Bab 24. Puncak Emosi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Jihan menyelesaikan pekerjaannya dengan helaan napas lega. Pasalnya hari ini dia dikejar oleh tiga deadline. Proyek branding dari Bu Arina, lalu revisian dari Pak Bagas, juga logo hari jadi dari pemerintah daerah.

Daily activity.

Sudah beberapa hari ini Raka keluar untuk meeting dengan klien. Jadi, masalah Zaki kemarin belum sempat dikatakannya pada Raka.

Ini bukan hal besar dan sudah biasa, jadi dia bisa mengatasinya.

Bunyi notifikasi dari surelnya membuat perhatian teralih. Tak lama kemudian bunyi lain datang dari ponselnya.

Dari Saga.

'Mbak Jihan, saya sudah mengirimkan revisian. Mohon cek surelnya, terima kasih.'

"Oke."

Jihan kemudian membuka surel dari Saga, menelitinya dan mengoreksi sedikit sebelum meneruskannya pada klien.

Dia jadi lebih sering bertukar pesan dengan Saga meski hanya sebatas komunikasi kerja.

Beranjak dari duduknya, Jihan kemudian menuju pantri hanya untuk mengambil minum. Hari ini pelayanan kantor cukup terkondisikan, tak sesibuk beberapa hari yang lalu.

Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama saat Zaki menghampirinya dengan wajah paniknya.

"Mbak Jihan," panggil Zaki setengah berbisik.

"Ya?"

"Kayaknya klien yang itu beneran datang ke sini deh. Barusan ada dua orang datang. Sikapnya udah nggak ngenakin, nanya siapa yang bertanggung jawan di kantor sini."

Jihan segera meneguk habis minuman dari gelasnya, lalu menegakkan badannya bersiap.

"Kamu jawab apa?"

"Saya tanya ada keperluan apa, tapi orangnya malah nyolot. Katanya saya nggak sopan, di tanya balik nanya."

Jihan menghela pendek sebelum kemudian keluar dari pantri menuju ruang tamu diikuti oleh Zaki di belakangnya.

Bahkan dari kejauhan dalam sekali lihat saja, Jihan sudah bisa tahu tipe klien seperti apa mereka.

"Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" Sapa Jihan begitu sampai di hadapan mereka.

"Manajer di sini siapa? Kamu?" Tanya pria yang kira-kira berumur 40 tahunan itu pada Jihan dengan tidak sopan. Mengabaikan sapaan dan pertanyaan Jihan sebelumnya.

"Benar, saya manajer di sini. Ada keperluan apa?"

Bukannya menjawab, pria itu justru memandangi Jihan dari atas hingga bawah dengan tatapan meremehkan.

"Manajernya aja kayak gini. Pantesan kinerja kantornya nggak berkualitas, nggak profesional. Kantornya lumayan bagus tapi nggak meyakinkan. Pekerjanya juga nggak banyak. Heran aja yang kayak gini dibilang bagus."

Jihan sudah menahan dirinya untuk tidak meledak marah sejak pertanyaannya diabaikan dua kali.

"Maaf, maksud dari perkataan anda apa, ya? Anda ada keperluan apa di kantor kami, sampai anda berani mengatakan hal tidak sopan pada saya dan kantor ini?"

"Punya nyali juga buat jawab."

"Saya sudah bertanya dan bersikap sopan pada anda. Jadi selama saya masih bersikap baik, sebaiknya anda katakan keperluan anda sebelum saya mempersilakan anda pergi."

Pria itu tertawa meremehkan bersama temannya.

Melihat hal itu membuat Zaki menahan diri untuk tidak mendorong dan mencengkeram kerah pria itu. Sangat tidak sopan dan tidak punya etika bertamu.

"Saya ke sini cuma mau liat aja, gimana kantor yang katanya bagus tapi plagiat itu. Ternyata isinya cuma orang-orang nggak profesional.

"Tolong jaga ucapan Anda. Jika memang tidak ada keperluan terkait pelayanan kami, Anda bisa keluar dari kantor ini sekarang."

"Pelayanan nggak bagus aja sok-sokan. Hargain orang, main ngusir-ngusir aja. Bobrok ya, ini kantor."

Cukup.

Jihan sudah kehilangan kesabaran. Ingin rasanya menampar mulut sampah pria di depannya itu. Namun, di saat seperti ini dia tidak boleh terpancing emosi dan meladeni mereka. Dia harus tetap mempertahankan kesopanan dan etikanya.

"Saya akan menghargai klien siapapun itu, jika mereka melakukan hal yang sama. Apa Anda tidak punya cermin untuk berkaca? Saya sudah cukup bersabar mendengar perkataan tidak sopan dari Anda. Jadi, sekali lagi saya tanya. Apa keperluan Anda datang kemari?"

Pria itu mendecih tersinggung dengan perkataan Jihan, "Katanya mau dilayani dengan baik, malah diginiin. Males banget."

Jihan menarik napasnya pelan, berusaha tenang.

"Saya bertanya baik-baik dari tadi, tapi jawaban Anda sama sekali tidak baik. Saya sudah berapa kali menawarkan pada Anda apa yang bisa dibantu? Anda tidak menjawab. Sebenarnya saya yang bodoh atau Anda yang tidak paham dengan kata-kata saya?"

"Anda bilang sebelumnya bahwa pekerjaan kami menjiplak karya orang lain. Nggak profesional. Sekarang apa yang Anda inginkan dari pelayanan kantor kami?"

Nada Jihan sudah naik satu oktaf meskipun dia berusaha menahan dirinya untuk bersabar. Dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi melayani orang seperti ini.

"Biasa aja dong, gini aja udah teriak-teriak, sok-sokan mau melayani. Palingan juga nggak bisa. Saya pergi ajalah, nggak suka sama nih kantor," ucap pria itu dengan nada sok kemudian beranjak dari duduknya diikuti oleh temannya.

"Ambil video deh, buat di viralin di medsos kalo kantor dan pelayanan di sini nggak oke," ucapnya lalu merogoh ponselnya dalam saku, hendak memulai untuk mengambil gambar.

Jihan nyaris merebut ponsel itu sebelum tubuh tinggi seorang tiba-tiba berjalan di depannya lalu lebih dulu menghentikan pria itu.

"Maaf, Pak. Anda sudah kelewat batas. Sebaiknya Anda berhenti."

Jihan tentu kaget melihat Saga di hadapannya, dan kenapa pemuda itu ada di kantor? Namun, saat menoleh mencari penjelasan, dilihatnya sosok Raka berjalan mendekatinya bersama Eren.

"Apa-apaan ini? Ngapain larang-larang saya? Ini ponsel saya jadi hak saya dong mau ngapain!" Kilah pria itu menepis tangan Saga.

"Ini memang ponsel Anda, hak Anda mau berbuat apapun dengan itu. Tetapi Anda melanggar batas privasi umum, dalam hal ini kantor kami. Anda tidak bisa merekam atau mengambil gambar apapun di sini tanpa izin," ucap Saga yang entah terdengar berbeda dari biasanya.

"Apa sih! Sok ngatur saya! Akan saya rekam dan sebarkan biar semua orang tau kalau kantor ini orang-orangnya nggak becus!" Pria itu tetap membela dirinya dan marah pada Saga. Dia dan temannya lalu merekam video dengan emosi.

Saga terlihat kesal namun kemudian menghela, berjalan mendekati pria itu dan berdiri menutupi kameranya.

"Baik, Anda boleh merekam sesuka Anda dan menyebarkan apapun yang Anda mau. Tapi kami akan melakukan hal yang sama. Semua yang terjadi sejak tadi terekam dalam cctv kantor kami. Sikap Anda sejak tadi sampai sekarang terekam jelas. Jadi, Anda tidak berhak memprotes jika kami berikan video ccrv pada pihak yang berwajib atas laporan membuat keributan dan onar di kantor kami."

Mendengar ucapan Saga, pria itu langsung terdiam dengan wajah menahan marah, mulutnya membuka untuk mengatakan sesuatu namun akhirnya tidak mengatakan apa-apa. Wajahnya merah padam campuran antara kesal dan malu. Matanya menatap Saga seolah bersiap menguliti pemuda itu melalui tatapannya.

"Kalau Anda masih berkenan dengan pelayanan kami, akan kami layani dengan baik. Namun, jika tidak, sebaiknya Anda pergi tanpa membuat keributan lagi. Jika terbukti Anda membuat onar dengan merusak nama baik kantor kami, akan saya pastikan Anda ditangkap dengan mudah karena wajah Anda terekam jelas di sini. Orang-orang tidak profesional seperti kami bisa dengan mudah menemukan jejak digital Anda melalu base dengan identifikasi wajah. Jika Anda tidak percaya, silahkan mencoba."

Saga mengucapkan kalimat terakgirnya dengan penuh keyakinan dan tanpa keraguan. Sehingga pria itu langsung membuang wajah lalu hendak beranjak pergi sampai Saga menahannya lagi.

"Anda tidak malu pergi begitu saja? Anda seharusnya minta maaf dulu pada manajer kami atas semua kalimat tidak sopan yang Anda ucapkan sebelumnya."

Pria itu hendak menolak, namun temannya menyuruhnya untuk menyudahi ini dan meminta maaf.

Dengan wajah merah padam, pria itu menghampiri Jihan lalu menundukkan kepalanya.

"Maaf. Atas ucapan saya sebelumnya."

Jihan memandang pria itu dengan jijik dan kesal. Kenapa ada manusia dengan sikap seperti ini di dunia dan kenapa dia harus bertemu dengan salah satunya?

"Hanya itu yang bisa Anda katakan sebagai permintaan maaf?" Tanya Saga mengancam.

"Saya minta maaf atas kelancangan dan sikap yang tidak sopan. Maaf sudah membuat keributan di sini."

Sekali lagi pria itu menundukkan kepalanya, lalu pergi terburi-buru diikuti oleh temannya.

Setelah kepergian kedua orang itu, Zaki menghela napasnya panjang lalu merosot di tempatnya berdiri.

"Astagaaaa, sial banget hari ini. Kesel banget sumpah!" Keluhnya sambil mengusap wajahnya kasar.

Jihan ikut menghela panjang sebelum kemudian duduk di sofa. Zaki beranjak menghampiri Jihan lalu duduk di sebelahnya langsung memeluk Jihan sari samping.

"Mbak Jihan ... huhu, maafin saya ya, Mbak? Karena saya, Mbak Jihan harus ketemu dan ngadepin orang kayak gitu." Zaki nyaris menangis memeluk Jihan merasa bersalah.

Jihan tersenyum tipis, menepuk lengan Zaki sambil menggeleng.

"Apa sih, Zaki? Nggak apa-apa, lagian bukan salah kamu. Emang kita harus ketemu macam-macam klien dan sialnya yang tadi emang parah," jawab Jihan.

Tatapan Jihan beralih pada Raka dan Saga, "Kok kalian bisa tiba-tiba ada di sini?"

"Gue di telepon Eren tadi, pas banget lagi barengan Saga mau futsal. Terus kita langsung ke sini."

"Maaf ya, Mbak Jihan. Soalnya saya takut banget tadi, takut Mbak Jihan diapa-apain sama orang tadi," ucap Eren yang sama khawatirnya.

"Nggak apa-apa, thanks ya, Eren," balas Jihan tersenyum.

"Untung sih kantor lagi nggak ada orang, coba kalau ada, bisa ribut beneran," ucap Raka.

"Iya sih. Ini bisa jadi pelajaran buat kita semua kalau attitude itu sama pentingnya dengan ilmu. Percuma kaya, punya jabatan sama gelar taoi attitude nol besar. Kita ambil positifnya aja, jangan sampai kita seperti orqng tadi di kemudian hari," ucap Jihan membuat semuanya diam dan mengangguk setuju.

"Makasih, ya semuanya. Terutama lo, Saga," lanjut Jihan yang untuk pertama kalinya tersenyum pada Saga.

Sementara Saga yang sejak tadi berdiri di tempatnya hanya bisa mengangguk kikuk dan mengangguk.

"Sama-sama, Mbak."

.
.
.
Bersambung.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro