Bagian 21 : Masa Lalu yang Kelam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jungkook memperlihatkan ketenangan dalam hitungan detik. Auranya perlahan berubah, tetapi Jihyo biasa merasakan ketidaksukaan Jungkook pada wanita elegan yang ada di hadapannya. Ketika wanita itu tersenyum lebar—tampak hangat, Jungkook tidak membalas demikian, tetapi tidak juga memperlihatkan amarahnya secara langsung. Hanya saja, Jihyo sedikit kesal karena Jungkook yang tidak ingin menurunkannya dari gendongannya.

Hei, Jihyo malu dengan penampilan seperti ini di hadapan tamu.

"Senior, turunkan aku—"

"Tidak, Sayang. Kau baru saja mengalami hal-hal yang berat. Tidak masalah," kata Jungkook dengan lembut, tetapi semakin membuat Jihyo seakan tenggelam—cukup malu.

"Saya senang melihat kebahagiaan kalian. Sepertinya, apa yang Sohyun katakan mengenai rumah tangga kalian yang buruk ternyata salah," katanya dengan begitu anggun. Jihyo benar-benar terpukau mendengar setiap kata yang keluar, belum lagi pakaiannya yang begitu modis dan anggun. Jihyo semakin tidak mengerti, siapa lagi wanita ini? Akan tetapi, ia mencoba untuk tidak berpikir jauh—tidak mau jika kembali salah paham.

"Anda tidak perlu peduli. Lakukan seperti yang anda lakukan waktu itu." Nada bicara Jungkook yang tenang, tetapi Jihyo bisa merasakan tekanan dalam suara itu.

"Aku ibumu, Jungkook. Jelas, aku harus peduli. Terlebih, ini kali pertama Ibu melihat istrimu."

Kalimat tersebut nyaris membuat kedua mata Jihyo meloncat dari tempatnya. Ibu Jungkook?! Alhasil, Jihyo kembali melirik wanita itu dan kembali menoleh pada Jungkook. Jika diperhatian lebih jelas lagi, mereka memang sedikit mirip. Hanya saja, Jihyo tidak tahu jika Ibu Jungkook tampak begitu muda di kala putranya sudah dewasa.

"Senior, turunkan aku dulu!"

Namun, Jungkook tidak mendengarkan. Kepalanya spontan menggeleng dengan amatan yang masih fokus di depan. "Aku sudah tidak memiliki kedua orangtua. Anda salah paham dan saya permisi dulu. Saya tidak memiliki waktu untuk mendengarkan alasan anda ke sini," kata Jungkook yang kemudian melangkah, meninggalkan wanita itu yang termangu.

Senyum yang semula terbit di wajah wanita itu, perlahan redup dengan kepala yang menunduk—menatap lantai. Jihyo mengintip sehingga ia bisa mengamatinya, lantas wanita itu mengangkat kepala, kembali menoleh ke arah mereka dan Jihyo bisa melihatnya tersenyum.

Apa maksud senyum itu? Jihyo tidak mengerti dan tidak tahu apa-apa lagi karena Jungkook sudah membuka pintu, sehingga tidak ada yang ia lihat lagi selain area rumah dan ketika Jungkook menghentikan langkah di dapur. Ia mendudukkan Jihyo di meja panjang yang biasa digunakan untuk memasak.

Jungkook tidak bersuara—belum mengatakan apapun setelah pertemuan singkat beberapa yang lalu. Ketika Jihyo ingin melakukannya, Jungkook langsung mendaratkan wajahnya di leher Jihyo—mencari aroma yang begitu menenangkan. Jihyo sedikit terkejut, tetapi mencoba maklum. Ia memilih untuk mengusap rambut lebat suaminya dengan pelan.

"Semua akan baik-baik saja, Senior. Aku tidak tahu apa-apa, tetapi aku menyakini hal itu," ucap Jihyo dengan lembut, masih melakukan kegiatan kecilnya.

Disela itu, Jihyo merasakan kepala Jungkook yang mengangguk. Mata Jungkook melirik ke samping—sedikit melamunkan kejadian tadi dengan mengamati objek acak sembari ia menghela napas. "Dia wanita yang sudah melahirkanku, Jihyo. Dia wanita yang disebut Ibu, tetapi aku sulit untuk memanggilnya Ibu saat di depan mataku sendiri, ia benar-benar ingin membunuhku dengan pisau dapur. Jika tidak ada Bibi Song, aku tidak akan memelukmu seperti sekarang," kata Jungkook yang berhasil membuat Jihyo menghentikan usapan yang ia lakukan pada rambut Jungkook. Perkataan Jungkook, membuatnya sangat terkejut.

"Senior ...."

"Sampai sekarang, aku mencoba untuk berdamai dengan masa lalu. Aku menghindar dari kehidupan mereka: ibu, ayah dan ibu tiri, aku menguburkan diriku agar tidak muncul ke permukaan. Aku tidak mengerti kenapa dia muncul lagi," ucap Jungkook, kali ini ia tersenyum tipis dan semakin erat memeluk Jihyo—seakan ia menumpah seluruh kesedihan yang bahkan sangat sulit untuk di keluarkan.

Jihyo terpaku. Baru mendengar sekilas, ia merasa jika suaminya melalui masa-masa yang lebih sulit dari dirinya di masa lalu. Jihyo tidak menyangka saja. Dibalik sikap dewasa Jungkook, ternyata banyak luka yang hanya ia simpan sendiri. Kembali lagi, Jihyo merutuki diri atas sikapnya di masa lalu, kedua matanya dibuat berkaca. Kegilaan dan kebodohannya waktu itu, benar-benar menghancurkan segalanya.

"Jihyo, jangan tinggalkan aku, ya! Aku sudah bisa merasakan hidupku akan hancur jika itu terjadi. Aku tidak bisa jika tanpa kehadiranmu," kata Jihyo disela pelukan mereka.

Jihyo menangis dalam diam. Momen-momen seperti ini membuat hatinya tersentuh. Ia tidak bisa menahan diri. "Senior bisa memegang kata-kataku. Tidak ada yang akan meninggalkan. Kita akan terus bersama-sama menyelami beratnya hidup. Aku bisa pastikan itu!"

***

Jungkook tertidur pulas di atas kasur. Jihyo sudah menduga mengingat hari ini adalah hari berat Jungkook. Belum lagi, percintaan dan pertemuan itu, pasti mengguncang dirinya. Jihyo memahaminya. Hanya saja, tidak dengan Jihyo. Ia benar-benar gelisah—tak bisa tertidur hingga ia memilih untuk bangkit dari kasur. Dilakukannya dengan pelan-pelan agar Jungkook tidak terbangun.

Jihyo mengamati Jungkook dengan lekat sebelum ia duduk di meja Jungkook—tempat yang suaminya gunakan untuk bekerja di mana sebelumnya berada di kamar tamu. Terdapat banyak dokumen-dokumen yang Jihyo tidak ketahui tetapi mendadak ia ingin kesana—menghalau rasa bosan dengan mengandalkan lampu meja yang ada di sana.

Putusan Kasus Pencabulan Anak di bawah umur oleh Guru Tarinya.

Memori Banding Kasus Sengketa Tanah KoA Corp di Deajoon.

Surat Gugatan Kasus Sengketa Hak Waris.

Dan masih banyak lagi yang Jihyo tidak bisa baca satu persatu. Hanya saja, Jihyo seperti tertarik untuk melihat secara sekilas—tanpa alasan jelas ia mengotak-atik meja kerja sang suami tanpa izin, hingga Jihyo tidak sengaja menjatuhkan sebuah buku kecil berwarna hitam. Ini lebih kecil dari buku seperti diari yang Jihyo baca waktu itu.

"Apa ini buku diari Jungkook yang tak aku tahu?" tanya Jihyo yang tidak mengerti, tetapi begitu penasaran. Ketika menoleh pada Jungkook, ia melihat suaminya masih tertidur, sehingga Jihyo pun memilih membukanya dan yang ia temukan malah dua foto yang tertempel di beberapa halaman setelahnya.

Terdapat foto wanita dan pria yang saling bergandengan tangan dengan pakaian yang berkelas. Mereka tampak bahagia dan Jihyo melihat tulisan tangan Jungkook di sana.

Dia adalah ayah dan ibu tiriku. Mereka bahagia dan memiliki seorang anak perempuan. Aku pertama kali berkunjung ke rumah yang tampak begitu mewah dan besar saat berusia sembilan tahun. Kali pertama aku tahu jika dia adalah ayahku, tetapi dia tidak menganggapku ada. Dia mengatakan: aku hanyalah anak pelacur yang tidak bisa menjadi anak dari seorang Pengacara terkenal! Lalu meludah dan menendangku beberapa kali. Aku babak belur tetapi aku tidak bisa menangis. Rasanya sesak sekali dan disanalah awal keinginanku untuk menjadi seorang pengacara. Aku ingin melampaunya dan melihat dia suatu saat tidak berdaya di hadapanku.

Jihyo terpaku membaca deretan kalimat yang Jungkook tulis. Seketika, Jihyo menangis—tidak bisa menahan kedua mata yang sebelumnya hanya berkaca. Lantas, Jihyo kembali terpaku pada seorang wanita yang ia temui beberapa jam yang lalu. Wanita yang tampak anggun, sama seperti tadi.

Wanita difoto adalah wanita yang telah melahirkanku. Terkadang aku ingin sekali memanggilnya ibu, tetapi jika kata itu keluar dari bibirku, kedua tangannku akan memerah dan berdarah karena pukulan rotan. Entahlah, aku tidak pernah melihat cinta seorang ibu yang ia berikan kepada anaknya. Hanya ada kebencian dan rasa ingin membunuh. Puncaknya, ketika aku kembali dari ayahku, mengetahui kebenaran yang terjadi ... ibuku mengambil pisau dapur, ia ingin membunuhku detik itu juga. Aku berusaha menahannya, tetapi waktu itu, aku hanya anak kecil yang pasrah akan mati. Akan tetapi, Bibi Song—ibu dari Sohyun dan kakak dari wanita itu datang bagai pahlawan.

Itulah awal perubahan yang terjadi padaku dan terakhir kali aku bertemu dengannya setelah ia meninggalkan luka di leher bagian samping, sedikit dekat dengan bawah telingaku. Ya, aku baik-baik saja.

Lalu, Jihyo melihat  foto pernikahan mereka di lembaran selanjutnya. Tidak lupa, terdapat tulisan tangan yang ditorehkan oleh Jungkook.

Aku dan Jihyo menikah karena alur takdir yang rumit. Sampai sekarang, aku masih merasa bersalah karena membuatnya menderita. Aku tidak tahu harus bertindak apa saat dia selalu ingin membunuh bayi kami. Bayi itu tidak salah, bukankah ia tetap harus lahir? Aku hanya berharap, keajaiban akan datang mengenai Jihyo yang bisa menerimaku dan bayi kami di suatu saat nanti, karena sampai kapan pun, aku tidak akan merusak pernikahan ini dan bagiku, hanya Jihyo yang akan menjadi istriku.

Detik itu juga, Jihyo menaruh buku itu dengan tangis yang pecah. Ia tidak peduli jika akan membuat Jungkook terbangun, karena setelah itu, Jihyo berjalan ke kasur—mendekat ke arah sang suami dan memeluknya sangat erat. Tangis Jihyo tidak bisa mereda, karena ia semakin menangis, tidak bisa membayangkan betapa menyakitkannya masa lalu yang dihadapi suaminya.

"Maafkan aku, Senior. Tenang saja, aku tidak akan meninggalkanmu," kata Jihyo di sela pelukan yang terjadi. berhasil mengusik tidur Jungkook yang perlahan terbangun. Walau setengah sadar, ia terkejut melihat wajah istrinya.

"Jihyo, apa yang terjadi? Kenapa menangis?" tanya Jungkook saat mata mereka beradu. Ayolah, siapa yang tidak terkejut saat terbangun mendapati pemandangan seperti ini?

Namun, Jihyo tidak membalas. Ia malah membiarkan jemarinya meraba leher Jungkook untuk mencari sesuatu dan ia bisa melihat bekas luka yang begitu kentara dan cukup panjang, tetapi Jihyo tidak pernah menyadarinya. Alhasil, Jihyo semakin menangis. Jelas, Jungkook dibuat panik.

"Jihyo, hei, apa yang terjadi?"

"Ini pasti sakit'kan?" tanya Jihyo yang memegang sekitar telinga. Sedikit membuat Jungkook heran hingga ia baru menyadari lampu dibagian mejanya yang menyala. Jungkook tertegun, lalu ia menghembuskan napas. Perlahan, ia tersenyum lalu menggelengkan kepala.

"Aku baik-baik saja. Tidak ada yang sakit. Sudah, jangan menangis lagi, ya. Bayinya nanti sedih," kata Jungkook yang kembali merengkuh tubuh Jihyo. Jihyo pun tidak menolak dan juga merapatkan tubuh. Ia juga tidak masalah ketika Jungkook mengusap rambut yang sudah ia potong sedikit lalu memberikan kecupan hangat, karena pada dasarnya Jihyo menikmati setiap sentuhan suaminya.

Hola, aku update!! Hayo, yang suudzon duluan siapa nih? Hahaha

Aku nggak komen banyak ah, intinya sampai jumpa di bab selanjutnya ya! Makasih banget karena selalu nungguin mereka. 

See u teman-teman.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro