4. Dendrobium

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Holla, happy baca ya.
.
.
.

Banyak menghabiskan waktu dengan berkutat di dunia florist dan nursery, terutama saat membahas soal tanaman anggrek, membuat Aisyah paham betul tentang jenis-jenis dan genus masing-masing tanaman dari family Orchidaceae itu.

Dendrobium, salah satu genus yang sangat mirip dengan cattaleya. Hidupnya berlindung di bawah teduh pepohonan, sedikit terkena sinar matahari agar tidak layu dan mati.

Dendrobium juga salah satu marga anggrek epifit yang biasa digunakan sebagai tanaman hias dalam ruang atau taman. Bunganya sangat bervariasi dan indah. Dendrobium relatif mudah dipelihara dan berbunga. Pola pertumbuhan anggrek Dendrobium bertipe simpodial, artinya memiliki pertumbuhan ujung batang terbatas.

Sudah bisa menebak, kan, Dendrobium yang cantiknya menyamai Cattaleya sangat identik dengan Niskala--mamanya si kembar.

Iya, bagi Aisyah, mama itu cantiknya kebangetan, kayak genus dendrobium saat sedang mekar dan berbunga. Bahkan di usia menjelang lima puluhan cantiknya berasa tidak pernah luntur dimakan usia. Hidungnya mancung, kulitnya seputih pualam dengan kelopak mata bulat berisikan iris cokelat terang. Semua yang ada di diri mama diwariskan pada Diandra. Aisyah sendiri merasa hanya mewarisi alis lebat serta tahi lalat di pipi dan bawah dagunya.

Aisyah ingin melangkah ke kamar atas, tapi ayunan kakinya tertahan saat mama yang muncul dari balik lorong tangga menginterupsi gerakannya.

"Syah, mama ingin bicara sebentar," interupsi mama. Aisyah mengangguk patuh, langkahnya berbalik mengikuti mama menuju kamar kosong di seberang tangga.

Mama mengunci pintu saat Aisyah sudah duduk di tebing ranjang. Perasannya dibuat bimbang tentang topik yang akan mama bicarakan.

"Ada apa, Ma?" tanya Aisyah. Matanya memindai mama yang menangkup wajah dengan kedua tangan.

Perempuan paruh baya itu melangkah mendekat dan duduk persis di sebelah Aisyah. Tangisnya pecah saat itu juga. Bahunya naik-turun akibat isakan tangis. Aisyah yang menyaksikan mamanya menangis, sontak dibuat kebingungan.

"Mama sakit? Mama, jangan bikin Aisyah takut. Mama kenapa?" Usapan lembut Aisyah daratkan di bahu mama sebagai penenang.

"Mama sangat khawatir sama Diandra, Syah..."

Kata-kata mama barusan tak ayal menciptakan perih di ceruk hati Aisyah. Embusan napasnya terlepas dari mulut mendapati kenyataan kalau hati dan jiwa mama sepertinya sudah tertawan penuh pada Diandra.

Padahal, Aisyah menaruh harap sedikit saja, akan ada pelukan selamat dari mama, atau wejangan lembut padanya karena baru saja memasuki babak baru dalam hidup. Dia merasa ada sesuatu tak kasat mata yang menembus dadanya, membuatnya sakit dan ingin menangis.

"Mama yang tenang ya, In Sha Allah, Kak Diandra baik-baik saja." Menepis segala kecewa, Aisyah memilih melabuhkan senyum menanggapi kecemasan Niskala.

Mamanya itu mengusap wajah dengan gerakan tak santai, seraya bertanya lagi pada Aisyah, "Benar, kan, Syah, dia pasti baik-baik saja? Dia bilang apa waktu mau pergi, dia titip pesan ke kamu, kalau bakal ke mana gitu, Syah?"

Gelengan lemah Aisyah jawabi pertanyaan sang mama. "Aisyah enggak tahu dia pergi ke mana, Ma."

"Diandra kenapa keras kepala, Nak. Mama sudah bilang, jangan aneh-aneh, tapi malah nekat kabur. Padahal dia itu badannya ringkih, gampang sakit dan pingsan."

Sepasang hazel Aisyah sontak berlapis kaca mendengar gumaman cemas Niskala. Apa setidak-berartinya dia di mata perempuan yang telah melahirkannya itu, sampai-sampai hanya Diandra yang dipikirkan.

Mata Aisyah bergulir menatap awang-awang, menghalau danau airmata yang siap meluncur. "Ma, Aisyah pamit ke kamar ya, mau bersih-bersih sama salat dulu." Memilih pergi adalah cara terbaik untuk saat ini. Mencoba terus berpikir positif dan maklum. Ah, mungkin mama masih sangat syok dengan kepergian Diandra yang tiba-tiba kabur, makanya kasih belum terima dan diliputi kecemasan.

___

"Ingat ya, di depan keluarga besar nanti, kita harus pura-pura layaknya suami-istri betulan. Kalau perlu improvisasi berlagak mesra, terutama di depan Oma Dahlia dan Eyang Rahayu." Kalimat itu meluncur dari bibir merah alami milik Abyasa saat Aisyah mematut diri di depan cermin--akan bersiap turun untuk makan malam bersama dua keluarga besar.

"Lho, kita, kan emang suami-istri asli, Pak. Ngapain harus pura-pura lagi?"
Sahutan Aisyah mencuat disertai decakan panjangnya mendengar titah Aby yang menurutnya tak masuk akal.

Sebenarnya ini pilihan yang sulit juga bagi Aisyah. Di satu sisi tidak mau bohong pada keluarga besar. Pura-pura, berarti akting semata, sama saja menipu, 'kan? Sifat itu bukan perangai Aisyah. Ada setitik rasa bersalah bersarang di hati andai nanti semua orang tahu kalau dia dan Aby pura-pura terlihat akur dan baik. Namun di sisi lain, tidak mungkin terang-terangan mengatakan kalau dia dan Abyasa tidak berniat menjadi suami-istri betulan. Laki-laki itu ternyata juga terpaksa menerima pernikahan ini.

"Diam dan ikuti saja, Syah, jangan sampai membuat kesalahan."

"Pak Aby juga jangan suka ngancam, saya bukan anak kecil, Pak, tau apa yang harus dilakukan."

Bibir Aby menipis mendengar sahutan Aisyah. Ronanya membias sanksi--seperti tidak percaya.

"Cepatlah, tidak enak kalau kita terlambat turun, Aisyah!"

"Ini udah siap, Pak, tinggal jalan aja."

Abyasa memberikan salah satu tangannya. Aisyah yang bingung hanya menaikkan kedua alis, tidak tahu maksud laki-laki itu.

"Astaga!" gumam Aby, lalu mengamit tangan Aisyah tanpa menunggu persetujuan gadis itu lebih dulu. Dia menegang mendapati polah Abyasa barusan. Walaupun hanya pura-pura, tapi gadis mana yang enggak terbawa perasaan saat tiba-tiba ada laki-laki yang menggenggam erat tangannya saat melangkah. Menggeleng-geleng samar adalah cara Aisyah agar jangan sampai kebaperan ini berlanjut.

Menuruni anak tangga dengan tangan digandeng Abyasa, Aisyah hanya diam mengikuti setiap pijakan langkah lelaki itu. Nervous saat banyak pasang mata dari dua keluarga besar mengamati langkah si pengantin baru.

Mengenakan dress berwarna peach serta pasmina lembayung, Aisyah terlihat cantik dan segar. Sementara di sebelahnya Abyasa tampilannya tak kalah santai dengan setelan jeans cokelat gelap serta kemeja flanel lengannya digulung sebatas siku.

Koor 'selamat malam pengantin baru' terucap serempak dari dua keluarga yang bergabung mengelilingi meja makan berbentuk lonjong memanjang.
Acara makan malam dua keluarga dihelat di ruang tengah rumah megah ini.

Abyasa menarik salah satu kursi mempersilakan Aisyah duduk. Tindakannya spontan mendapat applaus serta godaan dari beberapa kerabat.

Aisyah tersenyum rikuh. Sejak tadi yang menjadi pusat perhatiannya adalah raut sedih mama yang duduk di seberang kursinya. Tidak dimungkiri, mama yang paling histeris dan terus menangis saat tahu Diandra kabur.

"Selamat cucuku, Eyang doakan pernikahan kalian langgeng dan bahagia." Eyang Rahayu adalah neneknya Aby. Perempuan tua itu beranjak dari duduk dan memeluk Aisyah saat menyisipkan doa dan selamat.

"Doa Oma juga sama untuk kalian berdua. Semoga kabar baik segera mendatangi keluarga kita setelah ini." Oma Dahlia--neneknya Aisyah tak mau kalah ikut menimpali.

Acara makan malam menjadi hal yang paling ingin Aisyah hindari saat ini. Pasalnya sepanjang acara dia harus pura-pura akur dengan laki-laki yang duduk persis di sebelahnya. Andai sikap Abyasa tidak lebay; tiba-tiba menyuapi Aisyah dari sendoknya, mengelap pinggiran bibirnya usai menandaskan isi piring, atau saat bibir lelaki itu mendarat di punggung tangannya di depan semua keluarga usai makan malam berakhir.

Memuakkan harus terjebak dalam lakon drama pura-pura ini.

Usai makan malam dan bincang-bincang santai, satu persatu anggota keluarga pamit undur diri.

Jam klasik koleksi Oma yang terpajang tepat di tengah ruangan berdentang sepuluh kali.

Saat Abyasa pamit dan isyaratkan Aisyah mengikutinya, gadis itu menolak secara halus. Dia bilang masih ingin ngobrol dengan ibu.

"Syah, suamimu udah kasih kode itu, saja ke kamar. Besok bisa dilanjut ngobrolnya sama ibu." Tari mengedip lucu pada putrinya. Aisyah membeliak dengan reaksi ibu. Bibirnya mencebik lucu.

"Biarin, sih, Bu. Aisyah belum ngantuk."

Ibu tertawa pelan, "Masa pengantin baru mau melewatkan malam pertama. Udah sana susulin ke atas."

Kelakar ibu tak ayal ciptakan rona merah di kedua pipi Aisyah. Walau agak sebal, tapi langkahnya terayun menyusuri anak tangga menyusul Abyasa.

Memutar handel pintu pelan, mata Aisyah langsung memindai Abyasa saat pintu terkuak. Lelaki itu tengah menggempur badan atletisnya dengan aktivitas push up di lantai sisi kanan tempat tidur. Tidak peduli akan kedatangan sang istri.

Iseng, Aisyah melempar komentar,
"Olahraga kok di kamar, Pak?" Pertanyaan basa-basi sekadar untuk membunuh canggung. "Udah malam pula, malam itu harusnya tidur!" Lanjut Aisyah dengan ekspresi mengejek.

Abyasa menghentikan polahnya. Lelaki itu meraih handuk kecil yang tersampir di pinggiran sofa, tangannya bergerak mengusap tetesan peluh yang banjiri pangkal dahi, pelipis serta rambutnya, kemudian melempar handuk sekenanya usai dipakai. Perbuatan Aby tak ayal timbulkan decak sebal Aisyah. Gadis itu memungut kasar handuk bekas pakai milik Aby, lalu memasukkan ke dalam keranjang baju kotor.

Abyasa mendekat pada Aisyah yang berdiri di sisi keranjang baju kotor sembari melipat kedua tangan. Mata legam lelaki itu menatap lekat, sedangkan sebelah bibirnya tertarik ke atas, sungging-kan seringai senyum.

"Kenapa nyuruh saya berhenti olahraga?" tanyanya dari jarak super-dekat dari Aisyah. Bibirnya semakin menipis. "Atau ... kamu mau ngajakin olahraga lain?" Kalimat ganjil lelaki itu mendapat respons putaran bola mata Aisyah.

Aby masih belum melepas matanya dari Aisyah. Bibirnya bergerak kembali merapatkan sesuatu dengan ekspresi wajah ganjil,
"Olahraga di atas kasur, mungkin," imbuhnya dengan gerakan tangan mengungkung sang istri. Mengunci perempuan itu di antara kedua tangan kekarnya serta tembok, sampai Aisyah harus menahan napas karena jarak Abyasa yang terlalu dekat.

"Dasar mesum!"

"Makanya jangan mancing-mancing. Saya enggak bisa tidur sebelum olahraga dulu." Aby mengurai kuncian tangan. "Kita perlu bicara." Matanya bergulir ke arah sofa sebagai isyarat agar Aisyah mengikuti duduk di sana.

"Bicara apa, Pak? Saya ngantuk, capek, mau tidur."

"Kenapa kamu panggil saya dengan sebutan 'pak'?" Lontaran pertanyaan--atau terdengar seperti sebuah protesan. "Apa saya terlihat setua itu?" Raut Abyasa membias penasaran.

Aisyah menggeleng pelan. "Karena mirip kayak dosbing saya dulu. Galak dan ketus. Pelit senyum, otoriter." Kalimatnya blak-blakan, tanpa berusaha dimanis-maniskan, karena di matanya Abyasa memang seperti itu. "Lagian kayaknya Pak Aby memang kelihatan lebih tua dari saya, pantas dipanggil pak."

Menit pertama Abyasa dibuat melongo. Bisa-bisanya ada gadis yang mengabsen semua hal buruk tentangnya tanpa ada satupun yang baik. Bagaimana dengan tubuh atletis? Wajah tampan korelasi model papan atas? Badan tinggi tegap mencapai 184 sentimeter? Atau jabatan pentingnya sebagai wakil direktur di perusahaan maklon rintisan keluarganya?
Tipe laki-laki eligible yang banyak dikagumi kaum hawa, tapi tak ubahnya laki-laki payah di mata Aisyah. Decakannya menguar panjang, Abyasa tidak terima.

"Kamu!" Menggigit pipi dalam, guna menekan segala deru emosi yang kian memuncak. "Bisa-bisanya main judge padahal belum kenal saya," sambung Aby meletup-letup. Aisyah mengedip beberapa kali, kemudian kedua bahunya terangkat bersamaan, tak acuh.

"Katanya mau bicara, tapi malah marah-marah, gimana sih, Pak."

"Aisyah! Kamu lihat saya itu kayak apa sih?" Saking frustasinya berhadapan dengan Aisyah, Abyasa sampai ingin tahu, bagaimana dia mata gadis itu.

Mata Aisyah mengabsen Aby dari atas sampai bawah. "Laki-laki, normal, kan, Pak?"

"Ya kamu pikir saya enggak normal gitu?" Sepasang manik legam Aby menelisik.

"Saya enggak bilang gitu. Pak Aby sendiri yang mengakui."

"Astaga, Aisyah. Argh!" Abyasa mengeram tertahan. Aisyah tak peduli, memilih mengenyakkan tubuh ke atas kasur. Badannya terlalu lelah setelah aktivitas seharian ini, tidak ada sisa tenaga lagi untuk meladeni debat dengan Aby.

⚜️⚜️⚜️

Syah, hati-hati sama Pak Aby, lho. 🤭

Lanjot ga?

04-01-2022
1800

Tabik
Chan(Tiq)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro