2.Phalaenopsis Amabilis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa saat sebelum adegan Diandra meloncat dari jendela kamar.

Aisyah masih tak bergerak usai mendengar kalimat Diandra. Mendadak otaknya bekerja jadi lemot saat mencerna kata-kata saudara kembarnya barusan. Dia bahkan butuh waktu beberapa menit-karena dalam pemikiran gadis berhijab itu Diandra hanya membuat candaan atau jangan-jangan ini sebuah prank dari si kakak kembar untuknya.

"Edan, ih. Maksudnya apa, sih, Kak?" Kalimat itu yang keluar dari bibir Aisyah menanggapi permintaan Diandra.

Jemari Diandra meraih tangan Aisyah. Menggenggam erat sembari matanya menatap dalam lalu berkata dengan penuh gebu, "Syah, udah saatnya lo harus tau. Gue selama ini sangat tertekan sekali. Hidup selalu diatur, harus nurut sama Oma, gue ga pernah punya pilihan sendiri. Sampai sekarang urusan menikah juga dijodohkan, dan gue harus terima gitu aja. Lalu, pernikahan ini sama sekali bukan keinginan gue, Syah!" Nada bicaranya meletup-letup dengan lapisan kaca membias di kedua mata saat bercerita. Apalagi detik berikutnya iris Diandra mulai menggerimis. Banjir tangisan menggenangi tebing pipi putihnya.
"Lo enak, Syah, hidup jauh dari Mama-Papa, jauh dari Oma. Enggak harus ikut aturan mereka kayak gue." Prolog Diandra masih berlanjut. Kali  ini malah membandingkan kehidupannya dengan si adik kembar. Padahal dalam bayangan Aisyah selama ini hidup Diandra sangatlah sempurna. Justru kadang  Aisyah yang merasa kurang karena sejak kecil dipisahkan dari orangtua kandung.

Gelengan Aisyah seraya bertutur lembut,
"Lololo, jangan gitu Kak. Sawang sinawang (kelihatannya) aja," sahutnya mencoba memberi afirmasi positif. Hidup itu, kan, hanya sebatas pandangan semata. Orang lain melihat kita seolah hidupnya enak. Pun sebaliknya, kadang kita yang iri akan jalan hidup orang lain. Padahal masing-masing punya prevensinya sendiri.

Diandra tidak tahu saja, kadang Aisyah merasa sangat iri pada kakak kembarnya itu. Sejak kecil berada dekat dengan orangtua kandung. Sedangkan dia sendiri?
Harus rela berjauhan karena alasan kebaikannya dan si saudara kembar.

Bagaimanapun jauh dari orangtua kandung selama ini menyisakan rasa sesak tersendiri bagi Aisyah. Meski tidak pernah kekurangan kasih-sayang, walau mama-papanya rajin berkunjung ke Surabaya, tetap saja ada sesuatu yang terasa kurang lengkap.

Dulu saat lulus madrasah Aliyah, Aisyah akan diboyong ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan di universitas di ibukota. Akan tetapi Aisyah menolak. Perasaannya bergolak di ambang bingung melihat raut sedih terpancar di wajah Ibu saat menyatakan rencana kuliah di luar kota. Gadis itu akhirnya memilih kuliah di Surabaya. Biar dia habiskan waktu bersama ibu dan ayah angkat yang selama ini memberikan kasih sayang dan cinta sepenuh hati, sebelum kelak bertemu jodoh dan otomatis akan mengikuti ke mana suaminya membawa pergi.

Secara fisik, Aisyah dan Diandra terlihat tidak sama. Diandra lebih tinggi, kulitnya putih bersih, dagunya lancip, sedangkan Aisyah lebih mungil dengan kulit kuning langsat yang cenderung kecokelatan. Manis saat tersenyum. Alisnya tebal dan bulu matanya lentik alami.

Keduanya juga memiliki bentuk wajah yang berbeda. Serupa, tapi tak sama, karena mereka bukan kembar identik. Diandra itu seperti mamanya, bibirnya merah dan agak tebal. Sedang Aisyah fotokopi-nya papa. Wajahnya manis karena memiliki tanda istimewa yang tidak semua orang punya. Ada tahi lalat di pipi sebelah kanan serta di bawah dagu.
Penampilan mereka juga bagai bumi dan langit. Diandra tampilannya sangat milenial. Apalagi berkarir sebagai model fashion menuntut tampilannya selalu up to date tentang gaya dan tampilan.
Kalau Aisyah. Gaya berpakaiannya lebih sederhana dan anggun. Aisyah sudah biasa berbusana tertutup. Gamis panjang,  hijab,  dan kaus kaki tidak pernah ketinggalan membungkus tiap jengkal penampilan-nya.

Apalagi sejak bayi Aisyah diadopsi oleh Bude Tari, kakak sepupu mamanya yang tinggal di Surabaya. Jadilah berbeda kebiasaan, tutur kata, sifat serta keseharian.

"Gue ga kenal sama laki-laki yang namanya Abyasa itu, Syah. Gue cuma sekali ketemu sama dia, dan itu udah cukup bikin keputusan kalau gue ga mau nikah sama dia, Syah. Big No! Please tolongin gue, ya. Cuma Lo satu-satunya yang bisa nolongin gue."
Diandra terisak kencang usai bertutur. 

Halah! Aisyah makin dibuat bingung. Di satu sisi dia tidak tega melihat kakak kembarnya dirundung kesedihan begini. Namun di sisi lain, ide Diandra ini benar-benar gila. Gimana reaksinya Mama, Papa, Oma dan yang lain kalau tahu ternyata Diandra menolak keras pernikahan ini. Apalagi saat tahu bahwa Aisyah yang didapuk menggantikan. Edan! Pernikahan itu sakral, mana bisa dijadikan bahan lelucon seperti lelakon dalam pertunjukan ludruk saja.

"Syah, please ..." Diandra roboh di depan Aisyah. Bersimpuh sembari kedua maniknya berkilat penuh permohonan.

Aisyah bergeming. Bingung semakin menginvansi melihat polah Diandra yang kalut. Otaknya sibuk merangkai kalimat yang pas agar Diandra tidak nekat.

"Kak, sabar dulu, kita bicarain semuanya secara baik-baik. Harusnya di awal kalau Kak Diandra enggak setuju sama pernikahan ini, kan, bisa nolak."

"Gue bisa apa, Aisyah! Lo belum tahu sifatnya Oma. Perempuan tua itu tidak bisa dibantah," ketus Diandra seolah menjabarkan sifat oma mereka. "Please Aisyah, gue ga bakal lupain semua kebaikan lo! Sekali ini aja, gue mohon!" Diandra masih enggan bangun, berlutut di hadapan Aisyah, tangannya memeluk kedua kaki si adik kembar refleksi permohonan. Gadis berhijab toska itu reflek berteriak melerai aksi si kakak kembar. Perasaan Aisyah mendadak campur aduk, jadi semakin tak tega.

"Kak, jangan begini, sudah ya, ayo bangun," bujuk Aisyah.

"Nggak! Gue ga akan bangun sebelum Lo janji mau gantiin gue?" Diandra tetap kukuh pada pendirian. Tangannya memegang erat kaki sang adik.

"I-iya sudah, iya Kak." Terdesak dan tak punya pilihan lain, Aisyah akhirnya mengiakan. Apalagi saat hazelnya menyaksikan jelaga sendu di kedua manik saudara kembarnya. Dia tak punya hati untuk menolak permintaan Diandra. Helaan napas dalam terdengar samar saat Diandra bangkit dan memeluknya.

Mungkin benar yang dikatakan ibu, sifatnya Aisyah itu refleksi si phalaenopsis Amabilis. Si cantik anggrek bulan--dengan banyak filosofi kebaikan. Di saat
Diandra menentang pernikahannya, yang terbesit dalam batok kepala Aisyah justru; bagaimana nanti reaksi mama, papa, dua keluarga besar, terutama Oma. Mau ditaruh di mana harga diri keluarganya dan juga keluarga calon mempelai laki-laki kalau sampai acara sesakral ini batal di detik-detik akan dilaksanakan.

"Thanks Aisyah, Lo emang adik kesayangan gue." Rekahan senyum terbit dari bibir Diandra usai mendengar pengabulan Aisyah.

Tak mau menunggu lama, usai berbicara Diandra langsung melancarkan aksinya membuka jendela kamar.
Aisyah memandang panik aksi kembarannya itu.

Kedua alis tebalnya terangkat mereaksi tindakan Diandra, serta bibirnya menggumam cemas,
"Kak, mau ngapain?" sergah Aisyah. Tanpa menjawab Diandra melepas heels, melemparnya, lalu meloncat lewat jendela kamar.

"Kak Diandra!"

Aisyah melongok ke luar jendela. Dari bawah sana lambaian tangan Diandra diikuti gerakan bibirnya seolah merapal terima kasih, lalu menghilang melewati taman samping rumah yang terhubung dengan pintu pagar besi.

Aisyah tertegun dalam jenaknya. Lidahnya kelu beberapa saat karena aksi nekat Diandra. Saat kesadaran memanggil pulang, gadis itu malah dicekam bingung memuncak, bagaimana nanti akan menjelaskan pada keluarga besarnya soal kenekatan kakak kembarnya? Pasti Oma dan mama akan syok.

Polah Diandra hari ini bukan hanya mengancam nama baik keluarga besarnya dan keluarga calon suaminya, tapi juga akan memicu amarah dari pihak keluarga laki-laki. 

Aisyah baru bisa bergerak saat mendengar suara ribut dari luar kamar. Omanya berteriak mengingatkan bahwa sebentar lagi keluarga mempelai laki-laki akan tiba, itu artinya sebentar lagi akad nikah akan digelar.

"Pengantinnya di mana?" Suara teriakan dari perias lain ditambah dengan keributan yang terdengar, mengalihkan fokus Aisyah. Dia harus bisa menghadapi situasi saat ini. Menghela napas pelan, kedua kakinya melangkah menguak pintu kamar. Pemandangan pertama yang dia tangkap di depan ruang pribadi itu sudah berkumpul kumparan orang-orang. Papa, mama, oma dan yang lain. Aisyah hanya bisa menunduk, apalagi saat mata legam Oma mengintimidasi lewat tatapan tajamnya.

"Aisyah, kakakmu mana? Apa dia sudah siap, sebentar lagi ijab qobul." Mama menodong Aisyah dengan banyak pertanyaan. "Syah, kenapa baju pengantin Diandra kamu pakai?"Rupanya Mama menyadari kejanggalan yang tersuguh.

Aisyah hanya mematung. Dia memindai satu persatu wajah orang-orang yang menatap ke arahnya dengan cemas.

"Ma ...." Aisyah merasa tidak kuat melihat reaksi mamanya. Pasti akan histeris saat tahu bahwa Diandra telah kabur.

"Aisyah, ada apa Nak? Di mana kakakmu?" Ibu yang berdiri di sisi mama mendekat pada Aisyah. Satu pertanyaan lembutnya terlontar.

"Mama, Ibu, Oma,  Kak Diandra ... Aisyah menjeda kalimat. Wajahnya menunduk lemah, tak berani menatap orang-orang di sekitarnya. "Kak Diandra ... kabur." Lanjut Aisyah dengan suara samar-hampir tak terdengar saat pelafalan kata 'kabur'
Dia tidak berani mengangkat pandangan. Apalagi saat rapalan istighfar dan teriakan histeris mama menyambangi rungunya. Sang mama nampak syok. Sampai sempoyongan hampir rubuh ke lantai. Untung beberapa orang di sampingnya sigap memegangi.

"Aisyah, jangan becanda, mama nggak suka lho." Intonasi mama mulai meninggi. Mamanya masih belum percaya sepenuhnya. Aisyah hanya menggeleng pelan. Mama pasti tahu kalau anak bungsunya itu tidak suka berbohong. Apalagi untuk urusan seserius ini.

Oma di sebelah mama nampak lebih tenang meski berkali-kali embuskan napas berat. Tadinya Aisyah malah paling khawatir pada sang oma. Ternyata Oma lebih legowo menghadapi keadaan.

"Oma sudah menduga akan seperti ini," ucapnya dengan nada penuh sarkastik. Pandangan perempuan tua itu beralih sepenuhnya pada Aisyah. "Tidak ada pilihan lain. Kita tidak mungkin mempermalukan dua keluarga besar. Mau ditaruh di mana muka kita di hadapan para tamu dan kolega bisnis, terutama pada keluarga besar Rahayu, calon besan kita," imbuh Oma dengan ekspresi wajah sulit diartikan.

"Tapi gimana Bu, Diandra sudah kabur. Salah kita terlalu memaksanya." Mama mulai menampakkan cemas, pelan tapi pasti kelopak matanya mulai memproduksi airmata. Detik berikutnya menjadi  terisak-isak seraya menggunakan nama Diandra. Ibu yang memegangi lengannya, mencoba menguatkan sembari memberi usapan lembut.

"Nancy," panggil Oma pada perias laki-laki yang berpenampilan girly itu.

"Yess Madam."

"Dandani Aisyah sekarang juga, dia yang akan menggantikan Diandra,  menikah dengan Abyasa," titah Oma. Mama dan ibu terbeliak. Ingin protes tapi Oma mengangkat tangan lebih dulu. Tanda tidak ingin ada bantahan dari siapapun.
Menikah memang impian semua gadis yang beranjak dewasa, tak terkecuali Aisyah.
Akan tetapi menjadi pengantin Dadakan?
Sama sekali tak pernah terbayangkan dalam benak Diajeng Aisyah Puspa Kirani.

Aisyah bergeming. Apa mungkin ini saatnya merefleksikan apa yang selalu ibu katakan tentangnya.

Aisyah yang di mata ibu si gadis anggrek bulan, seperti phalaenopsis Amabilis. Si cantik yang setiap sisi warnanya memiliki makna tersendiri.
Merah, melambangkan gairah dan keinginan, namun juga bermakna keberanian dan kekuatan. Ungu, untuk melambangkan kekaguman, martabat, rasa hormat dan royalti.
 Dan, putih melambangkan kerendahan hati serta penghormatan, kemurnian, kepolosan, keanggunan dan keindahan.

Warna putih akan menyimbolkan  rasa hormat, martabat dan royalti Aisyah pada keluarganya.

⚜️⚜️⚜️


Gi-gimana bab 2-nya?

Ada yang nunggu Pak Dewa?
Insya Allah nanti malam ya. 🤭

02-01-2022
1700

Tabik
Chan


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro