah..

Baru saja aku mau melangkah, tiba-tiba sekelibat manusia melewatiku dengan skateboard. Raut wajahnya seperti orang yang sedang dalam gelisah.

Aku menaikkan sebelah alisku.

'Aneh.' Batinku. Sesaat aku membatu di tempat. Aku mengucek-ngucek mataku. Apa orang yang aku lihat tadi...

Untuk memastikan tebakanku benar atau salah, aku mengikuti pemuda itu.

.

.

Beberapa menit telah pun berlalu, akhirnya pemuda itu sampai di rumahnya. Ia berdiri di depan pintu rumahnya selama beberapa saat. Aku pula berdiri di balik dinding, tidak jauh dari pemuda itu. Jadi, tebakanku benar..

Deg

Topi biru yang dimiringkan..

Deg

Pakaian yang serba biru..

Deg

Skateboard di tangan..

Deg

Iya, aku masih ingat saat berusia 3 tahun lebih, Taufan meminta papa untuk membelikan ia sebuah papan selaju..

Deg

Itu..

Deg

Taufan..?

Setelah selama 11 tahun berpisah, aku mengira aku tidak akan bertemu dengannya atau Gempa. Aku pikir itu hanyalah angan-angan semata. Hanya perlakuan yang boleh dikata dengan mulut, tapi tidak boleh diwujudkan. Jantungku berdebar kuat, rasanya jantungku mau copot sekarang. Nafasku juga semakin memburu.

Apa ia tidak bisa merasakan kewujudanku di sini? Aku pernah membaca satu buku bahwa jika kau punya kembaran, kembaranmu bisa merasakan perasaan, bahkan perbuatanmu juga. Jika benar itu Taufan, ia akan mengalihkan perhatiannya dari pintu rumah.. kepadaku..

Tanpa diduga, 'Taufan' memusingkan kepalanya, tepat ke arahku. Tapi sayangnya, aku kembali bersembunyi di balik dinding, tidak membuat kontak mata dengannya. Aku membawa tangan kananku ke mulutku, tangan kiriku pula memegang dadaku. Kini aku pasti, itu sememangnya Taufan. Air mata gembira perlahan meluncur membasahi pipiku.

Tidak kusangka sama sekali, Taufan yang dulunya ceria, hiperaktif dan berkelakuan seperti bocah, sekarang sudah membesar, menjadi seorang pemuda, seperti halnya aku dan Gempa.

Aku menghabiskan beberapa menit masaku, bersandar di dinding, masih tidak bergerak walaupun seinchi. Aku mengambil nafas panjang. Aku mendongakkan kepalaku ke atas, melihat awan gelap membawa air yang akan turun sebagai hujan kapan-kapan saja. Aku menyeka air mataku. Kan memalukan kalau saudaramu melihat ini, apatah lagi kau sebagai kakak sulung.

Aku mengalihkan tatapanku pada rumah Taufan semula. Ia sudah tiada di tempat ia berdiri tadi. Mungkin sudah masuk ke dalam rumah kali?

Bagaimana aku mau bertemu sama dia? Setelah 11 tahun berpisah, aku rasa awkward walaupun dengan saudaraku sendiri. Nafas panjang dihela olehku. Mungkin aku patut ke rumahnya? Lagipula, kepalaku terasa pusing. Badanku pula semakin panas, efek berjalan banyak mungkin?

Dengan langkah perlahan, aku menginjakkan kakiku dari tempat persembunyianku, berjalan ke arah rumah Taufan.

Kepalaku ditundukkan. Menarik nafas panjang, tanganku memicit bel rumahnya.

Ting.. Tong..

Aku menahan nafasku, berpikir apa reaksi Taufan setelah melihatku.

Ting.. Tong..

Pasti ia akan kaget ya..? Entah lah.. Aduh.. mana si Taufan nih? Kepalaku semakin pusing!

Ting.. Tong..

Aku memicit bel lagi. Tapi kemudian aku terdengar suara teriakan dari dalam rumah.

"TAUFAN! TOLONG BUKA PINTUNYA!"

"BAIK, BU!"

Heh, tidak diragukan lagi, itu memang Taufan.

JEDAAAARRRRRRRR-

Sesaat kilat mulai menyerang bumi ini. Aku menghela nafas, kalau gini terus, aku harus tinggal di rumah Taufan untuk sementara waktu.

Ting.. Tong..

Ayolah Taufan! Buka pintunya! Kepalaku serasa mau meledak!

Creaak..

Hah! Akhirnya!

"Taufan." Aku bergumam. Tanpa melihat wajahnya saja, aku tau, pasti ia kaget dengan kedatanganku ini.

"K-Kak Hali?" Yah, suaranya bergetar.

Aku tersenyum kecil di sebalik lidah topi milikku, sebelum jatuh ke lantai akibat pusing yang berlebihan.

"KAK HALI!"

.

.

.

To be continued..

.

.

.

A/N : Aku kejam ya? :p Maaf pada para fans-nya Gempa! Chapter depan akan ku bikin kemunculannya ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro