Chapter 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.
.
.

Berbulan-bulan telah berlalu sejak Emma terakhir kali bertemu dengan Oliver di perpustakaan. Setelah perdebatan singkat waktu itu, keesokkan harinya lelaki itu undur diri melatih tadi dengan alasan orangtuanya didinaskan ke luar negri –sehingga Oliver pun mau tak mau harus pergi, ikut dengan kedua orangtuanya. Dan itu adalah salah satu alasan kenapa sejak saat itu Emma jauh lebih murung dari biasanya.

Nilai-nilai pelajaran Emma masih bagus seperti biasa, nilai ulangan selalu tertinggi, pekerjaan rumah selalu diselesaikan tepat waktu (bahkan sudah selesai sebelum waktu pengumpulan). Namun 'penyakitnya' tetap sama: Basket.

Sampai saat latihan terakhir kali di kelas tiga, Emma masih belum juga bisa melempar bola basket dengan benar. Sebenarnya ada dua faktor yang membuatnya makin tidak bisa. Yang pertama adalah karena ia terlalu optimis bahwa ia tidak akan bisa (orang bilang dia pesimis, tapi dia mengatakan kalau dirinya optimis tidak bisa). Alasan kedua adalah, sejak Oliver pergi, gadis berambut ombak itu tidak pernah lagi latihan. Satu-satunya waktu dimana ia menyentuh bola adalah saat pelajaran basket berlangsung, sisanya ia menjauhi benda itu.

Bukan, saat ini bukannya ia sedang meratapi kepergian Oliver. Bukan juga ia sedang menyesali diri yang tak pernah bisa melempar bola dengan benar. Tetapi, untuk pertama kali dalam seumur hidupnya, ia merasakan kebimbangan yang begitu mendalam. Emma menyukai Oliver, itulah pikirnya. Dan lelaki itu pun sempat bilang kalau mungkin ia menyukai Emma. Dengan begitu, bukankah berarti perasaannya itu tidak bertepuk sebelah tangan? Bukankah perasaannya telah tersambut? Lantas, mengapa ia harus bingung.

Karena dia adalah cinta pertamaku. Begitulah pikir Emma. Satu-satunya pikiran yang selalu ia usahakan untuk disingkirkan, yang selalu ia coba hilangkan dalam otaknya, namun sampai detik ini, tidak pernah kalimat itu lenyap dalam benaknya. Hanya satu kalimat yang berisi lima kata, tetapi tidak pernah ia bisa musnahkan dalam hati dan pikirannya.

Walau pun kini ia lebih sering memikirkan tentang Oliver daripada sebelumnya, tetapi Emma masih bisa mendapatkan nilai tertinggi di angkatannya. Well, mungkin dia memang si jenius sejati.

Meski dibilang jenius, ia tidak akan jenius sepenuhnya jika ia tidak bisa melempar bola basket dengan benar –yang mana ia sangat kesalkan. Untungnya, nilai basket tidak dimasukkan di rapor kelasnya.

Emma dan teman-temannya sudah duduk di bangku kelas tiga semester terakhir sejak beberapa bulan yang lalu. Berbagai latihan untuk ujian ujian sudah diberikan oleh guru-guru. Pendalaman materi, melengkapi catatan beserta tambahannya, dan

Pada akhirnya, Emma bisa menghalau pikiran tentang Oliver. Namun begitu, bukan berarti ia bisa menghalau ujian praktek basket yang akan dilaksanakan lusa. Ya ampun, tak disangkanya bahwa 'neraka'nya sudah semakin dekat!

......................

"Mau ke perpustakaan lagi?"

Emma  menghentikan langkahnya begitu ia mendengar suara itu. suara yang tidak pernah ia lupakan. Suara yang sudah sangat khas untuk lelaki itu. suara Oliver Jackson.

Lelaki mantan kapten tim basket asrama singa itu berdiri di koridor dekat perpustakaan. Sambil bersender di dinding, wajahnya menatap Emma, tidak mengeluarkan ekspresi apa pun. Bahkan Emma malah merasa itu adalah ekspresi yang mungkin sama seperti ekspresi yang terakhir kali Oliver berikan kepadanya sewaktu di perpustakaan beberapa bulan yang lalu.

"Selamat sore, Rexia. Apa kau sudah latihan basket hari ini?" tanya Oliver lagi.

"Tid– belum. Aku tidak latihan," jawab Emma, tanpa melihat ke arah pemuda itu.

"Selama aku tidak ada disini, aku berani bertaruh kalau kau tidak latihan sama sekali. Aku benar, bukan?" selidik Oliver.

"Tebakanmu benar, Jackson. Nah, sekarang aku permisi, aku harus mengembalikan buku yang kubawa ini ke perpustakaan," kata Emma.

"Ujianmu itu besok, Rexia. Apa kau mau sampai tidak lulus hanya karena kau gagal di praktek basket?" tanya Oliver.

Ya, detik-detik jam cepat sekali berlalu. Sekarang, hanya dalam hitungan jam saja, 'neraka' Emma akan benar-benar datang.

Gadis kutubuku itu tidak mempedulikan ucapan Oliver, ia berjalan dengan cepat menuju perpustakaan, tidak mau melilhat lagi ke belakang. Tetapi Oliver masih terus memperhatikan punggung gadis itu dari belakang, seakan sepasang mata itu tidak ingin melepaskan sosok Emma yang akan masuk ke perpustakaan.

Di ruangan yang penuh rak buku itu, Emma untuk pertama kalinya mengambil kembali buku teori basket sejak Oliver mengundurkan diri mengajar adik-adik kelasnya. Gadis itu duduk di kursi, lalu membuka halaman pertama buku basket tersebut. Alangkah terkejutnya ia sewaktu ia menemukan secarik kertas surat yang ditujukan kepadanya, tertempel di halaman pertama buku itu. Setelah membaca kertas itu, Emma beranjak dari tempat duduknya. Dengan menghiraukan buku-buku yang ditaruhnya di atas meja, ia kini berlari menuju lapangan Emma.

...................

Hari pengambilan nilai ujian praktek basket telah tiba. Setiap murid kelas tiga semester terakhir berdatangan ke lapangan basket sambil membawa bola masing-masing. Ya, semua siswa kelas tiga memang dijadwalkan untuk ujian basket di hari yang sama. Dan inilah yang ditakutkan Emma –karena ia tidak hanya akan dilihat oleh teman-temannya dari asrama singa, melainkan juga dari burung, luwak, dan ular. Oh, ya ampun, ular –Draka Winston!

Madam Hooch membunyikan peluitnya untuk membuat para peserta didiknya berkumpul, agar ia bisa memberikan pengarahan. Setelah pengarahan singkat tentang teknis pengambilan nilai, ujian pun dimulai. Dibantu dengan Oliver, madam Hooch sudah siap menarik nilai peserta ujian.

Satu demi satu nama siswa dipanggil untuk diambil nilainya. Dan sejauh ini, belum ada anak yang tidak bisa memasukkan satu bola pun ke dalam lingkaran –semuanya berhasil sejauh ini. dan sekarang, madam Hooch memanggil nama Emma.

Dengan perasaan yang sama seperti dulu pertama kali nilai basket akan diambil, Emma kembali keringat dingin. Secara biologis, kata orang, sih, telapak tangan sering basah dikarenakan ada dua kemungkinan. Pertama karena memang pori-porinya lebih besar dari orang umumnya. Yang kedua katanya karena jantungnya lemah. Namun, sepertinya Emma telah membuat teori yang baru. Telapak tangannya mengeluarkan air atau yang biasa disebut keringat itu bukanlah karena pori-pori telapak tangannya besar maupun ia memiliki jantung yang lemah. Kedua telapak tangannya basah karena gugup –amat sangat gugup. Tidak, kali ini ia tidak lagi gugup karena takut ditertawakan, bukan juga takut malu karena ada Oliver yang akan ikut melihatnya. Hanya satu yang membuat ia takut kali ini: tidak lulus.

"Kau bisa, Rexia, aku tahu kau pasti bisa," ujar Oliver sambil memberikan bola pada Emma, dibalas anggukan kepala gadis itu.

Pertama ia melempar bola dari jarak sepuluh meter, dan lemparannya meleset. Setelah itu ia melempar bola dari jarak tujuh meter, gagal. Lemparan ketiga ia berhasil memasukkan bola. Lemparan keempat, masuk juga dengan mulus. Lemparan kelima masuk juga. Dan pada akhirnya, ia berhasil memasukkan bola di lemparan yang keenam. Empat masuk, dua kali meleset.

"Bagus, kau lulus Rexia, nilaimu C," ujar madam Hooch.

Antara rela tidak rela, Hermione memberikan senyum tanda terimakasih pada gurunya itu. nilai C. Kesal? Tentu. Kecewa? Sangat! Namun apa daya, basket memang bukan keahliannya. Yah, setidaknya ia bisa lulus –ia telah berhasil melewati batu loncatannya.

Bersambung
.
.
.
.
.

Wow, ada yang pensaran dengan surat apa yang didapat Emma yang bikin dia jadi semangat lagi untuk latihan basket.

Dan dari siapa surat itu berasal?

Part selanjutnya adalah epilog atau chapter terakhir.

Tag : CreaWiLi
Admin :
hermonietha/MaaLjs Tangan_Kiri noviap26_ Tiuplylyn RGNyamm NyaiLepetj AudyaAprilia Quinhiems

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro