MPBB - 31

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Alula berdiri di balkon kamarnya, entah apa yang ada di pikirannya. Ia merasa sangat pusing memikirkan hubungannya dengan Gavin, harusnya hal itu bisa dibuat lebih simple dari sekarang. Intinya ia harus ikhlas.

Ikhlas menerima jika kekasihnya bersama sahabatnya.

Setelah itu, ia bisa tidur nyenyak dan dekat kembali bersama sahabatnya. Harusnya seperti itu, harusnya. Nyatanya, semua itu tidak mudah. Alula tak bisa langsung ikhlas bergitu saja, di hatinya masih tidak bisa rela.

"Gimana kabar lo, Al?"

Alula menoleh ke arah orang yang menyapanya, dia Dicky. Ia menghela nafasnya pelan, "gue baik."

Dicky terkekeh geli,"gue tau lo lagi kacau, Gavin nggak kalah kacaunya kok Al. Yakin sama gue, dia sayang banget sama lo."

Alula mengusap wajahnya, "sesayang apapun dia sama gue, orang tuanya nggak setuju Gavin sama gue. Terus gue harus apa? Gue nggak bisa apa-apa."

"Lagian jalanin aja dulu, Al. Ntar juga Regina sadar diri, Gavin cintanya sama lo. Bukan sama dia."

Alula menggeleng pelan, "gue nggak mau nyakitin hati orang lain demi kebahagiaan gue sendiri."

"Loh, emang Regina nggak nyakitin lo? Di dunia ini hal itu sering terjadi, Al. Nyakitin orang demi kebahagiaan orang lain, emang selama ini lo nggak nyakitin orang? Dari dulu kali, Al."

"Maksud lo?"

"Azzam, dia suka sama lo. Dan lo lebih milih Gavin, bukannya dia juga sakit dan lo bahagia? Yang kedua Vanno, dia juga suka sama lo. Tapi lo nggak peduliin dia, bukannya dia sakit dan lo bahagia juga kan? Terus susahnya apa, lo tinggal jalanin hubungan sama Gavin doang."

Alula menggelengkan kepalanya pelan, "lo gila tau nggak, ya kali gue mau maksain. Kalo orang tuanya nggak setuju ya udah, gue ikhlas."

"Ikhlas? Yakin lo bisa?"

"Iya, gue yakin. Gue bisa ikhlas," Alula menghela nafasnya pelan, "ah udahlah, gue nggak mau mikirin itu. Gue mau bodo amat sama semua itu," katanya.

"Otak lo bilang gitu, tapi hati lo nolak, Al. Gue tau itu," kata Dicky meledek membuat pipi cowok itu ditepuk keras oleh Alula.

"Anj-"

"Apa lo?" Alula mendelik membuat Dicky tak melanjutkan umpatannya. Alula tertawa kecil, "anterin gue yuk, pengen sate," katanya dan segera masuk tanpa menunggu jawaban dari Dicky.

Dicky mengikuti langkah Alula yang tengah mengambil jaketnya, "kalo bukan sepupu gue, udah gue gebet lo, Al."

Alula tertawa seraya memakai jaketnya, "udah ah, ayo. Gue laper."

Dicky segera mempercepat langkahnya dan keluar dari rumah Alula bersama gadis itu. Ia segera menyalakan motornya dan Alula dengan cepat menaiki motor itu.  Mereka segera meninggalkan halaman rumah Alula.

"Kita mau kemana, Al?"

"Ke tempat sate yang enak pokoknya, terserah lo mau dimana."

15 menit kemudian...

Alula mendengus pelan, ia kesal dengan Dicky. Padahal tadi mereka melewati tempat ini, hanya saja cowok itu membawanya keliling terlebih dahulu. Alula segera memasuki kedai itu, dan melihat sekelilingnya. Tidak mewah, hanya saja ia merasa nyaman disini.

Lagipula, ia juga sering kesini bersama Gavin, dulu. Ia mengedarkan pandangannya untuk mencari tempat duduk, semua meja penuh membuatnya menghela nafasnya pelan. Seseorang melambaikan tangannya ke arahnya, ia memicingkan matanya dan menyadari jika orang itu adalah Regina.

Alula tersenyum dan menghampiri Regina, "hai Gin, sama siapa lo disini?" tanyanya membuat Regina tersenyum kikuk.

"Tapi lo jangan marah ya, gue sama Gavin cuma mau ngomongin tentang perjodohan kita. Dan gue bakal nolak permintaan mama nya Gavin," kata Regina yang hanya diangguki Alula. "Duduk sini aja, Al."

"Oh, iya Gin. Makasih ya."

***

"Nih, punya kamu."

Alula memicingkan matanya, "loh, aku kan telat dateng. Kok aku duluan?" tanyanya pada Gavin yang tengah duduk setelah memberikan pesanan Alula, cowok itu bersiap untuk memakan pesanannya.

"Ya emang kamu duluan, Regina nanti aja. Ntar dibawain sama Dicky," kata Gavin membuat Alula menatapnya aneh, "kenapa ngeliatinnya kayak gitu, mau aku suapin?"

"Ih enggak."

Gavin tertawa kecil dan segera memakan pesanannya, sedangkan Alula masih ragu dan menoleh ke arah Regina, gadis itu tersenyum.

"Makan aja, Al. Ntar gue nyusul."

Alula mengangguk dan segera memakan sate ayamnya, lagipula ia tengah lapar gara-gara ulah Dicky yang mengajaknya berkeliling tanpa tahu situasi dan kondisi Alula yang tengah lapar.

"Beruntung banget jadi lo ya, Al. Dicintai orang sebaik Gavin, gue iri sama hidup lo. Dikelilingi orang-orang yang sangat menyayangi lo."

"Oy, Gin. Kok ngelamun?"

"Eh, enggak."

"Ini pesanan lo," kata Dicky dan duduk di samping Regina.

Alula tak menghiraukan sekitarnya, ia hanya fokus pada makanannya, entah kenapa gadis itu mengabaikan Gavin yang tengah menatapnya. Biasanya ia akan sangat sensitif jika Gavin menatapnya.

"Laper, Al?"

"Udah kenyang, kan udah makan."

Gavin terkekeh, "abis ini ke time zone, mau?"

"Nggak."

"Kok nggak mau?"

"Ya nggak mau aja," kata Alula jutek.

Gavin menghela nafasnya pelan, "yakin nggak mau? Terus maunya kemana?" tanyanya, Alula menoleh ke arah Gavin.

"Lagian ngapain ngajak gue sih, ngabisin duit doang."

"Lah yang mau bayarin lo siapa, Al. Geer amat," kata Dicky membuat Alula menatapnya tajam.

"Lah, lo kan yang mau bayarin makan gue."

"Ogah."

"Ih, Dicky."

"Gue nggak bawa dompet dodol."

Alula membelalakkan matanya, "serius lo?"

Dicky mengangguk polos.

"Cuci piring lo!"

Dicky tertawa pelan, "ada calon suami lo, ngapain capek-capek nyuci piring. Ya nggak Vin?"

Gavin terkekeh dan mengangguk, "abis ini ke time zone yuk? Terserah Alula mau ikut atau enggak," katanya.

"Dih jahat."

"Yaudah makanya mau ikut apa enggak?"

"Ikutlah."

"Gue ke toilet dulu," kata Dicky.

"Gue juga mau ke toilet," kata Regina.

***

"Dicky sama Regina kok belum balik juga," kata Alula.

"Udah pulang."

"Heh, kok pulang? Terus, gue gimana."

Gavin menghela nafasnya pelan, "sama aku, lah. Ayo pulang," ajak Gavin.

"Katanya mau ke time zone."

Gavin tertawa, "ya udah makanya ayo, kalo kamu duduk terus kapan berangkatnya."

Alula dengan sangat terpaksa bangkit berdiri dan berjalan bersama Gavin. Ingatkan dia untuk menonjok Dicky besok, menyebalkan sekali. Ia ingin move on, bagaimana bisa jika seperti ini keadaannya?

Alula menaiki motor Gavin dan sang empunya motor segera melajukan kendaraannya. Sesuai janjinya, Gavin akan membawa Alula ke mall.

10 menit kemudian...

"Ayo."

Alula mengangguk dan mengikuti langkah Gavin, mall ini sangat-sangat ramai. Beberapa lagu dinyanyikan dan lain sebagainya.

Setulus dalamnya rasa cintaku
Tak cukup meyakinkan hati orang tuamu

"Kok gue banget?"

Gavin melihat Alula terdiam pun menepuk pipinya, "kok bengong?"

Alula tersadar dan langsung menggeleng pelan, "gapapa, lagunya mirip kita," katanya dengan senyum yang dipaksakan.

"Pindah mall?"

Alula menggeleng dengan cepet, "nggak usah, ngapain juga pindah. Kita tuh harus nerima kenyataan," katanya dengan wajah polosnya.

"Nyatanya aku nggak bisa ikhlas dan nggak akan pernah ikhlas mungkin," kata Gavin dengan dingin membuat Alula langsung terdiam. "Sampe kapanpun, aku nggak akan pernah cinta sama Regina. Meskipun kamu bukan jodohku, aku nggak akan jatuh cinta sama sahabat kamu."

"Kalo dia jodohmu?"

"Nggak, dia jodoh orang. Udah lah, ntar pulang-pulang kamu nangis. Ayo, ntar kemalaman."

Jika seperti ini caranya, Alula tidak bisa dan tidak akan pernah bisa melupakan Gavin.

***

See you next chapter...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro