6. Repotting

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Repotting - Pemindahan

Happy baca, ❤️
Btw. Kalau paragraf di kalian munculnya berantakan, tolong direfresh dulu dari library, habis itu baru tambahin ulang. Soalnya tadi subuh sempat mau apdet, tapi terhalang sinyal. Jadinya pas preview berantakan. Ini udah rapi kok, mungkin aja, barangkali di kalian berantakan.

Semoga puas bacanya. Mayan panjang kok. 2700 word.

.
.
.

Abyasa duduk di taman samping rumah bersama Faris dan Tio, papa serta ayah mertuanya. Tadinya dia sudah menenteng kunci, ancang-ancang ingin memanasi mobil, berencana ngopi di luar mengajak Aisyah. Akan tetapi polahnya mendapat interupsi Oma Dahlia. Perempuan tua yang disegani itu mengatakan kalau pengantin baru belum boleh pergi keluar rumah sebelum sepasaran, selamatan di hari ke lima setelah akad nikah. Kata Oma, pamali, ora ilok, makanya Aby mengurungkan niat pergi.

Bergabung dengan ayah dan papa, Abyasa baru tahu satu hal; kalau Aisyah ternyata sejak bayi hidup terpisah dengan orangtua kandungnya. Diam-diam ada rasa simpatik menjejali hatinya tentang gadis yang menurutnya walau sangat bawel, tapi ternyata cukup berbesar hati menerima semua perintah yang keluarganya titahkan.

Faris-papa mertuanya banyak membagi cerita, jika dirinya sebenarnya sangatlah menyayangi Aisyah. Faris juga mengatakan andai saja dulu bisa memilih, dia ingin bungsunya tidak tinggal terpisah dari keluarga, tapi kenyataan tak mendukung untuk mereka berkumpul.

Abyasa hanya menarik samar sudut bibirnya menanggapi cerita Faris. Otaknya enggan menerima kalimat sang papa mertua, menurutnya mau dengan alasan apapun, memisahkan anak dari ayah dan ibu kandungnya apalagi sejak bayi adalah tindakan yang sangat salah menurutnya.

Tidak hanya itu, Abyasa mulai bosan dengan obrolan ini saat Faris mulai condong membahas tentang Diandra. Putri kebanggaan keluarga Hutama. Gadis cantik dengan segudang prestasi yang mungkin membuat iri banyak kaum hawa di luaran sana. Diandra itu menyandang gelar sarjana hukum dari salah satu universitas negeri ternama di usia dua puluh dua tahun. Tak hanya itu, berkarir di dunia modeling, sulungnya Hutama juga acapkali wara-wiri sebagai model profesional, termasuk kebanggan lain yang tak boleh dipandang sebelah mata adalah saat lolos mengikuti ajang kontes kecantikan putri Indonesia. Siapa yang tidak bangga dengan segala pencapaian gadis itu, orang lain di luaran sana banyak yang mengelu-elukan, apalagi keluarganya.
Tidak heran jika Niskala maupun Faris Hutama sangat bangga dengan Diandra.

"Maaf atas insiden kemarin Nak Aby. Harusnya kamu menikah dengan Diandra, bukannya Aisyah." Rapalan maaf dari mulut Faris menyambangi telinga Aby. "Seharusnya yang cocok dan sekufu bersanding sama Nak Aby itu Diandra." Seolah tanpa memakai perasaan kalimat itu meluncur dari mulut Faris Hutama.

Abyasa menggeleng pelan.
"Enggak pa-pa, Pa, ini sudah jalan Tuhan. Saya tidak keberatan mau nikah sama siapa, bukannya mereka berdua sama-sama putrinya Papa. Toh menolak juga hasilnya tetap sama, Eyang akan terus memaksa saya menerima perjodohan ini."

"Diandra itu anak yang baik, Nak Aby. Saya juga heran, kenapa bisa berubah pikiran di detik-detik menjelang pernikahannya."

Sedangkan di sebelahnya Tio-sang ayah mertua usai menyeruput kopi dalam cangkir, tak mau ketinggalan membagi cerita soal Aisyah. Dengan mata berbinar bibirnya mulai memproduksi kalimat, mengatakan betapa sangat beruntungnya dia diberi kesempatan memiliki putri seperti Aisyah. Gadis manis yang selalu berpenampilan sederhana, tidak pernah menyusahkan orangtua, tumbuh dengan banyak cinta meski bukanlah cinta platonis dari yang mengandungnya.

"Sejak kelas dua Aliyah, Aisyah itu suka berbisnis, jualin tanaman ibunya ke ibu teman-temannya, waktu itu lagi booming sekali tanaman gelombang cinta. Sampai bunga hasil berkebun ibunya habis dijualin sama dia." Tio terkekeh usia berbicara. Menceritakan betapa Aisyah itu jiwa bisnisnya telah berkembang sejak duduk di bangku putih abu-abu. "Semester empat kuliah, akhirnya buka sendiri florist kecil-kecilan, modal patungan sama temannya. Sampai sekarang usahanya berjalan, Nak Aby."

Daripada cerita Faris, Abyasa lebih tertarik saat Tio berbicara. Iris legamnya menatap Tio dengan seksama saat laki-laki paruh baya itu menyoal tentang aktivitas Aisyah. "Wah, hebat ya, Om. Saya kira Aisyah kerja kantoran," sahut Aby.

Tio menggeleng. "Enggak Nak Aby, dia itu paling segan kalau harus jadi karyawan. Pernah kerja di bank waktu baru lulus kuliah dulu, cuma tiga bulan saja, jadi teller, setelah itu memilih keluar dan fokus ke bisnis yang dirintis."

Kedua sudut bibir Abyasa tertarik ke atas. Ada sedikit rasa kagum pada gadis yang sedang menjadi bahan ghibah tiga laki-laki beda generasi itu. Ternyata ada sisi lain yang lumayan menarik untuk dikulik, daripada sekadar mulut bawelnya si Aisyah.

"Panggil ayah saja Nak Aby, biar sama seperti Aisyah," pinta Tio. Abyasa mengangguk takdzim. Dia lupa kalau Tio adalah ayah pengganti bagi sang istri.

"Baik, Yah."

Obrolan ketiganya terjeda saat masing-masing menyeruput cairan kafein dalam cangkir.
__

Usai meletakkan barang-barang di kamar tamu, sekalian mengganti sprei kamar Aisyah langsung melesat keluar ingin hampiri Abyasa. Tadi laki-laki itu mengatakan ingin ditemani ngopi.
Menghela langkah ke ruang tengah, ternyata kosong, Mama dan Oma sudah tidak terlihat ada di sana.

Aisyah menuju teras samping rumah saat samar-samar rungunya menangkap suara obrolan berasal dari meja-kursi kayu yang menghadap taman samping. Dari pintu sleding kaca, dia langsung memindai ketiga laki-laki yang dikenal sedang bercengkrama.

Aisyah mendekat pada kumparan dua ayah serta suaminya itu. Matanya berbinar cerah mendapati ayah ada di sana juga. Sapaannya mencuat saat kakinya menjangkau tempat ketiga laki-laki itu. Sontak langsung mengambil tangan ayah dan papa, menciumnya penuh hormat dan takdzim.

"Lagi ngobrolin apa, Yah, Pa?" Reflek tanya Aisyah. Dia menarik kursi di sebelah Tio, lalu duduk di sana.

Faris sedang sibuk menatap ponselnya. Papanya itu menjawab tanpa memandang pada Aisyah, "Papa lagi cari tahu keberadaan kakakmu. Semoga orang-orang yang papa tugasin mencari Diandra bisa segera menemukannya."

Aisyah memerhatikan raut Faris. Walau tidak dijabarkan dengan kalimat, dia tahu papanya itu bersedih atas kaburnya Diandra. Dia menyahuti kalimat papanya, "In Sha Allah, Kak Diandra pasti baik-baik saja, Pa."

Di luar dugaan Faris merespons berlebihan kata-kata sang putri. Mata legam lelaki itu menatap Aisyah seperti pandangan menghardik.
"Tidak bisa begitu, Syah. Sudah dua hari Diandra tidak pulang. Kamu sebagai adik harusnya turut prihatin. Semua nomer orang rumah diblokir sama Diandra, gimana Papa tidak cemas, kalau sampai dia kenapa-napa di luar sana bagaimana?" Meletup-letup nada bicaranya sembari menatap lekat Aisyah.

Jawaban Faris benar-benar di luar dugaan Aisyah. Pelan tapi pasti, seperti ada yang menggores permukaan hatinya akibat kata-kata papa yang terlalu tendensius.

"Bukan seperti itu, Dik Faris. Maksudnya Aisyah, Diandra sudah dewasa, pasti bisa menjaga diri."

"Aby setuju dengan Aisyah, Pa. Saya yakin dia baik-baik saja di luar sana." Abyasa menimpali.

Pandangan Faris beralih pada Tio.
"Tetap saja Mas, sebagai papanya saya sangat khawatir." Usai mengatakan itu Faris bangkit dari kursi. "Saya permisi dulu, mau ngabarin mamanya anak-anak agar dia jangan cemas, Diandra akan segera pulang kembali ke rumah ini."
Seiring kalimatnya, Faris melangkah, beranjak dari sana.

Tio meraih tangan Aisyah. Menepuk-nepuk punggung tangannya pelan. "Jangan diambil hati ya, Nduk."

Aisyah hanya menggeleng singkat. Tidak diambil hati pun, perasannya sudah lebih dulu terluka. Beberapa saat kerongkongan-nya terasa tersumbat sesuatu. Terasa sakit sampai bibir tipisnya enggan memproduksi kalimat.

"Ayah masuk duluan ya, kalian ngobrol saja di sini." Tio ikutan pamit, lalu menghela langkah ke dalam rumah.

Di tempat itu menyisakan Abyasa dan Aisyah. Lewat bulu lentiknya Aisyah melirik Aby yang sejak tadi terlihat fokus menatap layar iPhone-nya. Geming merayapi keduanya sampai suara bariton milik laki-laki yang duduk dengan bersilang kaki itu mencuat.

"Enggak usah dilirik, kalau mau dipandang, langsung aja!"

Aisyah meneguk ludah susah payah. Ternyata yang diperhatikan malah diam-diam memerhatikannya. Kelihatannya saja sibuk dengan ponsel di tangan, ternyata hanya akal-akalan Abyasa.

"Kopinya Pak Aby sudah habis, kalau gitu saya pamit juga, mau bantuin ibu masak di dapur."

"Jelas, lah. Saya minta kamu temani ngopi, tapi kamu malah baru muncul pas kopinya sudah mau habis."

Aisyah berdecak pelan. Urung melangkah pergi dari sana. "Terus saya harus ngapain di sini, Pak?"

"Jadi benar, kamu punya bisnis tanaman hias?" Tembak Aby membuka obrolan. Lelaki itu melipat kedua tangan di dada, matanya sibuk menguliti pandang pada Aisyah. "Hebat," imbuhnya.

"Enggak sehebat Diandra yang punya segudang prestasi." Entah kenapa perasaan Aisyah jadi sangat sensitif. Mendengat pujian Aby, malah rasanya terdengar kalau laki-laki itu sedang berusaha mengoloknya.

"Kenapa harus membandingkan hidup dengan orang lain?"

"Memang itu kenyataannya, Pak!"

"No, Aisyah! Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan, tidak baik membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Salah-salah malah jadi pemicu rasa insecure."

"Memang benar, kok, apa yang mau dibanggain dari saya, Pak? Cuma gadis biasa yang hobi jualan kembang. Enggak punya prestasi apa-apa yang bisa bikin orang menoleh dua kali. Apalagi bisa banggain orangtua."

Abyasa tahu, saat Aisyah mengatakan itu ada lapisan bening yang membias di kedua matanya. Apalagi sepanjang berkata gadis yang mengenakan setelan rok plisket dipadu kaus oversize itu hanya menunduk dalam, tak berani mengangkat pandangan membalas tatapannya.

"Saya baru tahu, kalau kamu tidak dibesarkan di rumah ini, Syah." Aby mengubah topik obrolan. Sengaja dia ingin melihat reaksi Aisyah jika menyoal hidupnya yang terpisah sejak bayi dari mama-papanya.

Kedua bahu Aisyah terangkat bersamaan. "Enggak masalah, kan, toh, biarpun hidup di Surabaya sama ayah dan ibu, tapi saya enggak kekurangan kasih sayang. Kayak tanaman saja, Pak, saya menganggap kalau saya dipindahkan dari sini ke rumah ibu ibarat proses repotting," jawab Aisyah lancar.

Abyasa menilik raut sang istri. Walau tidak terdengar langsung, tapi dia tahu ada suara retakan tak kasatmata cukup keras yang berasal dari ceruk hati gadis itu. "Kamu menyamakan proses hidup manusia dengan tanaman, Syah?"

"Iya, apa salahnya. Bukannya proses repotting diperlukan bagi tanaman agar hidupnya tetap baik, makanya ada proses pemindahan dari satu media tanam ke media lain, agar tanaman itu tetap terjaga dan hidup."

Abyasa manggut-manggut mendengar jawaban Aisyah. Meski nalarnya belum bisa menerima pendapat gadis itu, tapi Aby tak berniat membuka perdebatan pagi ini. Apalagi mereka berada di luar kamar--yang otomatis akan menyita banyak pasang mata kalau sampai tercipta debat antara dia dan Aisyah.

"Kalau udah enggak ada yang dibahas lagi, saya pamit duluan, Pak. Bantu ibu nyiapin sarapan."

Abyasa mengangguk samar saat Aisyah berkata seraya beranjak dari duduk. Masih betah duduk di tempat ini, mata sekelam malam milik Abyasa mengekori langkah Aisyah, sampai gadis itu menghilang usai menguak pintu kaca penghubung ruang tengah dan teras samping.

__

Hari kelima usai pernikahan. Setelah acara selamatan sepasaran tadi pagi. Sore nanti ayah dan ibu akan bertolak kembali ke Surabaya.
Aisyah menangis mendengar kalau dia akan ditinggal di sini.

"Ibuuuu, kenapa Aish ditinggal sendiri di sini?" Di sela isakan tamgis protesnya mencuat. Lestari terkekeh mendapati polah anak gadisnya yang masih saja manjanya enggak ketulungan kalau sudah berinteraksi dengannya.

"Lha piye toh, (gimana sih) sudah punya suami masa masih ngintilin ibu." Lestari berkata sembari memasukkan pakaiannya ke dalam tas besar.

"Tapi nanti Aisyah kapan bisa balik ke Surabaya, Bu?"

"Kalau itu tergantung suamimu, Nduk."

Ada kecemasan lain mengobar di kedua mata Aisyah. Tentang Pratiwi-sahabatnya. Dia belum membagi tahu kabar pernikahannya pada karibnya itu. Sejak kemarin banyak chat dari Tiwi yang hanya dibalas singkat, video call juga sengaja tidak diangkat.

Aisyah bingung harus memulai dari mana menjelaskan kalau statusnya sekarang sudah berubah, tidak lagi bebas kayak dulu.

"Kenapa kok cemberut gitu, Nduk?"

Mata Aisyah menerawang saat menjawab tanya ibu, "Bu, aku nanti pasti dikeplak (ditampar) sama Tiwi. Lha gimana, dulu janjinya kalau salah satu dari kami nikah duluan, harus jadi bridesmaids, ini aku malah diam-diam nikahnya. Enggak ngasih kabar sama Tiwi."

Lestari tertawa mendengar curhatan sang putri. "Oalah, Nduk. Tak kira kenapa. Wes (sudah) nanti biar ibu yang bantu jelaskan sama Tiwi. Kalau ibu yang ngomong, pasti bisa dimengerti."

Aisyah memangkas jarak. Di tebing ranjang kamar, duduk bersisihan dengan ibu, dia merangkul pundak ibu dari samping. Hatinya kembali menggerimis mendapati kenyataan kalau ayah dan ibu akan segera meninggalkan rumah ini.

"Sudah toh, ojo mewek, Nduk (jangan nangis, nak)"

Dibilang seperti itu tangis Aisyah malah pecah. Napasnya naik-turun sesenggukan akibat hujan airmata.

Tangan ibu meraih jemari sang putri. Menggenggam erat seraya merapal kan wejangan bagi putri angkat kesayangannya. "Nduk, pesannya ibu cuma satu. Urip kuwi terus mlaku bebarengan karo wektu, kudu iso gowo apik lakumu, supoyo tansa pinaringan berkah uripmu (hidup itu terus berjalan seiring dengan waktu, harus bisa membawa diri, agar selalu diberkahi hidupnya) Nurut apa kata suamimu selagi dalam hal-hal yang baik, ya, Nduk." Tutur kata ibu yang lembut memberi nasihat menciptakan ribuan haru di hati Aisyah.

"Inggih, (iya) Bu, In Sha Allah, Aisyah selalu ingat nasihatnya ibu."

Momen haru terjeda suara adzan ashar. Aisyah melepas tautan tangannya pada pundak ibu. "Bu, Aisyah asharan dulu ya, nanti mau ikut nganterin ayah sama ibu ke stasiun."
Ibu manggut-manggut menanggapi ucapan sang putri.

___

Pada kumparan manusia yang hilir mudik sembari melirik jadwal keberangkatan kereta, di antara aroma kopi yang menguar dari cafe yang berada di stasiun, ada adegan haru saat seorang anak gadis melepas kepergian ayah dan ibunya.

Barter pelukan erat rasanya tak cukup mampu memenuhi celengan rindu yang akan tercipta oleh jarak dan perpisahan.

"Ibu sama ayah hati-hati, ya. Kalau sudah sampai jangan lupa kabarin Aisyah."

Kedua orangtua itu mengangguk sebagai jawaban.

"Nak Aby, ibu titip Aisyah ya. Jangan dimarahi kalau dia salah, tapi nasihati dengan kata-kata lembut. Jangan dibentak ya, Nak. Aisyah masih harus banyak belajar mengurus rumah tangga. Masakannya juga belum terlalu enak, pernah ibu suruh bikin sayur bayem, yang dimasukin malah jahe, bukan kunci. Tolong dimaklumi nanti ya."

"Ibuuuu ..."

Ibu dan ayah terkekeh. Kedua tebing pipi Aisyah memerah saat ibu menguak aibnya di depan Abyasa. Matanya melirik sekilas pada Aby. Laki-laki mengangguk seraya menahan senyum.

"In Sha Allah, Bu, Yah. Kalau dia bawel palingan saya sumpal mulutnya nanti."

Ayah dan ibu seolah paham jika ucapan Aby hanya sebatas candaan. Dua orangtua itu menanggapi dengan tawa lebar.

__

Hampir isya saat mobil yang dikemudikan Abyasa tiba di pelataran rumah Oma. Gadis itu turun lebih dulu, sedangkan Aby memarkir kendaraan di garasi samping.

Saat sepasang kaki Aisyah menapak lantai ruang tamu, pemandangan pertama yang menyita perhatiannya adalah adegan di sofa ruang tamu. Mama terlihat sedang menelpon sembari terisak-isak di antara suaranya ditemani papa yang duduk persis di sebelah sang mama. Salamnya bahkan tidak terjawab oleh dua orang yang sedang fokus dengan sambungan telepon di seberang sana.

"Diandra pulang ya, Nak. Oma, Mama dan Papa enggak marah sama Diandra. Yang penting kamu pulang ya. Mama kangen pengin peluk Diandra. Mama bikinkan chicken Cordon blue kesukaan kamu, Nak. Pulang ya, Di ..."

Aisyah melengang ke kamar. Tidak bisa memungkiri bahwa setiap kali mama dan papa menunjukkan rasa cintanya pada Diandra, ada setitik rasa iri meruangi hatinya.

Sampai di kamar Aisyah mengenyakkan badan ke sisi ranjang. Duduk di sana sembari kedua tangannya menyilang--memeluk diri sendiri. Mencoba menapak-tilas dalam memori, kapan terakhir kali mama mendekapnya erat. Rasanya sudah sangat lama sekali dia tak merasakan pelukan hangat dari perempuan yang telah melahirkannya ke dunia itu.

Kenapa sikap mama seolah berbeda jauh dengannya dibanding saat bersama Diandra. Padahal dia dan kakak kembarnya adalah alumni rahim ibu yang sama. Kenapa Aisyah merasa kasih sayang mama dan papa sengaja dipetak-petakkan.

Perlahan tapi pasti cairan bening menderas dari kedua matanya. Saat rasa rapuh menyambangi, menangis bisa mengobati luka hati, membuatnya merasa lega sejenak.

Pintu kamar terdengar diputat handelnya. Abyasa masuk usai pintu terkuak sempurna. Laki-laki itu melangkah sembari mengantongi tangan pada saku celananya. Aisyah mengalihkan matanya bergulir menatap awang-awang. Tidak ingin menampilkan raut sedih di depan laki-laki yang mungkin malah akan mengejeknya kalau sampai tahu dia menangis.
Di luar dugaan, kaki Abyasa terayun mendekat. Laki-laki itu mengulurkan tangan pada Aisyah.
Ragu-ragu, Aisyah mendengak, menatap Aby sembari menerima uluran tangan lelaki itu.

Tarikan tangan Abyasa membawa Aisyah menyandar pada dada bidangnya. Laki-laki itu mengusap lembut punggung sang istri dengan gerakan naik-turun seraya berkata, "Jangan sedih, pelukan saya mungkin rasanya berbeda dengan pelukan mama, tapi namanya tetap sama, kan, sama-sama dipeluk." Mendengarnya tangis Aisyah malah pecah. Dia biarkan Aisyah tumpahkan tangis tanpa memberi interupsi apapun.

Cukup lama, sampai Aby merasa kemejanya terasa basah akibat tumpahan airmata perempuan yang didekap erat itu. "Kamu boleh pinjam bahu saya kalau lagi sedih atau mau nangis."
Buncah Haru menginvansi perasaan Aisyah mendengar ucapan lelaki itu.
"Biaya sewanya murah, kok, semenit seratus ribu."

"Ish, Pak Aby!" Tawa Aby menggema mendengar nada protes si gadis bawel lalu kembali menimpali. "Biaya bisa berkali lipat kalau ketambahan ingus kamu yang meluber ke mana-mana." Imbuhnya sontak memicu decak sebal Aisyah.

"Pak Aby ...!"

⚜️⚜️⚜️

Pak Aby kok manis sih sikapnya 🤭

Gi-gimana bab ini?
Lumayan panjang ya.
Saya usahakan ketikan di atas 2k word. Biar kalian yang udah nungguin juga wort it saat bacanya.

Komen aja dulu yang banyak. Nanti dilanjut lagi.
Yok, bisa yok, 200 vote buat bab ini. Gasken ya.

808-01-2022
2700

Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro