3. Paphiopedilum

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bantu koreksi kalau ada typo ya.
Happy baca ❤️
.
.
.

Paphiopedilum adalah jenis anggrek selop. Salah satu spesies anggrek yang termasuk tanaman endemik Jawa Timur, Indonesia. Habitat alami anggrek selop berada di kawasan selatan lereng Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur.

Anggrek ini akrab disebut sebagai anggrek kantong, karena labellumnya yang menyerupai kantung kecil. Sosok tanaman anggrek ini cukup pendek dibanding dengan genus anggrek lainnya. Kecil nan mungil, tapi keindahannya pantas diperhitungkan.

Tanaman ini termasuk anggrek terestrial, artinya anggrek ini memiliki habitat tumbuh di tanah, dengan mengandalkan organ akarnya sebagai alat untuk menyerap air dan unsur hara. Anggrek ini senang dengan kondisi media yang cukup lembab, akan tetapi jika terlalu lembab bisa menyebabkan pembusukan pada pangkal batangnya. Anggrek yang dahulu diisukan sebagai anggrek yang sulit dipelihara ini, ternyata justru memiliki kelebihan lain, yaitu toleran terhadap kekeringan dan toleran dengan rentang suhu yang lebar. Selain itu, dalam satu tandan bunga bisa memunculkan lebih dari tiga kali bunga. Bunganya yang unik muncul bergantian satu per satu dengan masa mekar tiap kuntum bunga lebih dari satu minggu.

Sebagai gadis yang tumbuh dan akrab dengan tanaman anggrek, Aisyah tidak akan segan menyebut Tari---sang ibu layaknya genus paphiopedilum. Mungil dan selalu memancarkan kehangatan cinta dengan tutur kata lembut dan sikapnya yang perhatian. Layaknya paphiopedilum dengan semburat jingga dan ungunya yang mampu membius mata siapapun yang memandang.

Si mungil yang hidupnya tak bisa dikatakan mudah. Banyak aral di awal kehidupan, namun memberi banyak keindahan pada sekitarnya saat kuncup mekar menampakkan untaian bunga.

Ketika Aisyah hanya bisa bergeming mendengar vonis sang Oma. Tari---ibunya lebih dulu membuka preambule.

"Maaf, Bu. Apa ini pilihan tepat? Aisyah tidak boleh menerima pernikahan kalau dia sendiri tidak menginginkan." Tanpa mengurangi rasa hormat pada Oma, ibu menjabarkan keresahan hati. "Pernikahan itu sakral, Bu, kalau bisa sekali seumur hidup, kalau anakku tidak menginginkan, tidak ada keikhlasan di hati, lalu bagaimana nanti rumah tangganya akan diberkahi? Lestari mohon dengan sangat, Ibu memikirkan kembali keputusan yang akan diambil."

Mata Aisyah berlapis kaca mendengar penuturan Ibu. Di saat yang lain memilih bungkam, ibu maju dengan segala kelembutan menentang keputusan Oma. Manik hazelnya bergulir bergantian memindai pada ibu dan mama, di satu sisi ibu yang telah mengandung selama sembilan bulan hanya tergugu menangisi kepergian kembarannya. Sedangkan ibu satunya, meski tak pernah membawanya dalam rahim, tapi menyiratkan banyak sekali cinta untuknya. Pilu. Satu kata yang Aisyah rasakan kini.

Oma bergerak mendekati tempat Aisyah berdiri. Bibirnya yang dipulas gincu merah terang tertarik ke atas kedua sudutnya sebelum berbicara, "Lestari, keponakanku yang sudah seperti anak sulungku. Aku sangat yakin kalau sifat-sifatmu yang penuh dedikasi pasti menurun pada putrimu ini." Manik legam Oma semakin intens menguliti lewat tatapan pada sang cucu. Tangannya bergerak, mendarat di bahu Aisyah serta-merta memberi usapan lembut di sana. "Nduk, Cah Ayu. Dengarkan Oma, kalau pernikahan ini gagal. Dua keluarga besar bukan cuma akan menanggung malu. Mama-mu, papa-mu, pasti akan sangat malu di depan teman dan kolega bisnisnya. Sementara Oma-mu yang sudah renta ini hubungan yang dibangun dari muda dengan sahabat baiknya Rahayu, akan hancur sekejap mata. Pernikahan gagal, berarti merger dua perusahaan besar juga gagal. Dampaknya akan banyak sekali, Nduk." Kata-kata Oma merangsek ke dalam batok kepala Aisyah. "Mau ya, gantiin Diandra menikah sama Abyasa?" Lanjut Oma dengan tatapan memohon.

Aisyah melirik ibu. Mata keduanya bersitatap dalam jenak, ibu menggeleng dalam diam, tapi Aisyah memberi anggukan samar. Dia tahu maksud ibu baik, tidak ingin putrinya salah mengambil keputusan, tapi Aisyah juga tidak bisa abai pada kehormatan dua keluarga yang tengah dipertaruhkan.

"Aisyah mau ... Oma," jawab Aisyah akhirnya. Kedua kelopak matanya memejam saat jawabi kalimat sang Oma.

Rekahan senyum perempuan tua itu terbit tatkala mendengar kata-kata dari bibir Aisyah. "Oma sangat yakin, kamu tidak akan mengecewakan keluarga besar kita," ujarnya seraya menepuk-nepuk pelan punggung tangan sang cucu. Lirikan mata Oma beralih pada putranya. "Faris, segera infokan ke penghulu dan mempelai laki-laki kalau nama pengantin perempuan berubah," titahnya pada sang anak.

____

"Saya terima nikah dan kawinnya Diajeng Aisyah Puspa Kirani binti Faris Hutama dengan mas kawin tersebut tunai!"

Lelehan bening tak bisa terbendung jatuh menderas basahi kedua tebing pipi Aisyah. Perasaannya didera deru-deru yang meliar sejak laki-laki itu---Abyasa menyebut namanya dalam akad.

Ijab qobul baru saja diucapkan Abyasa Rahagi Prasetya. Laki-laki asing yang harusnya menjadi kakak ipar, malah sekarang resmi menyandang status sebagai suaminya. Aisyah tersenyum haru. Agak aneh memang situasi saat ini, pernikahannya sama sekali tak direncanakan--pun tak ada cinta yang membekali ikatannya bersama Aby.

Dengungan selamat serta barter pelukan para orangtua mewarnai suasana usai ijab. Desas-desus komentar tak kalah mendengung saat tamu undangan merasa ada yang ganjil, kenapa nama mempelai wanita yang disebut dalam akad beda dengan yang tertera di undangan. Bukan Diandra Flora Kirana.

Aisyah menatap haru koloni orangtua saat saling rangkul dan cium pipi kanan-kiri. Entahlah, akan bagaimana pernikahannya dengan Aby nanti, tidak terlalu dipikirkan oleh gadis yang baru saja menyandang status baru sebagai istri itu. Yang terpenting baginya melihat senyum bahagia mama, papa, ibu, dan tawa oma sudah cukup membuatnya lega.

Usai akad, Aisyah dihela menghampiri Abyasa. Kali pertama dia bertemu laki-laki asing tersebut dengan sematan gelar baru sebagai istri. Deguban jantung tanpa dikomando terus berdentum tak keruan saat kakinya menjangkau tempat sang suami.

Dari balik bulu lentiknya Aisyah melirik Abyasa yang sedang berdiri berhadapan dengannya. Suara instruksi orang-orang di sekitar agar dia Salim tangan pada sang suami membuatnya disergap gugup. Ragu-ragu, tapi tangannya bergerak mengambil tangan milik Aby.

Dia kecup tangan Abyasa dengan takzim. Implikasi baktinya pertama kali sebagai seorang istri. Abyasa tak kalah ragu-ragu saat mendaratkan bibirnya, mengecup singkat puncak kepala Aisyah.

Samar-samar dia rasakan hidung bangir lelaki itu menyentuh ubun-ubun. Hanya sekilas, tapi tindakan tersebut mampu membuat lutut Aisyah gemetaran tak keruan.

Abyasa adalah laki-laki pertama yang menyentuhnya. Selama dua puluh empat tahun hidupnya, Aisyah belum pernah merasakan yang namanya relationship sepasang kekasih bertitel pacaran.

Kata ayah dan ibu, pacaran itu unfaedah. Lagipula dilarang juga dalam agamanya. Kalau Aisyah mau dekat dengan laki-laki yang disukai, lebih baik ta'aruf, saling mengenal kalau sudah cocok langsung menikah saja sekalian. Oh Allah, sungguh beruntung Aisyah mendapat didikan serta pemahaman yang bagus soal akhidah dari ayah, ibu, dan lingkungan tempatnya tinggal di Surabaya.

"Syah, tanda tangan, kok malah bengong." Suara mama menginterupsi angan Aisyah. Baru sadar kalau penghulu menitahkan kedua pengantin menandatangani berkas surat nikah.

"Surat nikahnya kalau sudah jadi nanti saya antarkan ke sini. Mungkin menunggu sekitar dua Minggu, karena ada perubahan data nama mempelai wanita," ujar Pak Penghulu memberi info.

Jeda saat dhuhur sejenak, kemudian jam satu siang acara berlanjut dengan resepsi sederhana yang dihelat di taman samping rumah-yang telah disulap dengan dekorasi ala pernikahan. Aisyah dihela mengganti gaun untuk resepsi.
Resepsi bertema pesta kebun dengan venue menghadap taman yang didekor sedemikian rupa, ada air mancur dan tatanan bunga krisan serta anggrek hidup peliharaan Oma menjadi pelengkap hiasan.

Lebih dari tiga jam Aisyah berdiri di sebelah Abyasa, menerima ucapan selamat dan doa yang dirapalkan para tamu. Lalu, acara berlanjut ke sesi foto-foto, antar keluarga dan tamu undangan.

Pukul empat sore Aisyah baru beranjak dari altar pelaminan. Rapalan hamdalah mencuat, lega karena bisa duduk tenang setelah ini. Beberapa kali mengadu, merasai panas di tumit karena memakai heels tujuh senti sepanjang acara.

"Kalian istirahat-lah, nanti malam setelah isya, akan ada acara makan malam. Cuma keluarga inti saja yang ikut." Oma Dahlia menghampiri sepasang pengantin baru. Keduanya kompak menyahut dengan kata; 'iya' membuat Oma menyunggingkan senyum tipis.

Di bawah benderang lampu ruangan. Dia duduk menyandar pada punggung sofabed yang menghadap ke arah jendela. Semilir angin otomatis meliukkan juntaian hijab panjang yang melilit atas kepalanya. Gerah dan penat membebat tubuh jadi satu.

Duduk-setengah berbaring dengan kedua kaki diangkat ke atas sofa--selonjoran, bibir tipis merahnya yang masih penuh dengan polesan lipstik mendesis pelan. Kedua tangan diangkat tinggi-tinggi ke udara--gerakan menggeliat mengurai rasa lelah yang berlebih. Bayangkan, tiga jam dipajang di atas altar pelaminan, berdiri mengenakan heels setinggi tujuh senti, belum lagi rahangnya yang terasa ngilu--akibat terlalu sering terbuka lebar guna menebar senyum, pada setiap tamu yang memberi ucapan selamat. Belum termasuk sesi foto dengan ratusan kali jepretan kamera karena para tamu dan kerabat tak mau ketinggalan momen yang diabadikan lewat bidikan kamera. Akibatnya sekarang seluruh persendian Aisyah terasa remuk-redam.

Aisyah tidak tahu kamar siapa yang sedang dia gunakan untuk bersantai. Yang dia tahu rumah besar Oma ini memiliki banyak kamar. Ingin meneruskan langkah ke lantai dua, tapi kakinya masih terasa ngilu, akhirnya memutuskan duduk di sofa salah satu kamar yang ada di lantai bawah.

Suara derit pintu memaksa balik kesadaran Aisyah dari lamunan. Dia sontak menegakkan tubuh saat sosok pria berbadan atletis menghela langkah memasuki kamar. Dia--Abyasa berdiri tak jauh dari tempatnya duduk dengan mata setengah menyipit- memindai lekat ke arahnya. Deheman singkat menjadi preambule laki-laki itu.

"Ngapain kamu di sini?" tanyanya sembari menuju tepian tempat tidur--mengambil kopor yang teronggok di atas kasur. "Bukannya ini kamar tamu, kamar pengantin ada di lantai atas," imbuhnya sembari menyeret kopor dan menghilang di balik pintu.

Aisyah yang sejak tadi hanya bergeming berusaha mencerna kata-kata Aby. Apa tadi katanya? Kamar pengantin di lantai atas. Ya ampun itu sebuah info atau satir semata. Memutuskan bangkit dan menyusul Aby ke lantai atas---bukan, bukan karena apa-apa, tapi karena tidak enak kalau dilihat orang, apalagi Oma, kenapa dia bisa berada di kamar ini, sedangkan Abyasa di lantai atas.

Aisyah memelankan langkah saat memasuki ambang pintu kamar pengantin. Langkahnya terpaku, dengan mata memindai isi di dalam sana. Sekilas melihat Abyasa sedang duduk di sofa tunggal  menghadap balkon dengan jendela yang terbuka. Lelaki itu melepas tautan dasi pada kemeja putihnya, lalu melemparnya sembarangan ke lantai.

"Per-misi, Pak." Aisyah tidak tahu harus memanggil Aby dengan sebutan apa. Bingung dan canggung membaur jadi satu. Panggilan 'pak' yang pertama kali melintas saat memonitor wajah Abyasa berikut sikap laki-laki itu hampir mirip dosbingnya saat kuliah dulu. Ekspresinya dingin. Kesan otoriter langsung mencuat saat matanya bertemu pandang dengan manik cokelat gelap milik Aby.

Tidak ada sahutan. Abyasa malah sibuk dengan ponsel di tangannya.

"Pak, saya boleh masuk, kan?" tanya Aisyah kembali. Terdengar decak panjang menguar dari mulut Abyasa.

Lelaki itu tolehkan kepala sekilas pada Aisyah.
"Kapan saya nikah sama ibu kamu?!" hardiknya dengan tatapan tajam.

Gelengan Aisyah mencuat seraya menjawab kalimat Aby,
"Pak Aby nikah sama anaknya ibu, bukan sama ibu. Ngawur pak Aby ini." Kalimat polos itu meloncat dari bibir Aisyah tanpa dibuat-buat. Abyasa hanya memutar bola mata saat mendengarnya.

"Whatever," sahut Aby tak acuh. Matanya masih memonitor pergerakan Aisyah. "Memangnya kamu mau berdiri di ambang pintu sampai besok pagi? Masuk!" titahnya kemudian.

Aisyah mendesis pelan. Bibirnya reflek bergerak mencibir kata-kata Abyasa yang menurutnya sangat ketus.
Pantas Diandra kabur. Abyasa perangai pedas, galaknya ngalahin mi gacoan level lima belas. Kata-katanya super pedas menggigit. Panas menembuas kuping. Untung Aisyah kebal, jadi enggak akan ada ceritanya kena mental oleh sikap Abyasa.

Masih lengkap dengan atribut baju resepsi, gaun panjang menyapu lantai, berikut hiasan hijab di kepala, Aisyah merasa sedikit pening setelah berdiri berjam-jam di atas pelaminan.

"Duduk, kita perlu bicara," titah Abyasa.

Aisyah menggeleng sepintas. "Nanti ya, Pak, saya mau salat ashar dulu." Aisyah akan beranjak ke kamar mandi, tapi langkahnya terhenti sejenak, lalu bertanya pada Aby, "Pak Aby enggak salat ashar?"

Abyasa menyahut dengan decakan. Lalu menjawab tanya Aisyah, "Kalau mau salat, silakan, tidak usah bawel ngajakin saya!"

Aisyah tercenung, matanya dibuat membeliak saat menatap Aby. "Serius Pak Aby enggak salat?" tanyanya dengan ekspresi kaget. "Ganteng-ganteng enggak salat. Miris banget." Aisyah menggumam samar, tapi Abyasa bisa mendengar ucapannya. Laki-laki itu menatap dengan sorot tajam ke arah sang istri.

"Bicara apa kamu barusan?"

"Eng-enggak, saya mau mandi, terus salat. Pak Aby kalau bisa keluar dulu deh, dari sini."

"Kenapa saya harus repot-repot keluar?"

Aisyah bergeming. Tak menjawab tanya Abyasa. Iya sih, kenapa juga Absyasa harus keluar. Dia kan sudah resmi jadi suaminya. Mau melihat dari atas sampai bawah pun tidak jadi masalah. Halah! Aisyah melesat cepat memasuki kamar mandi sebelum pikirannya semakin kacau.

Tiga puluh menit Aisyah habiskan di kamar mandi. Dua puluh menit pertama tangannya sibuk mempereteli segala atribut pakaian resepsi yang menempel di tubuhnya. Sepuluh menit mandi, lalu bergegas menggelar sajadah. Keluar dari kamar kecil sudah mengenakan setelan piyama berlengan panjang plus pasmina menutupi kepala. Abyasa memang sudah halal untuknya, mau melihat setiap lekuk tubuhnya pun tidak jadi masalah. Hanya Aisyah belum siap. Baginya Abyasa adalah pria asing yang ujug-ujug terikat tali pernikahan dengannya. Canggung dan bimbang masih menginvansi.

Melangkah ke sisi tempat tidur, mata Aisyah memindai sosok Abyasa sedang berbaring terlentang di ranjang. Mata lelaki itu terpejam rapat. Gadis itu tak acuh, dia lanjutkan niatnya menjalankan empat rakaat ashar.
Usai salam, menoleh ke sisi ranjang, Abyasa masih tak berkutik, Aisyah melepas embusan napas. Sebagai istri yang baik, sudah tugasnya mengingatkan sang suami agar tak meninggalkan ibadah.

Aisyah beranjak, duduk di tebing ranjang, tangannya mengguncang pelan lengan Aby. "Pak, asharnya sudah mau habis, Pak Aby enggak salat?" Abyasa menggeliat pelan.

"Pak Aby, salat dulu." Aisyah tak patah arang. Cubitan kecil menggores lengan Abyasa yang tertutup kemejanya. Laki-laki itu sontak tergeragap saat merasai ada sengatan panas menggores pori-pori kulitnya.

"Gila kamu, ya?! Ngapain sih, ganggu saja."

"Pak Aby ini Islam bukan, sih?"

"Kalau saya nonis, bukan ijab qobul yang saya ucapkan, tapi janji suci di altar!" sahut Abyasa sembari bersungut menahan marah.

"Islam ka-te-pe. Mana ada orang Islam, tapi enggak salat."

Abyasa meremas rambutnya, wajahnya membias frustasi. Baru beberapa jam beristrikan Aisyah, tapi perempuan itu bawelnya melebihi sang mama saat ngomel. Suara perempuan itu mendengung hebat di kuping Aby saking cerewetnya.

"Itu bukan urusan kamu!"

Aisyah tepuk tangan kecil. "Pak Aby hebat," puji Aisyah--lebih tepat disebut satir.

Abyasa bangkit. Duduk menyandar di head bed dengan mata menumbuk dalam tatap Aisyah. "Maksud kamu apa?" Napasnya menguar panjang.

"Hebat-lah, udah siap banget jadi kerak telor di neraka."

Rahang Abyasa mengetat. Menggigit pipi dalam guna menekan emosi yang siap meledak. Dia Memangkas jarak, tatapan matanya berubah tegas, dengan iris cokelat yang bertengger sempurna di bawah alis hitam lebatnya. Aisyah sampai mundur karena disergap salah tingkah.

Aisyah perhatikan raut Abyasa dari jarak yang sangat dekat. Tulang pipi lelaki itu lebar, andai dia tersenyum, pasti akan membentuk lengkung manis yang sempurna. Suaranya terdengar agak berat saat berbicara. Seksi kalau kata gadis milenial jaman sekarang.  Semua orang pasti berpikir, Abyasa Rahagi Prasetya adalah manifestasi karya Tuhan tanpa cela. Akan tetapi bagi Aisyah, Aby tetap memiliki kekurangan.
Bagi Aisyah, laki-laki sempurna adalah yang selalu basahi kening dengan air wudhu saat kumandang azan terdengar. Yang bicaranya manis, dan santun. Bukan ketus dan galak macam Abyasa.

"Bicara sekali lagi, sekarang juga saya perawani kamu, Aisyah!" Mendengarnya Aisyah bergerak mundur. Bibi tipisnya mengatup rapat dengan rona wajah membias pucat. Kata-kata Abyasa barusan lebih menakutkan daripada ekspresi Oma saat marah. Lebih mencekam dari saat Diandra kabur.

Diperawani katanya?
Membayangkan saja Aisyah tak berani.
Dia belum siap--dan entah sampai kapan dia tidak tahu.

⚜️⚜️⚜️



Aisyah hati-hati sama Pak Aby 😷

Fiuuuh, panjang lho ini. Semoga puas bacanya ya.

Jangan lupa, vote, komen, and share. 🤩

Maturtengkyuuu

03-01-2022
2500

Tabik
Chan--(Tiq)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro