Chapter 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.
.
.

Hari itu udara terasa dingin sekali, maklum, karena sejak subuh tadi gerimis tidak berhenti turun. Dan sekarang sudah pukul tujuh pagi, dan awan masih terus menitikan air ke muka bumi. Lapangan Basket yang baru di buka di luar itu masih basah, dan sebenarnya itu tidak begitu masalah karena mereka akan melakukan pengambilan nilai melempar bola di udara. Namun, karena cuaca kurang bersahabat.Karena itulah Madam Hooch mengundurkan waktunya sampai gerimis diluar berhenti.

Emma malah sangat berharap kalau waktunya diundur sampai minimal besok. Kenapa? Bukan, masalah utamanya bukanlah karena ia masih belum bisa melempar bola dengan benar (yah, sebenarnya memang itu salah satu alasannya sih, tapi bukan yang utama), melainkan karena ia masih belum siap jika harus bertemu dengan Oliver.

Sejak Oliver mengakui bahwa lelaki itu mulai menyukai Emma, gadis itu tidak pernah lagi latihan maupun ke lapangan basket. Ia jarang keluar dari asramanya (tepatnya kamarnya), tidak berani kemana-mana sendirian. Ia takut kalau harus bertemu pandang dengan lelaki itu, ia tidak tahu harus memasang wajah seperti apa.

Ketika Oliver mengucapkan kalimat yang tidak terduga itu, Emma langsung terdiam dan menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah dengan rambutnya yang panjang. Sebelum Oliver sempat mengatakan kata yang lain, Emma segera melarikan diri dari tempat dimana ia duduk -ia pergi meninggalkan Oliver yang masih ada di lapangan basket.

Mimpi. Kata -kata Oliver kemungkinan besar adalah mimpi. Tapi, jika memang mimpi, kenapa ia harus takut? Kenapa Emma harus menghindari lelaki yang ia sukai itu? Jawabannya simpel saja. Karena Emma tidak pernah mempedulikan perasaannya pada Oliver. Ia tidak tahu apakah ia masih menyukai Oliver atau tidak. Saat ia menulis surat kepada Oliver, ia bisa menarik nafas lega karena ia tidak perlu bertemu dengan Oliver untuk menghadapi lelaki yang sudah mengetahui isi hatinya itu. Karena tidak akan bertemu, Emma jadi sangat jarang mengisi pikirannya dengan bayangan Oliver -karena gadis itu ingin menyibukkan diri dengan pelajarannya. Tetapi kemudian Oliver datang kembali untuk mengajarinya dan teman-temannya bermain basket, dan ini merusak pikiran Emma. Dan gadis itu pun menjadi bimbang, apa yang harus ia lakukan terhadap perasaannya ini? Apa yang harus ia lakukan pada Oliver?

"Anak-anak, ayo berkumpul! Hujannya sudah berhenti dan sepertinya matahari akan muncul sesaat lagi. Persiapkan diri kalian sembari Jackson mengambil quaffle di tempat penyimpanan," ujar madam Hooch menghampiri murid-murid kelas tiga asrmaa singa di aula.

Murid-murid kelas tiga tersebut langsung mengikuti perkataan guru mereka -pergi ke lapangan basket sambil membawa sapu terbang mereka. Di lapangan, beberapa anak laki-laki langsung mengambil bola yang tadi dibawa madam Hooch untuk latihan. Kemudian Oliver datang sambil membawa beberapa bola, lalu lelaki itu bergabung dengan Jasper dkk. Sambil menunggu madam Hooch yang mengambil daftar nama, semua anak-anak perempuan juga mengambil bolanuntuk latihan sebentar -semuanya kecuali Emma.

"Emma, kau mau coba latihan?" tanya Padima sambil menawarkan bola yang ia pegang.

"Ng, tidak kau saja, Padima..." jawab Emma.

"Oke," dan Padima melanjutkan latihannya.

Gadis kutubuku itu sama sekali tidak berani menyentuh bola basket. Ia takut. Takut gagal, takut ditertawakan, takut tidak bisa, takut dipermalukan, dan sebagainya. Tidak pernah ia merasakan hal seperti ini. Oke, sebenarnya ia selalu merasakan kegugupan seperti ini setiap kali akan mengerjakan tes yang diberikan guru. Tetapi yang satu ini berbeda. Sangat berbeda. Di pembelajaran biasa meskipun gugup, tetapi sebenarnya ia tahu jawaban dari semua pertanyaan, hanya takut salah mencentang jawaban saja. Nah, kalau di lapangan ini masalahnya beda lagi, karena ia memang dari awal tidak pernah bisa -bahkan ia berpikir kalau ia tidak akan pernah bisa sampai akhir hayat hidupnya. Itu tadi adalah alasan pertamanya. Yang kedua adalah, aksi bodohnya sebagai (mungkin) satu-satunya murid yang tidak bisa melempar bola dengan benar akan dilihat teman-teman sekelasnya -untungnya tidak ada murid ular, sih, disini... Dan yang ketiga adalah karena ada Oliver. Ia akan menjadi semaki gugup. Kali ini bukan gugup karena Oliver sudah tahu perasaannya, melainkan gugup karena Oliver telah mengakui perasaannya walau dalam kalimatnya itu masih ada kata 'kupikir' yang berarti lelaki itu belum yakin kalau ia benar-benar menyukai Emma

Madam Hooch sudah kembali ke lapangan sambil membawa daftar nama dan memanggil nama pertama yang tertara di kertas yang ia pegang. Dan Emna berkeringat dingin -takut mimpinya menjadi kenyataan, takut ia akan melihat wujud rasa takut-nya yang nyata. Setelah satu persatu siswa setelah diambil nilainya, sekarang adalah giliran Emma. Astaga, rasanya gadis itu ingin pingsan saja mendengar namanya disebut!

"Jangan gugup, Rexia, tidak masalah jika kau gagal dalam hal ini," kata Oliver sambil menyerahkan quaffle pada Emma.

Jantungnya terus berdetak kencang -rasanya seperti akan copot saja jantungnya itu. Tangannya basah karena keringat dingin. Dan ia takut. Takut sekali sampai rasanya ia ingin menangis.

....................

"Tidak apa, Emma. Toh, tidak hanya kau saja, kok, yang gagal memasukkan semua bolanya...dan lagi, kan, pengambilan nilai tadi itu kan hanya untuk melihat prosesnya saja, bukan ujian yang sesungguhnya!" hibur Padima.

"Tap-tapi tetap saja aku tidak pernah gagal seperti ini!" isak Emma.

"Oh, ayolah Emma, jangan cengeng begitu! Minggu depan kan masih ada latihan lagi." kata Reno.

Tetapi memang ini pertama kalinya Emma gagal dalam sebuah pelajaran. Kesal, kecewa, sedih, semuanya jadi satu dalam tangisnya. Memang sih, ia tidak ditertawakan atau dipermalukan seperti yang ia bayangkan sebelumnya, tetapi tetap saja intinya dia gagal.

Keesokkan harinya Emma kembali ke rutinitas sehari-harinya seperti dulu -pergi ke perpustakaan. Walau pun 90% dari semua buku yang ada di perpustakaan sudah ia baca, tetapi ia masih belum puas kalau belum 100%. Sungguh, entah memang dia itu kutubuku atau terlalu niat membaca buku. Meski begitu, matanya tidaklah rusak-rusak -matanya masih belum membutuhkan kacamata padahal total buku yang sudah ia baca mungkin sudah mencapai ribuan.

Perpustakaan agak sepi, seperti biasanya. Emma mengambil buku teori basket di salah satu rak, kemudian ia duduk di tempat biasanya. Dengan penuh konsentrasi ia membaca setiap kata yang tertulis dalam buku setebal duaratusan halaman itu. Saking seriusnya, ia tidak sadar Oliver ada di hadapannya.

"Membaca buku itu sampai ratusan kali tidak akan membuatmu bisa melempar bola dengan benar," ujar lelaki itu. Sontak, Emma langsung mengalihkan pandangannya ke arah Oliver.

"Aku tahu, tapi setidaknya walau prakteknya hancur, aku masih tetap mendapat nilai tinggi di teorinya," kata Emma sambil menundukkan kepalanya.

"Kenapa kau tidak latihan lagi? Biasanya kau latihan setiap hari. Tetapi kenapa menjelang hari pengambilan nilai kau tidak pergi latihan lagi?" sidik Oliver.

"Aku lelah, karena aku tahu kalau aku memang tidak bisa, dan tidak akan pernah bisa," jawab Emmabdengan sedikit mendesis.

"Siapa bilang? Terakhir kali aku melihatmu latihan, sebenarnya aku yakin kau punya potensi. Dan jika setelah latihan terakhir itu kau terus mengasah lagi kemampuanmu, kurasa seharusnya kemarin itu kau psti bisa memasukkan bola minimal dua kali," kata Oliver.

"Jangan sok tahu, Jackson," ucap Emma.

"Aku bukannya sok tahu, Rexia, tetapi aku memang tahu," kali ini Oliver yang sedikit mendesis.

Sungguh, Emma bersyukur karena di meja itu -di daerah tempat ia duduk hanya ada ia dan Oliver. Dan di perpustakaan yang luas itu tidak ada guru. Dengan begitu, jika ia berselisih dengan Oliver, tidak akan ada yang begitu memperhatikan mereka.

"Tapi aku memang tidak bisa, Jackson, aku tidak pernah bisa. Seberapa pun aku mencoba dan berlatih, aku tidak pernah bisa," ujar Emma.

"Namun kau masih terus mencobanya," kata Oliver.

"Karena aku tidak ingin gagal," kata Emma.

"Itu saja sudah cukup. Seharusnya itu sudah bisa menjadi motivasimu -"

"Cukup, Jackson. Apakah kau ini? Psikolog? Motivator? Sudahlah, kau memang pemain basket yang hebat -kau bisa bermain di semua posisi. Sedangkan aku, aku tidak bisa, dan basket mungkin adalah satu-satunya hal yang tidak menarik bagiku," ujar Emma, memotong perkataan lelaki yang duduk di hadapannya.

"Oke," kata Oliver sambil menghembuskan nafasnya. "Waktu aku melihatmu latihan dengan serius, kuyakin kau punya keinginan yang kuat -tambah lagi kau adalah seorang perfeksionis dan ambisius. Kupikir kau akan bisa mendapat nilai yang tertinggi juga untuk materi yang satu ini. tetapi sekarang aku tahu aku salah menilaimu. Aku kecewa padamu, Rexia," kata Oliver kemudian ia berdiri dari kursinya, menatap kesal pada Emma, berjalan meninggalkan meja Emma, dan melangkah keluar dari perpustakaan.

Sedangkan gadis yang masih memegang buku teori basket itu tidak bisa berkata apa-apa. Ia terdiam. Tidak ada ekspresi yang mampu ia keluarkan. Tadi sempat ia ingin memotong perkataan Oliver lagi, tetapi ia terlanjur mendengar kata 'kecewa' yang terlontar dari mulut lelaki yang ia sukai Jadi...bagaimana sekarang...? Tanpa sadar, Hermione pun menitikkan air matanya.

Bersambung
.
.
.
.
.

Aduh, jahat banget ya Oliver tapi si Emma nya salah juga sih. Orang dinasehatin baik-baik malah diajak berdebat.

Btw makasih untuk yang vote dan Komen.

Tag : CreaWiLi
Admin :
hermonietha/MaaLjs Tangan_Kiri noviap26_ Tiuplylyn RGNyamm NyaiLepetj AudyaAprilia Quinhiems

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro